tag:blogger.com,1999:blog-28037457498303507832024-02-23T03:26:40.910+07:00Kumpulan Contoh Skripsi TesisAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/01415912603094670143noreply@blogger.comBlogger2012625tag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-49490127476434697202008-08-08T13:20:00.000+07:002008-08-20T03:14:45.317+07:00SKRIPSI SOSIAL - PEMERINTAHAN I - 2 [KODE Y]1. PENGARUH KOODINASI YANG DILAKUKAN OLEH BAPPEDA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI KAB. PACITAN. JAWA TIMUR. (UMM’95)<br />2. PENGARUH MOTIVASI TERHADAP SEMANGAT KERJA PEGAWAI (Studi Di Kantor Pegadaian Kec. Genteng, Kab. Banyuwangi). (UMM ‘97).<br />3. PERANAN TOKOH-TOKOH MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMBANGUNAN (Studi Tentang Peranan Tokoh-Tokoh Masyarakat Dalam Meningkatkan Partisipasi Pembangunan Di Desa Blambangan, Kec. Bawang, Kab. Banjarnegara). …..UMM’97<br />4. HUMAN RELATIONS SEBAGAI PENUNJANG KOORDINASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DI WILAYAH PEMERINTAHAN KEC. (Suatu Studi Di Kec. Dau, Kab. Malang) …..UMM’95<br />5. SUATU STUDI TENTANG KORELASI PEMBINAAN POLITIK YANG DILAKUKAN OLEH KEPALA DESA TERHADAP STABILITAS POLITIK DI DESA-DESA DALAM WILAYAH KEC. SUGIO KAB. LAMONGAN.…..UMM’95<br />6. PERANAN BAPPEDA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH (studi di kab. Trenggalek) …..UMM’95.<br />7. KEBIJAKSANAAN PEMDA PASURUAN TENTANG RESOSIALISASI WTS DI TRETES (BARAAN) DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PEMILIK PENGINAPAN (VILLA). (Studi Mengenai Pengaruh Dari Kebijaksanaan PEMDA Pasuruan Tentang Resosialisasi WTS Di Trets (Baraan) Terhadap Tingkat Pendapatan Pemilik Penginapan Di Megersari Pecalukan Kec. Prigen Kab. Pasuruan) …..UMM’95<br />8. KEPEMIMPINAN MEGAWATI SUKARNO PUTRI DALAM PEMBINAAN PDI MENJELANG PEMILU 1997 (suatu studi tentang perspektif peran, kepemimpinan megawati sukarnoputri dalam meningkatkan suara PDI)…UMM’96.<br />9. KEBERADAAN LOKALISASI WTS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT (suatu studi di desa kedu, kec. Kertosono, kab. Nganjuk)...UMM<br />10. PENGARUH KEBERADAAN LOKALISASI WTS GANGSIRAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR (Suatu Studi Di Desa Telekung, Kec. Junrejo, Kotatip Batu, Kab. Malang Jawa Timur)…UMM’97.<br />11. PENGARUH KEBERADAAN LOKALISASI WTS GANGSIRAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR (Suatu Studi Di Desa Tlekung Kec. Junrejo, Katatip Batu, Kab. Malang, Jawa Timur)…UMM97.<br />12. PERANAN BIROKRAT LOKAL TERHADAP IMPLEMENTASI GERAKAN KEMBALI KE DESA PROPINSI DATI I JAWA TIMUR (studi implementasi GKD di desa srigading dan sidoluhur kec. Lawang kab. Malang)….UMM’97<br />13. KOSONG<br />14. PERANAN UPAH DAN KESEJAHTERAAN KARYAWAN DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA DI PG. TRANGKIL PATI…. UMM.’<br />15. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI POLITIK DI DESA TERTINGGAL (Suatu Studi Korelasi Antara Tingkat Pendidikan Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Di Desa Watuagung, Kec. Watulimo, Keb. Trenggalek)… UMM’97.<br />16. PERANAN BADAN KOORDINASI HUMAS DALAM MENYEBARKAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH (studi di departemen penerangan, prop DIY)… UMM’97<br />17. PENGARUH KEPEMIMPINAN STIMULUS DAN IKLIM ORGANISASI TERHADAP DISIPLIN KERJA APARATUR PEMERINTAH DAERAH DI KEC. SANDEN, KAB. BANTUL DIY…UGM’98.<br />18. GENDER DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN (sebuah analisis tentang dampak paradigma pertumbuhan terhadap partisipasi politik perempuan tahun 1970 – 1990-an)… UGM’99<br />19. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN STATUS EKONOMI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI PILKADES (suatu studi penelitian di desa sukorejo, kec. Parengan, kab. Tuban jawa timur)…APMD’99<br />20. PERANAN KEPEMIMPINAN CAMAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Obyek Studi Di Kec. Singkawang Kab Sambas Kal-Bar)…Inst.Ilmu.Pem Jakarta.<br />21. PENGARUH KEBUDAYAAN JAWA TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sidorejo, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul Prop DIY)…APMD’95<br />22. UPAYA KEPELA DESA UNTUK MENINGKATKAN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA SINDUADI KEC. MLATI KAB. SLEMAN DIY….APMD’94.<br />23. PENGARUH SWADAYA MASYARAKAT DAN KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Genjahan, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul Prop DIY)…..APMD’97<br />24. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP SIKAP POLITIK ANGGOTA ANGKATAN MUDA PEMBAHARUAN INDONESIA (AMPI) KODYA YOGYAKARTA…..APMD’93<br />25. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI TERHADAP KEBERHASILAN KOORDINASI PEMBANGUNAN OLEH CAMAT (Penelitian Di Kec. Bojong, Kab. Tegal. Jawa Tengah)….APMD’95.<br />26. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN DANA IDT TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Bangunrejo, Kec. Pamotan, Kab. Rembang, Jawa Tengah)… APMD’97.<br />27. PENGARUH KOORDINASI DAN PENGAWASAN DALAM MEWUJUDKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN KOTA (Penelitian Tentang Keberhasilan Pembangunan Kota Pada Dinas Pekerjaan Umum Kab. Bantul)….APMD’98.<br />28. PENGAURH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANGGOTA LKMD TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sendangsari, Kec. Minggir, Kab. Sleman, Prop DIY)… APMD’00<br />29. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS LOMBA DESA (Studi Penelitian Di Desa Bangunrejo, Kec. Sewon, Kab. Bantul Prop DIY)… APMD’94.<br />30. PENGARUH KOORDINASI BUPATI KEPALA DATI II PENGAWASAN DAN KEMAMPUAN APARATUR SERTA PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DAERAH… APMD’98.<br />31. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN CALON KEPALA DESA DALAM PROSES KEBERHASILAN SESEORANG MENJADI KEPALA DESA (Studi Penelitian Di Desa Srigading, Kec. Sanden, Kab Bantul, Prop DIY) .…’96<br />32. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP ORIENTASI POLITIK PEMUDA (Suatu Penelitian Di Kelurahan Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta) .…’98<br />33. FUNGSI, BIDANG TUGAS DAN MEKANISME KERJA (KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM) DI INDONESIA (Suatu Studi Penelitian Diskriptif Kualitatif Tentang Fungsi, Bidang Tugas Dan Mekanisme Kerja Komnas Ham Di Indonesia Tahun 1993-1996) .…’98<br />34. PENGARUH SWAYADA MASYARAKAT DAN KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Genjahan, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul Prop DIY) .…’97<br />35. PERANAN PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DESA TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (Studi Penelitian Tentang Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa Di Desa Tirtomulyo, Kec. Kretek Kab Bantul Prop DIY). .…’98<br />36. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN PENGUSAHA INDUSTRI KECIL DAN KOMUNIKASI TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL (Penelitian Di Wilayah Kec. Arut Selatan, Kab. Kotawaringin Barat, Prop Kalimantan Tengah) .…’93.<br />37. PENGARUH KEMAMPUAN APARAT PEMERINTAH DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sumberrejo, Kec. Ngawen, Kab Gunungkidul Prop DIY) .…’98<br />38. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP KETERBUKAAN POLITIK MASYARAKAT DESA (DI KEC. KLEPU KAB. SEMARANG JAWA TENGAH. .…’95.<br />39. PENGARUH FAKTOR KOMUNIKASI, DISIPLIN APARAT DAN PENGAWASAN TERHADAP KEBERHASILAN PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAERAH DI KAB KEBUMEN JAWA TENGAH. .…’99.<br />40. PENGARUH PENGAWASAN TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROYEK BANTUAN DESA (Studi Kasus Di Desa Maguwoharjo, Kec. Depok Kab Sleman Prop DIY) .…’93<br />41. PENGARUH PENDIDIKAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP KESADARAN PEMILIKAN AKTA TANAH (Suatu Studi Penelitian Di Desa Pleret, Kec. Pleret, Kab. Bantul Prop DIY). .…’99<br />42. PENGARUH KYAI TERHADAP PERILAKU POLITIK SANTRI DALAM MEMILIH PARTAI POLITIK (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Nurul Ummah, Kodagede Kodya Yogyakarta) .…’98<br />43. PENGGARUH RENDAHNYA PRODUKTIVITAS KERJA DAN KETIADAAN ASET PERTANIAN TERHADAP KETERTINGGALAN SUATU DESA (Suatu Studi Kasus Di Desa Bandungan, Kec. Jatinom, Kab Klaten Jawa Tengah) .…’97<br />44. PENGARUH HUBUNGAN INTERPERSONAL DAN KESADAN POLITIK TERHADAP PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA (Suatu Studi Penelitian Di Desa Kramat, Kec. Karang Moncol Kab. Purbalingga Prop Jawa Tengah) .…’95.<br />45. PENGARUH PERUBAHAN STATUS PERWAKILAN KECAMATAN MENJADI KEC. DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (suatu penelitian di desa sampang, kec. Sampang, kab. Cilacap jawa tengah) .…’96.<br />46. PENGARUH PERSEPSI DAN PARTISIPASI KELOMPOK SASARAN TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (Suatu Studi Kasus Di Desa Karangkemiri Kec. Karanganyar Kab. Kebumen, Prop Jawa Tengah). .…’97<br />47. MILITER DALAM POLITIK (Suatu Studi Deskriptif Mengenai Peranan Militer Pada Tahun 1950 – 1955)… .…’98<br />48. PENDAMPING KELOMPOK MASYARAKAT DAN PELAKSANAAN PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) (Suatu Studi Deskriptif Tentang Peranan Pendamping Kelompok Masyarakat IDT Di Desa Watusigar, Kec. Ngawen, Kab. Gunungkidul Prop DIY. .…’98.<br />49. BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (Suatu Penelitian Yang Dilakukan Di Desa Daleman Kec. Tulung Kab. Klaten, Jawa Tengah) .…’94<br />50. PENGARUH KOORDINASI,KEDISIPLINAN, PENGAWASAN SERTA PERAN AKTIF CAMAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Yang Dilakukan Di Kec. Kaliwungu, Kab. Kudus, Prop. Jawa Tengah). .…’98<br />51. PENGARUH SWADAYA MASYARAKAT DAN MOTIVASI TERHADAP PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sumberagung Kec. Moyudan, Kab Sleman Prop DIY). .…’97<br />52. BEBERAPA PENGARUH DARI PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN TERHADAP KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA (Tinjauan Deskriptif Di Kelurahan Sumber Kec. Sumber Kab Cirebon) .…’98<br />53. PENGARUH KOORDINASI CAMAT KEPALA WILAYAH DAN TERTIB ADMINISTRASI PEMERINTAHAN WILAYAH TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DI BIDANG FISIK (Penelitian Di Kec. Bantul Kab. Bantul Prop DIY) .…’97.<br />54. PARTAI POLITIK DAN NEGARA ORDE BARU.…’98.<br />55. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI ANGGOTA DPRD TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PENGAWASAN DI DAERAH (Penelitian Anggota DPRD TK II Tegal Prop Jawa Tengah) .…’99<br />56. PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN PENGURUS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (LKMD) TERHADAP EFEKTIVITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA PARTISIPATIF (Suatu Penelitian Di Desa Karangsari, Kec. Kutowinangun, Kab. Kebumen, Jawa Tengah) .…’98<br />57. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DI BIDANG PENGAWASAN DARI CAMAT KEPADA KEPALA DESA TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN FISIK DESA. .…’93.<br />58. PENGARUH PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG BIROKRASI PEMERINTAH DAN PELAYANAN SOSIAL BIROKRASI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman Prop DIY) .…’95<br />59. PENGARUH KESADARAN WAJIB PAJAK. DISIPLIN APARAT PEMUNGUT DAN KETEPATAN WAKTU MEMUNGUT TERHADAP PENCAPAIAN TARGET PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (Suatu Penelitian Di Kec. Ngebel Dan Kec. Mlarak Kab. Ponorogo Jawa Timur) .…’92<br />60. DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH KOTAMADYA TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (Studi Penelitian Di Kodya Pasuruan). .…’98<br />61. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KOPERASI UNIT DESA (Suatu Penelitian Pada KUD “TANI RUKUN” Di Wilayah Kec. Kretek, Kab. Bantul Prop DIY). .…’94<br />62. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN STATUS EKONOMI ORANG TUA TERHADAP SOSIALISASI POLITIK REMAJA (Studi Penelitian Di Keluruahan Baciro, Kec. Gondokusuman Kodya Yogyakarta) .…’96.<br />63. PENGARUH KOMUNIKASI MASSA TERHADAP ORIENTASI PEMUDA (Studi Penelitian Di Kelurahan Kotabaru, Kec. Gondukusuman Kodya Yogyakarta). .…’98<br />64. PERANAN PENGURUS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA YANG PARTISIPATIF (Suatu Penelitian Di Desa Semawung, Kec. Purworejo, Kab. Purworejo, Prop Jawa Tengah). .…’98<br />65. PENGARUH SIKAP DAN TANGGAPAN SERTA PARTISIPASI PEDAGANG KAKI LIMA DALAM MEWUJUDKAN YOGYAKARTA BERHATI NYAMAN (Suatu Penelitian Pedagang Kaki Lima Yang Tergabung Dalam Koperasi Tri Dharma, Di Jalan Malioboro Kel Sosromenduran, Kec. Gedongtengen Kodya Yogyakarta). .…’95<br />66. PENGARUH EFEKTIVITAS KUD TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT PEDESAAN (Suatu Penelitian Di Desa Siraman Kec. Wonosari Kab. Gunungkidul DIY). .…’93.<br />67. BEBERAPA PENGARUH DARI PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN TERHADAP KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA (Tinjauan Deskriptif Di Kelurahan Sumber, Kec. Sumber – Cirebon) .…’98.<br />68. PENGARUH HUBUNGN INTERPERSONAL DAN KESADARAN POLITIK TERHADAP PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA (Suatu Studi Penelitian Di Desa Kramat Kec. Karang Moncol Kab. Purbalingga Prop Jawa Tengah). .…’95.<br />69. PERSEPSI MASYARAKAT DALAM LOMBA DESA SERTA KEBERLANGSUNGAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Bangunharjo, Kec. Sewon Kab. Bantul Prop DIY) .…’95.<br />70. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Tentang Pengaruh Tingkat Pendidikan Dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua Terhadap Persepsi Belajar Anak Di Desa Murtigading, Kec. Sanden Kab Bantul DIY) .…’97<br />71. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN DANA IDT TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Bangunrejo, Kec. Pamotan, Kab. Rembang, Jawa Tengah) .…’97<br />72. DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH KOTAMADYA TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (Studi Penelitian Di Kodya Pasuruan) .…’98<br />73. PENGARUH KEMAMPUAN APARAT PEMERINTAHAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sambirejo, Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul Prop DIY).<br />74. KRITIK PEMBANGUNAN ORDE BARU (Telaah Kritis Atas Biaya-Biaya Manusiawi) .…<br />75. PERANAN PENGURUS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA YANG PARTISIPATIF (Suatu Penelitian Di Desa Semawung, Kec. Purworejo, Kab. Purworejo Jawa Tengah).<br />76. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN MEDIA MASSA TERHADAP PERSEPSI POLITIK PEMUDA. .…’98.<br />77. PERANAN CAMAT DALAM PEMBINAAN ADMINISTRASI DESA GUNA MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN DESA DI KEC. CILEDUG KAB CIREBON JAWA BARAT. .…’95.<br />78. PENGARUH TATA KEARSIPAN DAN MOTIVASI TERHADAP EFISIENSI KERJA PAGAWAI NEGERI PADA KANTOR KEC. GONDANG KAB. SRAGEN PROP JAWA TENGAH.…’96.<br />79. PENGARUH PERENCANAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI DIPENDA KAB. SRAGEN. .…’98<br />80. PENGARUH KOORDINASI DAN PENGAWASAN DALAM MEWUJUDKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN KOTA (Penelitian Tentang Keberhasilan Pembangunan Kota Pada Dinas Pekerjaan Umum Kab Bantul DIY). .…’98<br />81. PENGARUH TINGKAT SOSIAL EKONOMI DAN HUBUNGAN KELUARGSA TERHADAP ORIENTASI MASYARAKAT DESA DALAM MEMILIH KEPALA DESA (Suatu Penelitian Di Desa Tegalkuning Kec. Banyuurip, Kab Purworejo,Jawa Tengah) .…’98<br />82. PERANAN PEMBINAAN KESEHATAN KELUARGA DAN PENDIDIKAN DALAM USAHA SOSIALISASI PANCASILA PADA MASYARAKAT DESA (Suatu Tinjauan Di Desa Sulang Dan Desa Tanjung Kec. Sulang Kab Rembang Jawa Tengah) .…’94<br />83. ICMI DALAM KEHIDUPAN KENEGARAAN (Suatu Studi Tentang Sumbangan ICMI Dalam Kehidupan Kenegaraan Di Indonesia Era Orde Baru Tahun 1990 Pasca Muktamar II) .…’97<br />84. PENGARUH KEMAMPUAN ADMINISTRASI PEMERINTAH DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Penelitian Di Desa Agrosari, Kec. Ayah Kab Kebumen Jawa Tengah) .…’96<br />85. PERANAN PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (Suatu Studi Penelitian Tentang Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa, Di Desa Madurejo, Kec. Prambanan Kab. Sleman Prop DIY) .…’94<br />86. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Melikan, Kec. Rongkop, Kab. Gunungkidul Prop DIY) .…’97<br />87. PENDAMPING KELOMPOK MASYARAKAT DAN PELAKSANAAN PROGRAM IDT (Suatu Studi Deskriptif Tentang Peranan Pendamping Kelompok Pendamping IDT Di Desa Watusigar, Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul DIY) .…’98.<br />88. PERANAN PEMBANGUNAN BIDANG PARIWISATA DI KAWASAN CANDI PRAMBANAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DI SEKITARNYA (Suatu Penelitian Tentang Usaha Peningkatan Pendapatan Penduduk Di Sekitar Kompleks Wisata Candi Prambanan, Desa Karangasem, Kelurahan Bokoharjo, Kec. Prambanan DIY) .…’93<br />89. PERANAN LKMD DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEBERHASILAN MENINGKATKAN KECERDASAN WARGA MELALUI PROGRAM KERJA PAKET A (Suatu Penelitian Di Desa Bangunjiwo, Kec. Kasihan, Kab. Bantul DIY) .…’95<br />90. DAMPAK KEBIJAKSANAAN WANITA TUNA SUSILA TERHADAP PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN (Penelitian Dilakukan Di Desa Bajomulyo Kec. Juwana, Kab. Pati Jawa Tengah) .…’95<br />91. PENGARUH PENGAWASAN TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROYEK BANTUAN PEMBANGUNAN DESA (Studi Kasus Di Desa Maguwoharjo, Kec. Depok, Kab. Sleman DIY) .…’93<br />92. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI MASSA DAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA TERHADAP PENGETAHUAN POLITIK MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Terhadap Masyarakat Di Desa Sumberejo, Kec. Wadaslintang, Kab. Wonosobo Prop Jawa Tengah) .…’96.<br />93. PENGARUH TINGKAT SOSIAL EKONOMI DAN HUBUNGAN KELUARGA TERHADAP ORIENTASI MASYARAKAT DESA DALAM MEMILIH KEPALA DESA (suatu penelitian di desa tegalkuning, kec. Banyuurip, kab. Purworejo, jawa tengah). .…’98.<br />94. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN PEGAWAI DAN KEJELASAN PERAN TERHADAP MOTIVASI KERJA PNS (penelitian di kec. Grabag kab. Purworejo jawa tengah) .…’98.<br />95. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI TERHADAP KEBERHASILAN KOORDINASI PEMBANGUNAN OLEH BUPATI (Suatu Penelitian Di Kab. Bantul Prop DIY) .…’97<br />96. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM IDT DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN (Suatu Penelitian Di Kec. Tidore, Kab Halmahera Tengah Prop Maluku) .…’98<br />97. EFEKTIVITAS DAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1979 (Studi Tentang Pemerintahan Desa Di Kec. Kodi Kab Sumba Barat NTT) .…’98<br />98. PENGARUH TINGKAT EKONOMI DAN PENDIDIKAN TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT TANAH (Suatu Penelitian Di Kelurahan Rejowinangun, Kec. Kotagede, Kodya Yogyakarta) .…’98<br />99. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI ANGGOTA LMD DALAM PROSES PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN DESA KEC. MLATI KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’95.<br />100. PERANAN RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI TERMINAL UMBUHARJO YOGYAKARTA (Suatu Studi Di Kodya Yogyakarta) .…’98<br />101. PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA DESA TERHADAP PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL (Penelitian Di Desa Trangkil, Kec. Trangkil Kab. Pati Jawa Tengah) .…’98.<br />102. KONTRIBUSI OBYEK WISATA SARANGAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (Suatu Penelitian Pada Daerah Kab. Magetan) .…’96<br />103. PENGARUH MOTIVASI APARAT DAN PENGAWASAN TERHADAP PENINGKATAN RETRIBUSI DAERAH (Suatu Penelitian Di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kodya Yogyakarta) .…’95.<br />104. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KOPERASI UNIT DESA (Suatu Penelitian Pada KUD “TANI MAKMUR” Di Wilayah Kec. Kretek, Bantul DIY) .…’94<br />105. PARTISIPSAI MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN DANA IDT TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Bangunrejo, Kec. Pamotan, Kab Rembang Jawa Tengah) .…’97<br />106. PELAKSANAAN FUNGSI BAPPEDA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH (Penelitian Di Pemerintahan Daerah Pontianak) .…’98<br />107. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM IDT DESA WONOKROMO KEC. ALIAN KAB. KEBUMEN JAWA TENGAH. .…’98.<br />108. PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA DESA TERHADAP PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL (Penelitian Di Desa Trangkil, Kec. Trangkil Kab. Pati)<br />109. PENGARUH PROGRAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KECIL DAN MOTIVASI ANGGOTA TERHADAP PENINGKATAN TARAF HIDUP PETANI MISKIN (Studi Kasus Di Desa Triharjo, Kec. Sleman Kab. Sleman Prop DIY). .…’99<br />110. EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN UU RI NO. 5 TAHUN 1979 (Studi Tentang Pemerintahan Desa Di Kec. Kodi Kab. Sumba Barat NTT). .…’98<br />111. KRITIK PEMBANGUNAN ORDE BARU (Telaah Kritis Atas Biaya-Biaya Manusiawi) .…’<br />112. PENGARUH KEMAMPUAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Krembangan Kec. Panjatan, Kab. Kulonprogo DIY). .…’93.<br />113. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN STATUS EKONOMI PENGURUS TERHADAP KEBERHASILAN TUGAS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (Studi Penelitian Di Desa Watusigar, Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul Prop DIY) .…’97<br />114. PENGARUH TINGKAT EKONOMI DAN PENDIDIKAN TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT TANAH (Suatu Penelitian Di Kelurahan Rejowinangun Kec. Kotagede Yogyakarta) .…’98<br />115. PENDAMPING KELOMPOK MASYARAKAT DAN PELAKSANAAN PROGRAM IDT (Suatu Penelitian Deskriptif Tentang Peranan Pendamping Kelompok Masyarakat Inpres Desa Tertinggal Di Desa Watusigar Kab Gunungkidul Prop DIY) .…’98<br />116. HUBUNGAN TINGKAT KEMAMPUAN APARAT DAN TINGKAT KEPATUHAN APARAT DENGAN TINGKAT PENERIMAAN RETRIBUSI PASAR (suatu penelitian tentang penerimaan retribusi pasar pada dinas pasar kodya yogyakarta) .…’99.<br />117. PENGARUH TINGKAT EKONOMI DAN PENDIDIKAN TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT TANAH (Suatu Penelitian Di Kelurahan Rejowinangun Kec. Kotagede Kodya Yogyakarta) .…’98<br />118. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN AKTIVITAS KADER KESEHATAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA.…’93.<br />119. ANALISA GENDER MENGENAI KEDUDUKAN DAN PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA.…’99.<br />120. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN MEDIA MASSA TERHADAP PERSEPSI POLITIK PEMUDA.…’98.<br />121. PERANAN PENGURUS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA YANG PARTISIPATIF (Suatu Penelitian Di Desa Semawung, Kec. Purworejo, Kab. Purworejo Jawa Tengah) .…’98<br />122. KEBIJAKANAAN PEMERINTAH DALAM PROGRAM PEMBINAAN MASYARAKAT TERASING “SUKU KUBU” (Suatu Penelitian Di Desa Sungai Jernih Kec. Muara Rupit Kab. Musi Rawas Sumatra Selatan) .…’96.<br />123. MILITER DALAM POLITIK (suatu studi deskriptif mengenai peranan militer pada tahun 1950-1955). .…’98<br />124. HUBUNGAN PERSEPSI MASYARAKAT DESA TENTANG KEMAMPUAN MANAJEMEN APARATUR PEMERINTAH DESA DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Lapangan Di Desa Tirtonirmolo Kec. Kasihan Bantul DIY). .…’97.<br />125. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM PEMUGARAN PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN DESA TERPADU (P2LDT) DAN MOTIVASI MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN (Suatu Penelitian Di Kec. Ngringan, Kab. Grobogan, Jawa Tengah) .…’95<br />126. PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP PENYELENGGARAAN URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH (Hasil Laporan Penelitian Pada Kabupaten Sleman DIY) .…’93.<br />127. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN STATUS EKONOMI PENGURUS TERHADAP KEBERHASILAN TUGAS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (Studi Penelitian Di Desa Watusigar, Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul DIY) .…’97<br />128. EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO.5 TAHUN 1979 (Studi Tentang Pemerintahan Desa Di Kec. Kodi Kab Sumba Barat NTT) .…’98<br />129. HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN PARTISIPASI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM 1987 (Studi Kasus Di Desa Wonokerto, Kec. Turi Kab Sleman Prop DIY). .…’92<br />130. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP SIKAP POLITIK ANGGOTA ANGKATAN MUDA PEMBAHARUAN INDONESIA (AMPI) KODYA YOGYAKARTA. .…’93.<br />131. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP FUNGSI PERENCANAAN DARI BAWAH OLEH LKMD (Suatu Penelitian Di Desa Catur Tunggal Kec. Depok, Kab. Sleman DIY) .…’01<br />132. PENGARUH PENDIDIKAN ANGGOTA LMD DAN PENGARUH KETUA LMD TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sawangan Kec. Leksono, Kab. Wonosobo, Jawa Tengah) .…’98<br />133. “RESEARCH DESIGN” PENGARUH PENDIDIKAN ANGGOTA LMD DAN PENGARUH KETUA LMD TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sawangan Kec. Leksono, Kab. Wonosobo, Jawa Tengah) .…’97<br />134. PELAKSANAAN FUNGSI PEMBINAAN LKMD OLEH KANTOR PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Deskriptif Analitis Tentang Peranan Kantor Pembangunan Masyarakat Desa Dalam Membina LKMD Di Kab. Bantul Prop DIY) .…’99<br />135. PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Penelitian Di Lakukan Di Desa Maguwoharjo, Kec. Depok Kab. Sleman Prop DIY) .…’94<br />136. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN PENDIDIKAN TERHADAP USAHA SOSIALISASI PENCASILA PADA MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Di Desa Srigading, Kec. Sanden Kab. Bantul Prop DIY) .…’96<br />137. PERANAN RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI TERMINAL UMBUHARJO YOGYAKARTA (Suatu Studi Di Kodya Yogyakarta) .…’98<br />138. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN PENDIDIKAN DALAM USAHA SOSIALISASI PANCASILA PADA MASYARAKAT DESA (Suatu Tinjauan Di Desa Sulang Dan Desa Tanjung, Kec. Sulang Kab. Rembang Jawa Tengah). .…’94<br />139. PERANAN ANGKATAN MUDA PEMBAHARUAN INDONESIA (AMPI) SEBAGAI PENDUKUNG GOLKAR DALAM PEMILU 1992 DI KAB MUARA ENIM PROP SUM-SEL (Sebuah Penelitian Deskriptif Di Kabupaten Muara Erim Prop Sumatera Selatan Tentang Peranan AMPI Sebagai Pendukung Golkar Dalam Pemilu 1992) .…’93<br />140. PELAKANAAN FUNGSI KEMPANYE PEMILIHAN UMUM 1999…..’00<br />141. PERKEMBANGAN GOLKAR DI KAB. POLEWALI MEMASA, PROP SULAWESI SELATAN PADA PEMILU 1971-1992.…’98<br />142. PERANAN ANGKATAN MUDA PEMBAHARUAN INDONESIA (AMPI) SEBAGAI KOMPONEN GOLKAR DALAM PEMILU 1997 (Suatu Penelitian Deskriptif Di Kab. Muara Enim Sumatera Selatan) .…’98.<br />143. PARTISIPASI POLITIK GENERASI MUDA PADA PEMILU 1999 (di kec. (Gondokusuman Kodya Yogyakarta). .…’99.<br />144. PENGARUH KOMUNIKASI POLITIK KEPALA DESA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU 1997 (Studi Penelitian Tentang Komunikasi Politik Kepala Desa Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilu 1997 Di Desa Ngunut Kec. Playen Kab Gunungkiduo Prop DIY). .…’98<br />145. PENGARUH LAMBANG GAMBAR DAN PROGRAM KEMPANYE TIGA KONTESTAN TERHADAP PERILAKU PEMILU PEMULA DALAM PEMILIHAN UMUM 1992 (Penelitian Di Kelurahan Sorosutan, Kec. Umbulharjo, Kodya Yogyakarta) .…’94<br />146. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMILU (Suatu Penelitian Di Desa Condongcatur, Kec. Depok Kab Sleman Prop DIY). .…’98<br />147. FAKTOR-FAKTOR KEMENANGAN PARTAI GOLKAR DI KAB. KLATEN DLAAM PEMILU 1971-1992. .…’96.<br />148. AKTIVITAS POLITIK MASYARAKAT PASCA PEMILU 1997 (Suatu Penelitian Kualitatif Deskriptif Tentang Aktualitas Politik Masyarakat Pasca Pemilu Tahun 1997 Di Indonesia) .…’99<br />149. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN, PENDIDIKAN DAN TEMAN SEKERJA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILU 1992 (Suatu Penelitian Pada Masyarakat Petani Desa Temon Wetan, Kec. Temon, Kab. Kulonprogo Prop DIY) .…’95.<br />150. PASANG SURUT PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP) DALAM PEMILU 1977 SAMPAI PEMILU 1997 (suatu penelitian deskriptif tentang perkembangan PPP dari 1977-1997 dilihat dari perolehan suara dan kursi di DPR). .…’99<br />151. PENGARUH PENDIDIKAN SEKOLAH MEDIA MASSA DALAM SOSIALISASI POLITIK TERHADAP PARTISIPASI POLITIK GENERASI MUDA DALAM PEMILU (Suatu Studi Penelitian Tentang Partisipasi Politik Generasi Muda Dalam Pemilu, Di Desa Minomartani, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman Prop DIY) .…’95<br />152. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA DALAM PEMILIHAN UMUM 1997 (Suatu Tinjauan Tentang Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pemilu 1997 Di Desa Balecatur,Kec. Gamping Kab. Sleman Prop DIY). .…’98<br />153. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN SUARA PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DALAM PEMILU 1997 (Suatu Penelitian Di Kodya Surakarta) .…’98<br />154. PENGARUH PENDIDIKAN DAN HUBUNGAN PATRON KLIEN TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM 1997 (Penelitian Tentang Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu 1997 Di Desa Sendangsari, Kec. Minggir, Kab. Sleman, Prop DIY) .…’98<br />155. OPINI MASYARAKAT TERHADAP KEMPANYE PEMILU 1997. .…’98<br />156. PENGARUH PENDIDIKAN FORMAL DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK WANITA PEDESAAN DALAM PEMILU (Suatu Penelitian Tentang Partisipasi Politik Wanita Pedesaan Dalam Pemilu, Di Desa Sentolo, Kab. Kulonprogo Prop DIY) .…’98<br />157. PENGARUH KELUARGA DAN SEKOLAH DALAM SOSIALISASI POLITIK TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MAHASISWA DALAM PEMILU (Suatu Penelitian Di Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta) .…’98<br />158. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILU 1992 (Suatu Studi Penelitian Di Kelurahan Taman Winangun, Kec. Kebumen Kab. Kebumen Jawa Tengah). .…’97.<br />159. SUMBANGAN RETRIBUSI DAERAH DALAM MENDUKUNG KEBERHASILAN PENYELENGGARAAN URUSAN-URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH (Suatu Studi Penelitian Di Pemerintahan Kab. Kulonprogo) .…’98<br />160. PENGARUH MOTIVASI APARAT DAN PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENINGKATAN RETRIBUSI DAERAH (Suatu Penelitian Di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kab Suppeng Prop Sulawesi Selatan) .…’95<br />161. PENGARUH MOTIVASIA APARAT DAN PENGAWASAN TERHADAP PENINGKATAN RETRIBUSI DAERAH (Suatu Penelitian Di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kodya Yogyakarta) .…’95<br />162. PENGARUH KOORDINASI DAN PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN RETRIBUSI PASAR SEBAGAI SALAH SATU PENDAPATAN ASLI DAERAH (Penelitian di Pasar Bunder Kab. Sragen) .…’95<br />163. UPAYA-UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAB ASLI DAERAH DAN DAMPAK PENINGKATAN ASLI DAERAH TERHADAP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KAB. SLEMAN DIY. .…’97.<br />164. PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH (Suatu Studi Perkembangan Otonomi Desa Sejak Awal Kemerdekaan Sampai Sekarang Di Desa Srigading Kec. Sanden Kab. Bantul Prop DIY) .…’93<br />165. SUMBANGAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP PENYELENGGARAAN URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH (Identifikasi Faktor Keuangan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah) Hasil Suatu Penelitian Pada Kab. Sragen.. .…’95<br />166. PERANAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP PENYELENGGARAAN ONONOMI DAERAH (Studi Kasus Tentang Keuangan Daerah Di Kodya Yogyakarta Tahun Anggaran 1992 – 1996) .…’98<br />167. PENGARUH SOSIALISASI POLITIK MELALUI KELUARGA, PENDIDIKAN FORMAL DAN MEDIA MASSA TERHADAP ORIENTASI POLITIK GENERASI MUDA (Suatu Penelitian Di Desa Banyumanis Kec. Keling, Kab Jepara Prop Jawa Tengah). .…’97<br />168. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP PENGETAHUAN POLITIK GENERASI MUDA (Suatu Penelitian Terhadap Generasi Muda Di Desa Karangsari, Kec. Kutowinangun, Kab. Kebumen Prop Jawa Tengah). .…’98<br />169. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN TERHADAP PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI ANGGOTA DPRD (Suatu Penelitian Pada DPDR Tingkat II Gunungkidul Prop DIY) .…’97<br />170. PENGARUH PELAKANAAN PROGRAM IDT DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN (Suatu Penelitian Di Kec. Tidore, Kab. Halmahera Tengah Prop Maluku) .…’98<br />171. BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP TERPILIHNYA CALON KEPALA DESA MENJADI KEPALA DESA (Suatu Studi Kasus Di Kec. Moyudan Kab. Sleman Prop DIY) .…’97<br />172. PERANAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAN PROGRAM IDT SEBAGAI UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN (Suatu Studi Penelitian Di Desa Tirtosari, Kec. Kretek, Kab. Bantul Prop DIY). .…’96<br />173. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM IDT DESA WONOKROMO KEC. ALIAN KAB KEBUMEN JA-TENG.…’98<br />174. PENGARUH SWADAYA MASYARAKAT DAN MOTIVASI TERHADAP PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sumber Agung, Kec. Moyudan, Kab. Sleman Prop DIY). .…’97<br />175. PERANAN PENGAWASAN KEPALA DINAS TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM DALAM PEMBANGUNAN KOTA (Penelitian Tentang Hubungan Antara Pengawasan Kepala Dinas Dengan Pelaksanaan Fungsi Pekerjaan Umum Dalam Pembangunan Kota Pada Dinas Pekerjaan Umum Periode Tahun 1988-1992 Kab Bantul DIY).…’94<br />176. PERANAN DPRD DALAM PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD). (Suatu Penelitian Di Kantor Dprd Kab Sleman Prop DIY).<br />177. PENGGUNAAN HAK AMANDEMEN DALAM PROSES PENETAPAN PERATURAN DAERAH DALAM PERIODE TAHUN 1993/1994, 1994/1995 DAN TAHUN 1995/1996. (Studi Penelitian Di DPRD Gunungkidul Prop DIY) .…’97<br />178. PENGARUH KOORDINASI DAN PENGAWASAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN INPRES BANTUAN PEMBANGUNAN (Sebuah Penelitian Pembangunan Prasarana Perhubungan Jalan Di Kodya Yogyakarta). .…’98<br />179. PENGARUH TINGKAT SOSIAL EKONOMI DAN HUBUNGAN KELUARGA TERHADAP ORIENTASI MASYARAKAT DESA DALAM MEMILIH KEPALA DESA (Suatu Penelitian Di Desa Tegalkuning, Kec. Banyuurip, Kab Purworejo, Jawa Tengah) .…’98<br />180. BEBERAPA PENGARUH DARI PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN TERHADDAP KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA (Tinjauan Deskriptif Di Kelurahan Sumber Kec. Sumber Kab Cirebon) .…’98<br />181. PERANAN CAMAT DALAM PEMBINAAN ADMINISTRASI DESA GUNA MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN DESA DI KEC. CILEDUG, KAB. CIREBON JAWA BARAT. .…’95.<br />182. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI ANGGOTA LMD DALAM PROSES PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN DESA KEC. MLATI KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’95.<br />183. PERAN TERTIB ADMINISTRASI DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Penelitian Di Laksanakan Di Desa Sumberagung Dan Desa Sumberrahayu Kec. Moyudan Kab. Sleman Prop DIY) .…’95<br />184. PENGARUH KOMUNIKASI ADMINISTRASI DAN KOORDINASI CAMAT TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DALAM SISTEM UNIT DAERAH KERJA PEMBANGUNAN (Penelitian Di Kec. Berbah, Kab Sleman Prop DIY) .…’97<br />185. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP PENGETAHUAN POLITIK GENERASI MUDA (Studi Kasus Di Desa Wesomartani, Kec. Ngemplak Kab Sleman Prop DIY).…’95<br />186. PERANAN PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (Suatu Studi Penelitian Tentang Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa, Di Desa Madurejo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman Prop DIY) .…’94<br />187. PENGARUH FAKTOR PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI TERHADAP KEBERHASILAN KOORDINASI PEMBANGUNAN OLEH CAMAT (studi penelitian di kec. Bulu kab. Rembang, jawa tengah) .…’93.<br />188. PENGARUH PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI MASSA TERHADAP OREINTASI POLITIK PEMUDA (Suatu Penelitian Di Kelurahan Kotabaru Kec. Gondokusuman Kodya Yogyakarta). .…’98<br />189. PENGARUH PERANGKAPAN JABATAN KEPALA DESA DENGAN KETUA LMD TERHADAP EFISIENSI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DESA (Studi Pengambilan Keputusan Oleh LMD Di Desa Margodadi, Kec. Sayegan Kab. Sleman Prop DIY). .…’99<br />190. PENGARUH SWADAYA MASYARAKAT DAN MOTIVASI TERHADAP PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sumberagung Kec. Moyudan, Kab Sleman Prop DIY) .…’97<br />191. PENGARUH KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DAN MOTIVASI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA LKMD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA (Hasil Penelitian Di Desa-Desa Sewilayah Kec. Losari, Kab Cirebon Prop Jawa Barat) .…’92<br />192. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN PENGUSAHA INDUSTRI KECIL DAN KOMUNIKASI TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL (Penelitian Di Kec. Arut Selatan, Kab. Kotawaringin Barat, Prop Kalimantan Tengah) .…’93<br />193. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) DALAM PEMBANGUNAN DESA (Pengaruh Persepsi Tentang Kepemimpinan Kepala Desa, Status Sosial Ekonomi, Dan Motivasi Kerja Terhadap Partisipasi KPD Dalam Pembangunan Desa Di Kec. Gunung Pati, Kodya Semarang) .…’96<br />194. GERAKAN MAHASISWA DI INDONESIA PERIODE 1966-1996.. .…’98.<br />195. PENGARUH DISIPLIN APARAT DAN PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENINGKATAN RETRIBUSI DAERAH (Suatu Penelitian Mengenai Upaya Peningkatan Retribusi Daerah Di Lingkungan Dinas Pendapatan Daerah Ciamis Prop Jawa Barat). .…’99<br />196. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM KERJA PAKET A DAN MOTIVASI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Studi penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di kec. Kaliwiro) .…’96.<br />197. PEMILIHAN GUBERNUR/KEPALA DAERAH TINGKAT I DIY PADA TAHUN 1998 : SUATU ANALISA DESKRIPTIF.. .…’99.<br />198. PENGARUH PENDIDIKAN ANGGOTA LMD DAN PENGARAHAN KETUA LMD TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBAUTAN KEPUTUSAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sawangan, Kec. Leksono, Kab. Wonosobo, Jawa Tengah). .…’98<br />199. PENGARUH KIAYA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK SANTRI DALAM MEMILIH PARTAI POLITIK (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Kodya Yogyakarta). .…’98<br />200. PENDIDIKAN POLITIK MAHASISWA MELALUI ORGANISASI KEMAHASISWAAN (Studi Penelitian Di Kampus STPMD APMD Yogyakarta) .…’97Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-54439775516277743082008-08-08T13:17:00.000+07:002008-08-20T03:14:45.319+07:00SKRIPSI SOSIAL - PEMERINTAHAN I - 1 [KODE Y]1. HUBUNGAN KEMAMPAUN KERJA PERANGKAT DESA DENGAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KEC. SIGALUH KAB. BANJARNEGARA JAWA TENGAH….’98<br />2. PENGARUH PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI DESA BOKOHARJO, KEC. PRAMBANAN, KAB. SLEMAN DIY….’93<br />3. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman Prop DIY) ….’98.<br />4. HUBUNGAN PEMBINAAN KESEHATAN OLEH PUSKESMAS DAN STATUS SOSIAL EKONOMI PASANGAN USIA SUBUR DENGAN PARTISIPASI PASANGAN USIA SUBUR DALAM PELAKSANAAN PROGRAM POSYANDU DI DESA BANGUNHARJO, KEC. SEWON, KAB. BANTUL PROP. DIY….’8.<br />5. PENGARUH PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PROGRAM BANTUAN PEMBANGUNAN DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA, DI DESA BLATER DAN RABAK KEC. KALIMAHAN KAB. PURBALNGGA.. ….’97.<br />6. HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN BERDASARKAN LUAS TANAH GARAPAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI DI DESA GIRIREJO, KEC. IMOGIRI, KAB. BANTUL DIY. ….’98.<br />7. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PENGUASAAN INFORMASI TENTANG PELUANG KERJA DI KELURAHAN PRENGGAN KEC. KOTAGEDE YOGYAKARTA….’93<br />8. PENGARUH INTENSITAS PELAKSANAAN PROGRAM JAM WAJIB BELAJAR MASYARAKAT TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK DI SEKOLAH (suatu penelitian di kelurahan baciro, kodya Yogyakarta) ….’98<br />9. PERSEPSI DAN PERILAKU IBU TERHADAP PELAKSANAAN IMUNISASI BAGI BALITA DI DESA METUK KEC. MOJOSONGO KAB BOYOLALI JAWA TENGAH. ….’97.<br />10. PENGARUH KEMAMPUAN PENGURUS LKMD DAN KPD TERHADAP KEBERHASILAN PENGELOLAAN DANA STIMULAN UJI COBA PROGRAM SISTEM REVOLVING DI DESA KETUR KEC. TEMON KAB. KULONPROGO DIY. ….’96.<br />11. PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN SEBAGAI USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Sriharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman Yogyakarta). ….’96.<br />12. INDUSTRI RUMAH TANGGA PEMBUATAN BESEK SEBAGAI USAHA MENAMBAH PENDAPATAN KELUARGA DI DESA SENDANGMULYO KEC. MINGGIR KAB. SLEMAN YOGYAKARTA. ….’98.<br />13. HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP KEMAMPUAN MEMOTIVASI BELAJAR ANAK (Suatu Studi Tentang Pendidikan Formal Orang Tua Di Desa Banguntapan, Kec. Banguntapan Kab. Bantul Prop DIY) ….’92.<br />14. KETERLIBATAN MASYARAKAT DISEKTOR OBYEK WISAT GUCI DALAM BERUSAHA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN (Studi Penelitian Di Obyek Wisata Guci, Kab. Tegal Jawa Tengah) ….’97.<br />15. STATUS SOSIAL EKONOMI DAN MINAT TRANSMIGRASI DI DESA SIDOLUHUR KEC. GODEAN KAB. SLEMAN YOGYAKARTA….’93.<br />16. PENGARUH PERAN GANDA WANITA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK (Suatu Penelitian Di Kabupaten Bantul Yogyakarta).. ….’96.<br />17. PERSEPSI MASYARAKAT PADA USAHA PERTERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN KESEHATAN LINGKUNGAN (Suatu Studi Di Kelurahan Warungboto, Kec. Umbulharjo, Kodya Yogyakarta). ….’98.<br />18. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK SEKOLAH SMP (Desa Balecatur, Kec. Gamping Prop DIY). ….’95.<br />19. OBYEK WISATA AIR TERJUN SEDUDO DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERAN SERTA PENDUDUK SEKITAR DALAM KEGIATAN USAHA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN (Suatu Studi Penelitian Tentang Usaha Peningkatan Pendapatan Penduduk Sekitar Obyek Wisata Air Terjun Sedudo Di Desa Ngliman, Kec. Sawahan, Kab Nganjuk) ….’94.<br />20. PENDAPATAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN KELUARGA (studi kasus tentang upaya tukang parkir dalam memenuhi kebutuhan keluarga) DI KELURUAHAN KLITREN KEC. GONDOKUSUMAN, KODYA YOGYAKARTA. ….’98.<br />21. TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN FUNGSI EKONOMI ANAK DALAM RUMAH TANGGA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT DROP OUT SEKOLAH DASAR. (Studi Kasus Di Dusun Pelemsari, Desa Bokoharjo, Kec. Prambanan, Kab Sleman DIY). ….’98.<br />22. HUBUNGAN KELOMPOK USAHA PRODUKTIF TERPADU PENYANDANG CACAT DAN TANGGAPAN MASYARAKAT DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PENYANDANG CACAT DALAM PEMBANGUNAN (Suatu Penelitian Pada Pilot Proyek Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial Prop. DIY). ….’93.<br />23. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGERUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT UNTUK BER TRANSMIGRASI DI DESA MLAWAT KEC. PAMOTAN, KAB. REMBANG JAWA TENGAH. ….’93.<br />24. INTENSIFIKASI PERBAIKAN GIZI KELUARGA MELALUI KEAKTIFAN DALAM ORGANISASI PKK (Studi Di Dusun Trengguno, Desa Sidorejo, Kec. Ponjong, Kab Gunungkidul Prop DIY). ….’95.<br />25. TINGKAT PEMANFAATAN FASILITAS KUD OLEH ANGGOTA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI, DI DESA SENDANG REJO, KEC. MINGGIR, KAB. SLEMAN DIY. ….’96.<br />26. HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI DAN INTENSITAS KOMUNIKASI ANTAR PENGRAJIN DAN PENYULUH DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI (Studi Tentang Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dan Intensitas Komunikasi Antar Pengrajin Dan Penyuluh Dengan Adopsi Inovasi Teknologi Di Sentra Industri Genteng Di Desa Kuwayuhan, Kec. Pejagoan) ….’98.<br />27. HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA TANJUNGSARI KEC ROWOSARI KAB. KENDAL. ….’<br />28. PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN DESA DI DESA SINDONOHARJO, KEC. NGAGLIK, KAB. SLEMAN YOGYAKARTA (Suatu Penelitian Tentang Hubugan Antara Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan, Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa) ….’97<br />29. JAM KERJA DAN PENDAPATAN PETANI PADA USAHA PERTANIAN DAN NON PERTANIAN DI DESA HARGOBINANGUN KEC. PAKEM KAB. SLEMAN. ….’93.<br />30. KETERKAITAN MOTIVASI DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PERILAKU EKONOMI PEGADANG KAKI LIMA DI JLN. SENOPATI KEL. NGUPASAN, KEC. GONDOMANAN, KODYA YOGYAKARTA (Pedagang K-5 Yang Tergangung Dalam Koperasi Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta). ….’93.<br />31. PERANAN KELUARGA DALAM PROSES PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi Penelitian Di Desa Caturtunggal, Kedc. Depok, Kab Sleman Prop DIY). ….’98.<br />32. SIKAP DAN TANGGAPAN MASYARAKAT DESA TERHADAP POSYANDU DI DESA RINGINHARJO KEC. BANTUL KAB BANTUL PROP DIY. ….’94.<br />33. PERANAN UNIT DAERAH KERJA PEMBANGUNAN (UDKP) DALAM MENINGKATKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI KEC. SIGALUH, KAB BANJARNEGARA PROP. JAWA TENGAH….’98.<br />34. HUBUNGAN KOMUNIKASI DAN MOTIVASI DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT PETANI PADA KUD MARGOMULYO KEC. KRANGGAN, KAB TEMANGGUNG. ….’<br />35. PERANAN P2W – KSS DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Studi Keberhasilan P2W – KSS Desa Beji Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul Prop DIY). ….’98.<br />36. POLA USAHA INTENSIFIKASI TANAMAN CABE MERAH DENGAN SISTEM MPHP TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI (Suatu Penelitian Di Damarkasiyan Kec. Kertek, Kab Wonosobo, Prop Jawa Tengah). ….’97.<br />37. PENGARUH KEGIATAN PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG PROGRAM PENGENTASAN KELUARGA PRA SEJAHTERA DI DESA LUMBUNGREJO KEC. TEMPEL KAB. SLEMAN PROP DIY. ….’98.<br />38. HASRAT UNTUK MAJU MASYARAKAT SASARAN PROGRAM IDT (Suatu Penelitian Di Desa Lebaksiu Kidul Kec. Lebaksiu Kab. Tegal Prop Jawa Tengah). ….’97<br />39. PERSEPSI MAHASISWA TENTANG WANITA YANG BERPROFESI (Suatu Penelitian Tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua, Penguasaan Tentang Teknologi Komunikasi Dan Keterkaitan Beragama, Terhadap Prestasi Mahasiswa STPMD “” Tentang Wanita Yang Berprofesi) Di STPMD “” Yogyakarta) ….’94.<br />40. PENGARUH DUKUNGAN DAN PENGERTIAN SUAMI TERHADAP PERAN GANDA WANITA DALAM PEMBANGUNAN DI DESA CATURTUNGGAL, KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROP DIY. ….’94.<br />41. PENGARUH PEMBINAAN KESEHATAN, EKONOMI DAN PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM BINA KELUARGA BALITA (di desa minomartani, kec. Ngaglik, kab sleman prop DIY). ….’93.<br />42. HUBUGAN STATUS SOSIAL EKONOMI RENDAH DAN INFORMASI NON FORMAL DARI WARGA TRANSMIGRAN DENGAN MOTIVASI BER TRANSMIGRASI (suatu penelitian di desa selomartani, kab. Sleman prop DIY) ….’94<br />43. PENGGALIAN SUMBER KEKAYAAN DESA DALAM KAITANNYA DENGAN KEMAMPUAN APARAT PEMERINTAH DESA GUNA MENINGKATKAN ANGGARAN DAN PENGELURAN KEUANGAN (APPKD) (suatu penelitian di desa jenar wetan, kec. Purwodadi, kab. Purworejo, prop jawa tengah). ….’98.<br />44. PERSEPSI DAN PERILAKU IBU TERHADAP PELAKSANAAN IMUNIKASI BAGI BALITA DI DESA METUK KEC. MOJOSONGO KAB BOYOLALI JAWA TENGAH. ‘97<br />45. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI SEKTOR PERTANIAN (Suatu Studi Tentang Pengaruh Tingkat Pendidikan, Kemampuan Manajerial Usahatani Dan Luas Penguasaan Tanah Garapan Terhadap Tingkat Pendapatan Petani Di Sektor Pertanian Di Desa Sine Kec. Sragen Kab. Sregen Jawa Tengah) ‘ 95<br />46. PENGARUH OBYEK PARIWISATA WADUK KEDUNG OMBO TERHADAP KETERLIBATAN PENDUDUK SEKITARNYA DALAM BERUSAHA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN (Suatu Penelitian Tentang Keterlibatan Penduduk Sekitar Obyek Pariwisata Waduk Kedung Ombo Dalam Berusaha Untuk Meningkatkan Pendapatan Di Desa Rambat Kec. Geyer Kab. Grobogan, Jawa Tengah).’96.<br />47. HUBUNGAN PEMANFAATAN DANA IDT TERHADAP TINGKAT PENDAPATN MASYARAKAT (Suatu Penelitian Di Desa Melikan, Kec. Rongkop, Kab. Gunungkidul Prop DIY). ‘98<br />48. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENINGKATKAN SWADAYA MASYARAKAT UNTUK MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA DONOMULYO KEC. NANGGULAN KAB. KULONPROGO DIY. ’97.<br />49. TINGKAT PENDAPATAN DAN JUMLAH ANAK DALAM KELUARGA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP MOTIVASI IBU UNTUK BEKERJA DI LUAR RUMAH, DI KELURAHAN PURWOKERTO LOR KEC. PURWOKERTO KAB. BANYUMAS JAWA TENGAH. ‘91<br />50. PERANAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN DESA DI DESA BAWANG KEC. BAWANG KAB. BANJARNEGARA JAWA TENGAH. ’98.<br />51. PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA MELALUI USAHA INDUSTRI KERAJINAN CAPING DI DESA WATUSIGAR KEC. NGAWEN KAB GUNUNGKIDUL PROP DIY. ’95.<br />52. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PERANAN KADER BINA KELUARGA DAN BALITA DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS IBU DAN ANAK DI DESA KARANGAMPEL KEC. KARANGAMPEL KAB. INDRAMAYU JAWA BARAT. ’96.<br />53. ANALISA GENDER DALAM KEDUDUKAN DAN PERANAN WANITA UNTUK MEWUJUDKAN KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (Suatu Penelitian Di Desa Welahan Wetan, Kec. Adipala, Kab Cilacap Jawa Tengah)‘97<br />54. HUBUNGAN MOTIVIASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT (POKMAS) IDT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN DI DESA KEBONTURI KEC. CIWARINGIN KAB. CIREBON JAWA BARAT. ’98<br />55. PARANAN PONDOK PESANTREN DALAM RANGKA TURUT SERTA MEMPERKENALKAN NILAI-NILAI BARU DALAM BIDANG PEMBANGUNAN (Studi Penelitian Di Pondok Pesentren Aji Mahasiswa Alfisol Muhsin Krapyak Wetan, Desa Penggungharjo, Kec. Sewon, Kab. Bantul DIY.’96<br />56. INPRES BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA BALECATUR KEC. GAMPING KAB. SLEMAN PROP DIY. ‘93<br />57. UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN TRANSMIGRAN MELALUI KEGIATAN KOPERASI UNIT DESA (Suatu Penelitian Di Desa Yuwanain, Kec. Arso Kab. Jayapura Prop Irian Jaya) ’98.<br />58. PERANAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL, TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM KEGIATAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) (Studi Penelitian Di Desa Sumbersari, Kec. Moyudan, Kab. Sleman, Prop DIY). ’97.<br />59. PELAKSANAAN KB MANDIRI MENURUT TINGKT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DI DESA SUMBERHARJO KEC. PRAMBANAN, KAB SLEMAN PROP DIY ‘93<br />60. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK SLTP DI DESA GIRIREJO, KEC. IMOGIRI, KAB. BANTUL PROP DIY. ’98.<br />61. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG MEKANISME PENGGUNAAN DANA BANTUAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Penelitian Di Desa Donokerto, Kec. Turi Kab. Sleman Prop DIY). ‘97<br />62. HUBUNGAN IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH DENGAN PRESTASI PENDIDIKAN FORMAL ANAK SD (di kelurahan kertek kab. Wonosobo prop jawa tengah). ‘ 98.<br />63. HUBUNGAN KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA DENGAN EFEKVITITAS ORGANISASI KOPERASI PEGAWAI NEGERI (Suatu Penelitian Pada KPN “SEKAR” Kab. Cilacap). ‘ 97<br />64. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN MOTIVASI ANGGOTA LEMBAGA MUSYAWARAH DESA (LMD) TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA LMD DALAM PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA (suatu penelitian di kec. Moyudan, kab. Sleman prop DIY). ’98.<br />65. PENGARUH ALOKASI WAKTU KERJA IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP KESEJAHTERAAN BALITA (studi penelitian tentang pengaruh alokasi waktu kerja ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah terhadap kesejahteraan balita d desa patemon kec. Gombong kab. Kebumen jawa tengah). ’97.<br />66. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN INTENSITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL TERHADAP PEMAHAMAN FUNGSI MANAJEMEN KELOMPOK SASARAN (POKSAR) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM IDT (studi penelitian di desa keseneng kec. Sumowono, kab. Semarang). ’97.<br />67. PENGARUH KEMAMPUAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) DAN MOTIVASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM ASISTENSI KELUARGA MISKIN (AKM) KELURAHAN KANDRI KEC. GUNUNGPATI, KODYA SEMARANG.’ 97.<br />68. PERSEPSI DAN PERILAKU P.U.S. DALAM MEMILIH KONTRASEPSI MODERN (Sebuah Studi Lapangan Di Kelurahan Kebumen Kec. Kebumen Kab. Kebumen Jawa Tengah). ‘ 98.<br />69. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM INDUSTRI KERAJINAN BAMBU TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Sendangagung, Kec. Minggir, Kab. Sleman, DIY). ‘ 97<br />70. PENGARUH BESARNYA PENERIMAAN WESEL DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWA DI ASRAMA PUTRI GENDENG TIMUR KELURAHAN BACIRO KEC. GONDOKUSUMAN, KODYA YOGYAKARTA. ‘ 98.<br />71. PERBEDAAN PEROLEHAN HASIL PERTANIAN BERDASARKAN STATUS PENGUASAAN TANAH DI DESA BAWAK KEC. CAWAS KAB. KLATEN (Studi Komperatif Tentang Perbedaan Perolehan Hasil Pertanian Antara Petani Tanah Milik Dengan Petani Bukan Tanah Milik Dengan Pola Bagi Hasil). ‘ 94<br />72. KUD SEBAGAI SARANA PRODUKTIF PERTANIAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI DESA GUNUNGPRING KEC. MUNTILAN KAB MAGELANG JAWA TENGAH. ‘ 90.<br />73. ANALISIS MENGENAI SUMBANGAN WILAYAH KEC. DALAM MENUNJANG PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI WILAYAH / DAERAH TINGKAT II DAN PERANANNYA DALAM MENUNJANG PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DI KECAMATAN (Suatu Penelitian Di Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta Tahun Anggaran 1995/1996 Dan 1966/1997)….’99<br />74. PARTISIPASI ANGGOTA KOPERASI UNIT DESA (KUD) DI KEC. BOROBUDUR, KAB. MAGELANG, JAWA TENGAH. ‘ 96.<br />75. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KOPERASI UNIT DESA (KUD) (Suatu Penelitian Mengenai Pengaruh Faktor Persepsi, Motivasi Dan Partisipasi Anggota Terhadap Efektivitas Organisasi Koperasi Unit Desa (KUD) “GODEAN” Kec. Godean, Kab Sleman Prop DIY). ‘ 95<br />76. USAHA UNTUK MENINGKATKAN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA KEMIRI KEC. KALORAN, KAB. TEMANGGUNG JAWA TENGAH. ‘ 97.<br />77. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN LOMBA DESA (Suatu Penelitian Di Desa Parigi Kec. Parigi, Kab. Ciamis, Jawa Barat). ‘97<br />78. DAMPAK TRANSAKSI DI SEKTOR INFORMAL KHUSUSNYA PADA PEDAGANG KAKI LIMA DI LIHAT DARI PROSES INTERAKSI ANTARA PENJAJA DAN PEMBELI (Studi Interaksi Di Malioboro Kelurahan, Sosromenduran, Kec. Gedong Tengen, Kodya Yogyakarta). ‘ 98<br />79. PERANAN PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PARIWISATA DI KODYA BITUNG (Suatu Penelitian Deskriptif Pembangunan Pariwisata). ‘ 95.<br />80. HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA KARANGSUNO KEC. CEPIRING KAB KENDAL TAHUN 1992/93 – 1995/96) ……... ’97.<br />81. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGERUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA BLAMBANGAN KEC. BAWANG KAB. BANJARNEGARA JAWA TENGAH. ‘ 97.<br />82. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DENGAN PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT DI DESA PARAKAN WETAN, KEC. PARAKAN, KAB. TEMANGGUNG. ‘ 97.<br />83. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT IKUT BER TRANSMIGRASI DI DESA KANOMAN, KEC. PANJATAN KULONPROGO PROP. DIY. ‘ 94.<br />84. TINGKAT EKONOMI RUMAH TANGGA DAN PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA BANGUNTAPAN, KEC. BANGUNTAPAN, KAB BANTUL PROP DIY. ‘ 94.<br />85. PELAKSANAAN PROGRAM IDT DAN KESWADAYAAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ANGGOTA POKMAS PENERIMA DANA IDT (Suatu Penelitian Di Desa Jatis Lor, Kec. Nawangan, Kab Pacitan. Prop. Jawa Timur). ‘ 97.<br />86. PENGARUH KOPERASI UNIT DESA TERHADAP UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI MELALUI USAHA TANI. ‘ 94.<br />87. TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA SEBAGAI FAKTOR PENDUKUNG KEBEBASAN ANAK DALAM PROSES PEMILIHAN PASANGAN HIDUP. (suatu penelitian pada masyarakat desa papahan, kec. Tasikmadu, kab karanganyar, jawa tengah). ‘ 98.<br />88. PENGARUH KEMAMPUAN DAN PEMBINAAN PENGGERAK PKK TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI DALAM PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN ANGGOTA (di desa baturetno kec. Baturetno kab. Wonogiri jawa tengah). ‘ 96.<br />89. PENGARUH AKTIVITAS INDUSTRI KERAJINAN BAMBU TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA. ‘ 95.<br />90. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN LOMBA DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA ARGOMULYO KEC. SEDAYU KAB BANTUL PROP DIY. ‘ 93.<br />91. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB POKMAS DALAM PELAKSANAAN IDT DI KEC. KEDUNG KAB. JEPARA. ‘ 98.<br />92. PROGRAM KERJA PAKET A. SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT ADOPSI INOVASI MASYARAKAT DESA DALAM PROGRAM EPMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (PKMD) DI KEC. SOIBADA. KAB. MANATUTO, PROP TIMOR-TIMUR. 93.<br />93. KORELASI ANTARA KEBERHASILAN PROGRAM BEBAS TIGA BUTA (B3B) DALAM PENCAPAIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DI DESA BIRIT KEC. WEDI KAB. KLATEN JAWA TENGAH..’ 98.<br />94. PROFIL PELAKSANAAN PROGRAM IDT (suatu penelitian di desa balecatur, kec. Gamping kab. Sleman prop DIY). ‘ 97.<br />95. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM LOMBA DESA DI DESA TAMBAKREJO, KEC. TEMPEL KAB SLEMAN PROP DIY. ‘ 94.<br />96. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN P ARTISIPASI MASYARAKAT DENGAN PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT DI DESA PARAKAN WETAN, KEC. PARAKAN KAB. TEMANGGUNG, ‘ 97.<br />97. PENGARUH PERAN GANDA WANITA TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI PENDIDIKAN FORMAL ANAK (di desa semin, kec. Semin, kab. Gunungkidul, prop. DIY). ‘ 97.<br />98. PENGARUH FAKTOR MODAL TERHADAP KETERLIBATAN MASYARAKAT SETEMPAT DALAM OBYEK WISATA PANANJUNG PENGANDARAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN (Suatu Penelitian Di Desa Pengandaran Kec. Pengandaran, Kab Ciamis Jawa Barat. ’ 96<br />99. PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN DESA DU DESA SANDONOHARJO, KEC. NGAGLIK, KAB. SLEMAN DIY.(Suatu Penelitian Tentang Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa). ‘ 97.<br />100. USAHA KEPALA DESA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN JALAN DESA DI DESA MARIPARI KEC. SUKAWENING KAB. GARUT JAWA BARAT. ‘ 98.<br />101. HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA TANJUNGSARI, KEC. ROWOSARI KAB. KENDAL. ‘<br />102. OBYEK WISATA MONUMEN JOGJA KEMBALI (MONJALI) DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETERLIBATAN PENDUDUK SEKITAR DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN (Suatu Penelitian Tentang Usaha Peningkatan Pendapatan Penduduk Sekitar Obyek Wisata MONJALI Di Kec. Ngaglik Kab. Sleman Prop DIY). ‘ 96.<br />103. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM BINA KELUARGA BALITA DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DESA GIRIPENI KEC. WATES KAB. KULONPROGO DIY. ‘ 93.<br />104. KOORDINASI ANTARA PENGURUS LKMD DALM MENGELOLA DANA BANTUAN DESA DAN PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Balaicatur, Kec. Gamping, Kab Sleman Prop DIY). ‘ 97.<br />105. TINGKAT PENDIDIKAN DAN PRESTASI IBU TENTANG PELAKSANAAN IMUNISASI BAGI BALITA DI DESA GENTAN, KEC. KRANGGAN, KAB TEMANGGUNG. ‘ 96.<br />106. TINGKAT PARTISIPASI IBU-IBU DALAM PKK DENGAN KEBERHASILAN PADA PERLOMBAAN KELURAHAN (suatu studi kasus di kelurahan gayamsari kec. Gayamsari kodya semarang jawa tengah).‘ 97.<br />107. PERANAN BIMBINGAN DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN TERHADAP TUNA GRAHITA DI PUSAT RSBC (REHABILITASI SOSIAL BINA GRAHITA “KARTINI” TEMANGGUNG. (Suatu Penelitian Di Kelurahan Kertosari Kec. Temanggung, Kab. Temanggung Jawa Tengah). ’98.<br />108. PENGARUH AKTIVITAS PENGURUS LKMD DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sukomulyo, Kec. Rowokele, Kab Kebumen Jawa Tengah). ‘ 98.<br />109. PETERNAKAN AYAM PETELUR SEBAGAI USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (suatu penelitian di desa sardonoharjo, kec. Ngaglik, kab. Sleman prop DIY). ‘ 97.<br />110. HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN FUNGSI KELUARGA YANG DILAKUKAN OLEH PANTI ASUHAN DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN ANAK YATIM PIATU (Suatu Penelitian Di Desa Sumbermulyo Kec. Bambang Lipuro, Kab. Bantul Prop DIY). ‘ 98..<br />111. TERTIB ADMINISTRASI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN LOMBA DESA (Suatu Studi Penelitian Di Desa Bendoharjo Kec. Gabus Kab. Grobogan, Jawa Tengah). ‘ 99.<br />112. PENGARUH LEMBAGA PENGEMBANGAN SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT DESA (Suatu Studi Kelompok Pada Anggota Kelompok Binaan Lembaga “BINA SWADAYA” Di Desa Baleharjo, Kec. Wonosari Kab Gunungkidul Prop DIY).<br />113. HUBUNGAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA AIR TERJUN SEDUDO DENGAN MOTIVASI MASYARAKAT SEKITAR DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN (Suatu Studi Penelitian Di Kelurahan Ngliman, Kec. Sawahan, Kab. Nganjuk, Prop. Jawa Timur). ‘ 95.<br />114. PENGARUH KEMAMPUAN PENGURUS LKMD DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK KELURAHAN (Studi Penelitian Di Kelurahan Mujamuju, Kec. Umbulharjo Kodya Yogyakarta). ‘ 96<br />115. PERANAN TRANSMIGRASI DALAM PENINGKATAN TARAF HIDUP WARGA TRANSMIGRAN (Di Lokasi Transmigrasi Batumarta, Kec. Paninjauan, Kab Ogan Komering Ulu (OKU) Prop SUM-SEL). ‘ 98.<br />116. INTENSITAS PETUGAS DALAM MEMOTIVASI DAN MEMBINA ANGGOTA TAKESRA DAN KUKESRA DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Lokasi Di Kec. Moyudan Kab. Sleman Porp DIY. ’99)<br />117. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGERUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT UNTUK BERTRANSMIGRASI DI DESA MLAWAT KEC. PAMOTAN KAB. REMBANG JAWA TENGAH. ‘ 93.<br />118. PERBEDAAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK DI DESA MAGUWOHARJO KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROP DIY.. ‘ 98.<br />119. PERANAN POSYANDU DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT (Suatu Penelitian Di Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan Kab. Sleman Prop DIY). ‘ 93<br />120. PERSEPSI TENTANG OBYEK WISATA CANDI PRAMBANAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS MASYARAKAT SEKITAR DLAAM PENINGKATAN PENDAPATAN DI DESA BOKOHARJO, KEC. PRAMBANAN, KAB. SLEMAN PROP DIY. ‘ 98.<br />121. KEBIJAKSANAAN KEPALA DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT (Studi Penelitian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Kepala Desa Sebagai Kepala Pemerintahan Desa Dengan Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Pelaksanaan Pembangunan Fisik Di Desa Condong Catur Kec. Depok Kab. Sleman Prop. DIY).’96.<br />122. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG INPRES BANTUAN DESA (Research Lapangan Di Desa Panggungharjo, Kec. Sewon, Kab. Bantul Prop DIY)> ‘ 98.<br />123. PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN OBYEK WISATA CANDI PRAMBANAN (suatu penelitian di desa bokoharjo kec. Prambanan, kab sleman prop DIY). ‘ 98.<br />124. PENGARUH IBU BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP UPAYA IBU DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN SOSIAL ANAK DI DESA MADUREJO KEC. PRAMBANAN KAB. SLEMAN PROP. DIY ‘ 93.<br />125. HUBUNGAN ANTARA PETUGAS PANTI DAN PELAKSANAAN KEGIATAN PANTI ASUHAN SEKOLAH LUAR BIASA DENGAN PEMBENTUKKAN KEMANDIRIAN ANAK ASUH TUNA RUNGU DAN TUNA WICARA DI PATI ASUHAN SEKOLAH LUAR BIASA WIYATA DHARMA I DI DUSUN NGEMONG, MARGOREJO, KEC. TEMPEL KAB. SLEMAN DIY. ‘ 95.<br />126. PERANAN OBYEK WISATA GUCI DALAM PENYERPAAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEKITARNYA (suatu penelitian di obyek wisata guci kec. Bumijawa, kab tegal jawa tengah) . ‘ 95.<br />127. PENGARUH PENGELOLAAN BANTUAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI KELURAHAN CABEAN KEC. SEMARANG BARAT KODYA SEMARANG JAWA TENGAH. ‘ 97.<br />128. PERBEDAAN STATUS PENGUASAAN TANAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI DI DESA SINDUADI KEC. MLATI KAB. SLEMAN PROP DIY. ‘ 95.<br />129. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI IBU RUMAH TANGGA DALAM KEGIATAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) DENGAN TINGKAT KESEHATAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA DI DESA TAWANGSARI KEC. PENGASIH KAB. KULONPROGO DIY. ’96<br />130. PERSEPSI PEMUDA TERHADAP JENIS PEKERJAAN DI PEDESAAN DI DESA CANDIBINANGUN, KEC. PAKEM KAB. SLEMAN PROP. DIY. 98.<br />131. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN MOTIVASI ANGGOTA LEMBAGA MUSYAWARAH DESA (LMD) TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA LMD DALAM PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA (Suatu Penelitian Di Kec. Moyudan Kab Sleman DIY).’ 98<br />132. PERANAN USAHA KELOMPOK TANI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ANGGOTANYA (suatu penelitian di desa watusigar, kec. Ngawen kab. Gunungkidul prop DIY).’ 96.<br />133. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI TEHHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA (suatu penelitian di desa triharjo, kec. Wates, kab. Kulonprogo prop. DIY).’ 98.<br />134. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENGEFEKTIFKAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA ( Suatu Penelitian Di Kec. Ngawen, Kab. Gunungkidul, Prop. DIY). ‘ 97.<br />135. BEBERAPA FAKTOR PENENTU PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA PULOREJO KEC. PURWODADI, KAB. GROBOGAN JAWA TENGAH. ‘ 93.<br />136. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN INTERAKSI SOSIAL DENGAN PERSEPSI TENTANG KERJA DI KALANGAN PEMUDA (Suatu Penelitian Di Kelurahan Bener, Kec. Tegalrejo Kodya Yogyakarta). ‘ 97.<br />137. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ORANG TUA TENTANG NILAI ANAK DAN PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN KESEMPATAN ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN FORMAL (Sebuah Penelitian Di Desa Karangduwet Kec. Paliyan Kab. Gunungkidul Prop DIY). ‘ 98.<br />138. TANGGAPAN MASYARAKAT DESA TENTANG TRANSMIGRASI (Suatu Studi Pengaruh Status Sosial Ekonomi Terhadap Tanggapan Masyarakat Desa Mengenai Transmigrasi Di Desa Imogiri, Kec. Imogiri Kab Bantul Prop.DIY).’93<br />139. PERBEDAAN JENIS USAHA DAN DAMPAKNYA TERHADAP STATUS SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA (Di Desa Teluk Wetan Kec. Welahan, Kab. Jepara, Jawa Tengah). ‘ 92.<br />140. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KOPERASI PEGAWAI NEGERI (Suatu Penelitian Pada KPN “JUJUR” Di Kec. Cilacap Tengah, Kab Cilacap Jawa Tengah.). ‘ 96.<br />141. TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN FUNGSI EKONOMI ANAK DALAM RUMAH TANGGA, HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT DROP OUT SEKOLAH DASAR (Studi Kasus Di Dusun Pelemsari, Desa, Bokoharjo, Kec. Prambanan Kab Slaman Prop. DIY). ‘ 98<br />142. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SLTA (Suatu Penelitian Di Desa Krakal, Kec. Alian, Kab. Kebumen, Prop Jawa Tengah). ‘ 95<br />143. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KUD (Studi Penelitian Di KUD “SYUKUR” Desa Tuban, Kec. Gondangrejo Kab. Karanganyar Prop Ja-Teng). ‘ 98.<br />144. PERANAN PROGRAM BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA MINOMARTANI KEC. NGAGLIK KAB. SLEMAN, PROP DIY. ‘ 92.<br />145. PERANAN KELOMPOK SIMPAN PINJAM DALAM UPAYA MENINGKATKAN USAHA EKONOMI PRODUKTIF PARA ANGGOTA DI DESA KEDUNGDANG, KEC. TEMON KAB. KULONPROGO DIY. ‘ 93.<br />146. KEGIATAN POSYANDU DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN ANAK BALITA (suatu penelitian di desa giri peni kec. Wates kab. Kulonprogo prop DIY).’ 98.<br />147. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP MOTIVASI MASYARAKAT DALAM USAHA INDUSTRI GULA KELAPA (Suatu Penelitian Di Desa Tritih Lor, Kec. Jeruk Legi, Kab. Cilacap, Jawa Tengah). ‘ 97<br />148. PENGARUH POLA PENDIDIKAN DI PANTI ASUHAN TERHADAP KUALITAS KEPRIBADIAN ANAK (Studi Penelitian Di Panti Asuhan Putra Islam Yogyakarta, Kelurahan Giwangan, Kab. Umbulharjo, Yogyakarta). ‘ 97<br />149. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN INPRES BANTUAN DESA UNTUK PEMERATAAN PEMBANGUNAN DI DESA SEKARSULI KEC. KLATEN UTARA KAB. KLATEN. ‘ 97.<br />150. PROFIL PRAMUWISATA NON LISENSI (Studi Kasus Tentang Latar Belakang, Motivasi Dan Feremena Perilaku Seksual Pramuwisata Non Lisensi Di Kampung Sosrowijayan Wetan Yogyakarta). ‘ 97.<br />151. HUBUNGAN KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA DENGAN EFEKTIVITAS ORGANISASI KOPERASI PEGAWAI NEGERI (Studi Penelitian Pada KPN ‘SEKAR” Kabupaten Cilacap). ‘ 97.<br />152. PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM PENINGKATAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI DESA BANGUNJIWO KEC. KASIHAN KAB. BANTUL PROP DIY. ‘ 96.<br />153. PERANAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL, TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM KEGIATAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) (Suatu Penelitian Di Desa Sumbersari, Kec. Moyudan, Kab Sleman Prop. DIY). 97.<br />154. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA TERHADAP PEMBERIAN KESEMPATAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA CATURTUNGGAL KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROP. DIY. . ‘ 94.<br />155. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DAN PARTISIPASI IBU BALITA TERHADAP KEBERHASILAN PROGRAM BINA KELUARGA BALITA (BKB) DI DESA WATUSIGAR, KEC. NGAWEN KAB. GUNUNGKIDUL, PROP DIY.…‘97<br />156. KEGIATAN RUMAH ADAT (KORKE) DAN PARIWISATA DI DESA BANTALA KEC. TANJUNG BUNGA KAB FLORES TIMUR NTT. .…’98.<br />157. PENGARUH KETERLIBATAN BURUH WANITA INDUSTRI BATIK “WIJIREJO” TERHADAP TINGKAT KEHIDUPAN KELUARGA DI KEC. PANDAK, KAB. BANTUL PROP DIY. .…’93.<br />158. TERTIB ADMINSTRASI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN LOMBA DESA (Suatu Studi Penelitian Di Desa Bendoharjo, Kec. Bagus Kab. Grobogan. Prop Jawa Tengah). .…’99.<br />159. PELAKSANAAN PROGRAM IDT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PARA ANGGOTA PENERIMA DANA IDT DI DESA PETIR KEC. PURWONEGORO KAB. BANJARNEGARA PROP JAWA TENGAH. .…’98.<br />160. EFEKTIVITAS PEMANFAATAN TANAH PEKARANGAN TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA PUTAT KEC. PATUK KAB. GUNUNGKIDUL DIY. .…’98.<br />161. PELAKSANAAN LANDREFORM DAN MASALAH-MASALAHNYA (Suatu Studi Tentang Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian Dan Masalahnya Di Keb Lombak Timur Prop NTB). .…’96<br />162. PERSEPSI MASYARAKAT TERNHADAP PEMBINAAN AGAMA DALAM PENINGKATAN HUBUNGAN BERMASYARAKAT DI DESA PONJONG, KEC. PONJONG KAB. GUNUNGKIDUL PROP DIY. .…’92.<br />163. PERANAN PENDAMPING POKMAS IDT DALAM MEMOTIVASI ANGGOTA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA AMPELSARI KEC. BANJARNEGARA KAB BANJARNEGARA PROP JAWA TENGAH. .…’<br />164. PENGARUH IBU BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP UPAYA IBU DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN SOSIAL ANAK DI DESA MADUREJO KEC. PRAMBANAN KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’93.<br />165. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP FUNGSI LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (LMD) DALAM PEMERINTAHAN DESA (Penelitian Tentang Kemampuan Administrasi Dan Rasa Kebersamaan Masyarakat Terhadap Fungsi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Di Desa Balecatur, Kec. Gamping, Kab. Sleman Prop DIY). .…’93<br />166. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Panggungharjo, Kec. Sewon Kab. Bantul Prop DIY). .…’94<br />167. TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DAN PELAKSANAAN LOMBA DESA (Studi Kasusu Di Desa Tertinggal) DI DESA WATUSIGAR KEC. NGAWEN KAB. GUNUNGKIDUL PROP DIY. .…’95.<br />168. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN INTENSITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL TERHADAP PEMANFAATAN FUNGSI MANAJEMEN KELOMPOK SASARAN (POKSAR) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM IDT (Studi Penelitian Di Desa Keseneng Kec. Somowono, Kab. Semarang Prop Jawa Tengah). .…’97.<br />169. PERANAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN DESA DI DESA BAWANG KEC. BAWANG KAB. BANJARNEGARA JAWA TENGAH. .…’98.<br />170. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN MOTIVASI ANGGOTA LEMBAGA MUSYAWARAH DESA (LMD) TERHADAP PERTISIPASI ANGGOTA LMD DALAM PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA (Suatu Penelitian Di Kec. Moyudan, Kab. Sleman DIY) .…’98<br />171. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENINGKATKAN SWADAYA MASYARAKAT UNTUK MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA DONOMULYO KEC. NANGGULAN KAB. KULONPROGO DIY. .…’97.<br />172. INTENSITAS PENERAPAN PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Di Desa Sentolo, Kec. Sentolo, Kab Kulonprogo DIY) .…’98<br />173. PERANAN DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL PONDOK PESANTREN HIDAYATULLAH TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT, DI DESA DONOHARJO, KEC. NGAGLIK KAB SLEMAN PROP DIY. .…’99.<br />174. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG MEKANISME PENGGUNAAN BANTUAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Penelitian Di Desa Donokerto, Kec. Turi Kab Sleman Prop DIY). .…’97<br />175. PENGARUH PERSEPSI SLOGAN SLEMAN SEMBADA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENINGKATAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN DI DESA BAGUWOHARJO, KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’98.<br />176. HUBUNGAN EFEKTIVITAS PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM IMUNISASI BAYI DAN ANAK DI DESA MARGOAGUNG KEC. SEYEGAN, SLEMAN DIY. .…’97.<br />177. PENGARUH AKTIVITAS PENGURUS LKMD DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sukomulyo Kec. Rowokejo, Kab. Kebumen Prop Jawa Tengah). .…’98<br />178. PENGARUH WAKTU BELAJAR DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Di Kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta). .…’97<br />179. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA MELALUI STIMULANS YANG DIBERIKAN DI DESA WONOKERTO KEC. WONOGIRI KAB. WONOGIRI JAWA TENGAH. .…’97.<br />180. PERANAN PERAN GANDA WANITA DAN POLA ASUH DALAM KEBERHASILAN PENDIDIKAN ANAK DI DESA BANGUNJIWO, KASIHAN KAB BANTUL – DIY. .…’96.<br />181. PENGARUH PEMANFAATAN BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN PENGAWASAN TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA PENARUBAN KEC. WELERI KAB. KENDAL.. .…’96.<br />182. EFEKTIVITAS PEMANFAATAN TANAH PEKARANGAN DAN NILAI EKONOMISNYA DALAM KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Grogol Kec. Paliyan, Kab. Gunungkidul Prop DIY). .…’98<br />183. PARTISIPASI MASYARAKAT NELAYAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN PERTANIAN RAKYAT TERPADU (P2RT) TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN (Suatu Studi Penelitian Tentang Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Proyek Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu Di Kelurahan Karang Asem, Kab. Batang, - Jawa Tengah). .…’98<br />184. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN SIKAP DAN TANGGAPAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PROGRAM POSYANDU DI DESA SRIMARTANI KEC. PIYUNGAN KAB. BANTUL PROP DIY. .…’98.<br />185. PENGARUH BESARNYA PENERIMAAN WESEL DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF REMAJA PUTRI DI ASRAMA PUTRI KELURAHAN BACIRO KEC. GONDOKUSUMAN KODYA YOGYAKARTA. .…’93.<br />186. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK SLTP DI DESA GIRIREJO, KEC. IMOGIRI KAB BANTUL PROP DIY. .…’98.<br />187. INTENSITAS PENERAPAN PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Di Desa Sentolo Kec. Sentolo Kab. Kulonprogo DIY). .…’98<br />188. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM BINA KELUARGA DAN BALITA DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA KALIWUNGU, KEC. KALIRONG, KAB. KEBUMEN JAWA TENGAH. .…’95<br />189. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SLTA (Suatu Penelitian Di Desa Krakal, Kec. Alian, Kab. Kebumen Prop. Jawa Tengah) .…’95<br />190. PENGARUH PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN POSYANDU TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN BALITA DI DESA PANDES KEC. WEDI KAB KLATEN JAWA TENGAH. .…’98.<br />191. HUBUNGAN STATUS EKONOMI ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK SMTP DI DESA PURWODADI KEC. PURWODADI KAB. PURWOREJO PROP JAWA TENGAH. .…’93.<br />192. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM IDT TERHADAP PENINGKATAN SOSIAL EKONOMI PENERIMA DANA IDT DI DESA SIKAYU, KEC. BUAYAN, KAB. KEBUMEN JAWA TENGAH. .…’98<br />193. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Triharjo, Kec. Wates, Kab. Kulonprogo Prop DIY). .…’98<br />194. PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA PURO KEC. KARANG MALANG KAB. SRAGEN JAWA TENGAH (Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Interaksi Sosial, Persepsi Terhadap Pembangunan Desa Dengan Partisipasi Pemuda Dalam Pembangunan Desa) .…’93<br />195. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN TATUS EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (Suatu Penelitian Di Desa Karangkemiri, Kec. Kemangkon Kab. Purbalingga, Prop Jawa Tengah). .…’98<br />196. PENGARUH PEMANFAATAN BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN PENGAWASAN TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA PENARUBAN, KEC. WELERI KAB. KENDAL. .…’96.<br />197. PENGARUH PERILAKU MOBILITAS SIKULER TERHADAP TINGKAT KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DI DAERAH ASAL. .…’94<br />198. PERANAN LKMD DAN KPD DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (PKMD) DI DESA SUMBERAGUNG KEC. MOYUDAN KAB. SLEMAN PROP DIY.<br />199. PENGARUH AKTIVITAS KERJA PRODUKTIF IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK DI DESA JATIMULYO KEC. ALIAN KAB. KEBUMEN JAWA TENGAH. .…’95.<br />200. TINGKAT EKONOMI RUMAH TANGGA DAN PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA BANGUNTAPAN KEC. BANGUNTAPAN KAB BANTUL PROP DIY. .…’94.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-40056795241413671482008-08-08T13:13:00.001+07:002015-03-17T02:03:37.609+07:00SKRIPSI SOSIAL - PEMERINTAHAN II [KODE Y]201. SIKAP DAN TANTANGAN MASYARAKAT DESA TERHADAP POS PELAYANAN TERPADU DI DESA RINGINHARJO KECAMATAN BANTUL PROPINSI DIY… ’94<br />
202. KETERKAITAN LUAS LAHAN PERTANIAN DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA (Suatu Penelitian di Desa Kebonromo, Kecamtan Ngarampai, Kabapaten Sragen, Jawa Tengah)…’97<br />
203. PENARI TAYUB DI DESA SRIMULYO (Studi kasus tentang Latar Belakang, Motivasi dan phenomena kemungkinan terjadinya penyimpangan seksualitas di desa Srimulyo, Kecamatan Gondang. Kabupaten Sragen)….’95<br />
204. PERANAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL, TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM KEGIATAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK). …’97<br />
205. PERANAN DAERAH OBYEK WISATA KRATON YOGYAKARTA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT DI KECAMATAN KRATON KOTAMADYA YOGYAKARTA PROPINSI DIY. …’93.<br />
206. PENGARUH LUAS TANAH GARAPAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN DI DESA MONDORETNO KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG PROPINSI JAWA TENGAH…..’93<br />
207. PENGARUH STATUS EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL TERHADAP SISTEM GOTONG ROYONG DI DESA CANDEN KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL PROPINSI DIY. …..’94<br />
208. SUPRA INSUS SEBAGAI SARANA PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI DESA SINDUHARJO KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN PROPINSI DIY. …..’90<br />
209. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL TERHADAP SIKAP DALAM PENENTUAN PILIHAN PASANGAN HIDUP. (Suatu Penelitian Pada Masyarakat Desa Temon Wetan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY). …..’95<br />
210. HUBUNGAN INTENSITAS PENYULUHAN DAN INTENSITAS INFORMASI NON FORMAL TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK BERTRANSMIGRASI,.. …..’98<br />
211. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA.. …..’98<br />
212. PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN OBYEK WISATA CANDI PRAMBANAN (Suatu Penelitian Di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Dati II Sleman, Propinsi DIY.. …..’98<br />
213. PERANAN KELOMPOK KHUSUS (POKSUS) UP2K DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Sindorejo, Kecamtan Minggir Kabupaten Sleman Propinsi DIY.. …..’98<br />
214. PERANAN KOPERASI UNIT DESA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI DESA SIDOMULYO KECAMATAN GODEAN KABUPATEN SLEMAN, DIY.. …..’90<br />
215. HUBUNGAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA BLEDUG DENGAN MOTIVASI MASYARAKAT UNTUK BERUSAHA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN (Suatu Penelitian Di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.. …..’95<br />
216. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KELURAHAN MUJAMUJU KECEMATAN UMBULHARJO KOTAMADYA YOGYAKARTA.. …..’93<br />
217. TINGKAT PERTISIPASI ANGGOTA DALAM MENUNJANG TERBENTUKNYA KOPERAI UNIT DESA (KUD) MANDIRI (studi kasus pada Koperasi Unit Desa (KUD) “Tani Binangun” di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Dati II Bantul Propinsi DIY.. …..’94<br />
218. HUBUNGAN PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA MADUREJO KECAMATAN PRAMBANAN KABUPATEN SLEMAN PROPINSI DIY.. …..’93.<br />
219. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM PENGEFEKTIFAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (suatu penelitian di kecamatan ngawan, kabupaten gunungkidul, propinsi DIY. …..’97.<br />
220. PERANAN KELOMPOK SIMPAN PINJAM DALAM UPAYA PENINGKATAN USAHA EKONOMI PRODUKTIF PARA ANGGOTA DI DESA KEDUNGDANG, KECAMATAN TEMON, KABUPATEN KULONPROGO PROPINSI DIY. . …..’93.<br />
221. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN POLA BERPIKIR MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA PADAS KECAMATAN KEDUNGJATI, KABUPATEN GROBOGAN, JAWA TENGAH.. …..’93<br />
222. PERSEPSI TENTANG OBYEK WISATA CANDI PRAMBANAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN DI DESA BOKOHARJO, KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN PROPINSI DIY.. …..’98<br />
223. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT KEPADATAN DENGAN SIKAP DAN TANGGAPAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM POS PELAYANAN TERPADU DI DESA SRIMARTANI KECAMATAN PIYUNGAN KABUPATEN BANTUL PROPINSI DIY. …..’98.<br />
224. KELOMPENCAPIR DAN SEKTOR INFORMAL (Studi Tentang Efektifitas Kelompencapir Tertamukti Terhadap Pengambangan Usaha Sektor Informal Keluarga Binaan Di Desa Terban, Kecamatan Gondokusuma, Kotamadya Yogyakarta. DIY.. …..’98.<br />
225. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM INDUSTRI KERAJINAN BAMBU TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman, Propinsi DIY.. …..’97.<br />
226. PERANAN UNIT DAERAH KERJA PEMBANGUNAN (UDKP) DALAM MENINGKATKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI KECAMATAN SIGALUH KABUPATEN DATI II BANJARNEGARA JAWA TENGAH.. …..’98.<br />
227. EFEKTIVITAS PELAYANAN GIZI PADA POSYANDU DAN PERSEPSI IBU TENTANG MANFAAT GIZI, YANG DIIKUTI PERILAKU IBU DALAM AKTIVITAS PEMBERIAN MAKANAN BERGIZI TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK BELITA DI KELURAHAN MUJAMUJU, KECAMATAN UMBULHARJO DAN KELURAHAN BACIRO, KECAMATAN GONDOKUSUMAN, KODYA YOGYAKARTA, …..’93.<br />
228. PELAKSANAAN PROGRAM IMPRES DESA TERTINGGAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PARA ANGGOTA PENERIMA DANA IDT DI DESA PETIR KECAMATAN PURWONOGORO KABUPATEN BANJARNEGARA PROPINSI JAWA TENGAH.. …..’98.<br />
229. PERANAN KOPERASI PEGAWAI NEGERI DALAM USAHA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ANGGOTANYA. (Suatu Penelitian di Kecamatan Klaten Selatan Kabupaten Klaten Jawa Tengah.. …..’94.<br />
230. PENGARUH PERAN GANDA WANITA TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA SENDANG AGUNG KECAMATAN MINGGIR KABUPATEN SLEMAN DIY.. …..’93.<br />
231. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT UNTUK BERTRANSMIGRASI DI DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL DIY. …..’95.<br />
232. INTENSITAS UPAYA PRIMKOPTI TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KESEJAHTERAAN ANGGOTA (Suatu Penelitian Di Kecamatan Purbalingga Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah)….’97<br />
233. HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN FUNGSI KELUARGA YANG DILAKUKAN OLEH PANTI ASUHAN DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN ANAK YATIM PIATU. ….’98<br />
234. PENDEKATAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK DI DESA MAGUWOHARJO KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN PROPINSI DIY. ….’98<br />
235. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN KEMAMPUAN ANGGOTA MASYARAKAT MELALUI LMD TERHADAP KETERLIBATAN DALAM PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA DI DESA TAMBAKKROMO, KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROPINSI DIY. ….’95<br />
236. PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI TERHADAP PERBANDINGAN PENDAPATAN PEMBUDIDAYAAN TANAMAN PADI DENGAN TANAMAN BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Desa Kemurang Kulon Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes Jawa Tengah). ….’95.<br />
237. PROGRAM USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA DALAM PENINGKATAN KESEHATAN ANAK BELITA DI DESA PLERET KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL DIY.. ….’00.<br />
238. HUBUNGAN EFEKTIVITAS PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM IMUNISASI BAYI DAN ANAK DI DESA MARGOAGUNG KECAMATAN SEYEGAN KABUPATEN DATI II SLEMAN PROPINSI DIY.. ….’97<br />
239. EFEKTIVITAS PERENCANAAN DARI BAWAH (BOTTOM UP PLANNING) TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI KECAMATAN BAWANG KABUPATEN BANJARNEGARA PROPINSI JAWA TENGAH.. ….’98<br />
240. PEMBANGUNAN SARANA TRANSPORTASI DAN <a href="http://www.pusattesis.com/perubahan-organisasi-menurut-robbins/">PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI </a>MASYARAKAT DESA NGEPANREJO KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN MAGELANG, JAWA TENGAH. ….’96<br />
241. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA (Studi Penelitian Di Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, Propinsi DIY). ….’94<br />
242. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DI KECAMATAN NGAWEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY. ….’97<br />
243. EFEKTIFITAS PEMANFAATAN TANAH PEKARANGAN TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA PUTAT KECAMATAN PATUK KABUPATEN GUNUNG KIDUL DIY. ….’98.<br />
244. INTENSITAS PENERAPAN PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Di Desa Sentolo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY. ….’98<br />
245. PENGARUH STATUS EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL TERHADAP SISTEM GOTONG ROYONG DI DESA CANDEN KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL PROPINSI DIY. …..’94<br />
246. PROFIL PEDAGANG LESEHAN (Studi Penelitian Tentang Pedagang Makanan Siap Hidang, Pendapatan Dan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga Di Kelurahan Demangan Kacamatan Gondokusuman Kodya Yogyakarta DIY. ….’00)<br />
247. STATUS SOSIAL EKONOMI DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP MOTIVASI PRESTASI ANAK DI DESA KLATAKAN KACAMATAN KENDIT KABUPATEN SITUBONDO JAWA BARAT. ….’93.<br />
248. INTENSIFIKASI PERBAIKAN GIZI KELUARGA MELALUI KEAKTIFAN DALAM ORGANISASI PKK (Studi Di Dusun Trengguno, Desa Sidorejo, Kecamatan Ponjong Kab. Gunung Kidul DIY. ….’95.<br />
249. KEGIATAN POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DALAM PENINGKATAN KESEHATAN ANAK BELITA DI DESA PULUHAN KECAMATAN JATINOM KAB. KLATEN JAWA TENGAH. ….’95<br />
250. IMPRES BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA BALECATUR KEC. GAMPING KAB. SLEMAN PROPINSI DIY. ….’93.<br />
251. EFEKTIVITAS PELAYANAN GIZI PADA POSYANDU DAN PRESEPSI IBU TENTANG MANFAAT GIZI, YANG DIIKUTI PERLAKU IBU DALAM AKTIVITAS PEMBERIAN MAKANAN BERGIZI TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK BELITA DI KELURAHAN MUJAMUJU, KEC. UMBULHARJO, GONDOKUSUMAN, KODYA YOGYAKARTA, PROPINSI DIY. ….’93<br />
252. AKTUALISASI BULAN BAKTI LKMD DAN PERANAN TIM PEMBINA TEKNIS KECAMATAN TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN DESA TERPADU DI DESA SUMBERARUM KECAMATAN MOYUDAN KAB SLEMAN DIY....’94<br />
253. BEBERAPA FAKTOR PENENTU PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA PULOREJO KEC. PURWODADI KAB. GROBOGAN JAWA TENGAH. ....’93.<br />
254. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI KADER PEMBANGUANN DESA (KPD) DALAM PEMBANGUNAN DESA (Pengaruh Persepsi Tentang Kepemimpinan Kepala Desa, Status Sosial Ekonomi Dan Tingkat Motivasi Kerja Kader Terhadap Partisipasi KPD Dalam Pembangunan Desa Di Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. ....’95.<br />
255. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP PARTISIPASI PROGRAM BANTUL PROJOTAMANSARI (suatu penelitian tentang pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan masyarakat terhadap partisipasi program pembangunan bantul projotamansari di desa panjang rejo, kec. Pundong, kab. Bantul propinsi DIY).. ....’94.<br />
256. PENGARUH MOBILITAS PENDUDUK TERHADAP KESEJAHTERAN KELUARGA DI DESA ASAL (Stido Tentang Pengaruh Mobilitas Sirkuler Tenaga Kerja Dari Desa Ke Kota Terhadap Kesejahteraan Keluarga Di Daerah Asal Di Desa Trimulyo Kec. Jetis Kab. Bantul Propinsi DIY). …. ’96.<br />
257. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI ANAK (Suatu Studi Kasus Di Desa Sawahan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul DIY. …. ’97.<br />
258. PERANAN KELOMPENCAPIR DALAM PENINGKATAN PENGHASILAN KELUARGA DI DESA BANYUREJO KEC. TEMPEL. KAB. SLEMAN PROPINSI DIY. …. ’98.<br />
259. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN SUAMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ISTRI TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN ISTRI BEKERJA DI LUAR RUMAH. DESA SENDANGSARI KEC. PENGASIH KAB. KULONPROGO PROPINSI DIY. …. ’98.<br />
260. HUBUNGAN PEMANFAATAN DANA IMPRES DESA TERTINGGAL TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT (Suatu Penelitian Di Desa Melikan Kec. Rongkop, Kab Gunungkidul Propinsi DIY. …. ’98.<br />
261. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KADER PEMBANGUNAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA. …. ’98.<br />
262. PENGARUH BESARNYA PENERIMAAN WESEL DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWA DI ASRAMA PUTRI GENDENG TIMUR KELURAHAN BACIRO KECAMATAN GONDOKUSUMAN KODYA YOGYAKARTA. …. ’98.<br />
263. INSEMINASI BUATAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN TERNAK SAPI PERAH DALAM USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Daerah Penelitian Di Desa Hargobinangun Kac Pakem Kab. Sleman Propinsi DIY). …. ’98.<br />
264. KETERLIBATAN IBU BEKERJA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA TOHUDAN KEC. COLOMADU KAB. KARANGANYAR PROPINSI JAWA TENGAH..… ’98<br />
265. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DAN TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA TERHADAP PELAKSANAAN IMUNISASI BAYI SERTA ANAK BELITA (Suatu Penelitian Di Desa Kanoman Kec. Panjatan, Kab. Kulonprogo Propinsi DIY). .… ’98<br />
266. KEGIATAN POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DALAM PENINGKATAN KESEHATAN ANAK BELITA DI DESA PULUHAN KEC. JATINOM, KAB. KLATEN PROPINSI JAWA TENGAH. .… ’95<br />
267. SIARAN KETOPRAK MATARAM RRI NUSANTARA II YOGYAKARTA SEBAGAI MEDIA INFORMASI PEMBANGUNAN PADA MASYARAKAT DI DESA DEPOK, KEC. PANJATAN. KAB. KULONPROGO DIY..… ’98.<br />
268. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Tentang Partisipasi Pemuda Dalam Pembangunan Desa Di Desa Rembeanak, Kec. Mungkid, Kab. Magelang, Propinsi Jawa Tengah). ..… ’96.<br />
269. PERANAN KELUARGA BERENCANA DALAM USAHA PENGENTASAN KEMISKINAN GUNA MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA (Suatu Penelitian Di Desa Maos Lor Kec. Maos, Kab. Cilacap Propinsi Jawa Tengah). ..… ’94.<br />
270. ALOKASI WAKTU KERJA IBU DI DALAM DAN DI LUAR RUMAH DAN POLA ASUH TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Penelitian Di Kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman, Kodya Dati II Yogyakarta, DIY) ..… ’96.<br />
271. PARTISIPASI MASYARAKAT NELAYAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN PERTANIAN RAKYAT TERPADU (P2RT) TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN (suatu studi penelitian tentang partisipasi masyarakat nelayan dalam proyek pembangunan pertanian rakyat terpadu di kelurahan karang asam, kec. Batang, kab. Batang jawa tengah. ..… ’98<br />
272. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM BINA KELUARGA BALITA DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DESA CIRIPENI KECAMATAN WATES KABUPATEN KOLONPROGO DIY. ..… ’93.<br />
273. KETERKAITAN MOTIVASI DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PERILAKU EKONOMI PEDAGANG KAKI LIMA DI JL. SENOPATI KELURAHAN NGUPASAN KEC. GONDOMANAN KODYA YOGYAKARTA DIY. (Pedagang Kaki Lima Yang Bergabung Dalam Koperasi Pedagang Kaki Lima Yogyakarta). ..… ’93.<br />
274. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN SUAMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ISTRI TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN ISTRI BEKERJA DI LUAR RUMAH DESA SENDANGSARI KEC. PENGASIH KAB. KULONPROGO PROPINSI DIY. ..… ’98.<br />
275. PENGARUH PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN POSYANDU TERHADAP PENINGKATAN KESEHATAN BELITA DI DESA PANDES KEC. WEDI KAB. KLATEN JAWA TENGAH. ..… ’98.<br />
276. POLA USAHA INTENSIFIKASI TENAMAN CABE MERAH DENGAN SISTEM MPHP TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI (Suatu Penelitian Di Damarkasiyan Kec. Kertek Kab. Wonosobo Jawa Tengah...…’97<br />
277. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP NIAT BER KB MANDIRI MELALUI PENERIMAAN NORMA KELUARGA KECIL DI DESA NGARU-ARU KEC.BANYUDONO KAB. BOYOLALI. JAWA TENGAH. ..…’95.<br />
278. PENGARUH BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA LAWAHAN, KEC. TAPIN SELATAN, KAB. DATI II TAPIN, PROPINSI KAL-SEL. ..…’92.<br />
279. HUBUNGAN KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA DENGAN EFEKTIFITAS ORGANISASI KOPERASI PEGAWAI NEGERI (Suatu Penelitian Pada KPN “SEKAR” Kab Dati II Cilacap). ..…’97.<br />
280. PENGARUH EFEKTIVITAS KEGIATAN PKK TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM PEMBANGUNAN DI PEDESAAN. (Suatu Studi Penelitian di Kel. Rejowinangun, Kec. Kotagede, Kodya Yogyakarta, DIY)…’94.<br />
281. TANGGAPAN MASYARAKAT DESA TENTANG TRANSMIGRASI (suatu studi pengaruh status sosial ekonomi terhadap tanggapan masyarakat desa mengenai transmigrasi di desa imogiri, kec. Imogiri, kab. Bantul, DIY) ..…’93.<br />
282. KEGIATAN RUMAH ADAT (KORKE) DAN PARIWISATA DI DESA BANTALA KEC. TANJUNG BUNGA KAB. FLORES TIMUR PROPINSI NTT. ..…’98.<br />
283. PERANAN AKTIVITAS IBU RAMAH TANGGA DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI KELURAHAN BENER KECAMATAN TEGALREJO KODYA YOGYAKARTA DIY. ..…’93.<br />
284. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG IMPRES BANTUAN PEMBANGUNAN DESA (Reseach lapangan di desa penggungharjo. Kec. Sewon kab. Bantul DIY. ..…’98<br />
285. PERSEPSI APARAT DESA TERHADAP FUNGSI HUTAN DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN DI DESA KARANG JOANG KEC. BALIKPAPAN UTARA KODYA BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR. ..…’94.<br />
286. PENGARUH KEGIATAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DI KELURAHAN SUMBERREJO, KEC. MERTOYUDAN, KAB. MAGELANG PROPINSI JAWA TENGAH. ..…’94.<br />
287. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (suatu penelitian di desa sariharjo, kec. Ngaglik, keb. Dati II Sleman propinsi DIY. ..…’98.<br />
288. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL IBU DAN JUMLAH PENDAPATAN SUAMI TERHADAP MOTIVASI IBU BEKERJA DI DESA BANGUNHARJO KEC. SEWON KEB. BANTUL DIY. ..…’96.<br />
289. PERANAN USAHA TANI SALAK PONDOK DALAM PENINGATAN PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI DESA BANGUNKERTO KEC. TURI. KAB SLEMAN DIY. ..…’96.<br />
290. PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian di Desa Watusigar, Kec. Ngawen Kab. Gunung kidul DIY. ..…’97.<br />
291. PENGARUH TINGKAT SOSIAL EKONOMI ORANG TUA TERHADAP HARAPAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Studi Tentang Pendidikan Formal di Desa Jenang, Kec. Majenang, Kab. Cilacap, Propinsi Jawa Tenngah) ..…’97<br />
292. FUNGSI KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENGEFEKTIFKAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA DI KEC. MOYUDAN KABUPATEN SLEMAN DIY. ..…’94.<br />
293. HUBUNGAN EFEKTIFITAS PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM IMUNISASI BAYI DAN ANAK DI DESA MARGOAGUNG KECAMATAN SEYEGAN KAB SLEMAN DIY. ..…’97.<br />
294. PROFIL PRAMUWISATA NON LISENSI (Studi Kasus Tentang Latar Belakang, Motivasi Dan Fenomena Perilaku Seksual Pramuwisata Non Lisensi Di Kampung Sosrowijayan Wetan Yogyakarta) ..…’97.<br />
295. PENGARUH PERSEPSI SLOGAN SLEMAN SEMBADA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENINGKATAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN DI DESA MAGUWOHARJO KEC. DEPOK, KAB. SLEMAN DIY. ..…’98.<br />
296. PENGARUH PROGRAM PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN WARGA BINAAN DI DESA BEJI, KEC. NGAWEN KAB. DATI II GUNUNG KIDUL PROPINSI DIY. .…’91.<br />
297. HUBUNGAN MOBILITAS ORANG TUA DAN PERSEPSI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DI DESA PENDOWOHARJO KEC. SEWON KAB. BANTUL PROPINSI DIY. .…’94.<br />
298. PENGARUH TINGKAT STATUS SOSIAL EKONOMI O RANG TUA TERHADAP HARAPAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Studi Tentang Pendidikan Formal Di Desa Jenang, Kec. Majenang, Kebapaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah. .…’94.<br />
299. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG MEKANISME PENGGUNAAN DANA BANTUAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Penelitian Di Desa Donokerto Kecamatan Turi, Kab Slemen Propinsi DIY) .…’97.<br />
300. HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI DAN INTENSITAS KOMUNIKASI ANTAR PENGRAJIN DAN PENYULUH DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI (Studi Tentang Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dan Intensitas Komunikasi Antar Pengrajin Dan Penyuluh Dengan Adopsi Enovasi Teknologi Di Sentra Industri Genteng Di Desa Kuwayuhan Kecamatan Pajagon) .…’98..<br />
301. PERANAN PENDAMPING KELOMPOK MASYARAKAT DESA TERTINGGAL DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Di Desa Tertinggal Kec. Bojongsari Kab. Dati II Purbalingga Propinsi Jawa Tengah) .…’98.<br />
302. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (suatu penelitian di kelurahan pacarkeling, kec. Tambaksari, kotamadya surabaya propinsi jawa timur). .…’98.<br />
303. PERSEPSI TENTANG OBYEK WISATA CANDI PRAMBANAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS MASYARAKAT SEKITAR DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN DI DESA BOKOHARJO, KEC. PRAMBANAN, KAB SLEMAN DIY. .…’98.<br />
304. PELAKSANAAN DANA PROGRAM IMPRES DESA TERTINGGAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT DI DESA CIRAHAB KEC. LUMBIR KAB. DATI II BANYUMAS PROPINSI JAWA TENGAH .…’98.<br />
305. PERAN DAN TANGGUNGJAWAB POKMAS DALAM PELAKSANAAN IDT DI KECAMATAN KEDUNG KAB DATI II JEPARA. .…’98.<br />
306. PERANAN KELOMPOK TANI DALAM USAHA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ANGGOTA (Suatu Penelitian Tentang Persepsi Peranan Kelompok Tani Di Desa Granting Kec. Jogonalan Kab. Klaten Propinsi Jawa Tengah) .…’97<br />
307. HUBUNGAN INDUSTRI PANDE BESI SEBAGAI KESEMPATAN KERJA DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PENGRAJIN DESA KARANGTENGAH KEC. WONOSARI, KAB GUNUNGKIDUL PROPINSI DIY. .…’97.<br />
308. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA BOJONG WETAN, KEC. BOJONG, KAB. PEKALONGAN, PROPINSI JAWA TENGAH. .…’92.<br />
309. PENGARUH KESADARAN PERAN GANDA WANITA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN TINGKAT PENDIDIKAN ANAK DI DESA WANGON KEC WANGON, KAB. BANYUMAS, PROPINSI JAWA TENGAH. .…’98.<br />
310. TINGKAT KESADARAN SUAMI ISTRI DALAM PEMBATASAN JUMLAH ANAK SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF MENUJU PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI KELURAHAN DEMANGAN KEC. GONDOKUSUMAN PROPINSI DIY. .…’94.<br />
311. PEMBERDAYAAN KELOMPOK MISKIN MELALUI PROGRAM IMPRES DESA TERTINGGAL (Studi Kasus Di Desa Bendungan Kec. Karang Mojo Kab. Gunungkidul Propinsi DIY). .…’97<br />
312. PENGARUH PERSEPSI SLOGAN SLEMAN SEMBADA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENINGKATAN KEBERHASILAN LINGKUNGAN DI DESA MAGUWOHARJO, KEC. DEPOK, KEB. SLEMAN PROPINSI DIY. .…’98.<br />
313. PENGARUH LEMBAGA PENGAMBANGAN SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT DESA (Suatu Studi Penelitian Pada Anggota Kelompok Binaan Lembaga “BINA SWADAYA” Di Desa Baleharjo Kec. Wonosari, Kab. Gunungkidul DIY). .…’<br />
314. EFEKTIFITAS KELOMPOK TANI TERHADAP PARTISIPASI PETANI DALAM PEMBANGUNAN DI DESA KARTOHARJO KEC. NGAWI KAB. NGAWI PROPINSI JAWA TIMUR. .…’97.<br />
315. PERANAN SASANA REHABILITASI KARYA WANITA DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELAYAN (SISWA SASANA) (suatu penelitian di desa sidoarum kec. Godean kab. Sleman. DIY) .…’94.<br />
316. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA MELALUI STIMULANS YANG DIBERIKAN DI DESA WONOKERTO KEC. WONOGIRI KAB. WONOGIRI JAWA TENGAH. .…’97.<br />
317. KAITAN INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN TINGKAT PENDAPATAN PENGRAJIN DI DESA TRANGSAN KEC. GATAK KAB. SUKOHARJO JAWA TENGAH. .…’98.<br />
318. PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG PEMILIHAN KEPALA DESA DALAM KAITANNYA DENGAN MANFAAT PELAKSANAAN FUNGSI DAN TUGAS KEPLA DESA (Studi Kasus Di Desa Ciborelang Kec. Jatiwangi, Kab. Majalengka Propinsi Jawa Tengah). .…’98.<br />
319. PENGARUH KESADARAN PERAN GANDA WANITA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN TINGKAT PENDIDIKAN ANAK DI DESA WANGON KEC. WANGON, KAB. BANYUMAS. PROPINSI JAWA TENGAH. .…’98.<br />
320. PERANAN KELUARGA DALAM PROSES PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi Penelitian Di Desa Caturtunggal Kec. Depok, Kab. Sleman Propinsi DIY). .…’98.<br />
321. PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) SEBAGAI WAHANA PENGHIMPUN POTENSI EKONOMI PEDESAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI (Studi Penelitian Di KUD “SRIRAHAYU” Desa Patutrejo, Kec. Grabag. Kab. Purworejo, Propinsi Jawa Tengah). .…’98.<br />
322. PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN TUGAS KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) (Suatu Penelitian Di Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, DIY). .…’98.<br />
323. PERANAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KESEHATAN LINGKUNGAN (suatu penelitian di desa tawangharjo, kec. Tawangharjo, kab. Dati II grobogan, propinsi jawa tengah. .…’95.<br />
324. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KUD (Studi Penelitian Di KUD “SYUKUR” Desa Tuban, Kec. Gondangrejo, Kab. Karanganyar, Jawa Tengah. .…’98.<br />
325. HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI DAN FATALISME DENGAN DISORGANISASI DALAM KELUARGA (Suatu Penelitian Tentang Masalah-Masalah Keluarga Di Kelurahan Kaliancar Kec. Selogiri, Kab. Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah) .…’92.<br />
326. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN ORGANISASI KOPERASI UNIT DESA (KUD) DALAM PELAKSANAAN LISTRIK MASUK DESA DI DESA SUMBEREJO KEC. TEMPEL KAB. SLEMAN PROPINSI DIY. .…’94.<br />
327. USAHA KEPALA DESA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN JALAN DESA DI DESA MARIPARI KEC. SUKAWENING KAB. GARUT JAWA TENGAH. .…’98.<br />
328. PERANAN KELUARGA BERENCANA DALAM USAHA MENGENTASKAN KEMISKINAN GUNA MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA (Suatu Penelitian Di Desa Maos Lor, Kec. Maos, Kab. Cicacap Propinsi Jawa Tengah). .…’94.<br />
329. PERAN DINAS SOSIAL DALAM MEMBERI PELAYANAN SOSIAL GUNA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENDERITA CACAT (Suatu Penelitian Di SLB Negeri Bantul, Desa Ngestiharjo, Kec. Kasihan, Kab. Bantul Propinsi DIY). .…’98.<br />
330. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DESA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN LINGKUNGAN (Suatu Penelitian Di Desa Watusigar, Kec. Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, DIY. .…’97.<br />
331. PERANAN PENDAMPING KELOMPOK MASYARAKAT DESA TERTINGGAL DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Di Desa-Desa Tertinggal Kec. Bojongsari Kab. Dati II Purbalingga Jawa Tengah). .…’98.<br />
332. PERANAN ULAMA UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA TULAKAN KEC. KELING KAB. JAPARA PROPINSI JAWA TENGAH. .…’96.<br />
333. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT PARTISIPASINYA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (suatu penelitian di desa genjahan, kec. Ponjong, kab gunungkidul DIY. .…’98.<br />
334. HUBUNGAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN DALAM KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROYEK PEMUGARAN PERUMAHAN DESA DI DESA BANGUNHARJO KEC. SEWON KAB. BANTUL DIY. .…’93.<br />
335. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KADER PEMBANGUNAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA. .…’98.<br />
336. PERANAN POSYANDU DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT (Suatu Penelitian Di Desa Sumberrejo Kec. Prambanan, Kab. Sleman DIY). .…’93.<br />
337. URBANISASI MUSIMAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DI DESA GEMBLEGAN KEC. KALIKOTES KAB. KLATEN, JAWA TENGAH. .…’95.<br />
338. PENGELOLAAN INDUSTRI KRIPING SINGKONG, CRIPING PISANG DAN EMPING MELINJO DALAM RANGKA PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PEDESAAN (Suatu Penelitian Di Desa Sidoharjo, Kec. Tepus, Kab. Gunungkidul DIY.). .…’94<br />
339. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DAN TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA TERHADAP PELAKSANAAN IMUNISASI BAYI SERTA ANAK BELITA (Suatu Penelitian Di Desa Kanoman Kec. Panjatan, Kab. Kulonprogo DIY). .…’98.<br />
340. ANALISIS MENGENAI SUBANGAN WILAYAH KECAMATAN DALAM MENUNJANG PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI WILAYAH/ DAERAH TINGKAT II DAN PERANANNYA DALAM MENUNJANG PELAKSANAAN DI WILAYAH KECAMATAN. .…’99.<br />
341. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TRANSMIGRASI DI DESA SAMBIREJO, KEC. NGAWEN, KAB. GUNUNGKIDUL PROPINSI DIY. .…’98.<br />
342. PERANAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Pada Masyarakat Desa Watusigar Kec. Ngawean, Kab. Gunungkidul DIY) .…’97.<br />
343. PERBEDAAN PEROLEHAN HASIL PERTANIAN BERDASARKAN STATUS PENGUASAAN TANAH DI DESA PLANGGU, KEC. TRUCUK, KAB. KLATEN PROPINSI JAWA TENGAH. …’98.<br />
344. PERANAN KELOMPOK TANI DALAM USAHA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ANGGOTA (Suatu Penelitian Tentang Persepsi Peranan Kelompok Tani Di Desa Granting, Kec. Jogonalan, Kab. Klaten Jawa Tengah). …’97.<br />
345. PENGARUH KUALIFIKASI APARATUR PEMERINTAH DESA SEBAGAI MOTIVATOR DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Tentang Kualifikasi Aparatur Pemerintah Desa Sebagai Motivator Dalam Pelaksanaan Program Pembangunan Desa Di Desa Watusigar, Kec Ngawen, Kab. Gunungkidul Propinsi DIY). …’95.<br />
346. PERANAN KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENINGKATKAN SWADAYA MASYARAKAT UNTUK MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA DONOMULYO KEC. NANGGULAN, KAB. KULONPROGO DIY. …’97.<br />
347. PERANAN AKTIVITAS KELOMPENCAPIR DALAM PENYELESAIAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Banjararum, Kec. Kalibawang, Kab. Kulonprogo, Propinsi DIY) …’96.<br />
348. SIKAP BERWIRAUSAHA MASYARAKAT DAN KETERAMPILAN MASYARAKAT DALAM USAHA SEWA/KONTRAK RUMAH TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Kelurahan Klitren, Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta, DIY) …’97.<br />
349. EFEKTIVITAS LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PENINGKATAN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Deskriptif Di Desa Sardonoharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, Propinsi DIY) …’98.<br />
350. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM IDT TERHADAP PENINGKATAN SOSIAL EKONOMI PENERIMA DANA IDT DI DESA SIKAYU, KEC. BUAYAN, KAB. KEBUMEN PROPINSI JAWA TENGAH. …’98.<br />
351. URGENSI KOORDINASI DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN (Studi Kasus Mengenai Peran Camat Sebagai Koordinator Pelaksanaan Pembangunan Di Wilayah Kecamatan Kalibawang, Kab. Kulonprogo DIY). …’98.<br />
352. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KELURAHAN MJJAMUJU KEC. UMBULHARJO, KODYA YOGYAKARTA. …’93.<br />
353. PERANAN INTERAKSI ORANG TUA DENGAN ANAK PEMENUHAN PERHATIAN ORANG TUA DALAM PEMBENTUKKAN TINGKAH LAKU ANAK (studi kasus di kelurahan warungboto kec. Umbulharjo, kodya Yogyakarta DIY). …’95.<br />
354. PERANAN TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP UPAYA PENUMBUHKEMBANGKAN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA DONOKERTO KEC. TURI KEB. SLEMAN PROPINSI DIY. …’95.<br />
355. KERAJINAN KULIT SUATU ALTERNATIF UNTUK MENINGKATKAN PEMDAPATAN MASYARAKAT DI DESA PUCUNG WUKIRSARI KEC. IMOGIRI KAB. BANTUL DIY. …’94.<br />
356. PENGARUH KEGIATAN PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2WKSS) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUJANG PROGRAM PENGENTASAN KELUARGA PRA SEJAHTERA DI DESA LUMBUNGREJO KEC. TEMPEL, KAB. SLEMAN PROPINSI DIY. …’98.<br />
357. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT UNTUK BERTRANSMIGRASI DI DESA PANGGUNGHARJO, KEC. SEWON, KAB. BANTUL, DIY. …’98.<br />
358. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGERUHI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG IMPRES BANTUAN PEMBANGUNAN DESA (Research Lapangan Di Desa Panggungharjo, Kec. Sewon Kab. Bantul Propinsi DIY) …’98.<br />
359. POLA PEKERJAAN DAN PERILAKU MOBILITAS SIRKULER KELUARGA TRANSMIGRAN LOKAL LANCI DI KEC. KEMPO, KAB. DOMPU PROPINSI NTB. …’93.<br />
360. KERAJINAN KULIT SUATU ALTERNATIF UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DI DESA PUCUNG WUKIRSARI KEC. IMOGIRI KAB. BANTUL PROPINSI DIY. …’94.<br />
361. PERBEDAAN PEROLEHAN HASI PERTANIAN BERDASARKAN STATUS PENGUASAAN TANAH DI DESA BAWAK KEC. CAWAS KAB KLATEN JAWA TENGAH (Studi Komparatif Tentang Perbedaan Perolehan Hasil Pertanian Antara Petani Tanah Milik Dengan Petani Bukan Tanah Milik Dengan Pola Bagi Hasil). …’94.<br />
362. PERANAN KELOMPOK TANI “GADING” DALAM USAHA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ANGGOTANYA DI DESA SINDOHARJO KEC. NGAGLIK KAB. SLEMAN DIY. …’94.<br />
363. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN KEMAMPUAN ANGGOTA MASYARAKAT MELALUI LMD TERHADAP KETERLIBATAN DALAM PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DESA DI DESA TAMBAKKROMO, KEC. PONJONG, KAB. GUNUNGKIDUL PROPINSI DIY. …’95.<br />
364. INSEMINASI BUATAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN TERNAK SAPI PERAH DALAM USAHA MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA (Daerah Penelitian Di Desa Hargobinangun Kec. Pakem. Kab. Sleman Propinsi DIY. …’98.<br />
365. PERSEPSI DAN PERILAKU P.U.S. DALAM MEMILIH KONTRASEPSI MODERN (Sebuah Studi Lapangan Di Kelurahan Kebumen Kec. Kebumen, Kab. Kebumen Propinsi Jawa Tengah). …’98<br />
366. HASRAT UNTUK MAJU MASYARAKAT SASARAN PROGRAM IMPRES DESA TERTINGGAL (IDT) (Suatu Penelitian Di Desa Lebaksiu Kidul Kec. Lebaksiu Kab. Tegal Propinsi Jawa Tengah). …’97.<br />
367. PENGARUH PENYULUHAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP SIKAP MASYARAKAT MENGENAI TRANSMIGRASI (Suatu Hasil Penelitian Di Desa Bajo Kec. Kedungtuban, Kab. Blora, Propinsi Jawa Tengah). …’94.<br />
368. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) DALAM PEMBANGUNAN DESA (Pengaruh Persepsi Tentang Kepala Desa, Status Sosial Ekonomi Dan Tingkat Motivasi Kerja Kader Terhadap Partisipasi KPD Dalam Pembangunan Desa Di Kec. Petarukan, Kab. Pemalang Propinsi Jawa Tengah) …’95.<br />
369. HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN DAN NILAI ANAK DENGAN JUMLAH ANAK YANG DIINGINKAN. .…’95.<br />
370. MANFAAT IMPRES BANTUAN DESA DAN PERANAN KEPEMIMPINAN LURAH DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT (Suatu Penelitian Tentang Manfaat Impres Desa Dan Peranan Kepemimpinan Lurah Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Di Kelurahan Muja-Muju Kec. Umbulharjo Kodya Yogyakarta DIY). .…’94.<br />
371. HUBUNGAN INTENSIFIKASI TEBU DENGAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI, DI DESA KADILAJU, KEC. KARANGNONGKO, KAB. KLATEN PROPINSI JAWA TENGAH .…’98.<br />
372. PENGARUH INFORMASI DAN PENDIDIKAN TERHADAP SIKAP MASYARAKAT TENTANG TRANSMIGRASI (studi penelitian di desa sidomulyo, kec. Pengasih, kab. Kulonprogo, propinsi DIY) .…’94.<br />
373. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Triharjo, Kec. Wates Kab. Kulonprogo, Propinsi DIY) .…’98.<br />
374. USAHA KEPALA DESA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN JALAN DESA DI DESA MARIPARI KEC. SUKAWENING KAB. GARUT JAWA BARAT. .…’98.<br />
375. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) TERHADAP PARTISIPASI PEMBANGUNAN KESEHATAN LINGKUNGAN (suatu penelitian di desa ngestiharjo, kec. Kasihan, kab. Bantul, propinsi DIY. .…’94.<br />
376. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ORANG TUA TENTANG NILAI ANAK DAN PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN KESEMPATAN ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN FORMAL (Sebuah Penelitian Di Desa Karangduwet Kec. Paliyan, Kab. Gunungkidul Propinsi DIY). .…’98.<br />
377. PERANAN KANTOR CATATAN SIPIL DALAM MENERBITKAN AKTA KELAHIRAN DAN MENINGKATKAN PELAYANAN TERHADAP MASYARAKAT DI KODYA YOGYAKARTA PROPINSI DIY. .…’97.<br />
378. PENGARUH JENIS PENDIDIKAN DAN LUAS LAHAN PERTANIAN TERHADAP SIKAP PETANI BUDIDAYA BAWANG MERAH PADA PELAKSANAAN PROGRAM PANCA USAHA TANI DI DESA TIRTOHARJO, KEC. KRETEK KAB. BANTUL PROPINSI DIY. .…’98.<br />
379. HUBUNGAN PAMANFAATAN DANA IMPRES DESA TERTINGGAL TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT (Suatu Penelitian Di Desa Melikan, Kec. Rongkop, Kab. Gunungkidul Propinsi DIY) .…’98.<br />
380. TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN MASYARAKAT DALAM KEIKUTSERTAAN MENCIPTAKAN KESEHATAN KELUARGA (penelitian di wilayah kec. Kelua kab. Tabalong kalimantan selatan). .…’96.<br />
381. KEHIDUPAN MASYARAKAT DI SEKITAR SUNGAI GADJAH UWONG DI DESA CATUR TUNGGAL KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROPINSI DIY. [Studi Kasus Faktor-Faktor (Sikap Fatalisme Dan Pandangan Religius Pragmatisme) Yang Mempengaruhi Kebudayaan Kemiskinan]. .…’94.<br />
382. PENGARUH AKTIVITAS PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian di Desa Beji Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul DIY) .…’94.<br />
383. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL.TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM KEGIATAN PKK DI DESA SUMBERHARJO, KEC. PRAMBANAN, KAB. SLEMAN, PROPINSI DIY. .…’94.<br />
384. PENGARUH EFEKTIVITAS KEGIATAN PKK TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM PEMBANGUNAN DI PEDESAAN (Suatu Studi Penelitian Di Kelurahan Rejowinangun, Kec. Kotagede, Kodya Yogyakarta DIY). .…’94.<br />
385. PEMANFAATAN DANA IMPRES DESA TERTINGGAL SEBAGAI MODAL USAHA MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN (Suatu Penelitian Di Desa Gombang, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul Propinsi DIY) .…’96.<br />
386. PENGARUH AKTIVITAS PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI TERHADAP MOTIVASI ANGGOTA KELOMPOK TANI DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PERTANIAN (Studi Penelitian Anggota Kelompok Tani SUMBER RAHAYU” Di Desa Kepek, Kec. Wonosari, Kab. Gunungkidul Propinsi DIY). .…’98.<br />
387. PERAJIN KULIT DAN USAHA PENINGKATAN KSEJAHTERAAN KELUARGA (Suatu Studi Penelitian Tentang Perajin Kulit Dan Usaha Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Di Kec. Mergangsan, Kodya Yogyakarta DIY)……’96.<br />
388. PENGARUH PERILAKU MOBILITAS SIRKULER TERHADAP TINGKAT KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DI DAERAH ASAL……’94.<br />
389. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN LOMBA DESA DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA ARGOMULYO KEC. SEDAYU KAB. BANTUL PROPINSI DIY. ……’93.<br />
390. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT PEDESAAN MENGENAI TRANSMIGRASI DI DESA CANDEN KEC. JETIS KAB. BANTUL PROPINSI DY. ……’96.<br />
391. PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN TUGAS KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) (Suatu Penelitian Di Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, DIY).…’98.<br />
392. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM TAMANISASI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEINDAHAN FISIK KOTA KE KELURAHAN BACIRO, KEC GONDOKUSUMAN KODYA YOGYAKARTA PROPINSI DIY. .…’94.<br />
393. EFEKTIVITAS ORGANISASI RUKUN WARGA (RW) DALAM MENINGKATKAN SWADAYA GOTONG ROYONG (di desa ngunut kec. Playen, kab. Gunungkidul prop. DIY). .…’99.<br />
394. PERANAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN DESA DI DESA BAWANG KEC. BAWANG KAB. BANJARNEGARA PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />
395. HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN BERDASARKAN LUAS TANAH GARAPAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI DI DESA GIRIREJO, KEC. IMOGIRI, KAB. BANTUL PROP. DIY. .…’98.<br />
396. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN POLA BERPIKIR MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DIDESA AIR PUTIH BARU, KEC. CURUP, KAB. REJANG LEBONG, PROP. BENGKULU. .…’94.<br />
397. WANITA DI SEKTOR PUBLIK (studi tentang strategi dalam pembagian pekerjaan rumah tangga dan penggunaan pendapatan keluarga di desa kalitirto kec. Berbah kab. Sleman prop. DIY) .…’95.<br />
398. HUBUNGAN BENTUK PENGEMBANGAN OBYEK WISATA PARANGTRITIS TERHADAP STATUS SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI DESA PARANGTRITIS KEC. KRETEK KAB. BANTUL PROPINSI DIY. .…’96.<br />
399. HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI IBU DALAM ORGANISASI PKK DENGAN USAHA PENINGKATAN KESADARAN IBU DALAM MEMELIHARA KESEHATAN KELUARGA DI KELURAHAN KARANGANYAR KEC. KARANGANYAR, KAB. KEBUMEN, PROPINSI JAWA TENGAH. .…’98.<br />
400. PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KESEHATAN WARGA BINAAN DI DESA BEJI, KEC. NGAWEN KAB. GUNUNGKIDUL PROP. DIY. .…’94.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-78996221505977252742008-08-08T13:10:00.000+07:002008-08-20T03:14:45.324+07:00SKRIPSI SOSIAL - PEMERINTAHAN III [KODE Y]401. UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA MELALUI USAHA BETERNAK AYAM PEDAGING (BROILLER) DI DESA MANYUSARI KEC. TEGALREJO, KAB MAGELANG, PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />402. STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Penelitian Tentang Faktor Pendidikan Dan Pendapatan Orang Tua Di Desa Pegedongan, Kec. Banjarnegara, Keb. Banjarnegara Prop. Jawa Tengah) .…’98.<br />403. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DAN STATUS EKONOMI KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK DI DESA KRICAK KEC. TEGALREJO KODYA YOGYAKARTA. .…’94.<br />404. BUDIDAYA TANAMAN KAPULOGO DAN PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI (Studi Pada Beberapa Petani Yang Membudidayakan Tanaman Kapulogo, di Desa Sawangan, Kec. Leksono, Kab. Wonosobo Prop. Jawa Tengah) .…’96. [LAPORAN TUGAS AKHIR DIII]<br />405. PERBEDAAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK DI DESA MAGUWOHARJO KEC. DEPOK, KAB. SLEMAN PROP. DIY. .…’98.<br />406. HUBUNGAN PARTISIPASI ANGGOTA POKMAS IDT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI KELURAHAN WONOPLUMBON KEC. MIJEN KODYA SEMARANG. .…’97.<br />407. PENGARUH IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI DESA SAMBIREJO KEC. PRAMBANAN KAB. SLEMAN DIY. .…’98.<br />408. TANGGAPAN IBU RUMAH TANGGAL YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH TENTANG PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Studi Penelitian Di Kelurahan Cokrodiningratan Kec. Jenis, Kodya Yogyakarta, Prop DIY). .…’98.<br />409. HUBUNGAN KOMUNIKASI DAN MOTIVASI DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT PETANI PADA KOPERASI UNIT DESA (KUD) MARGO MULYO KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG. .…’<br />410. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Triharjo Kec. Wates Kab. Kulonprogo Prop. DIY). .…’98.<br />411. PERBEDAAN PEROLEHAN HASIL PERTANIAN BERDASARKAN STATUS PENGUASAAN TANAH DI DESA PLANGGU,. KEC. TRUCUK, KAB. KLATEN PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />412. PERSEPSI DAN PERILAKU GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT DESA DAN KOTA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. (studi di desa sariharjo kec. Ngaglik, kab. Sleman dan di kelurahan penambahan kec. Kraton kodya Yogyakarta) .…’93.<br />413. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT PADA UPAYA PENINGKATAN KESADARAN KESEHATAN LINGKUNGAN (Suatu Studi Di Kelurahan Warungboto Kec. Umbulharjo Kodya Yogyakarta Prop. DIY) .…’98.<br />414. HUBUNGAN MOTIVASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA POKMAS IDT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI KELURAHAN WONOPLUMBON KEC MIJEN KODYA SEMARANG. .…’97.<br />415. PERANAN PENDAMPING KELOMPOK MASYARAKAT DESA TERTINGGAL DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (suatu penelitian di desa-desa tertinggal kec. Bojongsari, kab. Purbalingga prop jawa tengah) .…’98.<br />416. PERANAN KEPALA DESA DALAM USAHA MENINGKATKAN KLASIFIKASI TINGKAT PERKEMBANGAN DESA DI KECAMATAN BAGELAN KAB. PURWOREJO PROP. JAWA TENGAH (Studi Penelitian Persepsi Masyarakat Tentang Peranan Kepala Desa Dalam Usaha Untuk Meningkatkan Klasifikasi Tingkat Perkembangan Desa) .…’95.<br />417. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN UPGK DI DESA MAGUWOHARJO KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROP. DIY. .…’93.<br />418. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DALAM MENGGERAKKAN PARTISIPASI WANITA MENUJU TERWUJUDNYA NORMA KELUARGA KECIL BAHAGIA DAN SEJAHTERA DI DESA BALECATUR KEC. GAMPING KAB. SLEMAN PROP.DIY. .…’93.<br />419. URGENSI KOORDINASI DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN (Studi Kasus Mengenai Peran Camat Sebagai Koordinator Pelaksanaan Pembangunan Di Wilayah Kecamatan Kalibawang Kab Kulonprogo Prop. DIY). .…’98.<br />420. KEADAAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA BAGI PARA MIGRAN DI DESA GEMANTAR, KEC. SELOGIRI, KAB WONOGIRI PROP. JAWA TENGAH. .…’93.<br />421. HUBUNGAN INTENSIFIKASI PERTANIAN TEBU DENGAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI, DI DESA KADILAJU, KEC. KARANGNONGKO, KAB KLATEN, PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />422. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA MADUREJO KEC. PRAMBANAN KAB. SLEMAN DIY. .…’93.<br />423. PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM PENINGKATAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI DESA BANGUNJIWO KEC. KASIHAN KAB. BANTUL PROP. DIY. .…’98.<br />424. PENGARUH PENATAAN KEMBALI BIROKRASI DAN PENDAPATAN DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN UMUM DI KABUPATEN BANJARNEGARA.. .…’97.<br />425. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI ANAK (Suatu Studi Kasus Di Desa Sawahan Kec. Pojong Kab. Gunungkidul Prop. DIY). .…’97.<br />426. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA (UPGK) DAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI TERHADAP PERILAKU MASYARAKAT DALAM HIDUP SEHAT (Suatu Penelitian Di Desa Srumbung, Kec. Srumbung, Kab. Magelang, Jawa Tengah). .…’97.<br />427. PERANAN KELOMPOK TANI “GADING” DALAM USAHA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ANGGOTANYA DI DESA SIDUHARJO KEC. NGAGLIK KAB. SLEMAN PROP. DIY. .…’94.<br />428. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PENYULUHAN PERTANIAN LAPANGAN (PPL) TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Wonosari, Kec Bawang, Kab Batang Prop Jawa Tengah) .…’93.<br />429. PENGARUH IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI DESA SAMBIREJO KEC. PRAMBANAN KAB. SLEMAN DIY. .…’98.<br />430. EFEKTIVITAS PERENCANAAN DARI BAWAH (BOTTOM UP PLANNING) TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIKDESA DI KEC BAWANG KAB. BANJARNEGARA PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />431. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (suatu penelitian di kelurahan pacarkling, kec. Tambaksari, kodya surabaya prop jawa timur) .…’98.<br />432. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN LOMBA DESA (Suatu Penelitian Di Desa Parigi Kec. Parigi Kab. Ciamis Prop Jawa Barat). .…’97<br />433. PERANAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN DI KODYA YOGYAKRTA. .…’96.<br />434. TINGKAT PERKEMBANGAN KERAJINAN ANYAMAN BAMBU SEBAGAI USAHA SAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA WATUSIGAR KEC. NGAWEN KAB. GUNUNGKIDUL PROP. DIY. .…’94.<br />435. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN INPRES BANTUAN PEMBANGUNAN DESA UNTUK PEMERATAAN PEMBANGUNAN DI DESA SEKARSULI KEC. KLATEN KAB. KLATEN PROP. JAWA TENGAH. .…’97.<br />436. PENGARUH TINGKAT STATUS SOSIAL EKONOMI DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP KETERLIBATAN DALAM KEGIATAN SOSIAL PADA LINGKUNGAN KOMPLEKS PERUMAHAN (Penelitian Di Kompleks Perumahan Batang Baru Desa Sinduharjo Kec. Ngaglik Kab. Sleman Prop. DIY) .…’97.<br />437. PENGARUH KETERLIBATAN WANITA SEBAGAI BURUH GENDONG TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KEHIDUPAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Pasar Beringharjo Dan Shopping Centre Kodya Yogyakarta) .…’95..<br />438. DAMPAK PERILAKU MOBILITAS SIRKULER TERHADAP PERGESERAN NILAI TATA KELAKUAN MASYARAKAT DI DAERAH ASAL (Studi Kasus Di Desa Wangunjarjo, Kec. Klangenan, Kab. Cirebon Prop. Jawa Barat).…’00<br />439. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM KEGIATAN PKK DI DESA SUMBERHARJO, KEC. PRAMBANAN KAB. SLEMAN, PROP. DIY. .…’94.<br />440. PERANAN KOPERASI PEGAWAI NEGERI DALAM USAHA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ANGGOTANYA. (suatu penelitian di kec. Klaten selatan kab. Klaten prop. Jawa tengah) .…’94.<br />441. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM TAMANISASI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEINDAHAN FISIK KOTA DI KELURAHAN BACIRO KEC. GONDOKUSUMAN, KODYA YOGYAKARTA DIY. .…’94.<br />442. STATUS SOSIAL EKONOMI DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI ANAK DI DESA KLATAKAN KEC. KENDIT KAB. SITUBONDO PROP. JAWA TIMUR. .…’93.<br />443. PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM PENINGKATAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI DESA BANGUNJIWO KEC KASIHAN KAB. BANTUL, PROP DIY. .…’96.<br />444. PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) SEBAGAI WAHANA PENGHIMPUN POTENSI EKONOMI PEDESAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI (Suatu Penelitian Di KUD “SRI RAHAYU” Desa Patutrejo, Kec. Grabag, Kab. Purworejo, Prop Jawa Tengah). .…’98.<br />445. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT UNTUK BER TRANSMIGRASI DI DESA PANGGUNGHARJO, KEC. SEWON KAB. BANTUL PROP. DIY. .…’98.<br />446. UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN TRANSMIGRASI MELALUI KEGIATAN KOPERASI UNIT DESA (Suatu Penelitian Di Desa Yuwanain, Kec. Arso Kab. Jayapura, Prop Irian Jaya) .…’98.<br />447. PENGARUH KESADARAN PERAN GANDA WANITA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN TINGKAT PENDIDIKAN ANAK DI DESA WANGON KEC. WANGON, KAB. BANYUMAS PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />448. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK (Suatu Studi Tentang Pengaruh Tingkat Pendidikan Orang Tua Dan Status Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Prestasi Belajar Anak Di Kampung Gendeng Kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman, Prop DIY) .…’90.<br />449. PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA PURO KEC. KARANG MALANG KAB SRAGEN PROP JAWA TENGAH (Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Interaksi Sosial, Persepsi Terhadap Pembangunan Desa Dengan Partisipasi Pemuda Dalam Pembangunan Desa). .…’93.<br />450. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN UPGK DI DESA MAGUWOHARJO KEC. DEPOK KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’93.<br />451. PENGARUH INTENSITAS PELAYANAN PROGRAM JAM WAJIB BELAJAR MASYARAKAT TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK DI SEKOLAH (Suatu Penelitian di Kelurahan Baciro, Kodya Yogyakarta, Prop DIY)...’98<br />452. PENGARUH AKTIVITAS PENGURUS LKMD DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sukomulyo Kec. Rowokele Kab. Kebumen, Prop Jawa Tengah). .…’98.<br />453. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DAN PARTISIPASI IBU BALITA TERHADAP KEBERHASILAN PROGRAM BINA KELURGA BALITA (BKB) DI DESA WATUSIGAR, KEC, NGAWEN, KAB. GUNUNGKIDUL, PROP. DIY. .…’97.<br />454. PEMANFAATAN PEKARANGAN DALAM USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGAA (Suatu Penelitian Di Desa Genjaban, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul, Prop. DIY) .…’94.<br />455. PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG PEMILIHAN KEPALA DESA DALAM KAITANNYA DENGAN MANFAAT PELAKSANAAN FUNGSI DAN TUGAS KEPALA DESA (studi kasus di desa ciborelang, kec. Jatiwangi, kab. Majalengka, prop jawa barat). .…’98.<br />456. PERSEPSI MASYARAKAT DESA TERHADAP PELEMBAGAAN KELUARGA KECIL MELALUI KELUARGA BERENCANA DI DESA KEDUNGKIRIS KEC. NGLIPAR KAB. GUNUNGKIDUL PROP. YOGYAKARTA. .…’94.<br />457. HUBUNGAN INTENSIFIKASI PERTANIAN TEBU DENGAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI DESA KADILAJU, KEC. KARANGNONGKO, KAB. KLATEN PROP. JAWA TENGAH. .…’98.<br />458. PARANAN P2W-KSS DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Studi Keberhasilan P2W-KSS Desa Beji Kec Ngawen, Kab. Gunungkidul Prop. DIY). .…’98.<br />459. PENGARUH KETERLIBATAN BURUH WANITA INDUSTRI SARUNG TANGAN “KIHO” TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA KEC. BERBAH, KAB SLEMAN PROP. DIY. .…’94.<br />460. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA DONOKERTO, KEC. TURI, KAB SLEMAN, PROP DIY. .…’97.<br />461. KEGIATAN POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN BELITA (Suatu Penelitian Di Desa Giri Peni Kec. Wates, Kab Kulonprogo Prop DIY) .…’98.<br />462. EFEKTIVITAS KOPERASI UNIT DESA DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI MENUJU KESEJAHTERAAN PETANI DI DESA PALBAPANG KEC. BANTUL, KAB. BANTUL PROP DIY. .…’96.<br />463. PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN EKLUARGA MELALUI USAHA INDUSTRI KERAJINAN CAPING DI DESA WATUSIGAR, KEC. NGAWEN, KAB. GUNUNGKIDUL PROP DIY. .…’95.<br />464. PERANAN PETUGAS LAPANGAN KELUARGA BERENCANA DAN APARAT DESA DALAM USAHA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA (studi di desa plosowangi kec. Cawas, kab. Klaten, prop jawa tengah). .…’94.<br />465. HUBUNGAN INTENSITAS PENYULUHAN DAN INTENSITAS INFORMASI NON FORMAL TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK BER TRANSMIGRASI. .…’98.<br />466. PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT PARTISIPASINYA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (suatu penelitian di desa ganjahan, kec. Ponjong, kab. Gunungkidul, prop. DIY) .…’94.<br />467. PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) SEBAGAI WAHANA PENGHIMPUN POTENSI EKONOMI PEDESAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI (Suatu Penelitian Di KUD “SRI RAHAYU” Desa Patutrejo, Kec. Grabag, Kab. Purworejo, Prop Jawa Tengah) .…’98.<br />468. INSEMINASI BUATAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANAN TERNAK SAPI PERAH DALAM USAHA MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA (Daerah Penelitian Di Desa Hargobinangun Kec. Pakem, Kab. Sleman, Prop DIY) .…’98.<br />469. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA BOKOHARJO KEC, PRAMBANAN, KAB. SLEMAN, PROP DIY. .…’93.<br />470. EFEKTIVITAS ORGANISASI RUKUN WARGA (RW) DALAM MENINGKATKAN SWADAYA GOTONGROYONG (Di Desa Ngunut Kec. Playen, Kab. Gunungkidul Prop DIY). .…’98.<br />471. EFEKTIVITAS PEMANFAATAN TANAH PEKARANGAN DAN NILAI EKONOMISNYA DALAM KELUARGA (Penelitian Di Desa Sendangadi Kec. Mlati, Kab. Sleman Prop DIY) .…’93.<br />472. AKTIVITAS WANITA DALAM PKK SERTA PERNANNYA TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (suatu studi tentang aktivitas wanita dalam PKK serta peranannya terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga, di kalangan masyarakat desa sentolo, kec, sentolo, kab. Kulonprogo prop DIY. …’97.<br />473. PENGARUH KEMAMPUAN ADMINISTRATOR PEMERINTAH DESA DAN SISTEM INFORMASI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (suatu studi penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di kec. Ngawen kab. Gunungkidul prop DIY) …’97.<br />474. PENGARUH PERAN GANDA WANITA DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA JAMBANAN, KEC. SIDOHARJO, KAB. SRAGEN, PROP. JAWA TENGAH. …’.<br />475. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) TERHADAP PARTISIPASI PEMBANGUNAN KESEHATAN LINGKUNGAN (suatu penelitian di desa ngestiharjo, kec. Kasihan, kab. Bantul prop. DIY. …’94.<br />476. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURANG BERMINATNYA MASYARAKAT IKUT BER TRANSMIGRASI DI DESA KANOMAN, KEC. PANJATAN, KAB KULONPROGO PROP DIY. …’94.<br />477. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK SLTP DI DESA GIRIREJO, KEC. IMOGIRI, KAB. BANTUL PROP DIY. …’98.<br />478. KETERKAITAN INDUSTRI SAPU RAYUNG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELURGA DI DESA BOJONG KEC. MUNGKID KAB. MAGELANG, PROP JAWA TENGAH. …’98.<br />479. PENGARUH PNYULUH PERTANIAN LAPANGAN TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI DESA BOKOHARJO KEC. PRAMBANAN, KAB. SLEMAN PROP. DIY. …’93.<br />480. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PROGRAM POSYANDU DI DESA SRIMARTANI KEC. PIYUNGAN KAB BANTUL PROP. DIY. …’98.<br />481. PENGARUH INFORMASI DAN PENDIDIKAN TERHADAP SIKAP MASYARAKAT TENTANG TRANSMIGRASI (studi penelitian di desa sidomulyo, kec. Pengasih, kab. Kulonprogo prop DIY) …’94.<br />482. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA TERHADAP PEMBERIAN KESEMPATAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA CATURTUNGGAL KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN PROPINSI DIY. …’94.<br />483. PERANAN TRANSMIGRASI DALAM MININGKATKAN TARAF HIDUP WARGA TRANSMIGRAN (Di Lokasi Transmigrasi Batumarta, Kec. Peninjauan, Kab. Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatra Selatan. …’98.<br />484. PERANAN INDUSTRI PENGECORAN ALUMINIUM TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI KELURAHAN SOROSUTAN KEC. UMBULHARJO, KODYA YOGYAKARTA. …’96.<br />485. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK (suatu penelitian tentang status sosial ekonomi orang tua, di desa watusigar, kec. Ngawen, kab. Gunungkidul, prop DIY) …’95.<br />486. PERANAN ORANG TUA DALAM MOTIVASI BELAJAR ANAK SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR DI SLTP N 2 KEC. CILACAP TENGAH KAB CILACAP PROP JAWA TENGAH. …’98.<br />487. PEMANFAATAN DANA INPRES DESA TERTINGGAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT KHUSUSNYA PEDAGANG KAKI LIMA (studi kasus di POKMAS jati mulyo I / kopen desa lumbungrejo kec. Tempel, kab. Sleman, prop DIY. …’99.<br />488. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP PENGUASAAN INFORMASI TENTANG PELUANG KERJA DI KELURAHAN PRENGGAN KEC. KOTAGEDE KODYA YOGYAKARTA, PROP DIY. …’93.<br />489. AKTIVITAS BERBAGAI MACAM INDUSTRI PERUMAHAN (HOME INDUSTRI) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Explonotori Di Desa Sumber Agung, Kec, Moyudan, Kab. Sleman, Prop DIY) …’98.<br />490. DAMPAK TRANSAKSI DI SEKTOR INFORMAL KHUSUSNYA PADA PEDAGANG KAKI LIMA DI LIHAT DARI PROSES INTERAKSI ANTARA PENJAJA DAN PEMBELI (Studi Interaksi Di Malioboro, Kelurahan, Soswomenduran, Kec. Gedung Tengen, Kodya Yogyakarta) …’98.<br />491. HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN KELUARGA YANG HARMONIS DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP TIMBULNYA KENAKALAN REMAJA. (studi kasus di lingkungan perumahan kalibagor indah kec. Kalibagor, kab banyumas) …’00.<br />492. PROGRAM KERJA PAKET A SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT ADOPSI INOVASI MASYARAKAT DESA DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (PKMD) DI KECAMATAN SOIBADA, KAB MANATUTO, TIMUR LESTE, …’93.<br />493. TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) (suatu penelitian di desa ngatabaru kec sigi biromaru, kab. Donggala prop. Sulawesi tengah) …’97.<br />494. PENGARUH DIVERSIFIKASI USAHA PERTANIAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PETANI (Suatu penelitian di desa mulyodadi, kec bambanglipiro kab. Bantul, prop DIY) …’96.<br />495. PENGARUH PENATAAN KEMBALI BIROKRASI DAN PENDAPATAN DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN UMUM DI KABUPATEN BANJARNEGARA. …’97.<br />496. PENGARUH PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PROGRAM BANTUAN PEMBANGUNAN DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA, DI DESA BLATER DAN RABAK KEC. KALIMANAH, KAB PURBALINGGA.. .…’<br />497. EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN (studi kasus di desa watusigar, kec. Ngawen,kab. Gunungkidul, DIY) .…’96.<br />498. PERANAN LKMD DAN KPD DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (PKMD) DI DESA SUMBERAGUNG KEC MOYUDAN, KAB. SLEMAN, PROP. DIY. …’97.<br />499. PENGARUH LISTRIK MASUK DESA TERHADAP TINGKAT PERTUMBUHAN EKONOMI RUMAH TANGGA, DI DESA PINGIT KEC. RAKIT KAB.BANJARNEGARA JAWA TENGAH. .…’<br />500. PELAKSANAAN PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) DAN KESWADAYAAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ANGGOTA POKMAS PENERIMA DANA IDT (Studi Penelitian Di Desa Jetis Lor, Kec, Nawangan, Kab. Pacitan, Jawa Timur) .…’97.<br />501. PENGARUH PENATAAN KEMBALI BIROKRASI DAN PENDAPATAN DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN UMUM DI KABUPATEN BANJARNEGARA. .…’97.<br />502. PENGARUH KEMAMPUAN ADMINISTRATOR PEMERINTAH DESA DAN SISTEM INFORMASI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Penelitian Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa Di Kec. Ngawen Kab. Gunungkidu DIY) .…’97.<br />503. PERANAN ORANG TUA DALAM MOTIVASI BELAJAR ANAK SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DI SEKOLAH SLTP N 2 KEC. CILACAP TENGAH, KAB. CICALACAP JAWA TENGAH..…’98<br />504. USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DENGAN PEMANFAATAN TANAH PEKARANGAN (Suatu Penelitian Di Desa Bojong, Kec. Purbalingga, Kab. Purbalingga, Prop Jawa Tengah) .…’97.<br />505. PELAKSANAAN PENGGUNAAN DANA BANTUAN DESA DI DESA IMOGIRI KEC. IMOGIRI KAB BANTUL PROP. DIY. .…’91.<br />506. EFEKTIVITAS PEMANFAATAN TANAH PEKARANGAN DAN NILAI EKONOMISNYA DALAM KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Grogol Kec. Paliyan, Kab Gunungkidul, Prop. DIY) .…’98.<br />507. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKA PENDAPATAN TERHADAP UPAYA UNTUK MENUMBUHKAN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA MADUREJO KEC. PRAMBANAN, KAB SLEMAN, PROP. DIY. .…’93<br />508. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ORANG TUA TENTANG NILAI ANAK DAN PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN KESEMPATAN ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN FORMAL (Sebuah Studi Penelitian Di Desa Karang Duwet Kec. Paliyan, Kab. Gunungkidul Prop DIY) .…’98.<br />509. PENGARUH KUALIFIKASI APARATUR PEMERINTAH DESA SEBAGAI MOTIVATOR DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Tentang Kualifikasi Aparatur Pemerintah Desa Sebagai Motivator Dalam Pelaksanaan Program Pembangunan Desa Di Desa Watusigar, Kec Ngawen, Kab. Gunungkidul Prop DIY) .…’95.<br />510. PROFIL TUKANG BECAK DENGAN TINGKAT KEHIDUPAN KELUARGANYA (Di Desa Wates Kec. Wates, Kab. Kulonprogo Prop DIY) .…’97.<br />511. HUBUNGAN STATUS PENGUASAAN TANAH DENGAN PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA PANGGUNGHARJO, KEC SEWON, KAB. BANTUL PROP DIY. .…’98.<br />512. PENGARUH PERAN GANDA WANITA DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA JAMBANAN, KEC. SIDOHARJO, KAB. SRAGEN PROP. JAWA TENGAH. .…’<br />513. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA BLAMBANGAN KEC. BAWANG, KAB. BANJARNEGARA PROP JAWA TENGAH..…’97.<br />514. PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA MELALUI STIMULANS YANG DIBERIKAN DI DESA WONOKERTO KEC. WONOGIRI, KAB. WONOGIRI, PROP. JAWA TENGAH. .…’97.<br />515. USAHA KERAJINAN KULIT DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA WUKIRSARI KEC. IMOGIRI, KAB BANTUL, PROP DIY. .…’98.<br />516. PAMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN TERHADAP USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA PANJATAN KEC. PENJATAN KAB. KULONPROGO, PROP DIY. .…’93.<br />517. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA, DI DESA DONOKERTO, KEC. TURI, KAB SLEMAN PROP.DIY. .…’96.<br />518. PENGARUH AKTIVITAS PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELARGA SEHAT SEJAHTERA (P2W-KSS) TERHADAP PARTISIPASI WANITA DALAM PEMBANGUNAN DESA. (Suatu Penelitian Di Desa Beji, Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul DIY) .…’94<br />519. STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Penelitian Tentang Faktor Pendidikan Dan Pendapatan Orang Tua Di Desa Pegedongan, Kec. Banjarnegara, Kab. Banjarnegara Prop. Jawa Tengah) .…’98.<br />520. ANALISA GENDER DALAM KEDUDUKAN DAN PERANAN WANITA UNTUK MEWUJUDKAN KELARGA SEHAT SEJAHTERA (Suatu Penelitian Di Desa Welahan Wetan, Kec. Adipala, Keb Cilacap, Jawa Tengah) .…’97.<br />521. PERANAN ORANG TUA DALAM MOTIVASI BELAJAR ANAK SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR DI SEKOLAH SLTP N 2 KEC. CILACAP TENGAH KAB. CILACAP JAWA TENGAH. .…’98.<br />522. PERANAN LKMD DAN KPD DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (PKMD) DI DESA SUMBERAGUNG KEC MOYUDAN, KAB. SLEMAN, PROP. DIY. …’97.<br />523. HUBUNGAN KELOMPOK USAHA PRODUKTIF TERPADU PENYANDANG CACAT DAN TANGGAPAN MASYARAKAT DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PENYANDANG CACAT DALAM PEMBANGUNAN (Suatu Penelitian Pada Pilot Proyek Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial Prop DIY) …’93.<br />524. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN SUAMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ISTRI TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN ISTRI BEKERJA DI LUAR RUMAH. (Desa Sendangsari, Kec. Pangasih, Kab. Kulonprogo, Prop DIY). …’98.<br />525. PERANAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN KELUARGA (suatu penelitian pada masyarakat desa watusigar, kec. Ngawean, kab gunungkidul DIY) …’97.<br />526. PENGAGALIAN SUMBER KEKAYAAN DESA DALAM KAITANNYA DENGAN KEMAMPUAN APARAT PEMERINTAH DESA GUNA MENINGKATKAN ANGGARAN PENERIMAAN DAN PENGELUARAN KEUANGAN DESA (APPKD) (Suatu Penelitian Di Desa Jenar Wetan, Kec. Purwodadi, Keb. Purworejo, Prop Jawa Tengah). …’98.<br />527. STATUS SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT (Suatu Penelitian Tentang Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pembangunan Di Desa Karangtengah, Kec. Sampang, Kab. Cilacap Prop Jawa Tengah) …’97<br />528. PERANAN KELOMPENCAPIR DALAM MENINGKATKAN PENGHASILAN KELUARGA DI DESA BANYUREJO KEC. TEMPEL, KAB. SLEMAN, PROP DIY. …’98.<br />529. POLA USAHA INTENSIFIKASI TANAMAN CABE MERAH DENGAN SISTEM MPHP TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI (Suatu Penelitian di Damarkasiyan Kec Kertek, Kab. Wonosobo, Jawa Tengah.(’97)<br />530. MOTIVASI MEMELIHARA AYAM PETELUR DAN PERSEPSI TENTANG AYAM BERKUALITAS DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA SRIKAYANGAN, KEC SENTORLO, KAB KULONPROGO PROP DIY) …’97.<br />531. KETERLIBATAN IBU BEKERJA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA TOHUDAN KEC. COLOMADU KAB. KARANGANYAR PROP JAWA TENGAH. …’98.<br />532. PERANAN KOPERASI PERIKANAN LAUT (KPL) DALAM MENINGKATKAN HASIL PENANGKAPAN IKAN PARA NELAYAN DI DESA ERETAN WETAN, KEC. KANDANGHAUR, KAB. INDRAMAYU PROP JAWA BARAT. …’90<br />533. FAKTOR-FAKTOR PEMISKINAN PETANI DAN UPAYA MEMBERDAYAKANNYA DI PEDESAAN (Suatu Penelitian Di Desa Jolosekti, Kec. Subah, Kab. Batang Prop Jawa Tengah). …’00.<br />534. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DAN TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA TERHADAP PELAKSANAAN IMUNISASI BAYI SERTA ANAK BELITA (suatu penelitian di desa kanoman, kec. Panjatan, kabupaten, kulonprogo, prop. DIY) .…’98.<br />535. SIKAP BERWIRAUSAHA MASYARAKAT DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM USAHA SEWA/KONTRAK RUMAH TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Kelurahan Klitren, Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta, DIY) .…’97.<br />536. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI IBU RUMAH TANGGA DALAM KEGIATAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) DENGAN TINGKAT KESEHATAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA DI DESA SUBERARI KEC. MLATI, KAB. SLEMAN,PROP. DIY .…’93<br />537. FUNGSI KADER PEMBANGUNAN DESA DALAM MENGEFEKTIFKAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA DI KEC. MOYUDAN KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’94.<br />538. PERSEPSI MASYARAKAT DESA TERHADAP PELEMBAGAAN KELUARGA KECIL MELALUI KELUARGA BERENCANA DI DESA KEDUNGKERIS KECAMATAN NGLIPAR KAB. GUNUNGKIDUL PROP. DIY. .…’94.<br />539. PERANAN KOPERASI PERSATUAN PEDAGANG KAKI LIMA YOGYAKARTA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA .…’98.<br />540. TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP PRGRAOM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) (suatu penelitian di desa ngatabaru kec. Sigi biromaru, kab. Donggala, prop sulawesi tengah). .…’97.<br />541. KORELASI ANTARA KEBERHASILAN PROGRAM BEBAS TIGA BUTA (B3B) DALAM PENCAPAIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DI DESA BIRIT KEC. WEDI KAB. KLATEN PROP JAWA TENGAH. .…’98.<br />542. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA KARANGANYAR KEC. PITURUH KAB. PURWOREJO PROP. JAWA TENGAH. .…’94.<br />543. PARANAN KELOMPENCAPIR DALAM MENINGKATKAN PENGHASILAN KELUARGA DI DESA BANYUREJO KEC. TEMPEL, KAB. SLEMAN, PROP DIY. .…’98.<br />544. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ORANG TUA TANTANG NILAI ANAK DAN PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN KESEMPATAN ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN FORMAL .…’95.<br />545. PENGARUH KOMUNIKASI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP SIKAP MASYARAKAT MENGENAI WAJIB BELAJAR. .…’96.<br />546. PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL USAHA TANI TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI DESA DONOHARJO KEC. NGAGLIK KAB. SLEMAN PROP DIY. .…’97.<br />547. PERANAN KELOMPOK KHUSUS (POKSUS) UP2K DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian diKelurahan Sunyaragi, Kec. Kesambi, Kodya Cirebon Prop Jawa Barat).....’94.<br />548. HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN BERDASARKAN LUAS TANAH GARAPAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI DI DESA GIRIREJO, KEC. IMOGIRI, KAB. BANTUL PROP. DIY. .…’98.<br />549. TINGKAT PARTISIPASI IBU-IBU DALAM PKK DENGAN KEBERHASILAN PADA PERLOMBAAN KELURAHAN (Suatu Studi Kasus Di Kelurahan Gayamsari Kec. Gayamsari, Kodya Semarang Prop Jawa Tengah) .…’97.<br />550. PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN TUGAS KADER PEMBANGUNAN DESA (KPD) (Suatu Penelitian Di Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman Prop DIY) .…’98<br />551. PENGARUH PENGELOLAAN BANTUAN DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI KELURAHAN CABEAN KECAMATAN SEMARANG BARAT, KODYA SEMARANG.…’97.<br />552. PERANAN PETUGAS LAPANGAN KELUARGA BERENCANA DAN APARAT DESA DALAM USAHA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA (Studi Di Desa Plosowangi Kec. Cawas Kab. Klaten, Prop Jawa Tengah). .…’94.<br />553. PERANAN INDUSTRI KERAJINAN KUNINGAN TERHADDAP TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DI KEC. KOTAGEDE KODYA YOGYAKARTA PROP DIY. .…’97<br />554. PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN TERHADAP USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA PANJATAN KEC. PANJATAN KAB. KULONPROGO PROP. DIY. .…’93.<br />555. PERANAN BIMBINGAN DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN (TUNA GRAHITA) DI PUSAT RSBG (REHABILITASI SOSIAL BINA GRAHITA) “KARTINI” TEMANGGUNG (Suatu Penelitian Di Kelurahan Kertosari, Kec. Temanggung, Kab. Temanggung, Prop Jawa Tengah). .…’98<br />556. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP MOTIVASI MASYARAKAT DALAM INDUSTRI GULA KELAPA (suatu penelitian di desa tritih lor, kec jeruk legi, kab. Cilacap, prop jawa tengah) .…’97.<br />557. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB POKMAS DALAM PELAKSANAAN IDT DI KEC. KEDUNG, KAB. JEPARA. .…’98.<br />558. PENGARUH TINGKAT SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN POLA ASUH ANAK TERHADAP MOTIVASI BELAJAR ANAK SD/SLTP DI DESA SIDOREJO, KEC. PONJONG, KAB. GUNUNGKIDUL DIY. .…’97.<br />559. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN POLA BERPIKIR MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA ARI PUTIH BARU, KEC. CURUP KAB. REJANG LEBONG PROP BENGKULU. .…’94.<br />560. HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP KEMAMPUAN MEMOTIVASI -= -= - MUJAMUJU KEC. UMBULHARJO, PROP DIY.…’94<br />561. KETERKAITAN INDUSTRI SAPU RAYUNG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA BOJONG KEC. MUNKID, KAB. MAGELANG, PROP JAWA TENGAH. .…’98.<br />562. PENGARUH KEMAMPUAN ADMINISTRATOR PEMERINTAH DESA DAN SISTEM INFORMASI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Penelitian Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa Di Kec. Ngawen, Kab. Gunungkidul Prop DIY. .…’97.<br />563. AKTUALISASI BULAN BAKTI LKMD DAN PERANAN TIM PEMBINA TEKNIS KECAMATAN TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGELOLA PEMBANGUNAN DESA TERPADU DI DESA SUMBERARUM, KEC. MOYODAN, KAB. SLEMAN PROP. DIY. .…’94.<br />564. HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI RENDAH DAN INFORMASI NON FORMAL DARI WARGA TRANSMIGRAN DENGAN MOTIVASI BERTRANSMIGRASI (Suatu Penelitian Di Desa Selomartani, Kab. Sleman, Prop DIY) .…’94<br />565. PELAKSANAAN LANDREFORM DAN MASALAH-MASALAHNYA (Suatu Studi Tentang Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian dan Masalahnya di Kab Lombok Timur Prop NTB) .…’98.<br />566. PEMANFAATAN REMITAN TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA DI PEDESAAN (Studi Migrasi Sirkuler Di Desa Kerjo Lor, Kec. Ngadirojo, Kab. Wonogiri, Prop Jawa Tengah). .…’99.<br />567. HUBUNGAN INDUSTRI KERAJINAN PERAK DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI KELURAHAN PURBAYAN, KEC. KOTAGEDE KODYA YOGYAKARTA. .…’98.<br />568. PELAKSANAAN PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PARA ANGGOTA PENERIMA DANA IDT DI DESA PETIR KEC. PURWONEGORO, KAB. BANJARNEGARA PROP JAWA TENGAH. .…’98.<br />569. PENGARUH BESARNYA PENERIMAAN WESEL DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWA DI ASRAMA PUTRI GENDENG TIMUR KELURAHAN BACIRO KEC. GONDOKUSUMAN, KODYA YOGYAKARTA. DIY. .…’98.<br />570. TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DAN PELAKSANAAN LOMBA DESA (Studi Kasus Di Desa Tertinggal) Di Desa Watu Sigar, Kec Ngawen Kab. Gunungkidul, Prop DIY. ……’95.<br />571. PERANAN UNIT DAERAH KERJA PEMBANGUNAN (UDKP) DALAM MENINGKATKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI KECAMATAN SIGALUH KAB. BANJARNEGARA PROP JAWA TENGAH. .…’98.<br />572. INTENSITAS UPAYA PRIMKOPTI TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KESEJAHTERAAN ANGGOTA (suatu penelitian di kecamatan purbalingga, kab. Purbalingga, prop jawa tengah) .…’97.<br />573. HUBUNGAN PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA MADUREJO KEC. PRAMBANAN, KAB SLEMAN PROP DIY.…’93.<br />574. URGENSI KOORDINASI DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN (Studi Kasus Mengenai Peran Camat Sebagai Koordinator Pelaksanaan Pembangunan Di Wilayah Kecamatan Kalibawang Keb. Kulonprogo Prop. DIY) .…’98.<br />575. HUBUNGAN MOBILITAS ORANG TUA DAN PERSEPSI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DI DESA PENDOWOHARJO KEC. SEWON KAB. BANTUL PROP DIY. .…’94.<br />576. PARTISIPASI IBU DALAM KEGIATAN POSYANDU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN BALITA (studi penelitian deskriptif di desa widodomartani, kec. Ngemplak, kab. Sleman, prop DIY) .…’96.<br />577. PENGARUH PERAN GANDA WANITA TERHADAP TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA TROKETON, KEC. PEDAN, KAB. KLATEN PROP. JAWA TENGAH. .…’96.<br />578. PELAKSANAAN LANDREFORM DAN MASALAH-MASALAHNYA (Suatu Studi Tentang Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian dan Masalahnya di Kab Lombok Timur Prop NTB) .…’98.<br />579. PERANAN KOPERASI PERSATUAN PEDAGANG KAKI LIMA YOGYAKARTA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA .…’98.<br />580. PENARI TAYUB DI DESA SRIMULYO (Studi kasus tentang Latar Belakang, Motivasi dan phenomena kemungkinan terjadinya penyimpangan seksualitas di desa Srimulyo, Kecamatan Gondang. Kabupaten Sragen)….’95<br />581. PERANAN PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DALAM MENGGERAKKAN PARTISIPASI WANITA MENUJU TERWUJUDNYA NORMA KELUARGA KECIL BAHAGIA DAN SEJAHTERA DI KELURAHAN PLALANGAN, KEC. GUNUNGPATI, KODYA SEMARANG, JAWA TENGAH.….’96.<br />582. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGERUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA BLAMBANGAN KEC. BAWANG, KAB. BANJARNEGARA, PROP JAWA TENGAH. ….’97.<br />583. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KOPERASI PEGAWA NEGERI (Suatu Penelitian Pada KPN “JUJUR” Di Wilayah Kec Cicacap Tengah, Kab. Cilacap Prop. Jawa Tengah) ….’96.<br />584. PEMANFAATAN DANA INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT (Studi Penelitian Di Desa Watusigar, Kec. Ngawen, Kab. Gunungkidul, Prop DIY) ….’97.<br />585. INTENSIFIKASI PENANAMAN CABE MERAH DALAM USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI DESA SRIGADING KEC. SANDEN KAB. BANTUL PROP DIY. ….’96.<br />586. PERANAN USAHA PELAYANAN SOSIAL DALAM USAHA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN HIDUP WANITA DI SASANA REHABILITASI KARYA WANITA SIDOARUM YOGYAKARTA….’90<br />587. PENGARUH PROGRAM SIMPEDES, BANK RAKYAT INDONESIA TERHADAP MOTIVASI MASYARAKAT DESA UNTUK MENABUNG DI DESA BAGELEN KEC. BAGELEN, KAB. PURWOREJO PROP JAWA TENGAH. .….’90<br />588. PERANAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (LKMD) TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DESA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA KHUSUSNYA KESEHATAN LINGKUNGAN DI DESA MADUREJO, KEC. PRAMBANAN, KAB. SLEMAN PROP DIY. .….’92.<br />589. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN IBU TERHADAP PELAKSANAAN IMUNISASI DI DESA GADUNGAN, KEC. WEDI KAB. KLATEN PROP JAWA TENGAH. .….’93.<br />590. PENGARUH PEMANFAATAN BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DAN PENGAWASAN TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA PENARUBAN, KEC. WELERI, KAB. KENDAL, .….’96.<br />591. PENGARUH AKTIVITAS INDUSTRI KERAJINAN BAMBU TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA. .….’95.<br />592. HUBUNGAN INTENSITAS PENYULUHAN DAN INTENSITAS INFORMASI NON FORMAL TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK BER TRANSMIGRASI. .….’98.<br />593. PENGARUH KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI KUD (Studi Penelitian Di KUD “SYUKUR” Desa Tuban, Kec. Gondangrejo, Kab. Karanganyar, Prop Jawa Tengah). .….’98.<br />594. PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA MELALUI INDUSTRI KECIL KERAJINAN CAPING DI DESA WATUSIGAR, KEC. NGAWEN KAB. GUNUNGKIDUL PROP DIY. .….’95.<br />595. HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI IBU DALAM ORGANISASI PKK DENGAN USAHA PENINGKATAN KESADARAN IBU DALAM MEMELIHARA KESEHATAN KELUARGA DI KELURAHAN KARANGANYAR, KEC. KARANGANYAR, KAB. KEBUMEN, PROP JAWA TENGAH. .….’98.<br />596. HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN FUNGSI KELUARGA YANG DILAKUKAN OLEH PANTI ASUHAN DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN ANAK YATIM PIATU (Suatu Penelitian Di Desa Sumber Mulyo, Kec. Bambanglipiro, Kab Bantul, Prop DIY). .….’98<br />597. PENDAPATAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN KELUARGA (Studi Kasus Tentang Upaya Tukang Parkir Dalam Memenuhi Kebutuhan Keluarga) Di Kelurahan Klitren Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta. .….’98.<br />598. PERANAN KOPTI DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN PENGRAJIN TAHU-TEMPE DI DESA KUTOSARI KEC. KEBUMEN, KAB KEBUMEN PROP JAWA TENGAH. .….’98.<br />599. UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA MELALUI USAHA SAMPINGAN BETERNAK AYAM PEDAGING (BROILLER) DI DESA BANYUSARI KEC. TEGALREJO, KAB. MAGELANG, PROP JAWA TENGAH. .….’98.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-31764170503281199582008-08-08T13:06:00.001+07:002008-08-20T03:14:45.326+07:00SKRIPSI SOSIAL - PEMERINTAHAN IV [KODE Y]601. PENGARUH KEPIMIMPINAN KEPALA DESA DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA. (Suatu Penelitian Di Desa Arungering, Kec. Kedungpring, Kab. Lamongan, Prop. Jawa Timur).….’98<br />602. KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DI KEC. BULAKAMBANG, KAB. BREBES, JAWA TENGAH. ….’94.<br />603. PENGARUH KEPEMIMPINAN TIM PENGURUS PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DESA DAN KOMUNIKASI ANTAR PERSONAL DALAM USAHA UNTUK MENINGKATKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Desa Slatri, Kec. Larangan, Kab. Brebes) ….’98<br />604. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI SEMANGAT KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA PEGAWAI, (Studi Penelitian Di Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja, Prop DIY). ….’98.<br />605. KEPEMIMPINAN CAMAT DAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DI KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN CILACAP. ….’97<br />606. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENGGERAKKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PROSES PEMBANGUNAN DESA DI DESA KARANG GETAS KEC. WIDASARI, KAB. INDRAMAYU, PROP JAWA BARAT. ….’94<br />607. UPAH DAN JAMINAN SOSIAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN BURUH DI DESA TEGALREJO, KEC. CEPER, KAB KLATEN JAWA TENGAH. ….’93<br />608. PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MEMANFAATKAN INPRES BANTUAN DESA GUNA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA SUMBERARUM KEC. MOYUDAN, KAB. SLEMAN, PROP DIY….’94.<br />609. PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT UNTUK MENUNJANG PEMBANGUNAN FISIK DESA. ….’93.<br />610. HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN TIM PENGGERAK PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DESA DAN KOMUNIKASI ANTAR PERSONAL DENGAN KEBERHASILAN POSYANDU (Suatu Penelitian Di Kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman, Kodya Yogyakarta) ….’94.<br />611. TINGKAT EFEKTIVITAS PENERAPAN MATERI MENTAL, FISIK DAN DISIPLIN (NFD) DALAM MEMBENTUK SIKAP MENTAL PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA DIKLAT STRUKTURAL/PENJENJANGAN DI LINGKUNGAN PEMDA DIY. ….’99.<br />612. PERANAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL. ….’97.<br />613. PENGARUH KEPEMIMPINAN ELITE LOKAL TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA. (Suatu Penelitian Tentang Persepsi Kepemimpinan Elite Di Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman Prop DIY). ….’98.<br />614. PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN (Di Pabrik Teh PT. Tunggal Naga, Adiwena, Kab. Tegal Prop Jawa Tengah) ….’96<br />615. PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Studi Tentang Pengaruh Kepemimpinan Kepala Desa Dan Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa Di Desa Donokerto, Kec. Turi Kab. Sleman, Prop. DIY). ….’97.<br />616. HUBUNGAN TINGKAT MATURITY PEGAWAI DENGAN PRESTASI KERJA (Suatu Penelitian Perilaku Di PT. JAMSOSTEK (Persero) Cabang Yogyakarta. ….’98<br />617. PENGARUH KEPEMIMPINAN PEMIMPIN INFORMAL TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DI KELURAHAN GOMBONG KEC. GOMBONG KAB. KEBUMEN PROP. DIY. ….’98.<br />618. PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA DESA TERHADAP DISIPLIN KERJA PERANGKAT DESA DALAM WILAYAH KECAMATAN PEJAWARAN, KAB. BANJARNEGARA PROP JAWA TENGAH ….’98<br />619. TINGKAT KUALITAS LMD DAN TINGKAT MEKANISME KERJA YANG BAIK AKAN MEMPENGARUHI TINGKAT PELAKSANAAN TUGAS LMD DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA (Studi Kasus Di Desa Pandowoharjo, Kec. Sleman, Kab Sleman, Prop. DIY) ….’98.<br />620. PENGARUH PERSEPSI PEGAWAI TENTANG PIMPINAN DAN PENGAWASAN TERHADAP EVEKTIVITAS PELAKSANAAN TUGAS DI KANTOR PERBENDAHARAAN DAN KAS NEGARA SURABAYA PROP JAWA TIMUR. ….’97.<br />621. PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Mengenai Pengaruh Kepemimpinan Kepala Desa Dan Partisipasi Masyarakat Desa Terhadap Keberhasilan Pembangunan Desa Di Desa Karanggeneng, Kec. Kunduran, Kab. Blora, Prop Jawa Tengah) ….’96.<br />622. PENGARUH PEMIMPIN FORMAL TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGADAAN AIR BERSIH (Suatu Penelitian Di Desa Wukirharjo, Kec. Prambanan, Kab Sleman Prop DIY) ….’97.<br />623. PENGARUH PEMIMPIN NON FORMAL TERHADAP PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA MINOMARTANI KEC. NGAGLIK, KAB. SLEMAN DIY. ….’93.<br />624. FUNGSI KEPEMIMPINAN FORMAL TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Studi Tentang Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Masyarakat Di Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kab Sleman, Prop DIY).<br />625. PERANAN PEMIMPIN NON FORMAL DALAM MENCIPTAKAN KELUARGA SEJAHTERA DI KELURAHAN MRANTI, KEC, PURWOREJO, KAB. PURWOREJO. ….’98.<br />626. KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT UNTUK MENUNJANG PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Pada Masyarakat Desa Trihanggo, Kec. Gamping, Kab Sleman Prop DIY) ….’97<br />627. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN ETOS KERJA TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN PEGAWAI DI KEC. LOA KULU…...’98<br />628. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP DISIPLIN KERJA APARAT DESA SERTA PARTISIPASI MASYARAKAT DENGAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA TEGOREJO, KEC. PEGANDON, KAB KENDAL….’96<br />629. PELAKSANAAN SISTEM ANTAR KERJA, PENYALURAN DAN PENEMPATAN KERJA INDONESIA DI KODYA YOGYAKARTA …..’93.<br />630. PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN KEMAMPUAN KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI (Suatu Penelitian Tentang Pengaruh Motivasi Kerja Dan Kemampuan Kerja Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Di TVRI Stasiun Yogyakarta) ….’94<br />631. PERSEPSI ORANG TUA TERHADAP NILAI ANAK SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENDUKUNG KE ARAH UPAYA PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA (suatu penelitian di desa sumberarum kec. Moyudan, kodya Yogyakarta) ….’94.<br />632. TINGKAT KESEJAHTERAAN & HUBUNGAN KERJA (Studi Kasus Tentang Tingkat Kesejahteraan Buruh Dan Hubungan Kerja Antara Majikan Dan Buruh Pada Budidaya Udang Windu) DI Kelurahan, Mangunharjo, Kec. Tugu, Kodya Semarang Prop Jawa Tengah. ….’97<br />633. PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT BAGI KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA DI DESA TRIMURTI KEC. SRANDKAN, KAB. BANTUL, PROP DIY. ….’97.<br />634. MASA JABATAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA SERTA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA (studi tentang masa jabatan dan gaya kepemimpinan kepala desa sebagai salah satu faktor penentu tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan fisik desa di desa sukoharjo dan sinduharjo, kec. Ngaglik, kab. Sleman DIY) ….’98<br />635. EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN PEMANFAATAN DANA INPRES BANTUAN DESA UNTUK PENINGKATAN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Studi Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Efektivitas Kepemimpinan Kepala Desa Dan Pemanfaatan Dana Inpres Bantuan Desa Untuk Peningkatan Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan Desa Di Desa Prembun Kec. Prembun, Kab Kebumen Prop Jawa Tengah) ….’96.<br />636. PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT UNTUK MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA WATUSIGAR KEC. NGAWEN, KAB. GUNUNGKIDUO PROP DIY. ….’95.<br />637. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DAN MOTIVASI KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PNS (Suatu Penelitian Di Kantor Departemen Tenaga Kerja Kulonprogo Prop DIY). ….’99<br />638. PERANAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DALAM USAHA MEMBERI PERLINDUNGAN DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI PERUSAHAAN PT MATARAM TUNGGAL GARMENT KAB SLEMAN. ….’98.<br />639. PENGARUH MOTIVASI PIMPINAN DAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI (Penelitian Dilakukan Di Perusahaan Daerah Bank Pasar Kabupaten Klaten Prop Jawa Tengah). ….’93.<br />640. HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN INFORMAL DENGAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA (PKMD) (Suatu Penelitian Di Desa Jetis, Kec. Baki, Kab Sukoharjo, Prop Jawa Tengah). ….’93.<br />641. FUNGSI KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA PONJONG, KEC. PONJONG KAB. GUNUNGKIDUL DIY. ….’94<br />642. PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Genjahan, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul Prop DIY). ….’97.<br />643. HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM IDT DI DESA DEMANGREJO KEC. SENTOLO, KAB. KULONPROGO DIY. ….’99<br />644. PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI KEPALA DESA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Timbulharjo, Kec. Sewon, Kab. Bantul, Prop. DIY). ….’96.<br />645. TINGKAT DISIPLIN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH DAERAH KAB TANJUNG JABUNG UNIT SIKWILDA TINGKAT II KAB. TANJUNG JABUNG PROP. JAMBI. ….’93.<br />646. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) BERPENGARUH TERHADAP KETERLIBATAN PEKERJAAN NON FARM DI PEDESAAN (Suatu Penelitian Esplanatori Di Desa Sumberagung, Kec. Moyudan, Kab. Sleman Prop DIY). ….’96<br />647. PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN STATUS SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DALAM USAHA MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Di Desa Wonolopo Kec. Tasikmadu, Kab. Karanganyar Jawa Tengah) ….’95<br />648. PENGARUH INTIMIDASI POLA HUBUNGAN KERJA, TINGKAT PENDIDIKAN DAN DISIPLIN KERJA APARAT PELAKSANA TERHADAP KEBERHASILAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ….’98.<br />649. CARA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA NGSINAN KEC. KALIWIRO, KAB WONOSOBO JAWA TENGAH. ….’95.<br />650. KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Daerah Penelitian Di Desa Jipang, Kec. Penawangan, Kab. Grobongan Jawa Tengah. ….’95.<br />651. PENGARUH KONTINUITAS KERJA DI BIDANG PERTANIAN DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP KETERLIBATAN BURUH TANI WANITA PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA DI DESA TRIHARJO KEC. PANDAK KAB. BANTUL DIY. ….’93.<br />652. PENGARUH MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN PADA PERUSAHAAN ROKOK SUKUN DI KUDUS JAWA TENGAH. ….’93.<br />653. PENGARUH UPAH DAN JAMINAN SOSIAL PADA INDUSTRI KECIL PANDE BESI DI DESA KARANGTENGAH KEC. WONOSARI KAB GUNUNGKIDUL DIY. ….’90<br />654. PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (JAMSOSTEK) SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PEMBERDAYAAN PEKERJAAN (Studi Kasus Pada Perusahaan Kerajinan Perak Tom’s Silver Kotagede Yogyakarta)….’98.<br />655. KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENGGALI DAN MENGELOLA SUMBER-SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DESA SEI BESAR KEC. MATAN HILIR SELATAN KAB. KETAPANG KALIMANTAR BARAT (STUDI KASUS) ….’98.<br />656. PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA DESA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KELURAHAN SURYODININGRATAN KEC. MANTRIJERON KODYA YOGYAKARTA. ….’93.<br />657. PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Suatu Penelitian Di Desa Padangjaya, Kec. Majenang, Kab. Cilacap Jawa Tengah) ….’93.<br />658. KOSONG<br />659. PENGARUH INTIMITAS POLA HUBUNGAN KERJA, TINGKAT PENDIDIKAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KERJA PADA PERUSAHAAN BOLAM LISTRIK PT. SIBALEC SLEMAN YOGYAKARTA. ….’93.<br />660. FUNGSI KEPEMIMPINAN KEPALA DESA UNTUK MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN FISIK DESA (Suatu Penelitian Di Desa Timbulharjo, Kec. Sewon, Kab Bantul DIY)….’95.<br />661. PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI KEPALA DESA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Sidoluhur Wilayah Kec Godean, Kab. Sleman Prop DIY) ….’93.<br />662. PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MENUNJANG PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA KROYO LOR KEC. KEMIRI KAB. PURWOREJO JAWA TENGAH….’93.<br />663. SISTEM PENGUPAHAN DAN KONDISI KESEJAHTERAAN BURUH PEREMPUAN PADA PT. APAC INTI CORPORA (Suatu Penelitian Pada Perusahaan Tekstil PT. Apac Inti Corpora Di Desa Harjosari Kec. Bawen, Kab. Semarang, Jawa Tengah) ….’97<br />664. HUBUNGAN KEMAMPUAN KERJA PERANGKAT DESA DENGAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DESA DI KEC. SIGALUH KAB. BANJARNEGARA JAWA TENGAH. ….’98.<br />665. HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN TINGKAT PENDIDIKAN PEMUDA DENGAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN (Suatu Penelitian Di Desa Areawinangun Kec. Purwokerto Timur Kab. Banyumas Prop. Jawa Tengah) ….’93<br />666. PENGARUH PERUBAHAN ORIENTASI KERJA TERHADAP KESEJAHTERAAN PENGRAJIN GERABAH KASONGAN (Pergeseran Pola Kehidupan Dari Tradisionalisme Ke Arah Modernisasi Kerja Masyarakat Sentra Kerajinan Gerabah Kasongan, Bangunjiwo, Kasihan Bantul Prop DIY)….’98<br />667. PENGARUH PENGAWASAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PENGAWAI NEGERI SIPIL (Penelitian Di Istana Kepresidenan Yogyakarta) ….’97.<br />668. ETOS KERJA MASYARAKAT TRANSMIGRASI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Lakawali Kec. Malili Kab. Luwu Prop. Sulawesi Selatan) ….’97<br />669. PENGARUH KETERLIBATAN WANITA SEBAGAI BURUH GENDONG TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KEHIDUPAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Pasar Bringharjo Dan Shoping Centre DIY) ….’95.<br />670. BURUH GENDONG WANITA DAN PERMASALAHANNYA DI PASAR BRINGHARJO KEL. NGUPASAN KEC. GONDOKUSUMAN KODYA YOGYAKARTA …..’93.<br />671. PERANAN PEKERJA WANITA DI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA SUMBERAGUNG KEC. JETIS KAB. BANTUL PROP DIY. ….’98.<br />672. KETERLIBATAN TENAGA KERJA WANITA DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Studi Kasus Di Desa Caturharjo, Kec. Sleman, Kab Sleman Prop DIY). ….’98.<br />673. KEBERADAAN WANITA SEBAGAI TENAGA KERJA DAN PERANANNYA DALAM MEWUJUDKAN KEHARMONISAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di PT. Tri Cahya Purnama Di Desa Campurejo, Kec. Boja, Kab. Kendal, Prop Jawa Tengah). ….’97.<br />674. PENGARUH KETERLIBATAN BURUH WANITA INDUSTRI BATIK “WIJIREJO” TERHADAP TINGKAT KEHIDUPAN KELUARGA DI KEC. PANDAK, KAB. BANTUL PROP DIY. ….’93.<br />675. PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DAN ALTERNATIF HARAPAN MATA PENCAHARIAN ANAK. ….’93.<br />676. HUBUNGAN KECAKAPAN KETERAMPILAN MENJAHIT DENGAN MOTIVASI KERJA IBU RUMAH TANGGA PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA (HOME INDUSTRY) KONVEKSI (Suatu Penelitian Di Desa Tembok Kidul, Kec. Adiwerna, Kab. Tegal Prop Jawa Tengah). ….’95.<br />677. ANALISA GENDER DALAM KEDUDUKAN DAN PERANAN WANITA UNTUK MEWUJUDKAN KELUARGA SEHAT SEJAHTERA (suatu penelitian di desa welahan wetan, kec. Adipala, kab. Calacap jawa tengah) ….’97.<br />678. PENGARUH IBU RUMAH TANGGA BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP PERKEMBANGAN PRIKOLOGIS ANAK (Penelitian Di Desa Caturharjo, Kec. Sleman, Kab. Sleman Prop DIY). ….’98.<br />679. HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN KELUARGA YANG HARMONIS DAN LINGKUNGAN PERGAULAN YANG POSITIF TERHADAP PENEKANAN FENOMENA KENAKALAN REMAJA (Suatu Studi Di Lingkungan SMU Negeri 8 Yogyakarta) ….’96.<br />680. PENGARUH TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN LINGKUNGAN PERGAULAN TERHADAP TIMBULNYA KENAKALAN REMAJA (Suatu Studi Tentang Kenakalan Remaja Di SMA Bopkri II Yogyakarta) ….’97.<br />681. PENGARUH TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN LINGKUNGAN PERGAULAN TERHADAP TIMBULNYA KENAKALAN REMAJA (Suatu Studi Tentang Kenakalan Remaja Di SMA PGRI I Wonogiri) ….’94.<br />682. PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP KENAKALAN REMAJA (Penelitian di Kelurahan Keparakan Kec. Mergangsan DIY)…..’98<br />683. HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN LINGKUNGAN SOSIAL DENGAN PERILAKU REMAJA YANG MENYIMPANG. ….’95.<br />684. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERKAWINAN DI USIA REMAJA (Suatu Penelitian Tentang Pengaruh Dari Lingkungan Sosial Dan Tingkat Pendidikan Terhadap Perkawinan Di Usia Remaja Di Desa Karangasem Kec. Karangsembung Kab. Cirebon Jawa Barat). ….’94<br />685. PENGARUH NORMA FOLKWAYS (KEBIASAAN) DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERKAWINAN DI USIA REMAJA (Suatu Kasus Di Desa Watusigar Kec. Ngawen Kab. Gunungkidul Prop DIY) ….’98<br />686. PERSEPSI MASYARAKAT, KHUSUSNYA REMAJA TERHADAP AKTIVITAS WANITA TUNA SUSILA (Studi Kasus Di Kampung Sosrowijayan, Kec. Gedongtengen Prop D.I. Yogyakarta) ….’98.<br />687. PERSEPSI, SIKAP DAN PERILAKU REMAJA TERHADAP LOKALISASI PROSTITUSI (Suatu Penelitian Di Lokalisasi Prostitusi SLARANG Di Desa Slarang, Kec. Kesugihan, Kab. Cilacap Prop. Jawa Tengah). ….’98.<br />688. HUBUNGAN ANTARA SOSIALISASI NORMA AGAMA ISLAM DENGAN TINGKAT KENAKALAN REMAJA (Studi Penelitian Tentang Sosialisasi Norma Agama Islam Di Desa Panggungharjo, Kec. Sewon Kab. Bantul Yogyakarta) ….’<br />689. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF REMAJA PUTRI DI ASRAMA PUTRI KELURAHAN BACIRO YOGYAKARTA. ….’98.<br />690. KOSONG<br />691. KOSONG<br />692. KOSONG<br />693. KOSONG<br />694. KOSONG<br />695. KOSONG<br />696. KOSONG<br />697. KOSONG<br />698. KOSONG<br />699. KOSONG<br />700. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL TERHADAP SIKAP DALAM MENENTUKAN PILIHAN PASANGAN HIDUP (Suatu Penelitian Pada Masyarakat Desa Temon Wetan, Kec. Temon, Kab. Kulonprogo Prop DIY). ….’95.<br />701. PERANAN INTERAKSI ORANG TUA DENGAN ANAK DAN PEMENUHAN PERHATIAN ORANG TUA DALAM PEMBENTUKKAN TINGKAH LAKU ANAK (Di Kelurahan Warungboto Kec. Umbulharjo Kodya Yogyakarta) ….’95.<br />702. PENGARUH PATI KARYA MARTANI TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PARA GELANDANGAN PENGEMIS DI DESA PUCUNG KEC. KROYA KAB CILACAP PROP JAWA TENGAH. ….’92.<br />703. URBANISASI MUSIMAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DI DESA GEMLENGAN, KEC. KALIKOTES KAB. KLATEN PROP JAWA TENGAH. ….’95.<br />704. PERANAN KELUARGA DALAM PROSES PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi Penelitian Di Desa Catur Tunggal Kec. Depok, Kab. Sleman, Prop DIY). ….’98.<br />705. PENGARUH SIARAN TELEVISI TERHADAP MOTIVASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Di Desa Sitimulyo, Kec. Piyungan, Kab Bantul Prop DIY) ….’96.<br />706. TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA SEBAGAI FAKTOR PENDUKUNG KEBEBASAN ANAK DALAM PROSES PEMILIHAN PASANGAN HIDUP (Suatu Penelitian Pada Masyarakat Desa Papahan, Kec. Tasikmadu, Kab. Karanganyar Prop Jawa Tengah) ….’98.<br />707. PERAN DINAS SOSIAL DALAM MEMBERI PELAYANAN SOSIAL GUNA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENDERITA CACAT (Suatu Penelitian Di SLB Negeri Bantul, Desa Ngestiharjo, Kec. Kasihan, Kab Bantul Prop. DIY) ….’98.<br />708. PERANAN BIMBINGAN DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN TERHADAP TUNA GRAHITA DI PUSAT RSBG (REHABILITAS SOSIAL BINA GRAHITA) “KARTINI” TEMANGGUNG (Suatu Penelitian Di Kelurahan Kertosari, Kec. Temanggung, Kab. Temanggung Jawa Tengah) ….’96.<br />709. PENGEMBANGAN INDUSTRI MAUBEL DALAM RANGKA PENERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN PENGUSAHA DI DESA SINOM WIDODO KEC. TAMBAKROMO KAB. PATI PROP JAWA TENGAH. ….’98.<br />710. PERANAN KEBERADAAN INDUSTRI PABRIK KERTAS LECES TERHADAP PELUANG KESEMAPATAN BEKERJA BAGI MASYARAKAT SEKITARNYA (Suatu Penelitian Di Desa Sumberkedawung Kec. Leces, Kab. Probolinggo Prop Jawa Timur). ….’98.<br />711. PENGARUH PARTISIPASI KERJA DI TEMPAT PENIMBUNAN KAYU (TPK) TERHADAP PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA KALISARI KEC. RANDUBRATUNG KAB. BLORA JAWA TENGAH ….’98.<br />712. INDUSTRI GENTENG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Sidoluhur, Kec. Godean Kab. Sleman DIY) ….’94.<br />713. PENGARUH PERUBAHAN ORIENTASI KERJA TERHADAP KESEJAHTERAAN PENGRAJIN GERABAH KASONGAN (Pergeseran Pola Kehidupan Dari Tradisionalisme Ke Arah Modernisasi Kerja Masyarakat Sentra Kerajinan Gerabah Kasongan, Bangunjiwo, Kasihan Bantul Prop DIY)….’98<br />714. INDUSTRI TEKSTIL PT. KUSUMA SANDANG MEKARJAYA DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEKITAR DI DESA BALECATUR, KEC. GAMPING KAB SLEMAN PROP DIY. ….’98.<br />715. PERANAN INDUSTRI KERAJINAN BAMBU TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Sendangagung, Kec. Miggir Kab. Sleman DIY) ….’95<br />716. PENGARUH KEBERADAAN PABRIK KERTAS TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN (Suatu Penelitian Di PT. Bagelen Pacopindo Industry, Desa Harjobinangun, Kec. Grabag, Kab. Purworejo, Prop. Jawa Tengah) ….’95<br />717. PENGARUH INDUSTRI ROTAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT (Suatu Penelitian Di Desa Samijahan, Kec. Plumbon, Kab. Cirobon Prop. Jawa Barat) ….’95.<br />718. PENGARUH INDUSTRI KERAJINAN KURINGAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Jolo Tundo, Kec. Lasem, Kab. Rembang Prop. Jawa Tengah) ….’94.<br />719. PERANGAN PENGELOLAAN HOME INDUSTRY IKAN ASIN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI KELURAHAN CILACAP, KEC. CILACAP SELATAN KAB. CILACAP PROP JAWA TENGAH. ….’98.<br />720. HUBUNGAN INDUSTRI KERAJINAN PERAK DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI KELURAHAN PURBAYAN, KEC. KOTAGEDE KODYA YOGYAKARTA. ….’98.<br />721. KAITAN INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN TINGKAT PENDAPATAN PENGRAJIN DI DESA TRANGSAN KEC. GATAK, KAB. SUKOHARJO JAWA TENGAH. ….’98.<br />722. HUBUNGAN ANTARA PENGELOLAAN SEKTOR PERDAGANGAN INFORMAL DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI KELURAHAN TEGALREJO KODYA YOGYAKARTA DIY. ….’98.<br />723. HUBUNGAN PENGELOLAAN USAHA INDUSTRI KERAJINAN KULIT DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA (Suatu Studi di Perusahaan “Ganis Leather” Kelurahan Mujamuju Kec. Umbulharjo Yogyakarta) ….’95.<br />724. PENGEMBANGAN INDUSTRI GENTENG DENGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN BURUH INDUSTRI (suatu studi di desa banjarmangu, kec. Banjarmangu, kab. Banjarnegara, prop jawa tengah). ….’98.<br />725. PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP KETERLIBATAN TENAGA KERJA SEKTOR INFORMAL DI LOKASI OBYEK WISATA DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN (studi penelitian di kawasan obyek wisata goa jatijajar, desa jatijajar, kec. Ayah, kab. Kebumen prop jawa tengah) ….’96.<br />726. PENGARUH PENGEMBANGAN USAHA TANAMAN PENGAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA (Suatu Studi Mengenai Usaha Tani Pada Tanaman Pangan Dan Pendapatan Petani Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Desa Pohgading, Kec. Pringgabaya Prop NTB). ….’95.<br />727. PERANAN INDUSTRI KERAJINAN KULIT DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA KEDENSARI KEC. TANGGULANGIN KAB. SUDIARJO JAWA TENGAH. ….’94.<br />728. INDUSTRI KERAJINAN KULIT DAN KESEMPATAN KERJA UNTUK MENGATASI MASALAH PENGANGGURAN DI DESA RINGINAGUNG KEC. MAGETAN, KAB. MAGETAN JAWA TIMUR. ….’93.<br />729. PERANAN INDUSTRI KONVEKSI “SUMANJA” DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEKITARNYA DI DESA ROWOSARI KEC. ULUJAMI KAB. PEMALANG JAWA TENGAH. ….’93.<br />730. HUBUNGAN INDUSTRI PANDE BESI SEBAGAI KESEMPATAN KERJA DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PENGRAJIN DESA KARANGTENGAH KEC. WONOSARI KAB GUNUNGKIDUL PROP DIY. ….’97.<br />731. PERANAN INDUSTRI GERABAH KASONGAN DALAM PENINGKATAN KESEMPATAN KERJA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Suatu Penelitian Di Desa Bangunjiwo, Kec. Kasihan, Kab. Bantul Prop DIY). ….’99.<br />732. PENGARUH INDUSTRI KERAJINAN TENUN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA WANITA DAN TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA (suatu penelitian di desa plosowangi, kec. Cawas, kab. Klaten, prop jawa tengah). ….’93.<br />733. FUNGSI PENDIDIKAN NON FORMAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN LULUSAN BALAI LATIHAN KERJA YOGYAKARTA. ….’97.<br />734. PERANAN SEKTOR INFORMAL TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI KAWASAN MALIOBORO KEC. GEDONGTENGEN, KODYA YOGYAKARTA. ….’98.<br />735. PERANAN PEMIMPIN NON FORMAL DALAM MENCIPTAKAN KELUARGA SEJAHTERA DI KELURAHAN MRANTI, KEC. PURWOREJO, KAB. PURWOREJO. ….’98.<br />736. TINGKAT KESADAN SUAMI ISTRI DALAM PEMBATASAN JUMLAH ANAK SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF MENUJU PENINGKATAN KUALITAS SDM DI KELURAHAN DEMANGAN KEC. GONDOKUSUMAN PROP DIY. ….’94.<br />737. PENGARUH KETERLIBATAN TENAGA KERJA DALAM SEKTOR INDUSTRI TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DI DESA CATUHARJO, KEC. SLEMAN KAB SLEMAN PROP. DIY. ….’94.<br />738. PERANAN BALAI LATIHAN KERJA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PEMUDA PUTUS SEKOLAH (Suatu Penelitian Tentang Tenaga Kerja Trampil Di Balai Latihan Kerja Gota Gede, Desa Prenggan, Kec. Kota Gede Kodya Yogyakarta) ….’96.<br />739. MAKANISME PERTANIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEMPATAN KERJA PADA PERTANIAN PADI (Suatu Penelitian Di Desa Sandowoharjo Kec. Sewon, Kab. Bantul DIY). ‘99<br />740. JAM KERJA DAN PENDAPATAN PETANI PADA USAHA PERTANIAN DAN NON PERTANIAN DI DESA HARGONANGUN KEC. PAKEM KAB SLEMAN DIY.’93<br />741. PENGARUH KEMAMPUAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) DAN MOTIVASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM ASISTENSI KELUARGA MISKIN (AKM) DI KELURAHAN KANDRI KEC. GUNUNGPATI KODYA SEMARANG.’97<br />742. INDUSTRI PENGOLAHAN JAMUR (PT. DIENG JAYA) DITINJAU DARI PENYERAPAN TENAGA KERJA DI DESA DIENG KEC. KEJAJAR, KAB. WONOSOBO JAWA TENGAH ’90<br />743. KEBERADAAN PERKEBUNAN KARET DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KELURAHAN JATISARI, KEC. MIJAN, KODYA SEMARANG’ 97<br />744. PENGARUH PENGEMBANGAN USAHA TANAMAN PANGAN TERHADAP PENYERAPAN TANAGA KERJA (suatu studi mengenai usaha tani pada tanaman pangan dan pendapatan petani terhadap penyerapan tenaga kerja di desa pohgading kec. Pringgabaya prop NTB)’95<br />745. PERANAN INDUSTRI KERAJINAN BATU PAHAT DALAM PENYERAPAN TANAGA KERJA DI PEDESAAN DI DESA TEMANGGUNG, KEC. MUNTILAN, KAB MAGELANG JAWA TENGAH ’94<br />746. PENGARUH PERAN GANDA WANITA TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI PENDIDIKAN FORMAL ANAK (di desa semin, kec. Semin, kab. Gunungkidul DIY) ‘ 97<br />747. PENGARUH PERAN GANDA WANITA DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA JAMBANAN, KEC. SIDOHARJO, KAB SRAGEN JAWA TENGAH. ‘<br />748. FUNGSI ANAK DALAM EKONOMI RUMAH TANGGA DESA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT DROP OUT SEKOLAH DASAR DI DESA SAMARA, KEC. HATOLIA, KAB. ERMERA, TIMUR LESTE.’93<br />749. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA KENAKALAN REMAJA DI TINALAN KELURAHAN PRENGGAH KEC. GOTAGEDE KODYA YOGYAKARTA ‘ 97<br />750. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ANAK REMAJA YANG MENYALAHGUNAKAN MINUMAN KERAS DAN OBAT-OBAT TERLARANG DI KELURAHAN BACIRO, KEC. GONDOKUSUMAN, PROP DIY ’ 98<br />751. PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENANGGULANGAN KENAKALAN REMAJA (Suatu Penelitian Di Desa Sentolo, Kec. Sentolo, Kab. Kulonprogo DIY) ‘ 94<br />752. WANITA TUNA SUSILA DAN PERMASALAHANNYA (Suatu Studi Tentang Pengaruh Kondisi Pendapatan, Faktor Intensitas Komunikasi Dan Faktor Motivasi Kerja Terhadap Tingkat Keterlibatan Kerja Wanita Tuna Susila Di Sektor Perdagangan Seks Di Resos Senggrahan, Kodya Yogyakarta) ‘ 93<br />753. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF REJAMA PUTRI (Suatu Penelitian Di Asrama Hibrida Kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman DIY) ‘ 97.<br />754. PENGARUH LOKALISASI PROSTITUSI SANGGRAHAN TERHADAP LINGKUNGAN MASYARAKAT SEKITARNYA KHUSUSNYA PERKEMBANGAN PERILAKU REMAJA (Studi Tentang Pengaruh Lokalisasi Prostitusi Sanggrahan Terhadap Perkembangan Perilaku Remaja Di Kelurahan Giwangan, Kec. Umbulharjo, Kodya Yogyakarta) ‘ 90<br />755. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DAN LINGKUNGAN SOSIAL DENGAN PERILAKU KONSUMTIF REMAJA (Suatu Studi Penelitian Di Desa Condong Catur, Kec. Depok, Kab Sleman Prop. DIY)’ 96<br />756. FAKTOR-FAKTOR PE-MISKIN-AN PETANI DAN CARA-CARA PEMBERDAYAANNYA DI PEDESAAN (Suatu Studi Penelitian Di Desa Triharjo, Kec. Wates, Kab Kulonprogo Prop DIY) ‘ 99<br />757. PENGARUH PERMASALAHAN WANITA KERJA TERHADAP PENCAPAIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Studi Penelitian Di Kelurahan Demangan Kec. Gondokusuman, DIY). ‘ 94.<br />758. PENGARUH MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN PADA PERUSAHAAN ROKOK SUKUN DI KUDUS JAWA TNEGAH. ‘ 93<br />759. FUNGSI KEPEMIMPINAN KEPALA DESA UNTUK MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN FISIK DESA DI DESA CATURHARJO, KEC. SLEMAN KAB. SLEMAN PROP DIY. ‘ 93<br />760. PENGARUH IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK SEKOLAH DASAR DI DESA SAMBIREJO KEC. PRAMBANAN, KAB. SLEMAN DIY. ‘ 98.<br />761. PENGARUH ALOKASI WAKTU KERJA IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH TERHADAP KESEJAHTERAAN BALITA (Suatu Penelitian Tentang Pengaruh Alokasi Waktu Kerja Ibu Rumah Tangga Yang Bekerja Di Luar Rumah Terhadap Kesejahteraan Balita Di Desa Patemon, Kec. Gombong Kab Kebumen Jawa Tengah). ‘ 97<br />762. HUBUNGAN ANTARA PRESTASI ORANG TUA TENTANG NILAI ANAK DAN PENDAPATAN ORANG TUA DENGAN KESEMPATAN ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN FORMAL. ‘ 95<br />763. MENCERMATI FENOMENA USAHA BORDIL DAN PRAKTEK PROSTITUSI SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN (Analisa Sebuah Kasus Mengenai Kehidupan Sosial Ekonomi Germo, WTS Lokasi Sanggrahan Yogyakarta) ‘ 96<br />764. PERBEDAAN PEROLEHAN HASIL PERTANIAN BERDASARKAN STATUS PENGUASAAN TANAH DI DESA PLANGGU KEC. TRUCUK, KAB KLATEN PROP JAWA TENGAH. ‘ 98<br />765. PENGARUH PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PROGRAM BANTUAN PEMBANGUNAN DESA TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN FISIK DESA, DI DESA BLATER DAN RABAK KEC. KALIMANAH, KAB PURBALINGGA. ‘ 97<br />766. PERANAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA UNTUK MENUMBUHKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN DESA DI DESA SUKOREJO, KEC. WEDI KAB. KLATEN JAWA TENGAH. ‘ 96<br />767. PERANAN KOPERASI PERSATUAN PEDAGANG KAKI LIMA YOGYAKARTA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA ‘ 98<br />768. UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA MELALUI USAHA BETERNAK AYAM PEDAGING (BROILLER) DI DESA BANYUSARI KEC. TEGALREJO, KAB. MAGELANG, JAWA TENGAH. ’98<br />769. HUBUNGAN PEMBINAAN KESEHATAN OLEH PUSKESMAS DAN STATUS SOSIAL EKONOMI PASANGAN USIA SUBUR DENGAN PARTISIPASI PASANGAN USIA SUBUR DALAM PELAKSANAAN PROGRAM POSYANDU DI DESA BANGUNHARJO, KEC. SEWON KAB. BANTUL, DIY. ‘ 98.<br />770. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN STATUS EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (suatu penelitian di desa karangkemiri kec. Kemangkon, kab. Purbalingga, jawa tengah). ‘98.<br />771. PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP KEMAMPUAN ORANG TUA MEMOTIVASI BELAJAR ANAK (Suatu Penelitian Di Desa Ngreden, Kec. Wonosari, Kab Klaten, Jawa Tengah). ‘ 96<br />772. PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL USAHA TANI TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI DESA DONOHARJO, KEC. NGAGLIK, KAB. SLEMAN DIY. ‘ 97.<br />773. KETERKAITAN LUAS LAHAN PERTANIAN DENGAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA (Suatu Penelitian Di Desa Kebonromo, Kec. Ngrampal, Kab. Sregen Prop Jawa Tengah). ‘ 97.<br />774. EFEKTIVITAS KELOMPOK TANI TERHADAP PRESTASI PETANI DALAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA KARTOHARJO, KEC. NGAWI KAB. NGAWI JAWA TIMUR. ‘ 97.<br />775. PENGARUH JENIS PENDIDIKAN DAN LUAS LAHAN PERTANIAN TERHADAP SIKAP PETANI BUDIDAYA BAWANG MERAH PADA PELAKSANAAN PROGRAM PANCA USAHA TANI DI DES TIRTOHARGO, KEC. KRETEK, KAB. BANTUL DIY. ‘ 96.<br />776. PELAKSANAAN KB MANDIRI MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DI DESA MULYODADI KEC. BAMBANG LIPURO KAB. BANTUL DIY. ‘ 95.<br />777. STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Penelitian Tentang Faktor Pendidikan Dan Pendapatan Orang Tua Di Desa Pegedongan, Kec. Banjarnegara, Kab. Banjarnegara Prop Jawa Tengah). ‘ 98.<br />778. PETERNAKAN AYAM PETELUR SEBAGAI USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA (suatu penelitian di desa sardonoharjo, kec. Ngaglik, kab sleman prop DIY). ‘ 97.<br />779. HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI DAN MOTIVASI ORANG TUA DENGAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Suatu Penelitian Di Desa Sumbersari, Kec. Moyudan, Kab Sleman Prop DIY). ‘ 99<br />780. PENGARUH LUAS TANAH GARAPAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN DI DESA MONDORETNO, KEC. BULU, KAB TEMANGGUNG, JAWA TENGAH. ‘ 93<br />781. KERAJINAN KULIT SEBAGAI SUATU USAHA SAMPINGAN DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA DI DESA BANGUNJIWO KEC. KASIHAN KAB. BANTUL, DIY. ‘ 94.<br />782. PENGARUH PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN POSYANDU TERHADAP TINGKAT KESEHATAN BALITA DI DESA PANDES KEC. WEDI KAB KLATEN JAWA TENGAH. ‘ 98.<br />783. PERANAN RADIO DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN PERTANIAN MASYARAKAT DI DESA KARANGSEWU, KEC. GALUR KAB. KULONPROGO PROP DIY. ‘ 91.<br />784. USAHA KERAJINAN KULIT DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA WUKIRSARI, KEC. IMOGIRI, KAB BANTUL PROP DIY. (Suatu Studi Penelitian Tentang Usaha Kerajinan Kulit Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Di Desa Wukirsari, Kec. Imogiri, Kab. Bantul DIY) . ‘ 98.<br />785. PETERNAKAN AYAM DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PEDESAAN (Suatu Studi Tentang Intensifikasi Peternakan Ayam Petelur Dalam Sumbangannya Terhadap Pendapatan Peternak Di Desa Gilangharjo, Kec. Pandak, Kab Bantul Prop. DIY.. ‘ 95.<br />786. HUBUNGAN STATUS PENGUASAAN TANAH DENGAN PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA PANGGUNGHARJO, KEC. SEWON KAB. BANTUL DIY. ‘ 98.<br />787. PENGARUH AKTIVITAS PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DAN PENDIDIKAN FORMAL PETANI TERHADAP MOTIVASI ANGGOTA KELOMPOK TANI DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PERTANIAN (Studi Penelitian Anggota Kelompok Tani “SUMBER RAHAYU” Di Desa Kepek, Kec. Wonosari, Kab Gunungkidul Prop DIY). ‘98<br />788. KOSONG<br />789. AKTIVITAS BERBAGAI MACAM INDUSTRI KERUMAHAN (HOME INDUSTRY) DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA (suatu penelitian expanatori di desa sumber agung, kec. Moyudan, kab sleman prop DIY). ‘ 98.<br />790. KOORDINASI ANTAR PENGURUS LKMD DALAM MENGELOLA DANA BANTUAN DESA DAN PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADAP KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA (Suatu Penelitian Di Desa Balaicatur, Kec Gamping, Kab. Sleman Prop. DIY). ‘ 97.<br />791. HUBUNGAN MOTIVASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT (POKMAS) INPRES DESA TERTINGGAL (IDT) DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN DI DESA KEBONTURI, KEC. CIWARINGIN, KAB. CIREBON JAWA BARAT. ‘ 98.<br />792. HUBUNGAN MOTIVASI DAN PARTISIPASI ANGGOTA POKMAS IDT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DENGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI KELURAHAN WONOPLUMBON, KEC. MIJEN KODYA SEMARANG ’97<br />793. MANFAAT INPRES BANTUAN DESA DAN PERANAN KEPEMIMPINAN LURAH DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT (Suatu Penelitian Tentang Manfaat Inpres Desa Dan Peranan Kepemimpinan Lurah Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Di Kelurahan Mujamuju Kec. Umbulharjo Kodya Yogyakarta). ‘ 94<br />794. PERANAN PEMERINTAH DAN SWASTA TERHADAP PELAKSANAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DI KAB GUNUNGKIDUL, DIY. ‘ 96.<br />795. EFEKTIVITAS KELOMPOK TANI TERHADAP PARTISIPASI PETANI DALAM PEMBANGUNAN DESA KARTOHARJO KEC. NGAWI KAB. NGAWI PROP JAWA TIMUR. ‘ 97.<br />796. PERSEPSI PEMUDA TERHADAP JENIS PEKERJAAN DI PEDESAAN, DI DESA BANGUNHARJO, KEC. SEWON, KAB.BANTUL, PROP. DIY.’ 93.<br />797. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN INTENSITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL TERHADAP PEMAHAMAN FUNGSI MANAJEMEN KELOMPOK SASARAN (POKSAR) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM IDT (Studi Penelitian Di Desa Keseneng, Kec. Sumowono, Kab. Semarang).’97.<br />798. PERSEPSI PEMUDA TERHADAP JENIS PEKERJAAN DI PEDESAAN DI DESA CANDIBINANGUN, KEC. PAKEM, KAB. SLEMAN, DIY. ‘ 98.<br />799. PENGEMBANGAN INDUSTRI PEDESAAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PROGRAM IDT DI DESA KEDONGDANG, KEC. TEMON KAB. KULONPROGO YOGYAKARTA. ‘ 98.<br />800. PERSEPSI APARAT DESA TERHADAP FUNGSI HUTAN DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN DI DESA KARANGJOANG KEC. BALIKPAPAN UTARA, KAB. BALIKPAPAN, KAL-TIM. 94.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-42993241918503595202008-07-22T19:14:00.001+07:002008-07-22T19:14:50.770+07:00Jenis DataJenis data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :<br />1. Data primer, yakni data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dari responden, dengan menggunakan angket.<br />2. Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari data dokumentasi dan arsipAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-30792840443660599052008-07-22T19:06:00.002+07:002008-07-22T19:13:44.042+07:00Populasi dan SampelPopulasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 1998). Adapun populasi menurut Nazir (1999) adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Populasi berkenaan dengan data, bukan dengan orangnya ataupun bendanya.<br />Jadi yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan subyek atau unit penelitian yang akan dianalisis.<br />Pernyataan tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Nazir (1999) bahwa sampel adalah bagian dari populasi. Dengan demikian sampel adalah suatu bagian (subset) dari populasi yang dianggap mampu mewakili populasi yang akan diteliti.<br />Mengenai penentuan besarnya sampel Arikunto (1998:120) mengemukakan di dalam pengambilan sampel apabila subyeknya kurang dari 100 diambil semua sehingga penelitian merupakan penelitian populasi.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-58153990134768919902008-03-17T21:17:00.004+07:002008-07-04T00:52:22.116+07:00<div align="center"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >SELAMAT DATANG DI<br /><a href="http://www.idtesis.com/">http://www.idtesis.com/</a><br />ATAU<br /><a href="http://www.idtesis.blogspot.com/">http://www.idtesis.blogspot.com/</a><br /><br /></span></div><div align="center"></div><div align="center"></div><div align="center"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >KAMI SARANKAN UNTUK MEMBACA ARTIKEL "</span><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/prosedur-pemesanan.html"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >CARA PEMESANAN</span></a><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >" TERLEBIH DAHULU.</span></div><div align="center"></div><div align="center"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" ></span></div><div align="center"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >Karena hal teknis, untuk sementara pemesanan dilayani dalam format hardcopy/fotocopy dan ms.word. Berlaku mulai 22 Januari 2008.</span></div><div align="center"><span style="font-size:180%;color:#ff0000;">PEMESANAN TESIS KODE GM TIDAK BISA LAGI DILAKUKAN. BERLAKU SEJAK 27 MARET 2008</span></div><div align="center"><span style="font-size:180%;color:#ff0000;">KHUSUS SKRIPSI GM : HARGA 125RIBU/JUDUL MOHON MAKLUM</span></div><div align="center"></div><div align="center"><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/pemesanan-draf-baru-paket-konsultasi.html"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >PEMESANAN DRAF YANG BARU (PAKET KONSULTASI)</span></a></div><div align="center"></div><div align="center"><a style="COLOR: rgb(51,204,0)" href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/olah-data-statistik.html"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >OLAH DATA / STATISTIK</span></a><a style="COLOR: rgb(51,204,0)" href="http://www.blogger.com/www.tiki-online.com"><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >BIAYA KIRIM</span></a></div><br /><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" ><strong>SKRIPSI </strong></span><br /><ul><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/penelitian-tindakan-kelas.html">SKRIPSI PENDIDIKAN & PENELITIAN TINDAKAN KELAS</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-pendidikan-e1-e238.html">SKRIPSI PENDIDIKAN (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-pendidikan-bahasa-inggris.html">SKRIPSI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-bimbingan-konseling-y1-y100.html">SKRIPSI BIMBINGAN KONSELING (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-bimbingan-konseling-y001-y138.html">SKRIPSI BIMBINGAN KONSELING (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-bimbingan-konseling-y101-y138.html">SKRIPSI BIMBINGAN KONSELING (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-psikologi-e1-e64.html">SKRIPSI PSIKOLOGI (S-E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-psikologi-gm.html">SKRIPSI PSIKOLOGI (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-psikologi-y1-y100.html">SKRIPSI PSIKOLOGI (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-psikologi-y101-y200.html">SKRIPSI PSIKOLOGI (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-psikologi-y201-y296.html">SKRIPSI PSIKOLOGI (S-Y201) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-hukum2-e1-114.html">SKRIPSI HUKUM II (S-E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-hukum-tata-negara.html">SKRIPSI HUKUM TATA NEGARA (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-perdata-e1-155.html">SKRIPSI HUKUM PERDATA (S-E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-hukum-pidana-e1-e112.html">SKRIPSI HUKUM PIDANA (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-hukum-pidana-e101-e188.html">SKRIPSI HUKUM PIDANA (S-E101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-syariah-pp-y1-166.html">SKRIPSI SYARIAH PA (S-PAY1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-syariah-pp-y1-143.html">SKRIPSI SYARIAH PP (S-PPY1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-tarbiyah-y1-y100.html">SKRIPSI TARBIYAH (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-tarbiyah-y101-y200.html">SKRIPSI TARBIYAH (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-pertanian-y1-244.html">SKRIPSI PERTANIAN (S-Y1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-kesehatan-masyarakat-y1-y100.html">SKRIPSI KESEHATAN MASYARAKAT (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-kesehatan-masyarakat-y101-y155.html">SKRIPSI KESEHATAN MASYARAKAT (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-mnj-adm-rumah-sakit-e1-e21.html">SKRIPSI MANAJEMEN RUMAH SAKIT (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-keperawatan-e1-e100.html">SKRIPSI KEPERAWATAN (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-keperawatan-e101-e149.html">SKRIPSI KEPERAWATAN (S-E101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-kedokteran-e1-e47.html">SKRIPSI KEDOKTERAN (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-ilmu-ekonomi-sosial-pembangunan.html">SKRIPSI IESP (S-Y1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-y1-e100.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-y101-y200_27.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-y201-y300.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-Y201) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-y301-y400.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-Y301) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-y401-y500.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-Y401) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-y601-y652.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-Y601) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-e101-e200.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-E101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-e201-e300.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-E201) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-e301-e400.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-E301) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-akuntansi-e401-e500_27.html">SKRIPSI AKUNTANSI (S-E401) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e001-100.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e101-200.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e201-300.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E201) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e301-400.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E301) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e401-500.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E401) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e501-600.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E501) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e601-700.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E601) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-manajemen-e701-812.html">SKRIPSI MANAJEMEN (S-E701) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-ekonomi-campuran-y111.html">SKRIPSI EKONOMI CAMPURAN (S-Y111) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-komunikasi-y1-y100.html">SKRIPSI KOMUNIKASI (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-komunikasi-y101-y172.html">SKRIPSI KOMUNIKASI (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-sosial-y1-y10.html">ILMU SKRIPSI SOSIAL (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-politik-e1-e79.html">ILMU SKRIPSI POLITIK (S-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-hubungan-internasional-y1-y44.html">SKRIPSI HUBUNGAN INTERNASIONAL (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-farmasi.html">SKRIPSI FARMASI (S-Y1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-kimia-e1-26.html">SKRIPSI KIMIA (S-E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-teknik-kimia-gm.html">SKRIPSI TEKNIK KIMIA (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-peternakan-y001-y135.html">SKRIPSI PETERNAKAN (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-pertanahan.html">SKRIPSI PERTANAHAN (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-kehutanan.html">SKRIPSI KEHUTANAN (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-teknik-mesin.html">SKRIPSI TEKNIK MESIN (S) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-teknik-mesin-gm.html">SKRIPSI TEKNIK MESIN (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-teknik-elektro-e1-e100.html">SKRIPSI TEKNIK ELEKTRO (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-teknik-elektro-e101-e200.html">SKRIPSI TEKNIK ELEKTRO (S-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-teknik-elektro-e201-e227.html">SKRIPSI TEKNIK ELEKTRO (S-E201) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-teknik-elektro.html">SKRIPSI TEKNIK ELEKTRO (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-komputer-gm.html">SKRIPSI TEKNIK KOMPUTER (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/skripsi-arsitek-y1-y84.html">SKRIPSI TEKNIK ARSITEK (S-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-teknik-sipil-s-e.html">SKRIPSI TEKNIK SIPIL (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-teknik-arsitektur-gm.html">SKRIPSI TEKNIK ARSITEK (S-GM) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/skripsi-teknik-industri-gm.html">SKRIPSI TEKNIK INDUSTRI (S-GN) </a></li></ul><p></p><p><span style="COLOR: rgb(0,102,0);font-size:180%;" >TESIS </span></p><ul><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-psikologi-ii-y1-16.html">TESIS PSIKOLOGI II (S-Y1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/tesis-hukum-e1-123.html">TESIS HUKUM (T-E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-hukum.html">TESIS HUKUM (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-hukum-y1-y125.html">TESIS HUKUM (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-pendidikan-gm.html">TESIS PENDIDIKAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-pendidikan-y1-y182.html">TESIS PENDIDIKAN (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-keuangan-gm.html">TESIS KEUANGAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-akuntansi.html">TESIS AKUNTANSI (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-akuntansi-finance-y1-y32.html">TESIS AKUNTANSI-KEUANGAN (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-magister-ekonomika-pembangunan.html">TESIS EKONOMIKA PEMBANGUNAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-ekonomika-pembangunan-y1-y143.html">TESIS EKONOMIKA PEMBANGUNAN (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/tesis-mep-e1-60.html">TESIS EKONOMIKA PEMBANGUNAN (E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-magister-manajemen-y1-y100.html">TESIS MANAJEMEN (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/tesis-magister-manajemen-y11-49.html">TESIS MANAJEMEN (T-Y11)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-magister-manajemen-y101-y266.html">TESIS MANAJEMEN (T-Y101) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-manajemen-pelayanan-gm.html">TESIS MANAJEMEN - PELAYANAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-manajemen-sumber-daya-manusia.html">TESIS MANAJEMEN SDM (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-sumber-daya-manusia-y1-y129.html">TESIS MANAJEMEN SDM (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-administrasi-publik-gm.html">TESIS ADMINISTRASI/KEBIJAKAN PUBLIK (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-administrasi-publik-e1-e89.html">TESIS ADMINISTRASI/KEBIJAKAN PUBLIK (T-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/12/skripsi-kesehatan-masyarakat-e1-78.html">TESIS KESEHATAN MASYARAKAT (T-E1)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/magister-ilmu-kesehatan.html">TESIS MANAJEMEN RS & ILMU KESEHATAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-kesehatan-masyarakat-y1-y23.html">TESIS KESEHATAN MASYARAKAT (T-E1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/magister-agribisnis-dan-ekonomi.html">TESIS AGRIBISNIS & EKONOMI PERTANIAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/pertanian-agro-dan-peternakan.html">TESIS PERTANIAN/AGRO/PETERNAKAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-pertanian-y1-y65.html">TESIS PERTANIAN (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-magister-teknik-dan-manajemen.html">TESIS TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-mpkd-y1-y82.html">TESIS MPKD (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-teknik-sipil-arsitek-mpkd-teknik.html">TESIS SIPIL/ARSITEK/MPKD/LINGKUNGAN (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2008/01/tesis-teknik-elektro-gm.html">TESIS TEKNIK ELEKTRO (T-GM)</a> </li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-teknik-elektro-y1-y38.html">TESIS TEKNIK ELEKTRONIKA (T-Y1) </a></li><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/tesis-teknik-y1-y74.html">TESIS TEKNIK (T-Y1) </a></li></ul><span style="font-size:180%;"><strong><span style="COLOR: rgb(0,102,0)">DISERTASI</span></strong></span><br /><ul><li><a href="http://idtesis.blogspot.com/2007/11/disertasi.html">DISERTASI (S-E1) </a></li></ul>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-47692509543220887932008-03-14T07:27:00.021+07:002008-07-04T00:55:51.515+07:00CORPORATE CONTROL DALAM PERSPEKTIF KEAGENAN PADA BANK KOMERSIALFOKUS EKONOMI, DESEMBER 2002<br />CORPORATE CONTROL DALAM PERSPEKTIF KEAGENAN PADA BANK KOMERSIAL<br />Oleh: Taswan<br />STIE Stikubank Semarang<br /><br /><br />ABSTRAK<br /><br />Pengelolaan bank secara modern umumnya diserahkan kepada para profesional yang bertindak sebagai pengurus bank. Para profesional ini ditunjuk selaku agen (direktur atau komisaris) untuk menjalankan manajemen bank dalam rangka meningkatkan nilai bank atau kekayaan pemilik saham. Penyerahan amanat tersebut menunjukkan adanya pemisahan fungsi dan pembagian risiko. Untuk itu diperlukan kontrol terhadap manajemen agar menjalankan amanat pemilik saham (prinsipal).<br /><br />Kata Kunci: Prinsipal, agen, kontrol.<br /><br />I. PENDAHULUAN<br />Bank sebagai lembaga yang berfungsi menjebatani antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana sering dituntut untuk selalu berhati-hati dalam mengelola dana tersebut. Tuntutan tersebut tidak lepas dari kepentingan –pemilik dana atau deposan yang harus dilindungi, walaupun kita ketahui bahwa dana deposan di Indonesia dijamin oleh Bank Indonesia. Namun perlindungan tersebut masih bersifat terbatas. Dilain pihak, pihak bank yang menempatkan dana pada pihak yang membutuhkan, juga berkepentingan untuk memperoleh pendapatan, sedapat mungkin terhindar dari risiko tidak kembalinya dana yang ditanamkan. Oleh karena itu tindakan yang hati-hati terhadap pengelolaan dana baik terhadap dana nasabah, -pemilik bank, maupun dana yang telah ditempatkan menjadi tuntutan yang mutlak dalam dunia perbankan.<br /><br />Perlindungan terhadap dana nasabah dan pemeliharaan asset atau modal pemilik bank sangat tergantung kemampuan manajemen bank dalam mengelola dana tersebut. Idealnya dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, sebuah bank akan selamat dari kemungkinan risiko terburuk yaitu likuidasi. Tugas manajemen bank tidak hanya itu, namun yang utama adalah meningkatkan nilai kekayaan pemilik. Tentu saja tugas yang ketiga ini akan tercapai kalau kedua tugas sebelumnya dapat dilakukan. Untuk itu agar amanat dijalankan, perlu adanya kontrol.<br /><br />Coprporate control menyangkut siapa yang mengontrol, siapa yang dikontrol dan bagaimana mekanisme kontrol tersebut?. Persoalan ini bersentuhan dengan siapa pemiliknya, siapa yang bertindak selaku pembuat keputusan manajemen dan siapa penanggung risiko. Bisa jadi seorang pemilik bank langsung bertindak sebagai pembuat keputusan-keputusan strategis dibidang manajemen yang sekaligus menanggung risiko atas keputusan tersebut, namun pada era sekarang sangat kecil kemungkinan pemilik langsung bertindak sendiri tanpa melibatkan para professional. Para pemilik bank umumnya akan menyerahkan amanat kepada pihak manajemen untuk mengelola bank. Penyerahan amanat kepada pihak manajemen untuk mengelola bank tentu ditentukan melalui Rapat Umum pemegang saham. Dalam RUPS pemegang saham biasa yang mayoritas akan menentukan struktur manajemen. Pihak shareholder akan menentukan orang-orang yang menurutnya bisa dipercaya untuk melindungi kepentingan pemilik dan sekaligus meningkatkan nilai kekayaan pemilik.<br /><br />Proses untuk menentukan struktur manajemen bank sangat hati-hati, sebab penentuan orang-orang kepercayaan disamping dalam kendali pemilik, juga dalam kendali otoritas moneter (bank Indonesia). Pemilik menentukan dan mengajukan kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia akan melakukan uji kemampuan dan kepantasan (fit and proper test) terhadap orang-orang kepercayaan pemilik bank. Apakah orang yang dipercaya oleh pemilik dan telah dinilai kemampuan serta kepantasannya dijamin bisa menjalankan amanat pemilik?. Tampaknya tidak ada jaminan dalam konteks bisnis. Orang akan bertindak berdasarkan menguntungkan atau tidak menguntungkan?. Artinya para professional tidak hanya sekedar menjalankan amanat pemilik untuk memaksimumkan kekayaannya, tapi mereka juga punya kepentingan untuk memperkaya, mempertahankan jabatan, meningkatkan nilai mereka sendiri. Bila ini yang menjadi kepentingan maka control terhadap manajemen sangat diperlukan. Tulisan ini akan menjelaskan corporate control dalam perspektif keagenan pada lembaga perbankan, lembaga yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan manufaktur pada umumnya.<br /><br />II. PEMBAHASAN<br /><br /><br />Dalam perspektif makro sebagaimana tertulis dalam Undang-undang perbankan No. 10 tahun 1998, bahwa bank didirikan untuk menyejahterakan rakyat banyak. Tujuannya begitu mulia karena mengemban tugas yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Itu menurut undang-undang perbankan. Apakah dalam konteks corporate, sebuah bank didirikan untuk itu?. Tampaknya tidak demikian, sebab bagaimanapun bank adalah lembaga bisnis yang didirikan untuk bisnis. Sebuah bisnis pasti berhitung dengan risiko dan return. Pemodal akan selalu bertindak atas dasar kedua hal ini. Pemodal akan menginginkan return tertinggi dengan risiko tertentu atau return tertentu dengan risiko terendah.<br /><br />Dalam kontek manajemen dana perbankan, para manajer bank harus bisa mengelola dana bank untuk mendatangkan pendapatan tertinggi. Pendapatan bersih itu dicapai melalui pengelolaan dana pada sisi pasiva yang menimbulkan biaya, dan pengelolaan dana pada sisi aktiva yang mendatangkan pendapatan. Umumnya semakin berjangka waktu lama suatu asset produktif akan semakin tinggi pendapatkan yang disumbangkan, demikian juga semakin lama jangka waktu sumber dana juga semakin tinggi biayanya. Manajemen bank bisa mengelola dana melalui pengaturan gap untuk mendapatkan pendapatan tertinggi.<br /><br />Untuk kasus di Indonesia sebagian besar bank terkonsentrasi pada kredit untuk meraih pendapatan tertinggi dan sumber dana sebagian besar dana masyarakat. Hal ini terindikasi bahwa untuk mendirikan bank hanya memerlukan jumlah modal yang relatif kecil dibandingkan mendirikan perusahaan manufaktur pada skala yang sama. Mengapa demikian? Karena sebagaian besar dana berasal dari dana masyarakat. Oleh karena itu prinsip kehati-hatian mutlak diperlukan dalam mengelola bank, agar kepentingan nasabah deposan dan pemilik bank bisa terjamin. Kepentingan nasabah deposan adalah dana aman dan menghasilkan, sedangkan kepentingan pemodal adalah dengan modal tersebut bisa meningkatkan kekayaannya. Peningkatan kekayaan pemilik dicerminkan oleh nilai perusahaan. Oleh karena itu tujuan umum bank sebenarnya memaksimumkan nilai kekayaan pemilik yang dicerminkan oleh nilai bank.<br /><br />Persoalannya saat ini sebuah bank umum komersial berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT). Perusahaan daerah (PD) atau Koperasi. Ketiga bentuk badan hukum akan dikemudikan oleh beberapa direktur dan komisaris. Direktur dan komisaris inilah yang bertanggung jawab untuk mengelola bank dalam rangka mencapai tujuan bank yakni meningkatkan nilai kekayaan pemilik. Para direktur dan komisaris yang keduanya sering disebut pengurus adalah kaum professional yang diserahi amanat oleh pemilik saham untuk mengoperasikan bank.<br /><br />Hubungan antara pemilik modal dengan manajemen bank (pengurus) sering disebut hubungan keagenan. Hubungan keagenan sebagai suatu kontrak yang mana satu atau lebih principal (pemilik) menggunakan orang lain atau agent (pengurus) untuk menjalankan aktivitas bank. Dengan kata lain dalam hubungan keagenan menjelaskan hubungan antara pemberi kerja dan penerima amanah untuk melaksanakan pekerjaan. Pemberi kerja yang disebut prinsipal akan memberikan hak kepada orang lain yang disebut sebagai agen untuk menjalankan haknya. Kedua belah pihak terikat oleh kontrak yang menyatakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk selanjutnya istilah pemberi kerja diasosiakan sebagai prinsipal, pemilik modal, shareholders, dan pemberi amanat. Sedangkan agen dapat disamakan dengan penerima amanat, pengurus (direksi dan komisaris), pihak manajemen bank, pengelola, orang dalam atau insiders.<br /><br />Dalam mewujudkan kontrak kerja yang dimaksudkan, prinsipal menyediakan fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasi bank. Di lain pihak, agen sebagai pengelola bank berkewajiban untuk mengelola bank sebagaimana diamanahkan oleh para pemegang saham (prinsipal), yaitu meningkatkan kemakmuran prinsipal melalui peningkatan nilai perusahaan. Sebagai imbalannya agen akan memperoleh gaji, bonus dan berbagai macam kompensasi lainnya.<br /><br />Dalam kenyataannya, apakah selalu demikian?. Para professional atau manajer bank sering lebih cenderung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Para manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya ditanggung oleh pihak lain. Perilaku ini sering disebut sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality) dan tidak suka menanggung resiko atau risk averse. Keterbatasasn sifat manusia seperti inilah yang menyebabkan prinsipal dan agen saling mencari peluang untuk menguntungkan diri sendiri atas biaya salah satu pihak. Apabila kondisi ini terjadi maka konflik antara agen dan prinsipal akan muncul.<br />Konflik keagenan akan potensial terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham di suatu bank relatif kecil atau bahkan tidak ikut memiliki saham bank yang bersangkutan, sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya sendiri dan bukan memaksimasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Kondisi ini terjadi karena adanya pemisahan antara fungsi pengambil keputusan dengan fungsi yang menanggung resiko. Para pengambil keputusan relatif tidak menanggung resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan. Resiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh prinsipal. Akibatnya, manajemen sebagai pengambil keputusan dalam perusahaan yang tidak menaggung resiko atas kesalahannya cenderung untuk melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif demi kepentingan mereka, seperti peningkatan gaji dan fasilitas lainnya.<br /><br />Bank yang semakin besar akan potensial terkena agency problems sebagai akibat adanya pemisahan antara fungsi pengambil keputusan dan penanggung resiko (risk beating). Dalam keadaan ini, pengurus mempunyai kecenderungan untuk melakukan konsumsi atas keuntungan tambahan secara berlebihan, karena resiko yang ditanggungnya relatif sama dan ini disebut sebagai agency cost of equity. Untuk meminimumkan konflik tersebut, maka diperlukan suatu mekanisme kontrol yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan yang terkait. Namun demikian , munculnya mekanisme pengawasan tersebut akan menimbulkan biaya yang disebut agency cost.<br /><br />Brigham dan Gapensky (1999), menyatakan bahwa agency cost merupakan biaya yang timbul karena perusahaan menggunakan hutang dan melibatkan hubungan antara stockholders dan bondholders. Jensen dan Meckling (1976), mendefenisikan biaya keagenan sebagai jumlah dari pengeluaran untuk pengawasan (monitoring) yang dikeluarkan oleh prinsipal, pengeluaran karena penjaminan oleh agen atau insiders, serta pengeluaran karena residual loss atau biaya yang timbul karena prinsipal merasa kehilangan kenyamanan sebagai akibat adanya penyimpangan antara harapan dengan yang diputuskan oleh agen. Oleh karena itu pihak insiders, sebagai pengambil keputusan dalam perusahaan perlu mempertimbangkan dampak yang muncul atas keputusan tersebut khususnya dalam rangka mengurangi agency problems yang dapat meminimumkan biaya keagenan.<br /><br />Dalam mengatasi masalah keagenan dan mengurangi biaya keagenan maka dapat dilakukan beberapa cara berikut. Pertama bahwa calon pengurus bank sebelum menduduki posisi sebagai direksi maupun komisaris perlu dinilai kemampuan dan kepatantasan (fit and proper test) yang dilihat dari kompetensi dan integritas (Peraturan BI No. 2/23/PBI/2000). Faktor kompetensi ini menyangkut pengetahuan dibidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya, pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan;, dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan bank yang sehat. Sedangkan faktor integritas adalah menyangkut apakah calon pengurus tidak melakukan perbuatan rekayasa atau penyimpangan praktek perbankan, sanggup menenuhi komitmen (kesungguhan melakukan secara konsisten dan konsekuen), bertindak adil, tidak melanggar prinsip kehati-hatian, dan bersifat independen.<br /><br />Penilaian fit dan proper harus berjenjang untuk menghindari penilaian yang subyektif dan penilian itu dilaksanakan secara berkala. Seorang pengurus yang telah lolos uji ini bukan berarti telah bebas dari pengawasan aspek kompetensi dan integritas, namun akan dipantau terus-menerus oleh Bank Indonesia. Dengan demikian kontrol terhadap pengurus akan efektif. Artinya dilihat dari kompetensi dan integritas, sangat kecil kemungkinan para pengurus melakukan tindakan yang menjurus pada memperkaya diri sendiri secara illegal yang merugikan pemilik bank. Pengurus yang lulus uji ini adalah pengurus yang adil dan memiliki komitmen yang didukung kemampuan dibidangnya, sehingga memiliki modal dasar untuk bertindak profesional.<br /><br />Kedua, dengan meningkatkan insiders ownership. Menurut pendekatan ini, agency problems bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan. Dengan adanya kepemilikan saham maka insiders akan merasakan langsung akibat dari keputusan yang diambilnya sehingga tidak mungkin manajer bertindak oportunistik lagi. Dengan demikian, kepemilikan saham bank merupakan insentif bagi pengurus untuk meningkatkan kinerja bank dan menggunakan hutang/dana masyarakat secara optimal sehingga akan meminimumkan biaya keagenan.<br /><br />Ketiga, pendekatan pengawasan eksternal. Pendekatan ini dilakukan melalui penggunaan hutang. Hutang disini bisa diartikan sebagai hutang obligasi, hutang jangka panjang lainnya atau dana masyarakat. Peningkatan penggunaan debt financing akan mempengaruhi pemindahan equity capital. Jensen (1986), menyatakan bahwa dengan adanya hutang akan dapat mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen, dengan demikian akan menghindari investasi yang sia-sia. Hutang tidak hanya menyamakan kepentingan pengurus dan pemegang saham tapi juga meningkatkan resiko kebangkrutan dan kerugian pekerjaan atau job loss. Resiko-resiko tersebut akan memaksa pengurus untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu sehingga dapat meningkatkan efisiensi perusahaan. Penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Penggunaan tersebut dikaitkan dengan peningkatan harga saham perusahaan dan pengurangan hutang akan menurunkan harga saham perusahaan (Masulis, 1988).<br /><br />Keempat, institutional investor sebagai monitoring agent. Bentuk distribusi saham diantara pemegang saham dari luar (outside shareholders) yaitu instituitional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost. Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya menantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan. Adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja insiders.<br /><br />Aktivitas para investor institusional yang meningkat dalam melakukan pengawasan disebabkan oleh kenyataan bahwa, adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh investor institusional telah meningkatkan kemampuan mereka untuk melakukan tindakan secara kolektif. Dalam waktu yang sama biaya untuk keluar dari investasi (exit cost) yang mereka lakukan cukup mahal, karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon. Tren peningkatan aktivitas institutional investor dapat dijelaskan melalui fakta bahwa dengan kepemilikan institusional yang semakin tinggi dapat memaksa insider untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi secara optimal.<br /><br />Menurut Bathala et al. (1994), peningkatan institutional investor didukung oleh usaha mereka untuk meningkatkan tanggung jawab insider. Aktivitas pengawa-san tersebut dapat dilakukan dengan menempatkan para komite penasehat (advisory commitees) yang bekerja untuk melindungi kepentingan pemegang saham ekternal. Pendapat ini sama dengan yang dikemukakan Fama dan Jensen (1983), yang menyatakan bahwa mekanisme pengawasan dapat dilakukan dengan menempatkan dewan ahli (decision expert) yang tidak dibiayai perusahaan sehingga tidak berada di bawah pengawasan insider. Dengan demikian, dewan ahli dapat menjalankan fungsinya secara efektif untuk memonitor tindakan insiders.<br /><br />Pendekatan lainnya adalah melalui labor market controls, capital control dan ancaman takeover . Dalam labor market control, maka pemberian kompensasi kepada insiders dikaitkan dengan kinerja dan nilai saham perusahaan. Manajer yang mempunyai kinerja yang baik akan mendapatkan kompensasi yang lebih baik dan lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang lain jika keluar dari perusahan tersebut. Sebaliknya manajer dengan kinerja buruk akan kesulitan mendapatkan pekerjaan, khususnya jika perusahaan tersebut diambil alih oleh perusahaan lain. Program yang dapat dilakukan adalah pemberian kompensasi yang didasarkan pada executive option plan, program ini dapat memotivasi para manajer untuk meningkatkan nilai perusahaan. Pendekatan capital market control dilakukan melalui rapat umum pemegang saham. Pengawasan melelalui ancaman takeover akan mendisplinkan manajer dalam bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Sebagai konsekwensinya, manajer yang berkinerja jelek akan tersingkir jika takeover terjadi.<br /><br />Pendekatan kontrol yang dinilai sangat efektif pada lembaga perbankan adalah pendekatan regulasi. Regulasi bank memang tujuan umumnya untuk melindungi kepentingan nasabah bank, namun efek yang ditimbulkan bagi manajemen bank sangat dasyat. Ketaatan terhadap regulasi bank akan dicerminkan pada tingkat kesehatan bank. Bank yang sehat adalah bank yang tidak melanggar regulasi, walaupun tidak selalu. Tingkat kesehatan bank sering dijadikan ukuran kinerja manajemen bank dalam mengelola bank. Para manajer dan komisaris bank akan selalu berusaha memenuhi tingkat kesehatan bank yang dikehendaki pemilik maupun otoritas moneter, sebab kinerja yang buruk atau tingkat kesehatan bank yang rendah akan mengancam posisi direksi dan komisaris (pengurus).<br /><br />Pihak manajemen akan berusaha untuk menyalurkan kredit yang sehat, menjaga kualitas asset produktif, memelihara likuiditas, meningkatkan rentabilitas, memelihara kesehatan modal dan menghindari konflik manajemen yang merugikan kelangsungan hidup bank. Tindakan-tindakan manajemen bank yang dibingkai regulasi pada gilirannya akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Peningkatan kepercayaan masyarakat akan meningkatkan nilai saham bank yang bersangkutan. Dengan demikian amanat pemilik saham akan dapat dicapai.<br /><br />III. KESIMPULAN<br /><br />Lembaga perbankan dikelola oleh para direksi dan komisaris. Keduanya sebagai nahkoda untuk mengelola bank dengan tujuan meningkatkan nilai bank atau meningkatkan kekayaan pemilik saham. Sebagai agen atau insiders, wajib menjalankan amanat pemilik sebab mereka diberi hak-hak berupa gaji, status dan sebagainya. Namun dalam praktik bisa terjadi pel;uang untuk bertindak yang hanya menguntungkan agen atau prinsipal tertentu. Pada Kondisi ini maka konflik keagenan terjadi. Untuk meredam konflik antara pemilik dengan manajemen bank, diperlukan mekanisme kontrol terhadap manjemen.<br /><br />Kontrol terhadap manajemen bank bisa ditempuh melalui pencegahan sedini mungkin yaitu melalui uji kemampuan dan kepantasan (fit and proper test) yang dilihat dari kompetensi dan integritas. Pengurus yang memiliki kompetensi dan integritas akan berusaha menjalankan komitmen awal yang disepakati. Uji ini dilakukan secara berkala, sehingga selaku pengurus yang tidak tidak lulus uji ini akan terancam posisinya. Oleh karena itu uji ini dapat efektif untuk mencegah tindakan yang merugikan pemilik bank.<br /><br />Kontrol kedua adalah diusahakan ada peningkatan kepemilikan oleh para manajer dan komisaris. kepemilikan saham oleh insiders ini bisa menimbulkan bertindak hati-hati sebab mereka juga ikut menanggung risiko bila bank mengalami kebangkrutan. Kedua adalah perlunya saham bank dimiliki juga oleh institutional investor, sebab mereka memmpunyai kekuatan kolektif untuk emmepengaruhi tindakan manajemen, misalnya dengan menempatkan dewan ahli atau pengawas yang bisa mengawasi tindakan manajemen. Ketiga adalah bisa dilakukan dengan kontrol pasar tenaga kerja dan ancaman tak over. Manajer yang berkinerja buruk akan terancam tidak digunakan bila terjadi take over bank tersebut. Sementara pasar juga tidak mau menggunakan para manajer yang berkinerja buruk.<br /><br />Kontrol yang paling efektif pada lembaga perbankan (mungkin tidak dimiliki perusahaan manufaktur) adalah melalui regulasi perbankan. Regulasi bank bisa membatasi direktur dan komisaris untuk bertindak yang merugikan bank. Pelanggaran regulasi akan menurunkan kinerja bank. Penurunan kinerja bank berarti penurunan reputasi para insider. Reputasi yang jelek tidak akan lolos dalam fit and proper test yang dilakukan oleh BI, padahal uji ini dilaksanakan setiap periode pergantian struktur manajemen. Manajer yang tidak lolos uji berarti terancam posisinya.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Bank Indonesia, 2000, Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/2000 Tentang Penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and Proper test).<br /><br />Bathala, CT., Moon, KP., Rao, RP., 1994, Managerial Ownership, Debt Policy, and The Impact of Institutional Holding: An Agency Perspective, Financial Management, Vol 23, No. 3. P. 38-50.<br /><br />Bringham, EF., & Gapenski, LC., Daves, PR., 1999, Intermediate Financial Management, The Dryden Press, New York.<br /><br />Coffee, J.C., JR., 1991, Liquidity Versus Control: The Institutional Investor as corporate Monitor, Columbia Law Review, October, 1277-1368.<br /><br />Crutchley, CE., Hansen, RS., 1989, A Test of the Agency Theory of Managerial Ownership, Corporate Leverage, and Corporate Dividens, Financial Management, p. 36-46<br /><br />Hempel, George H; Simonson, Donald G; Coleman, Alan B., 1994, Bank Management, John Wiley & Son, Inc., New York.<br /><br />Husnan, Suad (1996), Dasar-Dasar Teori Portfolio dan Analisis Sekuritas, Edisi Kedua, Yogyakarta, UPP AMP YKPN.<br /><br />Jensen, G.,D. Solberg and T. Zorn, 1992, Simultaneous Determination of Insider Ownership, debt, and Dividend Policies, Journal of Financial and Quantitaive Analysis, Vol 27, p.247-263.<br /><br />Jensen, M.C., & W.H. Meckling, 1976, "Theory of the Firm: Managerial behavior, Agency Cost and Ownership Structure"., Journal of Financial Economics p. 3-24.<br /><br />Koch, Timoty W dan Macdonald, S. Scot, 2000, Bank Management, The Dryden Press, Newyork.<br /><br />Mehran, H., 1992, Executive Incentive Plans, Corporate Control, and capital Structure, journal of Fiancial and Quantitative Analysis, 27, p. 539-560.<br /><br />Moh’d, M.A., Perry, LG., Rimbey, JN., 1998, The Impact Of Ownership Structure On Corporate Debt Policy: a Time-Series Cross-Sectional Analysis, The Financial Review, 33, p.85-98.<br /><br />Prowse, S, 1995, Alternative Methods of Corporate Control in Commercial Banks, Federal Reserve Bank of Dallas Economic Review, Third Quarter, p. 24-36.<br /><br />Prowse, S., 1997, Corporate Control in Commercial Banks, The Journal of Financial Research, Vol XX, p. 509-527.<br /><br />Rose, Peter S, 1999, Commercial Bank Management, Irwin McGraw-Hill, New York.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-66977292133924075722008-03-14T07:27:00.019+07:002008-07-04T02:00:23.003+07:00DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP MASYARAKAT TERASINGJURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 1999<br />DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP MASYARAKAT TERASING<br />(Adaptasi Masyarakat Terasing terhadap Pembangunan)<br /><br />Oleh : Sandy Dharmakusuma<br />STIE Stikubank Semarang<br /><br />ABSTRAK<br />Telah banyak terjadi contoh permasalahan dalam penanganan yang salah terhadap masyarakat terasing. Yang jelas terlihat adalah masalah suku bangsa Indian di Amerika Serikat yang tersingkir dari tanah mereka dan ditampung dalam reservasi- reservasi (yang tanahnya tidak produktif), dimana mereka kehilangan kebebasan (seperti dikurung: tidak boleh keluar dari reservasi), dengan makanan yang diberikan oleh US Indian Bureau. Di Amazon, Brazil, pembukaan hutan selain mengakibatkan kerusakan rainforest juga mengakibatkan punahnya/berkurangnya suku bangsa Indian di daerah itu (suku Jivaro,dsb), yang diakibatkan karena mereka tidak immune terhadap bibit penyakit yang dibawa pendatang.<br /><br />I. PENDAHULUAN<br />Pada era pembangunan sekarang, kita dihadapkan dengan berbagai dilema. Diantaranya adalah dalam rangka memajukan masyarakat terasing tanpa menimbulkan dampak-dampak yang negatif terhadap masyarakat itu sendiri.<br />Banyak program pemerintah yang menyarankan pembukaan daerah suku terasing untuk kepentingan negara, seperti di Irian untuk kepentingan pertambangan, dan perkebunan. Juga ada yang menyarankan pemukiman ulang terhadap masyarakat itu, dengan alasan untuk menghindari kerusakan lingkungan seperti berladang pindah (slash and burn). Serta ada pula yang dengan alasan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup mereka agar sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", harus ada perubahan terhadap masyarakat tersebut.<br />Timbul pertanyaan: Apakah benar pendapat seperti itu?<br />Bukankah masyarakat suku terasing itu juga mempunyai hak untuk memilih pola dan cara hidupnya sendiri, selama tidak melanggar hukum? Apakah mereka lebih bodoh daripada kita tentang cara-cara hidup berasaskan lingkungan? Apakah dengan mengubah cara hidup mereka, mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru? Dan yang paling penting: "Jalan manakah yang terbaik?" Telah banyak terjadi contoh permasalahan dalam penanganan yang salah terhadap masyarakat terasing. Yang jelas terlihat adalah masalah suku bangsa Indian di Amerika Serikat yang tersingkir dari tanah mereka dan ditampung dalam reservasi-reservasi (yang tanahnya tidak produktif), dimana mereka kehilangan kebebasan (seperti dikurung: tidak boleh keluar dari reservasi), dengan makanan yang diberikan oleh US Indian Bureau. Di Amazon, Brazil, pembukaan hutan selain mengakibatkan kerusakan rainforest juga mengakibatkan punahnya/berkurangnya suku bangsa Indian di daerah itu (suku Jivaro,dsb), yang diakibatkan karena mereka tidak immune terhadap bibit penyakit yang dibawa pendatang.<br /><br />II. ADAPTASI<br />Apakah sebenarnya konsep adaptasi itu? Banyak pendapat dan pendekatan tentang adaptasi. Diantaranya: Pendekatan Deterministik (Semple et al), Pendekatan Posibilistik (Kroeber et al), Pendekatan Cultural Ecology (Stewart, Geerst et al), dan Pendekatan Ekosistem (Rappaport et al). Tapi pada dasarnya adaptasi adalah usaha dari makhluk hidup (terutama manusia) untuk bereaksi terhadap keadaan luar/lingkungan yang berubah, termasuk intervensi, gangguan dan ancaman (Surjani, 1984). Hal ini sesuai dengan konsep homeoesthasis yang dikemukakan oleh Eugene P.Odum: "Homeoesthasis adalah suatu sistim biologis untuk tetap bertahan terhadap adanya perubahan dan untuk tetap berada dalam keseimbangan dinamis (state of equilibrium) dengan sekitarnya." (Odum, 1971).<br />Adaptasi dalam ekologi juga sejalan dengan konsep-konsep tersebut. Terri Rambo mengemukakan bahwa manusia akan melakukan strategi yang sesuai dengan pengetahuan budayanya untuk menghadapi perubahan. Manusia yang mempunyai strategi yang tepat akan berhasil, yang tidak mempunyai strategi yang tepat akan gagal dan mati (process of natural selection) (Rambo, 1983).<br />Adaptasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :<br />1. Adaptasi Fisiologis :<br />Berhubungan dengan sistim metabolisme, seperti juga seseorang yang tinggal di dataran rendah harus tinggal di dataran yang sangat tinggi (Pegunungan Himalaya). Orang tersebut harus<br />menyesuaikan suhu, tekanan udara dan kadar oksigen yang lebih tipis untuk bisa bertahan hidup.<br />2. Adaptasi Morfologis :<br />Berhubungan dengan struktur tubuh. Misalnya orang Eskimo pendek dan kekar karena tinggal didaerah Artik, dan orang Afrika tinggi dan langsing karena tinggal di udara panas.(Soemarwoto, 1985).<br />3. Adaptasi Kultural :<br />Berhubungan dengan teknologi, yang disesuaikan dengan keadaan sekitar.<br /><br /><br />Jadi adaptasi masyarakat terasing terhadap pembangunan banyak berhubungan dengan Cultural Adaptation, bukan pada fisiologis dan morfologis.<br />Adaptasi sosial-budaya tentunya tak dapat dilakukan secara tiba-tiba (overnight), melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama akan terjadi adaptasi karena perubahan teknologi<br />(yang termudah), perilaku, pendidikan, kegiatan bermasyarakat, rumah tangga, agama dan kepercayaan.Cohen menyebutkan bahwa adaptasi dapat diterangkan dalam 4 tahap:<br />Tahap pertama adalah adaptasi yang paling mudah dengan perubahan habitat: perubahan teknologi dan organisasi yang didapat dari hubungan-hubungan sosial/bermasyarakat/pergaulan.<br />Tahap kedua adalah terhadap bentuk hunian, rumah tangga, organisasi politik, dan kekerabatan.<br /><br />Tahap ketiga adalah dalam agama dan kepercayaan.<br />Tahap keempat adalah yang paling sulit karena ini merupakan persepsi subyektif terhadap habitat, lingkungan, nilai-nilai/norma-norma yang berhubungan dengan mata pencaharian, pemeliharaan anak, taboo(pantangan), incest (hubungan sedarah), ritual-ritual/upacara-upacara, termasuk musik dan tarian (kebudayaan).<br />III. Masyarakat Terasing<br />Konsep masyarakat terasing menurut Departemen Sosial adalah sebagai berikut : Masyarakat yang taraf hidupnya sangat sederhana/terbelakang, tinggal didaerah terpencil, tersebar dan terasing dalam faktor sodial dan budaya, tidak ada hubungan fisik dan sosial budaya dengan dunia luar dan tak terjangkau oleh pembangunan. Karena mereka dianggap sangat primitif, tentulah mereka sangat percaya dan tergantung pada hukum dan kekuasaan/dominasi alam pada habitat mereka.<br />Ada 3 kategori dalam masyarakat terasing:<br /><br />1. Kelana<br />Mereka yang tinggal berpindah-pindah. Hidup sangat sederhana dari berburu, menangkap ikan, atau meramu hasil hutan. Dipimpin oleh seorang ketua kelompok, mereka sangat curiga dengan orang luar. Jarang dari komunitas ini yang mau bergaul dengan orang luar. Contohnya adalah orang Baduy dalam.<br />2. Setengah Kelana<br />Mereka sedikit lebih maju, terbukti dengan dapat bercocok tanam dengan sistim tebang-bakar (slash and burn), suatu sistim pertanian yang berpindah-pindah. Setelah panen mereka akan membakar lahan itu dan pindah ke daerah lain.<br /><br /><br />3. Menetap Sementara<br /> Mereka sudah sedikit lebih maju dari kategori setengah kelana, karena mereka telah dapat mempunyai rumah berupa gubuk-gubuk kayu dan mereka mau berdagang dengan masyarakat diluar lingkungannya di pasar.<br /><br />Faktor-faktor yang menentukan dalam perbedaan ini tentunya tergantung pada faktor iklim, pendidikan dan kedekatan dengan orang luar, yang merupakan proses dari adaptasi itu sendiri.<br />Semakin maju suatu suku bangsa terasing, tentunya akan mempunyai culture dan adat istiadat yang berbeda dengan yang masih primitif. Bertani tentunya lebih maju daripada berburu, dan tergantung pada sistim kepemimpinannya, semakin maju culture suatu suku, akan semakin rumit sistim pemerintahannya. Sebagai contoh: Suku bangsa Inca dan Aztec yang mempunyai raja dan sistim birokrasi tinggi, dan bercocok tanam (jagung) adalah lebih maju daripada saudara-saudaranya yang tinggal sebagai pemburu parairie di Amerika Utara seperti suku bangsa Sioux, Comanche, dsb.<br />Masyarakat terasing di Indonesia diantaranya: suku Baduy (Jawa Barat), suku Dayak (Kalimantan), Tolare (Sulawesi Tengah).<br />Adapun perlu diingat bahwa sosial budaya mereka sangat unik dan tak terdapat pada masyarakat lain. Dan yang menarik bahwa kehidupan mereka mirip dengan suku-suku Indian di Amerika Utara dan di Amazon.<br />IV. KEHIDUPAN MASYARAKAT TERASING<br />Pada saat ini baiklah kita berpegang pada anggapan bahwa:<br />Mereka sangat terikat pada leluhur, dan upacara-upacara adat dalam upaya beradaptasi terhadap lingkungannya dan banyak taboo. Jika mereka melakukan adaptasi dengan daerah dan sosial budaya yang baru tentunya akan ada dampak terhadap adat istiadat masyarakat terasing tersebut, bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa upacara/ritual akan hilang/tidak dilaksanakan lagi seiring dengan adaptasi mereka.<br />Upacara-upacara tersebut dapat juga dimasukkan dalam proses adaptasi mereka terhadap lingkungannya (sebagai cultural traits). Biasanya upacara-upacara ini berdasarkan pada kepercayaan/mitos terhadap kekuatan-kekuatan alam dan terhadap arwah leluhur. Izin dan perkenan dari arwah para leluhur untuk melakukan sesuatu harus didapatkan dahulu sebelum melakukan suatu kegiatan. Jika hal ini dilanggar maka akan terjadi kegagalan dalam kegiatan<br />tersebut, bahkan akan mendapat suatu "hukuman" pula.<br />Hubungan antara masyarakat ini dan dunia yang "halus" ini tentunya membutuhkan seorang/sesuatu media, yang biasanya diperankan oleh seorang "dukun", "shaman", "witchdoctor", yang mempunyai hak-hak exclusive dalam menjalankan ritual yang bersifat magis. Dalam melakukan ritual ini tentunya dibutuhkan "sesaji" atau korban yang disertai dengan mantera-mantera sang dukun. Bahkan kadang-kadang "sesaji" ini dapat berbentuk manusia (suku bangsa Aztec di Amerika Tengah). Pada dasarnya upacara-upacara ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara alam dengan manusia, jadi merupakan suatu homeoesthasis terhadap lingkungannya. Jika panen gagal yang disebabkan oleh kurangnya hujan, maka dianggap bahwa si "Dewa Hujan" sedang marah, dan harus diberi "sesaji" untuk meredakan kemarahannya.<br />Upacara-upacara yang biasanya dilakukan dapat dibagi dua yaitu :<br />1. Upacara yang berkaitan dengan produksi hasil bumi/panen, serta minta ijin.<br />2. Upacara penyembuhan dari penyakit.<br /><br />1. Upacara yang berkaitan dengan hasil bumi.<br />Upacara ini adalah upacara yang populer, dilakukan oleh banyak masyarakat terasing. Di Indonesia sendiri, di Irian dilakukan upacara peletakan rumbim yang berfungsi dari batas (boundary) dari suatu daerah milik suku tersebut. Tentunya sebelum peletakan rumbim tersebut, harus diadakan suatu upacara apakah tepat saatnya untuk melakukannya, karena hal itu berarti<br />perang terhadap suku lain. Dalam kasus ini dapat dianggap sebagai upacara untuk minta ijin berperang dan meminta kemenangan. Hal ini sesuai dengan ritual suku Indian di Amerika untuk selalu minta ijin sebelum berperang, dan pada bangsa Yunani kuno untuk minta restu dewa Mars/Ares yang mereka anggap sebagai dewa perang.<br />Di Sulawesi, pada suku Tolare, diadakan upacara untuk mengetahui apakah tempat itu dapat digunakan sebagai ladang yang baru, perlu diketahui bahwa suku Tolare berladang pindah (slash and burn). Yang menarik pada suku Tolare ini, diadakan pemotongan ayam untuk digunakan jantung dan hatinya. Sang dukun akan melihat apakah jantung dan hati ayam tersebut keras atau lunak. Bila keras maka dianggap sebagai suatu ijin dari arwah leluhur untuk membuka tempat itu sebagai ladang, bila lunak, maka harus dipilih tempat lain. Hal ini sangat menarik karena mempunyai kesamaan dengan bangsa Romawi kuno (sebelum masuknya agama Kristen). Bangsa Romawi menggunakan unggas, ayam, bebek, atau burung merpati untuk mengetahui pertanda baik dan buruk dari "dewa", dengan melihat isi perut dari korban.<br />Juga adanya pantangan-pantangan yang terjadi untuk menjaga agar panen tidak gagal. Sebagai contoh, dapat dilihat pada suku Tolare, bahwa sewaktu panen padi, tak diperbolehkan kontak dengan orang luar (luar masyarakat), karena akan mendapat kesialan. Juga suami istri tak boleh bergaul sampai panen selesai. Juga terlihat adanya upacara minta hujan dan panas yang cukup agar panen tidak gagal, biasanya juga diadakan "sesaji". Suku-suku Indian di Amerika Utara bahkan mengorbankan manusia sebagai "sesaji". Suku Indian Pawnee tercatat melakukan pengorbanan seorang gadis dari suku Sioux pada 22 April 1837, yang tubuh dan darahnya ditaburkan pada kebun jagung agar mendapatkan panen yang baik. Juga suku bangsa Bagobo di Pulau Mindanau melakukan pengorbanan manusia pula sebelum mereka membajak sawah.<br />Setelah masa panen, akan diadakan suatu pesta panen untuk bersyukur kepada para arwah leluhur, dengan mengorbankan sebagian dari hasil panen itu. Didalam upacara ini terselip pula perencanaan untuk bertani pada masa tanam berikutnya, secara otomatis mereka menyiapkan bibit yang terbaik untuk ditanam pada masa tanam berikutnya.<br />2. Upacara penyembuhan<br />Pada upacara ini tentunya yang dianggap penyakit adalah roh-roh jahat atau kutukan dari arwah leluhur yang mengganggu si penderita, maka cara penyembuhan dilakukan secara magis dengan mengandalkan ritual-ritual dari sang dukun, disertai dengan pemberian obat-obat tradisional. Pada suku Irian, upacara penyembuhan ini dapat dianggap pula sebagai upacara hasil perang. Setelah menang perang, akan diadakan suatu pesta yang dianggap sebagai pesta penyembuhan.<br /><br />V. DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PEMBUKAAN DAERAH MASYA-RAKAT TERASING<br /><br />Dalam ulasan diatas, selalu didapatkan persamaan dan perbandingan dengan suku-suku bangsa lainnya di luar negeri (Indian di Amerika), dengan adat istiadat dan taraf sosial budaya<br />yang setingkat dapat menimbulkan kekhawatiran akan nasib yang sama yang akan ditemui oleh masyarakat suku terasing di Indonesia.<br />Dengan dibukanya daerah habitat masyarakat suku terasing akan didapatkan keuntungan-keuntungan, antara lain :-masyarakat itu dapat meningkatkan taraf kehidupannya, sesuai dengan tujuan UUD 1945 pasal 27 ayat 2, mempelajari cara-cara hidup yang sehat dan higyenic.<br />habitat mereka dapat digunakan untuk tujuan lain, misalnya pertanian modern, pariwisata<br />masyarakat terasing itu dapat mengecap pendidikan dan meninggalkan agama mereka yang bersikap animisme, dinamisme dan imitative magic/homeoephatic<br />masyarakat itu dapat mempelajari cara-cara bertani yang baru, yang tidak merusak lahan, tidak slash and burn.<br /><br />Tapi apakah semua manfaat itu dapat melebihi daripada kerugian yang akan dialami oleh masyarakat terasing itu? Sebagai contoh: kontak dengan orang luar dapat mengakibatkan tersingkirnya mereka. Environment sebagai penyaring dari pengaruh luar (cultural traits yang baru) akan berubah dan mereka harus berupaya untuk melakukan adaptasi baru dengan kondisi lingkungan yang berubah, dan tak semuanya akan berhasil. Yang tidak berhasil akan tersingkir, mati, hasil dari proses natural selection (tapi apakah dapat disebut natural selection, karena ada campur tangan manusia dalam pemindahan habitat?)<br />Dengan contoh suku bangsa Indian di Amerika, mereka tetap miskin, tidak bertambah maju peradabannya. Sebagian dari mereka meniru cara-cara yang buruk dari orang kulit putih: mabuk, minum alkohol, mencuri dan melakukan tindakan kriminal lainnya. Di Amazon, suku bangsa Jivaro hampir punah karena terkena penyakit yang mereka tak pernah mengenal sebelumnya. Tubuh mereka tidak mempunyai cukup antibodi, hasilnya, banyak yang mati.<br />Di Irian sekarang terjadi kelaparan, karena lahan yang mereka butuhkan untuk mendapatkan umbi-umbian sudah tak ada lagi, banyak terpakai oleh perkebunan-perkebunan seperti kelapa sawit dsb. Memang mereka diajarkan untuk mengganti primary food mereka dengan beras, tetapi harga beras cukup tinggi dan cukup sulit untuk diperoleh. Belum lagi jika ada permainan tak jujur daripada oknum-oknum tertentu yang menangani masalah makanan. Hal yang sama terjadi pada reservasi-reservasi orang Indian di Amerika, dimana terjadi ketidak jujuran oleh agen-agen federal yang dari Indian Bureau yang bertugas memberikan makanan terhadap orang-orang Indian.<br />Ada satu hal lagi, yaitu kehilangan ciri khas dari daerah itu sendiri. Dengan adanya masyarakat suku terasing itu, mereka merupakan bagian dari ekosistem yang endemik. Dengan adanya "kemajuan" sebagian dari kekhasan itu akan hilang. Yang jelas akan hilang adalah upacara yang berkaitan dengan panen (upacara hujan dan panas), dan pengobatan tradisional mereka akan tersingkir dengan konsep pertanian dan pengobatan modern yang belum tentu cocok bagi mereka.<br />Juga dengan metode pertanian modern (mesin dan teknologi tinggi), lingkungan akan rusak. Belum tentu masyarakat terasing "kalah" dalam hal pertanian, terbukti dalam upacara-upacara tersebut, terselip didalamnya cara-cara pertanian dan pelestarian lingkungan. Mereka tidak menggunakan zat-zat kimia beracun, mereka semuanya menggunakan cara-cara alami yang pada saat ini diakui sebagai cara yang terbaik oleh para pakar pertanian.<br />Masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat terasing dalam rangka adaptasi adalah tergantung pada letak pemukiman baru mereka. Jika mereka ditempatkan pada suatu habitat yang merupakan daerah habitat yang dihuni oleh masyarakat lain dapat menimbulkan masalah. Masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakat terasing antara lain: perbedaan letak geografis, iklim, sistim kehidupan/ hunian, serta sistim sosial. Jika letak hunian yang baru lebih dekat kota, akan menimbulkan sistim ekonomi yang berbeda pula.<br />Dapat diperkirakan bahwa kemampuan adaptasi bagi seseorang adalah tergantung pada tingkat pendidikan orang itu. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa anggota masyarakat suku terasing memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda.<br />Pada umumnya kemampuan adaptasi anggota masyarakat terasing tergantung pada 2 hal :<br />1. Keterikatan pada adat istiadat mengenai aturan leluhur, taboo (pantangan). Semakin terikat mereka pada nilai-nilai itu akan semakin sulit bagi mereka untuk beradaptasi.<br />2. Kemampuan beradaptasi tergantung pada tingkat pendidikan, penghasilan dan usia. Semakin tinggi tingkat pendidikan, dan penghasilan serta semakin muda usia anggota masyarakat itu, akan semakin mudah bagi individu itu untuk beradaptasi atau pindah ke lokasi pemukiman baru.<br />Hasil dari adaptasi itu dapat dilihat dari jumlah anggota masyarakat terasing yang tetap tinggal di daerah pemukiman yang baru (jika tak berhasil beradaptasi mereka akan pindah), dari<br />perubahan tingkat pendapatan, makanan, bentuk rumah yang mereka bangun (dari kayu menjadi batu), sikap mereka terhadap sang dukun dan pemimpin, serta upacara-upacara adat itu sendiri (upacara minta hujan tentunya tak diperlukan lagi dengan sistim irigasi), serta agama (apakah mereka tetap menganut animisme dan dinamisme atau berkonversi memeluk agama lain: Islam, Kristen dsb).<br />VI. KESIMPULAN DAN SARAN<br />Memang sekarang kita menghadapi masalah yang pelik yaitu:lahan yang semakin sempit, dan akan terjadi ketidak-cukupan jika menggunakan cara berladang pindah. Pada prinsipnya pemerintah lebih suka jika para peladang pindah ini menetap.<br />Jalan keluar yang terbaik sebenarnya adalah membiarkan masyarakat suku terasing diam ditempat habitatnya. Hanya memberikan sedikit cara-cara/pengertian yang baru tentang pertanian, tetapi tetap memakai cara-cara alam. Hanya perubahan pada metode slash and burn ini yang perlu dirubah. Tentunya dengan penyuluhan yang hati-hati (dengan pembatasan-pembatasan agar orang yang tak berkepentingan masuk), dan dengan pembekalan cara-cara bertani menetap, penggunaan bibit unggul, pupuk alami, pembasmian hama secara alami menggunakan cara pests'natural enemies, dan serta penghijauan kembali lahan-lahan yang dibakar, serta pengetahuan pelestarian lingkungan. Dengan bekal-bekal tersebut beserta pengetahuan yang dimiliki mereka, tentulah dapat mengatasi masalah-masalah ini.<br />Alternative lain adalah memindahkan mereka, dengan istilah pemukiman ulang. Tapi cara ini sangat banyak kendalanya, seperti yang terjadi pada suku bangsa Indian Amerika. Jika harus<br />dimukimkan kembali, harap dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan dengan persiapan yang matang. Mereka akan berhadapan dengan lingkungan yang baru, nilai-nilai sosial, ekonomi yang baru. Dan janganlah memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua di lokasi pemukiman yang baru. Hal ini tentu tergantung pada sikap masyarakat setempat yang lebih dulu tinggal di habitat tersebut. Jika mereka tak berhasil dengan adaptasi, kebanyakan mereka akan meninggalkan daerah pemukiman baru dan kembali ke daerah yang lama, hanya untuk mendapatkan bahwa habitat mereka telah berubah, dan berarti mereka akan tersingkir. Tapi dengan alternative ini, dapat diperkirakan bahwa ke"khas"an masyarakat itu akan hilang,<br />nilai-nilai budaya dari masyarakat itu akan luntur, terserap oleh kemampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Suatu yang endemik akan hilang, jika masyarakat itu berhasil dengan adaptasi mereka. Apakah itu yang betul-betul kita inginkan?<br />Jalan manapun yang akan ditempuh, harus menggunakan perhitungan cost-benefit analysis secara lengkap dan matang agar tak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan terhadap masyarakat terasing itu sendiri.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Cohen, A.Y.,"Man in Adaptation, The Cultural Present", Aldine Publishing Company, Chicago, 1974<br /><br />Frazer, Sir James George, "The Golden Bough", Collier Books, New York, Paperback Edition, 1963<br /><br />Nurhayati Nainggolan, "Pola Adaptasi Masyarakat Terasing", Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Thesis, 1990<br /><br />Odum, Eugene P.,"Dasar Dasar Ekologi", Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Edisi Ketiga, 1996 (Terjemahan Ir.Tjahjono Samingan, Msc, FMIPA-IPB, Bogor).<br /><br />Rambo, Terri A.,"Conceptual Approaches to Human Ecology: A Sourcebook on Alternative Paradigms for the Study of Human Intercations with the Environment, East-West Environment and Policy Institute, Honolulu, 1981.<br /><br />Soerjani, M.,"Lingkungan Hidup, Masalah dan Pengelolaan", Pusat Penerbitan Sumber Daya Manusia dan Lingkungan UI, Jakarta, 1985.<br /><br />Soemarwoto,"Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan", Jembatan, Jakarta, 1985.<br /><br />Soeryo Wibowo,"Catatan kelas SPD 523"Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-59414642104590390032008-03-14T07:27:00.018+07:002008-07-04T02:00:23.004+07:00DIFFUSI PRODUK BARU: HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN<strong>JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2004<br />DIFFUSI PRODUK BARU: HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN </strong><br /><strong>Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leader), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived Risk)<br /><br />Oleh: Eric Santosa<br /></strong><br /><strong><br />Abstract</strong><br />Arndt (1974) studied about the process of diffusion, particularly the role of innovativeness, opinion leadership, learning, and perceived risk. He found some questions remained unanswered. What author does this time is to replicate Arndt’s study whether the result will be in accordance to his findings. In addition, this study is also to extend Arndt’s study to answer what are still unanswered. The research is designed similar as Arndt’s including samples, object of the study, as well as the methodology. The findings show that Arndt’s study is not always in accordance to Indonesians.<br /><br /><strong>Pendahuluan</strong><br />Produk baru selalu berkaitan dengan upaya mempertahankan tingkat penjualan atau membangun penjualan suatu perusahaan (Kotler, 2000: 328). Perusahaan 3M dan Johnson & Johnson misalnya, mentargetkan bahwa dalam waktu lima tahun semenjak diluncurkan, suatu produk baru akan bisa memberikan kontribusi sebesar seperempat dari besarnya penjualan (Assael, 1995: 671). Meskipun demikian tidaklah selalu berarti bahwa produk baru akan selalu membawa perusahaan kepada tingkat penjualan yang diinginkan atau tingkat penjualan yang lebih baik. Assael (1995: 671) menyebutkan bahwa produk baru lebih banyak yang tidak berhasil daripada yang berhasil. Rata-rata hanya satu di antara lima yang bisa berhasil, atau dengan perkataan lain tingkat keberhasilannya hanya 20%.<br />Mengapa bisa demikian? Diffusi produk baru sangat menentukan. Suatu innovasi yang dimunculkan dalam bentuk produk baru yang mempunyai atribut dan ciri-ciri yang berbeda dengan kebanyakan produk yang sudah ada, berhasil tidaknya akan ditandai dengan banyak sedikitnya pelanggan potensial yang mencari tahu, mencobanya, menggunakannya, atau menolaknya (Kotler, 1988: 439).<br />Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Arndt (1974) misalnya menyebutkan antara lain karakter dari inovator, peran dan karakter dari pemimpin opini (opinion leader), sumber-sumber informasi baik yang personal maupun yang bukan personal, dan peranan dari risiko teramati (perceived risk). Mahajan dan Peterson (1978:<br />1589) juga menyebutkan adanya tujuh faktor yang mempengaruhinya, antara lain inovasi itu sendiri, pengguna, saluran inovasi, ruang dan waktu, agen pengubah, dan sistem sosial.<br />Mahajan dan Muller (1979: 58-59) menyebutkan bahwa diffusi dari suatu inovasi adalah suatu proses komunikasi. Jadi diffusi ini dipengaruhi oleh faktor eksternal misalnya iklan, dan faktor internal misalnya dari mulut ke mulut (word of mouth). Sedangkan Rogers (1983) dalam Mahajan, Muller, dan Bass (1990: 1) menyebutkan adanya empat faktor antara lain inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial.<br />Dalam studi ini akan lebih ditekankan pada faktor-faktor yang digunakan oleh Arndt (1974). Tujuan dari studi ini pertama, terutama untuk mereplikasi studi Arndt dengan menambah jumlah objek penelitian. Kedua, dapat disebutkan bahwa di akhir studinya Arndt masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan apakah calon pembeli yang mempunyai respon yang tinggi itu disebabkan karena semakin tingginya tingkat mencari tahu (higher in leraning), dan semakin rendahnya risiko (lower in risk), ataukah keadaan menjadi semakin tinggi tingkat mencari tahunya dan semakin rendahnya risiko itu sebagai akibat dari pengalaman setelah membeli. Oleh karenanya, studi ini juga ingin mencoba menjawab pertanyaan Arndt tersebut. Dengan demikian, di samping merupakan replikasi, studi ini juga merupakan pengembangan dari studi Arndt.<br />Meskipun Arndt telah memberikan penjelasan mengenai variabel-variabel yang digunakannya, namun penjelasan itu dirasa masih sangat sedikit, lebih bersifat konseptual. Oleh karenanya, akan ditambahkan teorisasi, meski juga bersifat singkat, mengenai hubungan variabel-variabel tersebut dan hipotesis Arndt. Demikian pula disusun teorisasi sebagai kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang berkaitan dengan pertanyaan Arndt di atas. Sisa dari tulisan ini kemudian berupa desain riset, operasionalisasi variabel, hasil penelitian dan analisis, kesimpulan, dan rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut.<br /><br /><strong>Inovasi dan Produk Baru<br /></strong>Suatu inovasi dapat berupa pengembangan teknologi pada produk baru atau modifikasi pada produk lama (Assael, 1995: 673). Pengembangan teknologi ini dapat berupa (1) inovasi tidak berkelanjutan (discontinous innovation), yaitu adanya produk baru yang mengakibatkan adanya perubahan pola perilaku, (2) inovasi berkelanjutan yang dinamis (dynamically continous innovation), yaitu adanya produk baru dan yang tidak menyebabkan adanya perubahan dalam pola perilaku, (3) inovasi berkelanjutan (continous innovation), yaitu modifikasi dari produk lama<br />Inovasi juga dapat mengambil bentuk perubahan arti simbolik dari suatu produk (Assael, 1995: 675). Misalnya jean yang sebelumnya hanya untuk pria kemudian juga untuk wanita. Demikian pula produk perawatan kulit (skin care product) tidak hanya untuk wanita, tapi juga untuk pria.<br />Dari sudut pandang konsumen sendiri, sesuatu itu dikatakan baru apabila menyangkut hal-hal sebagai berikut (Booz et al. dalam Kotler, 2000: 328): (1) produk baru dengan penciptaan pasar yang baru (new to the world products), (2) produk baru dengan pertama kali memasuki pasar yang sudah ada untuk produk semacam (new product line), (3) produk baru hasil modifikasi produk lama (addition to existing product lines), (4) produk baru untuk menggantikan produk yang ada untuk meningkatkan kinerja dan nilai (improvement in/revisions to existing products), (5) produk yang ada yang ditargetkan untuk pasar baru atau segmen baru (repositionings), (6) produk baru dengan harga lebih rendah (cost reductions)<br />Dari berbagai macam jenis produk baru tersebut tentu sebagai tujuan akhirnya adalah dipergunakannya produk tersebut oleh konsumen. Semakin banyak dan semakin seringnya produk tersebut digunakan tentunya juga akan menunjukkan berhasilnya penyebaran informasi yang berkaitan dengan produk baru tersebut. Berikut akan dibicarakan hakikat dari suatu proses penyebaran.<br /><strong>Proses Diffusi</strong><br />Suatu proses penyebaran bermula dengan berhentinya proses inovasi perusahaan (Kotler, 1988: 439). Sedangkan Assael (1995: 676) menyebutkan bahwa diffusi sebagai proses penggunaan inovasi yang disebar-luaskan dari waktu ke waktu kepada konsumen lain dalam suatu target pasar melalui komunikasi. Suatu proses diffusi menggambarkan bagaimana konsumen potensial mencari tahu tentang produk yang dirasanya baru tersebut, mencobanya, dan kemudian terus menggunakannya atau sebaliknya justru berganti merek lain karena produk tersebut tidak memuaskannya. Tujuan dari para pemasar tentunya adalah terus menerusnya konsumen membeli produknya atau terciptanya loyalitas konsumen (Dharmmesta, 1999: 73). Oleh karenanya studi tentang diffusi ini biasanya berkaitan dengan masalah meningkat-tidaknya pengguna produk tersebut (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990: 38; Sultan Farley, Lehmann, 1990: 70).<br />Assael (1995: 677) menggambarkan bahwa proses diffusi ini dilakukan dengan melalui beberapa tahap, antara lain (1) kesadaran (awareness), (2) pengetahuan (knowledge), (3) evaluasi (evaluation), (4) percobaan (trial), (5) adopsi (adoption), (6) evaluasi setelah membeli (post purchase evaluation). Tidak semua konsumen potensial dari suatu produk bisa menerima produk tersebut pada waktu yang bersamaan (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990: 37). Ada yang awal sekali (consumption pioneers dan early adopters), ada yang kemudian dan ada yang paling kemudian (Kotler, 2000: 356). Sedangkan Rogers (dalam Mahajan, Muller, dan Srivastava, 1990: 37) menyebutkan ada beberapa kelompok konsumen yang berkaitan dengan pengaruh diffusi ini, yaitu (1) inovator (innovators), (2) pengguna awal (early adopters), (3) mayoritas awal (early majority), (4) mayoritas akhir (late majority), (5) pencorot (laggard).<br />Inovator adalah mereka yang pertama kali menggunakan barang tersebut (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990). Mereka berani mencoba sesuatu yang baru dengan menanggung risikonya. Dengan kata lain mereka memiliki innovativeness yang menurut istilah Rogers (dalam Kotler, 1988: 440) adalah tingkat yang menunjukkan individu menggunakan ide-ide baru relatif lebih awal dari orang lain.<br />Para inovator ini berani berbuat demikian karena telah terinformasi terutama melalui mass media (Mahajan, Muller, Bass, 1990). Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki tentang suatu produk baru, maka mereka bisa bertindak sebagai pemimpin opini (opinion leader) (Arndt, 1974: 329; Assael, 1995: 652)), yaitu mereka yang mempengaruhi orang lain tentang suatu produk baru dengan melalui mulut ke mulut (word of mouth) (Assael, 1995: 652).<br />Proses diffusi selanjutnya terutama memang ditopang oleh adanya komunikasi (Assael, 1995: 689; Mahajan & Muller, 1979: 59). Pengguna awal lebih banyak dipengaruhi informasi yang berasal dari media massa (Assael, 1995: 689). Ketika kesadaran mulai tercipta, peranan pengaruh personal menjadi sangat penting (Kotler, 1988: 441). Informasi dari mulut ke mulut menjadi sangat menonjol (Assael, 1995: 689; Sultan, Farley, Lehmann, 1990: 75).<br />Di samping peranan dari pemimpin opini dalam mempengaruhi konsumen lain, hal demikian juga disebabkan karena konsumen mempunyai beberapa alasan tertentu. Alasan tersebut antara lain (1) teman dan saudara merupakan sumber informasi produk yang bisa dipercaya, (2) informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembelian (misalnya harga di toko tertentu lebih mahal dari yang lain, barang yang dicari tidak terdapat di toko tertentu, dan sebagainya) mudah diperoleh dari sumber personal, (3) mengurangi risiko pembelian (Assael, 1995: 646-647).<br /><br />Hubungan antara Kemampuan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leader), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived Risk)<br />Arndt (1974) dalam studinya mempergunakan variabel-variabel Kemampuan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion leader), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived risk). Hubungan antara keempat variabel tersebut dapat dirangkaikan sebagai berikut. Inovator karena pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya cenderung menjadi pemimpin opini (Arndt, 1974: 329; Assael, 1995: 652). Sedangkan pengguna awal, dan seterusnya, percaya pada informasi dari mulut ke mulut (Assael, 1995: 689; Sultan, Farley, Lehman, 1990: 75) untuk mengurangi ketidak-pastian tentang suatu produk baru atau mengurangi risiko (Assael, 1995: 647).<br />Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh pada pemimpin opini ini juga akan dipergunakannya pada produk-produk lain yang semacam. Oleh karenanya ada kecenderungan bekerjanya keempat variabel tersebut pada produk-produk semacam (Arndt, 1974: 329).<br />Meskipun demikian ada sesuatu yang patut dikemukakan di sini berkaitan dengan istilah inovator yang dipergunakan Arndt. Melihat tahun penelitian Arndt, maka ada kecenderungan istilah inovator yang dipergunakannya mengacu kepada penelitian Bass (1969), dan bukan pada istilah inovatornya Rogers, karena yang terakhir ini baru dikemukakan pada tahun 1983. Dengan demikian istilah inovator Arndt ini, sebagaimana istilah inovatornya Bass, cenderung tidak menunjukkan mereka yang pertama kali menggunakan produk baru tersebut (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990).<br />Dengan melihat uraian di atas, maka dalam penelitian ini masih dikemukakan hipotesisnya Arndt sebagai berikut:<br /><br /><strong>H1:</strong><br />Dalam klas produk yang sama, keempat variabel tersebut adalah saling berhubungan. Terutama adanya hubungan yang positip diharapkan antara Kemampuan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership), dan Mencari Tahu/Belajar (Learning). Namun ketiganya mempunyai hubungan yang negatip dengan Risiko Teramati (Perceived Risk)<br />H2:<br />Semakin sama klas produknya akan semakin cenderung bekerjanya keempat variabel tersebut bersama-sama<br /><br /><strong>Peranan Nilai Inovasi dan Harga pada Konsumen</strong><br /><br />Studi Arndt masih menyisakan pertanyaan apakah calon pembeli yang mempunyai respon yang tinggi itu disebabkan oleh karena semakin tingginya tingkat mencari tahu (higher in learning) dan semakin rendahnya risiko (lower in risk), ataukah keadaan menjadi semakin tinggi tingkat mencari tahunya dan semakin rendahnya rIsiko itu sebagai akibat dari pengalaman setelah membeli. Kalau dilihat dari sekuen (urutan) keputusan adopsi, misalnya dari Assael (1995: 677) maka proses itu dimulai dari kesadaran, dan berturut-turut pengetahuan, evaluasi, percobaan, adopsi, dan evaluasi setelah membeli. Sedangkan Kotler (2000: 355) memberikan urutan yang berbeda, yaitu kesadaran, minat, evaluasi, percobaan, dan adopsi.<br />Hampir semua model tersebut bermula dari kesadaran. Setelah mencari informasi secukupnya tentang inovasi baru, maka diputuskan untuk mencobanya. Dengan perkataan lain, proses ini diwarnai dengan menerima informasi, mencari informasi lebih jauh, dan mencoba inovasi. Dengan demikian, penjelasan ini sementara menjawab pertanyaan Arndt yang pertama.<br />Meskipun demikian Campbell (dalam Robertson, 1974: 277) mengemukakan salah satu modelnya yang di antaranya: "… konsumen bisa segera menerima suatu inovasi tanpa melalui pertimbangan dan evaluasi yang cukup". Proses selanjutnya adalah mencoba, dan kemudian menerimanya atau menolaknya. Robertson (1974: 295) dalam kesimpulannya juga menyatakan bahwa urutan diffusi ini juga dipengaruhi oleh atribut, misalnya harga dan tinggi-rendahnya risiko produk.<br />Sejalan dengan pikiran Campbell, juga dinyatakan oleh Howard (1989: 60) bahwa keputusan adopsi dipengaruhi oleh harga dan penting-tidaknya produk tersebut bagi konsumen. Bila produk tersebut penting, dan harganya rendah, maka akan lebih ekonomis dengan langsung membeli dan kemudian mempelajarinya, dibandingkan dengan mencari tahu sebelumnya yang menghabiskan waktu dan tenaga. Dalam pikiran ini tersirat bahwa proses adopsi muncul setelah adanya kesadaran, yang bisa diikuti dengan adanya pembelian sebagai bagian dari mencari tahu/belajar, untuk kemudian menerima atau menolaknya. Dengan demikian penjelasan ini masih konsisten dengan yang pertama, dan sekaligus menjawab pertanyaan Arndt yang kedua.<br />Dari uraian di atas dapat kemudian dikemukakan bahwa persepsi tentang nilai, risiko, dan harga mempengaruhi keputusan mencoba. Semakin penting nilai suatu inovasi, risiko sudah diketahui, dan dengan harga yang dianggap rendah, maka ada kecenderungan yang semakin tinggi untuk mencobanya sekaligus untuk mempelajarinya. Dalam konteks keempat variabel dari studi Arndt di atas, pentingnya suatu inovasi dan rendahnya harga menunjukkan semakin tingginya konsumen mencari tahu/belajar (higher in learning). Sedangkan persepsi konsumen terhadap rendahnya risiko produk baru adalah sebagai akibat tingginya tingkat mencari tahu/belajar tersebut. Dengan demikian, arah yang dipertanyakan Arndt menjadi jelas, dan dapat kemudian dibuat hipotesis sebagai berikut:<br /><strong>H3:</strong><br />Ada pengaruh dari tingginya tingkat Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan rendahnya Risiko (Perceived Risk) terhadap Kemauan Berinovasi (Innovativeness)<br /><br /><strong>Desain Riset</strong><br />Agar sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka penelitian ini didesain sedemikian rupa sehingga mirip dengan studi Arndt. Pertama, data diambil dari para ibu rumah tangga, yaitu para dosen dan karyawan dari berbagai perguruan tinggi yang berstatus sebagai ibu rumah tangga. Dengan menggunakan kuesioner yang langsung diisi di tempat, berhasil diperoleh 116 responden dari 117 orang yang ada dalam daftar. Sedangkan seorang lainnya membawa kuesioner ke rumah dan tidak mengembalikan.<br />Kedua, kategori produk dalam penelitian ini juga disesuaikan dengan studi Arndt. Apabila Arndt menggunakan mentega lunak (soft margarine), sikat gigi elektrik (electric toothbrush), dan pencuci piring elektrik (electric dishwasher), maka dalam penelitian ini juga dipergunakan mentega/margarin, dan dua jenis alat rumah tangga yang berupa magic jar dan mesin cuci. Untuk memberikan dampak lebih, jenis produknya ditambah yaitu deterjen. Penggunaan jenis ini dimaksudkan untuk memberi keseimbangan karena dalam studi Arndt dari kategori produk seperti ini hanya digunakan satu saja, sehingga diharapkan dampak dari keempat variabel untuk produk yang sama, dapat juga dilihat pada kategori produk ini. Sedangkan penggunaan magic jar dan mesin cuci adalah dengan mempertimbangkan kategori produk yang ada, serta produk yang familier bagi ibu rumah tangga di Indonesia.<br />Ketiga, operasionalisasi variabel menggunakan sebagaimana yang dipergunakan Arndt. Keempat, metode analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi antara dua variabel dan analisis regrresi ganda (multiple regression). Yang terakhir ini khususnya digunakan untuk menguji hipotesis 3. Sedangkan perhitungan statistiknya menggunakan bantuan program SPSS.<br /><br /><strong>Operasionalisasi Variabel</strong><br />Yang dimaksudkan dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) adalah tingkat penggunaan suatu inovasi yang lebih awal dari yang lain. Variabel ini diukur dari waktu saat pembelian pertama. Disediakan 6 pilihan untuk mentega dan deterjen, dan 7 pilihan untuk magic jar dan mesin cuci. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Kepemimpinan Opini (Opinion leadership) adalah pengaruh secara personal dari mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang suatu inovasi kepada konsumen lain. Variabel ini diukur dengan pertanyaan: "Berapa sering teman-teman ibu bertanya/meminta saran tentang produk tertentu?". Jawaban disediakan dengan menggunakan skala 5.<br />Yang dimaksudkan dengan tingkat Mencari Tahu/Belajar (Learning) adalah upaya konsumen untuk mencari tahu lebih banyak tentang suatu inovasi, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman. Variabel ini berkaitan dengan kesadaran (awareness) tentang suatu merek atau familieritas, dan diukur dalam bentuk jumlah merek yang spontan bisa diingat. Jawaban disediakan dalam 6 pilihan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Risiko Teramati adalah bertalian dengan ketidak-pastian konsumen ketika berhadapan dengan suatu inovasi baru. Variabel ini diukur dengan pertanyaan: "Bagaimana tingkat keyakinan ibu ketika membeli produk tersebut?". Jawaban disediakan dalam skala 5.<br /><br />Tabel 1<br />Operasionalisasi Variabel<br /><br />VARIABEL<br />PERTANYAAN<br />JAWABAN<br />Kemauan berinovasi (Innovativeness)<br />Kapan pertama kali membeli merek tersebut?<br />6 pilihan untuk mentega dan deterjen<br />7 pilihan untuk magic jar dan mesin cuci<br />Kepemimpinan opini (Opinion leadership)<br />Berapa sering teman-teman ibu bertanya/ meminta saran tentang produk tersebut?<br /><br />Skala 5<br />Tingkat Mencari tahu/ Belajar (Learning)<br />Ada berapa merek produk tersebut yang ibu ingat?<br />6 pilihan<br />Risiko teramati (Perceived risk)<br />Bagaimana tingkat keyakinan ibu ketika membeli merek tersebut?<br /><br />Skala 5<br /><br /><br />Hasil Penelitian dan Pembahasan<br />1. Hubungan Antara Keempat Variabel dalam Klas Produk<br />Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya dukungan bagi temuan Arndt (1974). Hampir dalam semua klas produk tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antar keempat variabel, kecuali antara Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Risiko Teramati (Perceived Risk) dalam produk deterjen, dan antara Mencari Tahu/Belajar (Learning) dengan Risiko Teramati (Perceived Risk) dalam produk mesin cuci (lihat Tabel 2). Hasil ini bisa dianalisis sebagai berikut:<br />Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership)<br />Bahwa pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh inovator yang kemudian mendorongnya untuk menjadi pemimpin opini (opinion leader) tidak didukung oleh temuan dalam penelitian ini. Dari keempat macam produk, rata-rata kedua variabel itu mempunyai hubungan yang positip. Kecuali dalam produk magic jar hubungan itu negatip.<br />Adanya hubungan yang positip itu seolah mendukung pendapat di atas, tetapi karena secara statistik tidak signifikan, maka pengetahuan dan pengalaman inovator itu tidak cukup kuat untuk bisa dijadikan sebagai Pemimpin Opini. Ada tiga kemungkinan yang bisa disebutkan kenapa demikian. Pertama, penge-tahuan dan pengalaman inovator tidak begitu berpengaruh. Kedua, tidak cukup banyak handai taulan dan sanak saudara yang meminta pendapat dan saran dari inovator (sebagaimana yang dijelaskan Assael, 1995: 646-647). Ketiga, inovator tidak begitu bergairah untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya itu kepada konsumen lain (sebagaimana yang diterangkan Assael, 1995: 646; dan Howard, 1989: 249).<br />Sedangkan adanya hubungan yang negatip dalam kasus magic jar bisa diartikan bahwa dengan semakin tingginya pengetahuan dan pengalaman inovator, kecenderungan menjadi pemimpin opini justru semakin rendah. Meskipun hubungan itu juga tidak signifikan (dan angka korelasinya juga sangat rendah), tetapi ada arah ke sana. Mengapa hal demikian terjadi bisa dijelaskan sebagian dengan penjelasan Assael (1995: 646) dan Howard (1989: 249) yaitu tidak adanya gairah bagi inovator untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada konsumen lain. Sebagian lainnya dipengaruhi oleh nilai (value) rata-rata responden (baca: masyarakat Jawa) untuk tidak secara berkelebihan membicarakan, dan secara aktif memberitahukan apa yang menjadi ‘kelebihannya’ itu kepada orang lain.<br />Hal yang terakhir ini nampaknya juga memberikan penguatan pada penjelasan yang diuraikan sebelumnya, tentang mengapa tidak terjadinya hubungan yang signifikan antara Kemauan berinovasi dengan Kepemimpinan opini. Adanya pengaruh nilai-nilai suatu masyarakat bisa menjadi variabel kontrol, sehingga temuan Arndt bisa berbeda dengan hasil penelitian ini untuk responden yang berbeda.<br />Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Mencari Tahu/Belajar (Learning)<br />Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk setiap klas produk tidak ada satupun yang menunjukkan hubungan itu signifikan. Meskipun demikian arah hubungan itu sesuai dengan harapan Arndt, yaitu semua bertanda positip. Sebagaimana diterangkan Howard (1989: 60) konsumen bisa saja langsung membeli suatu inovasi. Tetapi penggunaan inovasi itu masih merupakan bagian dari proses mencari tahu. Jadi kalau berdasarkan pada penjelasan Howard ini mestinya masih bisa diharapkan adanya korelasi yang signifikan. Yang terjadi adalah bahwa pembelian suatu inovasi bukan merupakan bagian dari proses mencari tahu. Atau sebaliknya proses mencari tahu itu tidak langsung berakhir dengan suatu inovasi.<br />Yang pertama ini bisa dijelaskan dengan model yang diberikan Campbell (dalam Robertson, 1974: 277) yang disebutnya sebagai nonrational/innovation. Hal demikian terjadi bila seseorang melihat sesuatu yang baru, dan dorongan hati mendesaknya untuk membeli tanpa adanya pertimbangan yang mendalam tentang kegunaannya. Sedangkan yang kedua bisa dijelaskan demikian. Bahwa konsumen sebenarnya tidak hanya berhadapan dengan satu inovasi saja (Howard, 1989: 64). Proses mencari tahu yang dilakukan sebelumnya bisa mempengaruhi keyakinan diri (confidence) (O’Brien dalam Howard, 1974: 168). Apabila informasi yang diperoleh negatip (Assael, 1995: 639), maka akan mempengaruhi keyakinan diri (confidence), dan hal ini mempengaruhi niat untuk membeli (intention) (Howard, 1989: 35).<br />Tabel 2<br />Korelasi Antar Keempat Variabel Dalam Klas Produk Masing-masing<br /><br /><br />Korelasi Antar Variabel<br />Mentega/<br />Margarin<br /><br />Deterjen<br />Magic<br />Jar<br />Mesin<br />cuci<br />Innovativeness dan Opinion Leadership<br />0,1555<br />0,0810<br />-0,0757<br />0,1686<br />Innovativeness dan Learning<br />0,3028<br />0,3117<br />0,2035<br />0,4925<br />Innovativeness dan Perceived Risk<br />0,0059<br />-0,5195*<br />0,0622<br />-0,3981<br />Opinion Leadership dan Learning<br />0,2769<br />-0,0593<br />0,0551<br />0,2266<br />Opinion Leadership dan Perceived Risk<br />0,2761<br />-0,4921<br />-0,1165<br />-0,3697<br />Learning dan Perceived Risk<br />-0,0488<br />0,2892<br />-0,4107<br />-0,5143*<br /><br />* signifikan untuk aras 0,05<br />Sumber: Analisis Program SPSS<br /><br /><br />Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Risiko Teramati (Perceived risk)<br />Hubungan antara kedua variabel ini menurut hipotesis Arndt adalah berkebalikan. Artinya, diharapkan dengan semakin rendahnya Risiko Teramati (Perceived Risk) akan semakin tingginya Kemauan Berinovasi (Innovativeness). Demikian pula sebaliknya.<br />Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa hanya satu klas produk saja, yaitu produk deterjen, yang mempunyai hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Sedangkan pada klas produk sisanya, semuanya tidak signifikan, berhubungan secara positip, kecuali pada produk mesin cuci. Hal demikian bisa dijelaskan sebagaimana penjelasan di atas oleh Campbell (dalam Robertson, 1974: 277) dengan model nonrational/innovation. Yaitu bila seseorang melihat sesuatu yang baru, dan dorongan hati mendesaknya untuk membeli tanpa adanya pertimbangan yang mendalam tentang kegunaannya. Demikian pula dengan apa yang disebutkan oleh Howard (1989: 60) untuk langsung membeli (tanpa memperhitungkan risiko).<br />Kepemimpinan Opini (Opinion leadership) dan Mencari Tahu/Belajar (Learning)<br />Hubungan kedua variabel ini diharapkan positip. Dalam Tabel 2, meski tidak signifikan, sebagian besar klas produk menunjukkan adanya hubungan yang positip. Kecuali pada produk deterjen yang menunjukkan koefisien yang bertanda negatip.<br />Pada hakikatnya proses mencari tahu itu tidak hanya berasal dari informasi mulut ke mulut (word of mouth) saja, tetapi juga bisa berasal dari media massa (Assael, 1995: 711; Mahajan & Muller, 1979: 59). Kedua jenis informasi ini melalui waktu yang terus berjalan akan mengubah persepsi konsumen untuk kemudian mengadopsinya (Mahajan, Muller, dan Bass, 1990: 6). Oleh karenanya bisa dipahami bila tidak signifikannya hubungan antara kedua variabel tersebut bisa disebabkan oleh karena responden lebih banyak menggunakan media massa.<br />Kepemimpinan Opini (Opinion leadership) dan Mencari Tahu/Belajar (Learning)<br />Teori diffusi menggambarkan bahwa inovator yang menjadi pemimpin opini (opinion leader) mempunyai risiko teramati yang rendah. Temuan dalam penelitian ini ternyata tidak mendukung teori tersebut. Tabel 2 di atas menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal demikian bisa ditafsirkan bahwa ketidak-pastian konsumen terhadap suatu inovasi nampaknya tidak berkaitan dengan pendapat teman atau saudara yang pernah menggunakan produk tersebut sebelumnya. Mereka lebih percaya pada pembelian pada saat itu juga yang tanpa mempertimbangkan lebih jauh risiko ataupun kegunaannya (Campbell dalam Robertson, 1974: 277; Howard, 1989: 60).<br />Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived risk)<br />Konsumen yang telah banyak mencari tahu tentang suatu inovasi biasanya bisa mengurangi ketidak-pastian tentang inovasi tersebut. Dengan perkataan lain bila Mencari tahu/Belajar (Learning)nya besar, maka Risiko teramatinya (Perceived risk) juga akan semakin rendah. Namun data dalam Tabel 2 tidak seluruhnya mendukung teori ini. Hanya pada produk mesin cuci saja yang hubungan antara kedua variabel tersebut signifikan. Bahkan pada produk deterjen hubungan itu bersifat searah, yang berarti bahwa semakin tinggi Mencari Tahu/Belajar (Learning) juga akan semakin tinggi Risiko Teramatinya (Perceived risk). Demikian pula sebaliknya. Suatu keadaan yang justru berkebalikan dengan teori di atas.<br />Keadaan hubungan antara kedua variabel tersebut yang terjadi pada berbagai jenis produk sebagaimana terlihat pada Tabel 2 tersebut, bisa juga dijelaskan dengan teori Campbell (dalam Robertson, 1974) dan Howard (1989). Pada prinsipnya konsumen lebih percaya pada pembelian pada saat itu juga yang tanpa mempertimbangkan lebih jauh tentang risiko dan kegunaannya.<br /><br />2. Overlap Keempat Variabel Pada Klas Produk yang Berbeda<br />Meski tidak sepenuhnya didukung oleh hasil penelitiannya, Arndt menghipotesiskan adanya overlap keempat variabel pada klas produk lain yang semacam. Dalam penelitian ini keempat produk yang digunakan sebagai objek penelitian ini, bisa digunakan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mentega/margarin dan deterjen. Dasar pengelompokan ini adalah bahwa keduanya mempunyai harga yang relatif rendah, merupakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, dan tidak terlalu banyak membutuhkan pertimbangan yang mendalam. Kelompok kedua adalah magic jar dan mesin cuci. Pertimbangannya adalah mempunyai harga yang relatif mahal, merupakan peralatan rumah tangga (home appliance), dan membutuhkan pertimbangan yang mendalam.<br /><br />Tabel 3<br />Keberadaan Keempat Variabel Pada Klas Produk yang Berbeda<br /><br />Klas produk<br />Innovative-<br />ness<br />Opinion<br />Leadership<br /><br />Learning<br />Perceived<br />risk<br />Margarine dan deterjen<br />0,4650<br />0,5653*<br />0,1548<br />0,6136*<br />Margarin dan magic jar<br />0,2024<br />0,4807<br />0,4364<br />0,7399**<br />Margarin dan mesin cuci<br />0,2345<br />-0,3697<br />0,4920<br />0,2919<br />Deterjen dan magic jar<br />-0,2171<br />0,4694<br />-0,0366<br />0,5955*<br />Deterjen dan mesin cuci<br />0,5885*<br />-0,1753<br />0,3615<br />-0,3086<br />Magic jar dan mesin cuci<br />-0,1225<br />-0,2322<br />0,2533<br />-0,0919<br /><br />* signifikan untuk aras 0,05 ** signifikan untuk aras 0,01<br />Sumber: Analisis Program SPSS<br /><br /><br />Data dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa dari kelompok pertama terdapat dua variabel yang overlap, yaitu Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership) dan Risiko Teramati (Perceived Risk). Sedangkan pada kelompok dua sama sekali tidak terdapat overlap.<br />Hasil penelitian ini mendukung temuan Arndt (1974) bahwa overlap itu juga terjadi pada klas produk yang tidak semacam. Tabel 3 menunjukkan bahwa Risiko Teramati (Perceived Risk) terjadi pada produk margarin dan magic jar. Bahkan korelasinya sangat signifikan (0,7399) untuk aras 0,01. Variabel yang sama juga overlap pada produk deterjen dan magic jar (korelasinya sebesar 0,5955, signifikan untuk aras 0,05). Sedangkan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) overlap pada produk deterjen dan mesin cuci (korelasinya sebesar 0,5855, signifikan pada aras 0,05).<br /><br />Pengaruh Tingkat Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived Risk) terhadap Kemauan Berinovasi (Innovativeness)<br />Korelasi antara variabel Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived Risk) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) ditunjukkan oleh koefisien korelasi 0,983 (Tabel 4). Angka ini sangat tinggi, mendekati angka 1, sehingga hal demikian sementara dapat ditafsirkan bahwa pengaruh dari kedua variabel tersebut terhadap variabel Kemauan Berinovasi (Innovativeness) sangat kuat. Namun hasil dari uji F terhadap regressi ini tidak menunjukkan angka yang signifikan (Tabel 5). Hal demikian menjadi sedikit mengherankan, karena angka korelasi yang sedemikian tinggi secara statistik ternyata tidak signifikan.<br /><br />Tabel 4<br />Korelasi Antara Mencari Tahu/Belajar dan Risiko Teramati<br />dengan Kemauan Berinovasi<br /><br />Item<br />Nilai<br />Multiple R<br />0,98288<br />R Square<br />0,96605<br /> Sumber: Analisis Program SPSS<br /><br /><br />Tabel 5<br />Analisis Varians Untuk Regressi Kemauan Berinovasi<br />Pada Mencari Tahu/Belajar dan Risiko Teramati<br /><br /><br /><br />DF<br /><br />Jumlah<br />Kuadrat<br /><br />Mean<br />Kuadrat<br />Regressi<br />2<br />0,38019<br />0,19010<br />Residual<br />1<br />0,01336<br />0,01336<br />F = 14,22584<br />Signif. F = 0,1843<br /> Sumber: Analisis Program SPSS<br /><br /><br />Temuan yang terakhir ini nampaknya memperkuat temuan yang pertama (lihat Tabel 2), yaitu bahwa konsumen dalam menggunakan suatu inovasi tidak didasari oleh adanya pertimbangan yang matang tentang kegunaan dan ketidak-pastian. Konsumen lebih banyak didorong oleh pembelian impulsif, sehingga kurang memperhatikan informasi baik dari komunikasi personal maupun dari media massa.<br />Untuk mencari tahu ketidak-signifikannya korelasi antara Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived Risk) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) akan ditelusuri melalui analsisis parsial. Bila variabel Risiko Teramati (Perceived Risk) diabaikan, maka korelasi antara Mencari Tahu/Belajar (Learning) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) secara statistik tidak signifikan. Demikian pula halnya bila variabel Mencari Tahu/Belajar (Learning) diabaikan, korelasi antara Risiko Teramati (Perceived Risk) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) juga tidak signifikan (Tabel 6).<br /><br />Tabel 6<br />Analisis Parsial Untuk Regressi Kemauan Berinovasi<br />Pada Mencari Tahu/Belajar dan Risiko Teramati<br /><br /><br /><br />Learning<br /><br />Innovativeness<br />Perceived<br />Risk<br />Learning<br />1,000<br />-0,1019<br />-0,8748<br />Innovativeness<br />-0,1019<br />1,000<br />0,5627<br />Perceived risk<br />-0,8748<br />0,5627<br />1,000<br />Catatan: semua angka tidak menunjukkan signifikansi pada aras 0,05<br />Sumber: Analisis Program SPSS<br /><br />Mengingat kembali pertanyaan Arndt (1974) tentang apakah calon pembeli yang mempunyai respon yang tinggi itu disebabkan karena semakin tingginya tingkat mencari tahu (higher in learning) dan semakin rendahnya risiko (lower in risk), ataukah keadaan menjadi semakin tinggi tingkat mencari tahunya dan semakin rendahnya risiko itu sebagai akibat dari pengalaman setelah membeli, maka dari temuan terakhir ini, pertanyaan tentang arah itu menjadi tidak begitu penting lagi. Pertimbangan ada atau tidaknya informasi mengenai suatu inovasi pada konsumen menjadi sulit untuk diketahui karena konsumen dalam mengadopsi hanya berdasarkan pertimbangan impulsif. Begitu pula ada tidaknya pertimbangan konsumen mengenai ketidak-pastian suatu inovasi juga sulit untuk diketahui.<br /><br />Kesimpulan<br />Hasil penelitian ini sama sekali tidak mendukung hasil studi Arndt 1974). Keempat variabel yaitu Kemauan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived Risk), sebagian besar tidak saling berkorelasi, meski dalam satu klas produk yang sama. Demikian pula untuk klas produk lain yang hampir sama, bekerjanya keempat variabel tersebut sulit untuk diharapkan. Bahkan hasil temuan menunjukkan bahwa variabel-variabel tertentu bisa saja nampak pada klas produk lain yang berbeda.<br />Hasil temuan ini bisa membuyarkan sekuen (urutan) yang selama ini digunakan dalam teori diffusi. Mungkin tidak terlalu naif kalau diingatkan untuk melihat kembali kepada hasil studi Robertson (1974) yang menyimpulkan bahwa tidak ada tingkat-tingkat ataupun urutan khusus yang harus digunakan dalam menilai konsumen.<br /><br />Rekomendasi Untuk Penelitian Lebih Lanjut<br />Ada beberapa hal yang bisa dievaluasi pada penelitian ini, yang menunjukkan hasil yang tidak sama dengan Arndt. Atau lebih jauh lagi karena adanya ketidaksamaan dengan teori diffusi yang menurut logika memang bisa diterima. Pertama, penggunaan ukuran yang sama dengan yang dipergunakan Arndt. Meskipun maksud peneliti adalah agar bisa seperti yang dilakukan oleh Arndt, namun melihat hasil yang tidak mendukung, bukan tidak mungkin perlu digunakan operasionalisasi variabel yang berbeda. Tegasnya, perlu dikembangkan ukuran variabel yang lebih teliti, mengingat ukuran yang digunakan Arndt masih sangat sederhana. Hal demikian diperlukan agar bisa didapatkan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Dengan perkataan lain, hal demikian berkaitan dengan masalah validitas dan reliabilitas.<br />Kedua, sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak begitu banyak. Demikian pula ada beberapa karakteristik responden yang perlu diperhatikan, antara lain sebagian besar keluarga berpendapat sedang-sedang saja, dan usia perkawinan yang masih belum lama. Untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan (setidaknya mendukung temuan Arndt) perlu dicoba penggunaan sampel yang lebih luas (sebagaimana yang digunakan Arndt), yang terdiri dari berbagai tingkat pendapatan dan usia perkawinan.<br />Juga hsil penelitian ini menyarankan perlunya diberikan porsi yang besar terhadap penelitian yang berkaitan dengan pembelian impulsif. Apakah hasil penelitian ini memang menyiratkan fenomena yang ada pada kebanyakan konsumen di Yogyakarta? Atau lebih luas lagi di Indonesia? Para pemasar dan produsen perlu kiranya memperhatikan hal ini, karena apabila hasil penelitian ini memang demikian yang terjadi pada kebanyakan konsumen di Yogyakarta atau di Indonesia, maka strategi pemasaran perlu benar mempertimbangkan fenomena tersebut.<br /><br /><br /><br />REFERENSI<br /><br /><br />Ancok, Djamaludin. (1989). Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Edisi kelima. Yogya-<br />karta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM<br /><br />Arikunto, Suharsimi. (1996). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi re-<br />visi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta<br /><br />Arndt, Johan (1974). "New Product Diffusion: The Interplay of Innovativeness, Opi-<br />on Leadership, Learning, Perceived Risk, and Product Attributes". Models of<br />Buyer Behavior. Editor Jagdish N Sheth. New York: Harper & Row Publishers<br /><br />Assael, Henry (1995). Consumer Behavior & Marketing Action. 5th edition. Cincin-<br />ati, Ohio: South Western College Publishing<br /><br />Cooper, Donald R. & C. William Emory. (1995). Business Research Methods. 5th<br />Edition. Chicago: Irwin<br /><br />Dharmmesta, Basu Swastha (1999). "Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual<br />Sebagai Panduan Bagi Peneliti". Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 14. (3)<br /><br />Hadi, Sutrisno. (1995). Metodologi Research. Jilid 1. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset<br /><br />---. (1994). Statistik 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset<br /><br />Hair et al. (1995). Multivariate Data Analysis, with Readings. 4th edition. New York:<br />Prentice-Hall International Inc.<br /><br />Howard, John A. (1974). "Confidence As a Validated Construct". Models of Buyer<br />Behavior. Editor Jagdish N Sheth. New York: Harper & Row Publishers<br /><br />---. (1989). Consumer Behavior in Marketing Strategy. Englewood Cliffs: Prentice-<br />Hall Inc.<br /><br />Kotler, Philip. (2000). Marketing Management, The Millenium Edition. New Jersey:<br />Prentice-Hall, Inc.<br /><br />---. (1988). Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation,<br />and Control. 6th edition. Englewood Cliffs: Prentice-Hall International Inc.<br /><br />Mahajan, Vijay. Muller, Eitan. & Bass, Frank M. (1990). "New Product Diffusion<br />Models in Marketing: A Review and Directions for Research". Journal of Mar-<br />keting. 54. January<br /><br />Mahajan, Vijay & Muller, Eitan. (1979). "Innovation Diffusion and New Product<br />Growth Models in Marketing". Journal of Marketing. 43. Fall<br /><br /><br />Mahajan, Vijay. Muller, Eitan & Srivastava, Rajendra K. (1990). "Determination of<br />Adopter Categories by Using Innovation Diffusion Models". Journal of Market-<br />ing Research. XXVII. February<br /><br />Mahajan, Vijay. & Peterson, Robert A. (1978). "Innovation Diffusion in Dynamic<br />Potential Adopter Population". Management Science. 24. (15). November<br /><br />Robertson, Thomas S. (1974). "Acritical Examination of ‘Adoption Process’ Models<br />of Consumer Behavior". Models of Buyer Behavior. Editor Jagdish N Sheth. New<br />York: Harper & Row Publishers<br /><br />Sekaran, Uma. (1992). Research Methods for Business, A Skill Building Approach. 2nd<br />Edition. New York: John Wiley & Sons Inc.<br /><br />Sultan, Fareena. Farley, John U. & Lehmann, Donald R. (1990). "A Meta Analysis<br />of Application of Diffusion Models". Journal of Marketing Research". XXVII.<br />February<br /><br />Bibliography<br />Dr. MS. Eric Santosa, MBA, adalah doktor di bidang manajemen pemasaran, lulusan UGM tahun 2004. Pendidikan masters diperolehnya di Charles Sturt University, New South Wales, Australia pada tahun 1992, dalam konsentrasi International Business. Saat ini adalah dosen Magister Management STIE STIKUBANK Semarang.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-41187017313228823962008-03-14T07:27:00.017+07:002008-07-04T02:00:23.004+07:00<strong>JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2000<br />EFEKTIFITAS SISTEM EVALUASI KINERJA BAWAHAN<br />Oleh : Purwatiningtyas<br />STIE Stikubank Semarang<br /><br />Abstrak</strong><br />Apologi yang dilakukan oleh manajemen atas kesalahan penilaian kinerja bawahannya tidak perlu terjadi apabila manajemen mampu mendayagunakan sistem evaluasi kinerja bawahan yang adil dan rational. Penggunaan sistem evaluasi kinerja bawahan yang mampu mengantisipasi dampak negatif dari bawahan, seperti 360’ system misalnya, diharapkan selain mampu mengurangi dampak negatif dari error yang mungkin terjadi juga akan mampu meningkatkan motivasi bawahan untuk mengakselerasikan produktivitasnya. Para eksekutif perusahaan diharapkan tidak hanya duduk dibelakang meja dengan menunggu laporan hasil evaluasi kinerja yang mungkin sangat tinggi muatan ‘ABS’-nya (asal bapak senang), namun mampu proaktif untuk mendapatkan informasi yang relevan, akurat dan adil.<br /><strong><br />Pendahuluan</strong><br />Penilaian kinerja dipergunakan sebagai alat yang tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para bawahan, namun juga untuk mengembangkan dan memotivasi bawahan. Di sisi lain penilaian kinerja juga dapat menjadi sumber dari kegelisahan dan frustasi baik bagi manajer maupun bawahannya. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakpastian dan standar ganda yang melingkupi banyak sistem penilaian kinerja bawahan.<br />Banyak organisasi yang telah menghabiskan milyaran dollar bagi program pelatihan tentang prosedur penilaian dalam rangka meningkatkan efektifitas manajemen. Salah satu prosedur penilaian manajerial yang digunakan untuk mendiagnosa masalah-masalah manajemen dan untuk meningkatkan kinerja adalah penilaian bawahan.<br />Ada tiga alasan utama yang mendukung penggunaan penilaian bawahan, yaitu; pertama, bawahan adalah sumber informasi yang valid karena mereka mempunyai posisi yang baik untuk melakukan observasi dan evaluasi kinerja manajerial dari beberapa dimensi, khususnya dimensi kepemimpinan. Kedua, karena penilaian dilaksanakan secara serempak oleh beberapa bawahan terhadap manajerial, maka penilaian yang berdimensi ganda ini secara potensial memang lebih akurat hasilnya dibandingkan dengan penilaian yang biasa dilakukan yaitu melalui supervisor. Ketiga, sistem penilaian bawahan yang formal sangat cocok dengan model komitmen dan keterlibatan bawahan, sehingga apabila sistem penilaian bawahan ini dapat diimplementasikan dengan tepat maka akan berdampak kepada peningkatan kepuasan kerja dan moral dari para tenaga kerja.<br />Berbeda dengan penilaian bawahan, maka di sisi lain, hasil penilaian eksekutif yang kelihatannya bagus justru sebenarnya seringkali tidak efektif. Hal ini timbul karena adanya beberapa mitos mengenai sifat eksekutif dan pekerjaannya. Oleh karena itu di bawah ini akan dibahas beberapa hal yang terkait dengan penilaian prestasi.<br />Paradoksal Penilaian Prestasi Eksekutif<br />Faktor-faktor penyebab mengapa penilaian prestasi eksekutif tidak efektif adalah adanya mitos-mitos yang akan mempunyai dampak mengganggu tidak hanya kepada para bawahan beserta aspirasinya, juga kepada para eksekutif seniornya. Mitos-mitos tersebut adalah;<br />1. Para eksekutif tidak memerlukan dan menginginkan telaah prestasi yang terstruktur.<br />2. Telaah yang bersifat formal tidak pantas bagi gengsi seorang eksekutif.<br />3. Eksekutif tingkat atas terlalu sibuk untuk mengadakan penilaian.<br />4. Umpan balik yang kurang mendukung otonomi dan kreatifitas pada para eksekutif.<br />5. Hasil akhir hanya digunakan untuk penilaian kinerja eksekutif.<br />6. Evaluasi prestasi eksekutif secara komprehensif tidak dapat dengan mudah digunakan melalui penilaian kinerja formal.<br />Oleh karena itu, agar supaya hasil penilaian prestasi para eksekutif yang dilakukan dapat digunakan secara efektif, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut;<br />1. Lakukanlah sebuah proses penilaian kinerja yang sistematis dan terstruktur.<br />2. Gabungkan perencanaan penilaian kinerja ke dalam proses penilaian dan review.<br />3. Jadikan review dan penilaian kinerja sebagai proses yang berkelanjutan.<br />4. Fokuskan review yang dilakukan kepada proses dan hasil.<br />5. Buatlah penilaian kinerja menjadi sistematik dan komprehensif.<br />Penilaian kinerja telah menjadi fokus dari aktifitas penelitian yang membingungkan dalam beberapa dekade yang lalu (Bretz, Milkovich & Read, 1992; Fisher, 1989), namun ada juga yang menggunakan penilaian kinerja ini di dalam bisnis dan industri (Murphy & Cleveland, 1991). Sistem penilaian kinerja yang formal telah digunakan untuk sejumlah tujuan yang berbeda, seperti; umpan balik dan program evaluasi keputusan-keputusan di dalam sumber daya manusia (Cleveland, Murphy & William, 1989).<br />Namun secara substansial sebenarnya semua aktifitas kerja untuk melakukan penilaian kinerja ini difokuskan kepada pengertian dan peningkatan kemampuan dari para penilai kinerja itu sendiri, di mana hal tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh motivasi penilai. Motivasi penilai yang mau memahami dan melakukan penilaian kinerja berdasarkan tujuan dan sasaran dasar penilaian kinerja akan dibatasi oleh determinant motivational seperti; reward, di mana determinan yang penting dari hampir setiap prilaku penilai adalah hasil karya dari nilai reward, misalnya; kenaikan jabatan dan promosi (Kanfer, 1990). Sebagai contoh, pemberian umpan-balik kepada bawahan akan mendorong peningkatan kinerja bawahan yang berdampak kepada peningkatan kinerja unit kerja, sehingga hal ini tentunya akan dapat mendorong peningkatan gaji dan promosi bagi manajer.<br />Sementara unsur determinant motivational lainnya yang mempunyai paradoksal terhadap penilaian kinerja bawahan adalah adanya konsekuensi negatif yang harus ditanggung oleh perusahaan, seperti; rusaknya hubungan supervisor dengan bawahan, demoralisasi tenaga kerja, kritik dari bawahan, kritik dari supervisor dan gangguan atas tugas-tugas lain. Sebagai contoh, misalnya jika manajer memberikan umpan-balik yang negatif akan dapat merusak hubungan dengan bawahannya.<br />Konsekuensi negatif di atas juga banyak disebabkan oleh adanya faktor pengaruh manajemen. Hal ini dapat dicontohkan seperti adanya prilaku yang ditunjukkan oleh seorang supervisor di dalam memberikan umpan-balik banyak dipengaruhi oleh bagaimana prilaku atasannya dibandingkan dengan suatu antisipasi yang berdampak kepada bawahannya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan resistent to change dari bawahan yang di nilai, di mana mereka akan merasa bahwa penilaian kinerja tersebut mungkin tidak obyektif dan tendensius.<br />Selain itu, determinant motivational juga akan sangat dipengaruhi oleh dua faktor seperti;<br />1. Faktor situasional, yang terdiri dari; (a) akuntabilitas, (b) strategi manajemen sumber daya manusia, (c) ketergantungan tugas dan hasil, (d) kepercayaan, (e) bentuk-bentuk penilaian prestasi.<br />2. Faktor pribadi, yang terdiri dari; (a) jumlah informasi, (b) self-efficacy, (c) mood.<br />Dengani dua faktor yang mempengaruhi determinant motivational ini, maka timbullah prilaku penilaian kinerja yang dapat muncul dalam beberapa prilaku seperti; observasi, storage, retrieval, integrasi, rating dan feedback. Jadi dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa efektifitas hasil penilaian kinerja memang sangat tergantung juga kepada motivasi dari penilai kinerja yang bersangkutan.<br />Oleh karena itu dalam rangka mengurangi efek negatif dari kemungkinan terjadinya error terhadap keputusan yang diambil, pimpinan perusahaan diharapkan mampu mendayagunakan sistem evaluasi kinerja bawahan yang dapat mengakomodir semua masukan dari berbagai level organisasi, seperti sistem 360’ misalnya.<br />Dengan sistem 360’, pimpinan perusahaan akan melakukan penilaian dan evaluasi kinerja tenaga kerjanya dengan mendasarkan keputusannya kepada semua informasi yang ada baik dari pandangan pribadi pimpinan, para supervisor, konsultan yang ditunjuk maupun masukan dari tenaga kerja itu sendiri melalui serikat pekerja atau kelompok-kelompok pekerja lainnya yang ada di perusahaan.<br /><strong>Hubungan Insentif Keuangan dengan Kinerja Bawahan</strong><br />Sebagaimana diakui oleh para ekonom, bahwa usaha yang dilakukan oleh bawahan juga merupakan determinan penting dari outcomes yang dihasilkan. Sehingga dampak dari kebijakan kompensasi perusahaan kepada usaha dan kinerja bawahan dapat dijelaskan dalam dua penjelasan sebagai berikut; pertama, berdasarkan teori ekspektasi (Lawler, 1973) dan teori ekonomi (Lazear, 1986; Brown, 1988) mengatakan bahwa sistem reward performance-contingent dapat mendorong kepada tingkat kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang tidak dapat mengikatkan pembayaran dengan kinerja, sehingga tenaga kerja juga dapat mengantisipasi bahwa usaha-usaha mereka sekarang akan mendorong kepada penerimaan reward di masa yang akan datang. Kedua, dampak dari sistem kompensasi kepada kinerja terpenting adalah kepada organisasi, sehingga perusahaan tentunya akan mempertimbangkan untung-ruginya dari alternatif sistem-sistem yang dapat memaksimalkan efektifitasnya.<br />Dari study empiris dapat ditemukan bahwa, pertama, ternyata bonus yang diberikan untuk para manajer, yang mempunyai karekteristik seperti; berposisi tinggi di perusahaan, bekerja di kantor pusat perusahaan dan masih relatif muda usia kerjanya, sangat sensitif berpengaruh terhadap kinerja mereka dibandingkan dengan bonus yang diberikan kepada para manajer yang tidak mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan tadi. Kedua, bagi para manajer yang mempunyai karakteristik tadi, bonus yang diberikan perusahaan juga mempunyai dampak kepada pencapaian tingkat kinerja berikutnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan manajer lainnya. Sementara merit-pay ternyata tidak berpengaruh terhadap kinerja berikutnya.<br />Kesimpulan<br />Penilaian kinerja kerja dapat dilakukan oleh atasan, sejawat maupun bawahan. Namun dengan penilaian kinerja yang dilakukan oleh bawahan yang dimasukkan ke dalam sistem penilaian kinerja perusahaan secara keseluruhan ternyata mampu membantu efektifitas manajerial, evaluasi dan promosi personil, merubah kultur perusahaan, pelaksanaan rencana strategis, mengurangi biaya keputusan promosi dan membantu penugasan kembali beban-beban pekerjaan. Sementara itu penilaian kinerja yang dilaksanakan oleh eksekutif mempunyai parakdoksal yang merugikan.<br />Sistem pemberian bonus, khususnya bagi para manajer yang mempunyai sensitifitas kinerja yang tinggi, akan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja dibandingkan sistem merit-pay.<br />Jajaran pimpinan perusahaan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan, tentunya tidak akan mengambil resiko besar dengan memberikan penilaian atas kinerja bawahan hanya atas dasar vested interest yang tidak relevan dengan motif produktivitas.<br />Penggunaan sistem penilaian kinerja bawahan yang objektif (clear objectives), disetujui oleh pekerja maupun manajemen (management & employee endorsement), fleksibel (flexibility), dapat diprediksi (predictability), hasil evaluasi telah didialogkan (performance dialogue), tersedianya formulir penilaian yang standar (appraisal form) dan adanya sistem evaluasi secara periodik (periodic system checks), C. Lee (1990), selain akan memberikan dampak positif berupa peningkatan produktivitas bawahan, juga diharapkan akan menjadi pilar utama bagi kelangsungan hidup perusahaan yang didukung oleh sense of belonging dan kesetiaan bawahan kepada perusahaan.<br />Sementara itu, masih menurut C. Lee (1990), ketidakberhasilan dari sistem penilaian kinerja bawahan lebih banyak disebabkan karena ketidakmampuan perusahaan untuk; memperoleh sistem penilaian yang baik, adanya sistem penilaian yang tidak komunikatif, ketidaktepatan sistem penilaian yang digunakan, sistem penilaian yang digunakan tidak didukung oleh seluruh komponen perusahaan dan ketidakmampuan perusahaan untuk memonitor sistem penilaian yang dijalankannya.<br /><br /><br /><br />REFERENSI<br />Anthony, P., William & Perrewe, L., Pamela & Kacmar, Michele, K. (1993), " Strategic Human Resource Management", Second edition, Florida, The Dryden Press,<br /><br />Bernardin, John, H. & Beatty, W. Richard (1987). "Can Subordinate Apraisals Enhance Managerial Productivity". Sloan management review.<br /><br />Carter, Carla C., 1994. "Measuring and Improving The Human Resources Function". Human Resources Management, p. 63 - 75.<br /><br />Harris, M., Michael, 1994, "Rater Motivation in The Performance Appraisal Context : Theoritical Framework", Journal of Management, vol. 20, no. 4, p. 737 -756.<br /><br />Kahn, M., Lawrence & Sherer, D., Peter (1990), "Contingent Pay and Managerial Performance", Industrial and Labor Relations Review, vol. 43, special issue, p. 107 - 119.<br /><br />Longenecher, O., Clinton & Gioic, A., Dennis (1992), "The Executive Appriasal Paradox", Academy of Management Executive, vol. 6, no. 2, p. 18 - 28.<br /><br />Lee, C. (March 1990), " Smooting Our Appraisal System", Human Resource Magazine, p. 72 - 76.<br /><br />Reich, Caroline (1989), "Phase Helps Measure Purchasing Departement Productivity", Purchasing Word.<br /><br />Steffy, D., Brian & Maurer, D., Steven (1994), " Conceptualizing and Measuring The Economic Effectiveness of Human Resources Activities", Academy of Management Review, vol. 19, no. 2, p. 271 - 286.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-14368137919694607782008-03-14T07:23:00.002+07:002008-08-20T03:14:45.328+07:00SKRIPSI PENDIDIKAN KODE [O]<ol><li>PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN IPS GEOGRAFI DENGAN METODE DISKUSI DAN METODE CERAMAH SISWA KELAS III SLTP WACHID HASYIM 1 SURABAYA TAHUN 2001</li><li>PEMANFAATAN PAPAN BIMBINGAN PADA SISWA KELAS II DI SMU NEGERI 1 SANDEN BANTUL TAHUN PELAJARAN 2002/2003</li><li>FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI KEENGANAN SISWA UNTUK BERKONSULTASI KEPADA GURU PEMBIMBING DI SLTP 3 PANDAK BANTUL THN 2002/2003</li><li>USULAN : UPAYA PENINGKATAN PEMBELAJARAN FISIKA PADA SLTP MELALUI OPTIMASI KEGIATAN LABORATORIUM BERBASIS COOPERATIVE LEARNING SEBAGAI IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI/2003</li><li>PERANAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA PADA ERA GLOBALISASI KEBUDAYAAN/1998</li><li>HUBUNGAN ANTARA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP KEBUTUHAN REMAJA DAN SIKAP TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN DI SEKOLAH DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA KELAS II SMUN I SANDEN TA 2003/2004/2003</li></ol><p> </p>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-34852379474737216912008-03-14T05:28:00.004+07:002015-03-17T02:00:13.903+07:00TESIS PENDIDIKAN KODE [O]<ol>
<li>PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, MOTIVASI BERPRESTASI, DAN KOMPENSASI TERHADAP KEDISIPLINAN GURU SEKOLAH DASAR/2005</li>
<li>PENDIDIKAN SEKS REMAJA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM/2004</li>
<li>EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PELATIHAN PAMONG BELAJAR SKB DI BPKB PROPINSI DIY/2000</li>
<li>KEEFEKTIFAN MANAJEMEN LABORATORIUM SMP NEGERI DI KABUPATEN BANTUL/2006</li>
<li>FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU SLTP NEGERI DI KECAMATAN BANTUL/2006</li>
<li>BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS MANAJEMEN PEMBELAJARAN GURU IPA DI SMP SWASTA KABUPATEN BANTUL/2006</li>
<li><a href="http://www.pusattesis.com/pengertian-efektif-dan-efektivitas/">EFEKTIVITAS PROGRAM PELATIHAN</a> DALAM MEMBERDAYAKAN CALON TENAGA KERJA INDONESIA DI BALAI LATIHAN KERJA (BLK) MATARAM/2005</li>
<li>MANAJEMEN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN DI SMU MATHLA'UL ANWAR PUSAT MENES KABUPATEN PANDEGLANG/2001</li>
<li>UPAYA PENINGKATAN KINERJA KARYAWAN PUSAT PENGEMBANGAN PENATARAN GURU KESENIAN YOGYAKARTA DALAM MENYONGSONG ERA GLOBAL/2002</li>
<li>PERAN KEPALA SEKOLAH, GURU, DAN DUNIA USAHA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SMK NEGERI KARAWANG/2002</li>
<li>KERJASAMA INSTITUSI PASANGAN (TINGKAT KESIAPAN SISWA UNTUK MEMASUKI PEKERJAAN PADA PROGRAM KERJASAMA ANTARA STM PERKAPALAN SIDOARJO DENGAN PT. PAL INDONESIA DI SURABAYA)/1993</li>
<li>PERAN TUAN GURU DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA/2005</li>
<li>BIMBINGAN KARIR TERHADAP KRYAWAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN SDM DI PC. GKBI MEDARI YOGYAKARTA/2002</li>
<li>HUBUNGAN CARA BELAJAR PESERTA DIDIK DAN PERAN GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR PAI SISWA KELAS III SMK MA'ARIF 2 SLEMAN TAHUN DIKLAT 2002/2003</li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-23819397410094601792008-03-12T22:01:00.004+07:002008-07-04T02:00:23.005+07:00COMPETENCY – BASED EDUCATION and TRAINING (CBET) Suatu Pendekatan Strategik Dalam Pengembangan Kompetensi Bagi Peningkatan Kinerja Organisasi<!-- Begin: AdBrite --><br /><style type="text/css"><br /> .adHeadline {font: bold 10pt Arial; text-decoration: underline; color: #0000FF;}<br /> .adText {font: normal 10pt Arial; text-decoration: none; color: #000000;}<br /></style><br /><script type="text/javascript" src="http://ads.adbrite.com/mb/text_group.php?sid=607843&br=1&col=3"><br /></script><br /><div><a class="adHeadline" target="_top" href="http://www.adbrite.com/mb/commerce/purchase_form.php?opid=607843&afsid=1">Your Ad Here</a></div><br /><!-- End: AdBrite --><br />FOKUS EKONOMI, APRIL 2004<br />COMPETENCY – BASED EDUCATION and TRAINING (CBET) Suatu Pendekatan Strategik Dalam Pengembangan Kompetensi Bagi Peningkatan Kinerja Organisasi<br /><br />Oleh : Suzy Widyasari<br />Dosen Tetap STIE Stikubank Semarang<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Kompetensi merupakan salah satu unsur kunci yang berperan penting dalam upaya peningkatan kinerja organisasi. Perkembangan IPTEK dan derasnya arus globalisasi telah membawa perubahan-perubahan dan menciptakan paradigma baru di tempat kerja dan dunia pendidikan. Organisasi tidak semata-mata mengejar pencapaian produktivitas yang tinggi, tetapi lebih memperhatikan aspek kinerja dalam pencapaiannya. Dengan demikian, kinerja (performance) merupakan faktor kunci bagi setiap individu dan organisasi dalam pencapaian produktivitas. Terkait dengan hal tersebut, maka Competency – Based Education and Training (CBET) adalah suatu aspek strategis yang dapat mendorong produktivits dan peningkatan kinerja individu dan organisasi. Model ini diharapkan dapat memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan.<br /><br />Kata kunci : Education, Training, Kompetensi, Kinerja.<br /><br />I. PENDAHULUAN<br /><br />Peran SDM dalam organisasi mempunyai arti yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri. Setiap orang yang bekerja dituntut agar dapat mencapai kinerja yang tinggi. Seiring dengan perubahan IPTEK dan ekonomi yang berbasis pengetahuan, maka proses kerja bisnis memerlukan pekerja dan pengelolaan yang berbasis pengetahuan pula. Dalam hal ini salah satu aspek dalam pengembangan SDM yang perlu mendapatkan prhatian adalah aspek pendidikan dan pelatihan. Setiap organisasi yang menyadari akan arti penting pengembangan SDM-nya, pasti akan memberikan perhatian yang besar bagi program ini. Kita dapat melihat bahwa banyak perusahaan-perusahaan / organisasi yang telah menghabiskan sejumlah besar dana untuk membiayai program-program pendidikan dan pelatihan. Dalam kenyataannya, program-program tersebut tidak banyak memberikan manfaat, baik bagi karyawan maupun organisasi. Hal ini lebih disebabkan karena pendidikan dan pelatihan yang diberikan tidak memenuhi standar / tuntutan kebutuhan spesifik organisasi / dunia kerja. Adanya persaingan yang semakin tajam, perubahan teknologi yang cepat, serta perubahan lingkungan yang cenderung radikal, yang terjadi hampir pada semua aspek kehidupan manusia telah banyak menimbulkan pergeseran dan paradigma baru. Karenanya perlu adanya transformasi dalam setiap program diklat agar dapat mengikuti dan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dalam dunia kerja.<br /><br />Tracy, et al (2002) menyatakan bahwa mengembangkan dan melaksanakan program pelatihan yang efektif bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, namun bagaimanapun program tersebut mutlak diperlukan. Program pengembangan SDM merupakan suatu kekuatan yang diharapkan dapat menciptakan nuansa baru dalam upaya mempercepat pembinaan SDM dengan kompetensi, kemampuan, dan tingkat profesionalisme yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Kinerja (Performance) adalah suatu hasil, diaman orang-orang, sumber-sumber dan pada lingkungan kerja tertentu secara bersama membawa hasil akhir yang didasarkan tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Banyak aspek yang mempengaruhi keberhasilan suatu kinerja seperti kejelasan peran (role clarify), tingkat kompetensi (competency), keadaan lingkungan (environment), dan faktor lainnya seperti nilai (value), budaya (culture), kesukaan (preference), imbalan (rewards) dan penghargaan (recognitions). Melalui intervensi manajemen di bidang CBET, maka diharapkan SDM dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan memberikan banyak manfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.<br /><br />II. KONSEP KOMPETENSI<br /><br />Kompetensi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel and Fitt, 1992). Gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970. Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan. Unsur tersebut dapat menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita, dan orang yang berasal dari strata sosio ekonomi yang rendah. Penemuan tersebut telah mendorong dilakukannya penelitian terhadap variabel kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu dan tidak bias dikarenakan faktor rasial, jender, dan sosio ekonomi. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah :<br /><br />Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam pekerjaannya dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini perlu diidentifikasikan karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan tersebut.<br /><br />Mengidentifikasikan pola pikir dan perilaku individu yang berhasil. Dalam hal ini pengukuran kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi yang terbuka. Prediktor terbaik atas apa yang dapat dilakukan seseorang adalah mengetahui apa yang dipikirkana individu secara spontan dalam situasi yang tidak terstruktur.<br /><br />Menurut Mitrani (1992), kompetensi diartikan sebagai "an underlying characteristic of an individual which is causally related to criterion – referenced effective and superior performance in a job or situation". Berdasarkan definisi tersebut, kata "underlying characteristics" mengandung arti bahwa kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada diri seseorang serta perilaku yang diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Sedangkan kata "Criterion Referendced" mengandung arti bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kura ng baik, yang diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Dengan demikian, dapatlah kita artikan bahwa kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya.<br />Menurut Spencer and Spencer (1993), Mitrani et al (1992), terdapat 5 karakteristik kompetensi, yaitu :<br /><br />Motives<br /><br />Adalah sesuatu dimana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan. Mitrani et al, menambahkan bahwa motives adalah "drive, direct, and select behavior toward certain actron or goals and away from others". Sebagai contoh, seseorang yang memiliki motivasi berprestasi secara konsisten akan mengembangkan tujuan-tujuan yang memberi tantangan pada dirinya dan bertanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan "feedback" untuk memperbaiki dirinya.<br /><br />Traits<br /><br />Adalah watak yang membuat orang berperilaku atau merespon sesuatu dengan cara tertentu, seperti percaya diri (self confidence), kontrol diri (self control) dan ketabahan (stress resistance).<br /><br />Self Concept<br /><br />Adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.<br /><br />Knowledge<br /><br />Adalah (informasi) yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Penguukuran aspek ini dapat dilakukan dengan menggunakan test pengetahuan (knowledge test). Test ini mempunyai kelemahan karena hanya mampu mengukur peserta dalam memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak mampu melihat apakah seseorang tersebut dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.<br /><br />Skills<br /><br />Adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara fisik maupun mental.<br /><br />Dari kelima karakteristik kompetensi tersebut kompetensi pengetahuan dan kompetensi keahlian cenderung bersifat lebih nyata (visible) dan relatif berada di permukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki manusia. Sedangkan konsep diri (Self Concept), watak (traits) dan motives kompetensi cenderung lebih tersembunyi dari dalam dan berada pada titik central kepribadian seseorang. Secara lebih jelas, hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1.<br />Central and Surface Competencies<br />Hidden<br />Visible<br />The Iceberg Model<br /><br />Skill<br />Self Control<br />Trait, Motive Core Personality Most difficult to develop<br />Surface<br />Most easily Developed<br />Attitudes values<br />Knowledge<br /><br /><br /><br /><br /><br />Skill knowledge<br /><br /><br /><br /><br />Self Concept Trait motive<br /><br /><br /><br /><br /><br />Sumber : Mitrani, et. al and Fitt (1992)<br />Gambar diatas juga menunjukkan bahwa dari berbagai kompetensi yang ada, kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif mudah untuk dikembangkan, misalkan melalui program pendidikan dan pelatihan. Adapun motif kompetensi dan traits kompetensi adalah sesuatu yang sulit untuk dinilai sehingga sulit untuk dikembangkan. Sedangkan konsep diri dan sikap serta nilai (Values) dapat diubah melalui pelatihan atau psikoterapi sekalipun hal itu memerlukan waktu yang lebih lama dan sulit.<br /><br /><br />III. MANFAAT KOMPETENSI<br /><br />Kompetensi memberikan manfaat kepada berbagai pihak, baik bagi karyawan, organisasi, maupun industri sebagai suatu kesatuan. Secara lebih jelas, manfaat kompetensi bagi karyawan dan organisasi adalah sebagai berikut :<br /><br />Bagi Karyawan<br />Kejelasan relevansi pembelajaran sebelumnya, kemampuan untuk mentransfer ketrampilan, nilai dari kualifikasi yang diakui, dan potensi pengembangan karir.<br />Adanya kesempatan bagi karyawan untuk mendapatkan pendidikan dan latihan melalui akses sertifikasi nasional dengan berbasis standar yang ada.<br />Penetapan sasaran sebagai sarana perkembangan karir<br />Kompetensi akan memberikan nilai tambah pada pembelajaran dan pertumbuhan.<br />Penilaian kinerja yang lebih obyektif dan umpan baik berbasis standar kompetensi yang ditentukan dengan jelas.<br />Meningkatnya ketrampilan dan "marketability" sebagai karyawan.<br />Bagi Organisasi<br />Pemetaan yang akurat mengenai kompetensi angkatan kerja yang ada dan yang dibutuhkan.<br />Meningkatnya efektivitas rekrutmen dengan cara menyesuaikan kompetensi yang diperlukan dalam pekerjaan dengan yang dimiliki pelamar.<br />Sasaran yang jelas pada program pendidikan dan pelatihan yang difokuskan pada kesenjangan antara ketrampilan dan persyaratan ketrampilan yang dibutuhkan.<br />Pengambilan keputusan dalam organisasi akan lebih percaya diri karena karyawan telah memiliki ketrampilan yang akan diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan.<br />Terjadi komunikasi pengharapan yang jelas mengenai ketrampilan dan pengetahuan karyawan.<br />Mempermudah terjadinya perubahan melalui identifikasi kompetensi yang diperlukan untuk mengelola perubahan.<br />Penialian pada pembelajaran sebelumnya dan penilaian hasil pendidikan dan pelatihan akan lebih reliabel dan konsisten.<br /><br />IV. KARAKTERISTIK KOMPETENSI YANG DIBUTUHKAN<br />DI MASA DEPAN<br /><br />Organisasi sebagai suatu sistem sosial adalah suatu sistem yang kompleks, yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Dalam era globalisasi, dunia kerja banyak mengalami perubahan yang perlu diikuti dengan perubahan perilaku dan peningkatan ketrampilan kinerja yang secara lngsung berkaitan dengan perubahan sistem pendidikan dan pelatihan. Dari pemikira beberapa ahli dapat diidentifikasi beberapa pokok pikiran tentang kompetensi yang dibutuhkan di masa depan pada masing-masing tingkatan jabatan sebagai berikut :<br /><br />Tingkat Eksekutif<br /><br />Pada level ini, karakteristik kompetensi yang dibutuhkan mencakup :<br /><br />Strategis thinking<br /><br />Adalah kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan lingkungan yang begitu cepat, melihat peluang pasar, ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat mengidentifikasikan "strategis response" secara optimum.<br /><br />Change leadership<br /><br />Adalah kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan strategi organisasi agar dapat ditransformasikan kepada karyawan.<br /><br />Relationship management<br />Adalah kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan negara lain. Kerjasama dengan negara lain sangat dibutuhkan bagi keberhasilan organisasi.<br /><br /><br />Tingkat Manajer<br />Karakteristik kompetensi yang dibutuhkan pada level ini adalah :<br />Flexibilitas.<br /><br />Adalah kemampuan untuk merubah struktur dan proses manajerial, apabila strategi perubahan organisasi diperlukan bagi efektivitas pelaksanaan tugas organisasi.<br />Interpersonal understanding.<br /><br />Adalah kemampuan untuk memahami nilai-nilai dari berbagai tipe karyawan.<br /><br />Enpowerment<br /><br />Adalah kemampuan berbagi informasi, penyampaian ide-ide oleh bawahan, pengembangan karyawan, pendelegasian tanggung jawab, pemberian saran umpan balik, menyatakan harapan-harapan yang positif untuk bawahan dan memberikan reward bagi peningkatan kinerja.<br /><br />Team facilitation<br /><br />Adalah kemampuan untuk menyatukan orang-orang untuk bekerjasama secara efektif dalam mencapai tujuan bersama dan kemampuan di dalam mengelola konflik.<br /><br />Tingkat Karyawan<br /><br />Karakteristik kompetensi yang dibutuhkan adalah :<br />Flexibilitas.<br /><br />Adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang memberikan peluang daripada sebagai ancaman.<br />Kemampuan mencari informasi dan belajar.<br />Adalah kompetensi tentang antusiasme dalam mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal.<br /><br />Motivasi berprestasi.<br /><br />Adalah kemampuan untuk mendorong inovasi, perbaikan berkelanjutan untuk memenuhi tantang inovasi.<br /><br />Motivasi kerja dibawah tekanan waktu.<br /><br />Kolaborasi .<br /><br />Adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multi disiplin, pemahaman interpersonal dan komitmen terhadap organisasi.<br /><br /><br /><br />V. COMPETENCY – BASED EDUCATIOPN AND TRAINING (CBET)<br /><br />CBET merupakan salah satu pendekatan dalam pembinaan SDM yang diperlukan dan mulai marak diterapkan oleh organisasi akhir-akhir ini. hal ini dirasakan penting bagi organisasi seiring dengan semakin banyaknya tingkat kebutuhan angkatan kerja akan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tinggi. CBET adalah suatu proses pendidikan dan secara khusus agar dapat dicapai hasil kerja yang berbasis target lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi sebagai hasil akhir yang memenuhi standar dari suatu proses pendidikan dan pelatihan serta pengalaman sebelumnya yang mampu diperagakan oleh pekerja atau karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan. Oleh karena itu CBET sangat fleksibel dalam proses kesempatan untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil CBET menuntut persyaratan dan karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input), proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.<br /><br />VI. TUJUAN DAN PRINSIP-PRINSIP CBET<br /><br />CBET bertujuan agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar industri yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama CBET adalah :<br /><br />Menghasilkan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan.<br /><br />Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan sertifiikasi. Hasil CBET hendaknya dihubungkan dengan :<br /><br />Standar kompetensi yang akan diberikan<br />Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja<br />Kebutuhan multi – skilling<br />Alur karir (career path).<br /><br />Menurut Rylatt (1993), terdapat 9 prinsip yang harus diperhatikan dalam CBET :<br />Bermakna, praktek terbaik<br />Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik.<br /><br />Hasil pembelajaran<br />CBET lebih difokuskan pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan pelatihan.<br /><br />Fleksibel<br />CBET dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun informal.<br /><br />Mengakui pengalaman belajar sebelumnya<br />CBET mengakui pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta, sehingga mereka tidak dituntut harus mengikuti pendidikan dan pelatihan sampai akhir. Bila kemudian peserta mengikuti ujian dan lulus ujian kompetensi maka mereka berhak memperoleh kelulusan dan kualifikasi.<br /><br />Tidak didasarkan atas waktu<br />CBET tidak dibatasi oleh waktu. Perbedaan kemampuan setiap peserta akan menentukan lamanya proses pendidikan dan pelatihan<br /><br />Penilaian yang diperlukan<br />CBET sangat memperhatikan kemampuan memperagakan kompetensi sehingga setiap orang perlu untuk dnilai tingkat kompetensinya.<br /><br />Monitoring dan evaluasi<br />Proses ini mutlak diperlukan mulai dari masukan, proses sampai pada keluaran.<br /><br />Konsistensi secara nasional<br />CBET berlandaskan pada penampilan kompetensi yang secara nasional konsisten dengan kebutuhan industri sehingga hasilnya seseorang karyawan dapat dterima di tempat lain dan dapat dipekerjakan secara nasional.<br /><br />Akredetasi pembelajaran<br />Kurikulum yang digunakan dalam CBET harus memperoleh pengakuan dari badan / instansi yang berkompeten.<br /><br />VII. PROSES SISTEM CBET<br /><br />Sistem CBET dapat dilakukan dengan berbagai model, salah satu diantaranya adalah Model Sistem Strategik CBET pada perusahaan yang dilakukan melalui 5 tahap. Menurut Dubois (1996), tahap-tahap tersebut adalah :<br /><br />Analisis kebutuhan penilaian dan perencanaan<br />Pengembangan Model Kompetensi<br />Perencanaan Kurikulum<br />Perancangan dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran<br />Evaluasi<br /><br />Secara lebih jelas, Model Sistem Strategik dapat digambarkan sebagai berikut :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2<br />Lingkungan Luar<br />Lingkungan Organisasi<br />Analisis Kebutuhan, Penilaian dan Perencanaan<br />Pengembangan Model Kompetensi<br />Perencanaan Kurikulum<br />Perancangan dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran<br />Evaluasi<br />Tujuan Strategis, Sasaran, dan Bencana Bisnis<br />Langkah 1<br />Langkah 2<br />Langkah 3<br />Langkah 4<br />Langkah 5<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Model Sistem Strategis untuk Menciptakan dan Mengelola Program Peningkatan Kinerja Berbasiskan Kompetensi.<br /><br />Model diatas dapat dipakai sebagai acuan dalam merancang peningkatan kompetensi karyawan yang dapat dmodifkasi dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada agar tercapai hasil seperti yang diharapkan.<br /><br />VIII. STANDAR KOMPETENSI<br /><br />Program CBET diarahkan pada pencdapaian kompetensi sebagai hasil akhir yang memenuhi standar kompetensi / berbasis target inerja (performance target). Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan adanya pengukuran kompetensi yang akan dipergunakan sebagai standar kompetensi. Di Indonesia, pada saat ini standar kompetensi tenaga kerja profesional masih belum berkembang. Karenanya perlu adanya peran aktif dari pemerintahan dunia usaha asosiasi profesi, pusat pelatihan dan unsur-unsur terkait lainnya dalam menentukan standar kompetensi sertifikasi dan lisensi kerja. Sinkronisasi kurikulum sekolah / kampus yang dibutuhkan oleh dunia kerja perlu segera dilakukan. Tentunya pengukuran kompetensi ini harus didasarkan pada suatu standar secara nasional dan dilakukan oleh suatu Badan / lembaga yang independen dan berkompeten untuk itu. Di Australia misalnya, Badan penguji kompetensi ini terdiri dari : Assesor, Advisor, Verifier, Atasan Calon yang akan diuji, Awarding Body, dan Calon Peserta Uji. Sedangkan di Inggris, untuk memperoleh sertifikat kompetensi suatu pekerjaan dengan kualifikasi dari National Vocational Qualification Professional (BCSP) yang berhak menguji dan mengeluarkan sertifikat profesi yaitu Certified Safety Professional (CSP) dan Certified Industrial Hygienis (CIH).<br />Skema dan uji kompetensi digambarkan sebagai berikut :<br />Gambar 3.<br />AWARDING BODY<br />VERIFIER<br />ASSESSOR<br />CANDIDATE<br />ADVISOR<br />PEERS<br />CURRENT MANAGER / SUPERVISOR<br />MENTOR<br />PAST EMPLOYER<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Faktor-faktor yang berpengaruh<br />Keberhasilan program CBET ditentukan oleh berbagai faktor antara lain :<br />Komitmen yang tinggi dari manajemen dan penyediaan anggaran atas pembinaan SDM yang berkesinambungan<br />Terpeliharanya keselarasan antara kebutuhan pendidikan dan pelatihan dan kebutuhan organisasi dan dunia kerja.<br />Diagnosis dan penelusuran kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang lebih spesifik dan tepat, untuk menentukan tingkat dan besar kompetensi yang diperlukan.<br />Seleksi terhadap peserta didik dan latih, profesionalisme instruktur, metode, sarana dan prasarana yang memadai.<br />Pengembangan profesionalisme dari para profesonal SDM<br />VI. PENUTUP<br /><br />Kompetensi merupakan salah satu unsur penentu dalam upaya peningkatan kinerja perusahaan dan penyediaan tenaga kerja yang memberikan perspektif yang lebih tajam dan spesifik terhadap pekerja dan pekerjaannya. Dalam kerangka ini, CBET adalah sistem pendidikan dan pelatihan yang menawarkan upaya peningkatan kinerja SDM dan kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan yang dapat menciptakan karyawan dengan kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan pekerjaan / organisasi. Program ini memberikan banyak kelebihan dibanding dengan pendidikan dan pelatihan "tradisional" karena lebih bersifat spesifik, lebih tinggi relevansinya, flexibel, biaya relatif lebih murah / randah, wan waktu yang lebih singkat. Dalam program ini, penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan untuk dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan. Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan ini akan dapat dijadikan dasar bagi proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan SDM. Hal penting lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa keberhasilan program CBET sangat membutuhkan adanya dukungan, kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak yang terkait didalamnya, baik dari pusat pelatihan, assosiasi profesi, pihak manajemen (organisasi) dan karyawan itu sendiri. dengan memperhatikan faktor-faktor diatas, CBET akan mampu mengembangkan kompetensi dalam rangka peningkatan kinerja organisasi.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA :<br />Anto, Dwi, "Pengembangan Tenaga Kerja Indonesia Menghadapi AFTA", www.nakertrans.go.id, 2003.<br /><br />Baso, Moerad, H. M, "Pembinaan SDM Berbasis Kompetensi", USAHAWAN/ No. 02 / Th. XXXII / Februari, 2003.<br /><br />Dharma, Surya, "Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi". USAHAWAN / No.01 / Th. XXXI / Januari, 2002.<br /><br />Dubois, Daud, D. I, "The Executive Guide to Competency. Based Performance Improvement", HRD Press Harvest, 1996.<br /><br />Irianto, Jusuf, "Competency Based Training : Memupuk Kompetensi Melalui Pelatihan", Bisnis Indonesia, Juni, 2002.<br /><br />Mitrani, A Palziel, M, and Fitt, D, "Competency Based Human Resources Management : Value – Driven Strategies for Recruitment, Development and Reward", Kog an Page Limited, London, 1992.<br /><br />Ryllatt, Alastair, et. al, "Creating, Training Miracles", AIM Australia, 1995<br /><br />Samampouw, Marco, "Kompetensi SDM Masa Mendatang", USAHAWAN / No. XI / Th. XXV / November, 1999.<br /><br />Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe, Competence At Work : Models for Superior Performance, John Wiley and Son, Inc. New York, USA, 1993.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-54396635074967100002008-03-12T22:00:00.002+07:002008-07-04T02:00:23.005+07:00COMPETENCE BASED HR REVITALISASI SUMBER DAYA MANUSIAFOKUS EKONOMI, DESEMBER 2002<br /><!-- Begin: AdBrite --><br /><style type="text/css"><br /> .adHeadline {font: bold 10pt Arial; text-decoration: underline; color: #0000FF;}<br /> .adText {font: normal 10pt Arial; text-decoration: none; color: #000000;}<br /></style><br /><script type="text/javascript" src="http://ads.adbrite.com/mb/text_group.php?sid=607843&br=1&col=3"><br /></script><br /><div><a class="adHeadline" target="_top" href="http://www.adbrite.com/mb/commerce/purchase_form.php?opid=607843&afsid=1">Your Ad Here</a></div><br /><!-- End: AdBrite --><br />COMPETENCE BASED HR REVITALISASI SUMBER DAYA MANUSIA<br /><br />Oleh : Aifrid Agustina<br />Fakultas Teknik Industri USAHID Jakarta<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Dewasa ini masih banyak perusahaan yang belum memanfaatkan sistem sumberdaya manusia berdasarkan kompetensi padahal ISO 9000 tahun 2000 terbaru mengharuskan setiap perusahaan penerima ISO memiliki sistem kompetensi yang memandang individu sebagai sumberdaya manusia yang unik dan perlu pengembangan sebagai upaya revitalisasi sumberdaya manusia. Sistem kompetensi memberikan bahasa dan konsep umum untuk mencapai proses kinerja yang terintegrasi sehingga perlu dinilai ketika melakukan penilaian kinerja sumberdaya manusia yang diperlukan dalam menentukan bentuk pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan supaya dapat mencapai kinerja organisasi yang optimal; dan dapat menjadi tolok ukur kemampuan individu dalam menyelesaikan pekerjaannya serta dapat memantau kecocokan kompetensi seseorang dengan persyaratan yang telah ditentukan organisasi. Bahkan McClelland sejak tahun 1973 telah menyatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik dasar yang lebih penting dan lebih berharga daripada kecerdasan akademik dan tes bakat dalam memprediksi kesuksesan kerja sumberdaya manusia.<br /><br />Keywords: kompetensi, human resources, kinerja, competencies-based<br />I. PENDAHULUAN<br /><br />Organisasi yang melakukan proses penilaian kinerja berarti organisasi tersebut mengevaluasi relatifitas kinerja individu saat ini atau masa lampau terhadap standar kinerjanya (Dessler, 2000). Proses penilaian ini mencakup beberapa aspek seperti setting standar pekerjaan, lalu menilai relatifitas kinerja aktual terhadap standar, serta memberi umpan balik kepada karyawan untuk memotivasi mereka supaya mengurangi kinerja yang tidak efisien atau melanjutkan kinerja yang sudah baik pada saat itu.<br /><br />Kinerja proses manajemen dibuat dengan menggabungkan sistem yang berada dalam bidang sumberdaya manusia, dimana kompetensi menjadi bahasa dan konsep umum untuk mencapai proses kinerja yang terintegrasi, dalam hal ini kompetensi memperhatikan kebutuhan kritis bisnis suatu organisasi (Berge, Z. et.al, 2002).<br /><br />Berge, Z. et.al, (2002) mengatakan kesuksesan organisasi sekarang dan mendatang tergantung pada kompetensi kepemimpinan yang efektif dikombinasikan dengan kompetensi tenaga kerjanya. Identifikasi kompetensi akan memungkinkan organisasi memenuhi kepentingan masa datang yang vital.<br /><br />Menurut salah seorang senior partner pada trainer personal development dan konsultan sumberdaya manusia (Martin, 2000) masih banyak organisasi yang belum memanfaatkan sistem sumberdaya manusia berdasarkan kompetensi padahal ISO 9000 tahun 2000 terbaru mengharuskan setiap perusahaan penerima ISO memiliki sistem kompetensi, oleh karena itu penulis ingin mendiskusikan sistem kompetensi sebagai salah satu bentuk revitalisasi sumberdaya manusia.<br /><br />Dalam tulisan ini dibahas (1). Arti penting menilai kompetensi dalam proses penilaian kinerja, (2). Aspek-aspek kompetensi, (3). Bagaimana menilai dan mengidentifikasi kompetensi, (4). Bagaimana mengembangkan kompetensi yang akan dinilai, (5). Undang-undang berkaitan dengan kompetensi, (6). Kompetensi apa yang harus dimiliki sumberdaya manusia, dan (7). Hambatan proses pengukuran kinerja beserta kelemahan sistem kompetensi.<br /><br />Dalam kaitannya dengan penilaian kinerja identifikasi kompetensi dapat dijadikan tolok ukur kemampuan individu dalam menyelesaikan pekerjaannya atau dapat untuk memantau apakah seseorang telah mempunyai kompetensi sesuai persyaratan yang telah ditentukan organisasi, dan jika individu bersangkutan belum memenuhi syarat dapat dikembangkan melalui pelatihan (training), coaching atau dimutasi ke posisi lain yang lebih cocok dengan kompetensi yang dimilikinya.<br /><br />Masing-masing individu memiliki kompetensi yang berbeda. Melalui identifikasi kompetensi setiap individu dapat dibedakan seseorang yang perform atau tidak. Kompetensi disini mengacu kepada ilmu pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan kemampuan (ability) individu. Penilaian kompetensi ini dapat diaplikasikan dalam berbagai hal seperti untuk seleksi calon karyawan, menetapkan kompensasi bagi karyawan, atau untuk mendeteksi kapan dibutuhkan pelatihan bagi karyawan, dan yang tidak kalah pentingnya sistem kompetensi ini sebagaimana akan diperdalam pada tulisan ini adalah dalam rangka penilaian kinerja.<br /><br />Kompetensi dikembangkan karena ingin mengembangkan skill yang lebih mendekati peran manajemen yang sebenarnya atau tidak hanya sebatas potensi akademik dan bakat seseorang saja.<br /><br />Kompetensi ini perlu dinilai ketika menilai kinerja individu dalam rangka berupaya mengembangkan kompetensi yang sudah dimiliki tiap individu tersebut yang pada akhirnya berdampak pada job performance setelah diadakan pelatihan yang diperlukan yang nantinya diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja organisasi atau perusahaan itu sendiri. Kompetensi fokus pada hasil atau apa yang dapat dilakukan individu, bukan hanya pada kecerdasan akademik seseorang atau bukan hanya memandang sumberdaya manusia sebagai alat produksi.<br /><br />Dalam sistem kompetensi sumberdaya manusia dilihat sebagai manusia dengan keunikannya yang perlu dikembangkan. sumberdaya manusia dilihat sebagai aset perusahaan yang berharga karena perusahaan tanpa manusia tak mungkin menghasilkan produk yang dapat ditawarkan kepada konsumen eksternal yang akhirnya memberikan keuntungan finansial.<br /><br />Robotham. D & Jubb R. (1996) mengatakan pendekatan kompetensi menawarkan framework pada organisasi untuk memusatkan perhatian (fokus) pada sumberdaya mereka dalam upaya memaksimalkan keefektifan strategi manajemen pengembangan (management development strategies) meskipun masih belum cukup jelas kemana acuan kompetensi itu - dan hal ini merupakan kelemahan yang cukup serius dalam mengklarifikasi kompetensi - serta masih cukup membingungkannya eksistensi perspektif kompetensi kedalam keperilakuan dan basis keterampilan (skill-based).<br /><br />Meskipun masih ada kekurangan dan kelemahan dari kompetensi (competence-based) ini masih dapat dimanfaatkan oleh organisasi atau perusahaan dalam penilaian kinerja dan masih dapat disesuaikan dengan kondisi perusahaan, misalnya pada perusahaan yang menginginkan keunggulan kompetitif, karena sistem kompetensi terbukti menggiring perusahaan mencapai kinerja perusahaan yang lebih baik. Framework kompetensi telah menarik perhatian kalangan bisnis ketika harus berhadapan dengan kebutuhan mengembangkan kecakapan seseorang dan hal ini mengharuskan adanya transformasi yang berkelanjutan.<br /><br />Framework kompetensi secara antusias telah dianggap sebagai obat mujarab, bahkan kadang-kadang dengan sedikit pemikiran memiliki kemungkinan besar mempunyai implikasi yang lebih luas. Dewasa ini telah ada penilaian kritis terhadap framework kompetensi sebagai basis aktifitas manajemen pengembangan serta beberapa hasil yang muncul dari penelitian terkini.<br /><br />Dalam usaha menjadikan kompetensi sebagai dasar penilaian kinerja terdapat dua hal kritis yang memerlukan kehatian-hatian yaitu kompetensi harus didefinisikan dengan jelas sebagaimana akan lebih jelas dilihat pada pedoman mengembangkan kompetensi dan dalam menilai kompetensi harus objektif meskipun tidak tertutup kemungkinan munculnya subjetif.<br /><br />Pendekatan kompetensi menguntungkan dalam pengembangan manajemen karena (dalam hal ini) kompetensi fokus pada yang nyata dikerjakan (misalnya oleh manajer) bukan sekedar apa yang harus dikerjakan. Bagaimanapun pendekatan kompetensi ini masih menghendaki penaksiran subjektif pada penilaian kinerja individu.<br /><br />II. ARTI PENTING MENILAI KOMPETENSI DALAM PROSES PENILAIAN KINERJA<br /><br />Menilai kinerja ini perlu karena beberapa alasan seperti penilaian kinerja memberikan informasi untuk perencanaan promosi dan penggajian, selanjutnya diperlukan untuk meninjau kembali perilaku kerja setiap anggota organisasi yang dinilai kinerjanya, kemudian penilaian kinerja merupakan bagian proses perencanaan karir karena memberi kesempatan untuk meninjau ulang kekuatan dan kelemahan perencanaan karir itu, dan terakhir untuk mengatur dan mengelola serta meningkatkan kinerja organisasi.<br /><br />Kompetensi diperlukan dalam menyempurnakan penilaian kinerja karena melalui analisa kompetensi dapat diklarifikasi kriteria dalam menentukan keefektifan manajer maupun individu lainnya. Kompetensi juga dapat digunakan untuk menguji evaluasi kinerja apakah sudah efektif atau perlu perbaikan.<br />Dalam sistem kompetensi sumberdaya manusia individu dilihat sebagai manusia dengan keunikannya yang perlu dikembangkan sesuai dengan tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengembangkan potensi individu dalam bekerja yang dapat mengoptimalkan kinerja perusahaan. Sebagaimana sudah sangat umum diketahui bahwa McClelland sejak lama mengatakan kompetensi merupakan karakteristik dasar yang lebih penting daripada kecerdasan akademik atau tes bakat dalam memprediksi kesuksesan kerja.<br /><br />a. Definisi Kompetensi<br /><br />Sebelum lebih jauh membicarakan pentingnya menilai kompetensi dalam upaya proses penilaian kinerja ada baiknya memahami apa yang dinamakan kompetensi. Berge, Z. et.al, (2002) mengatakan sangat banyak definisi kompetensi yang berbeda yang menghasilkan rentang framework yang luas akan tetapi tidak semuanya cocok dan hal ini masih terus diperdebatkan.<br /><br />Schroeder seperti yang dikutip oleh Stuart, R. & Lindsay, P. (1997) mendefinisikan kompetensi sebagai karakter, sifat, pengetahuan, skill dan motivasi pokok seorang pemegang jabatan yang telah dikaitkan secara kausalitas dengan managerial performance yang unggul, Becker et. al (2001) mengatakan kompetensi mengacu pada karakter knowledge, skill, abilities setiap individu atau karakter personal yang mempengaruhi job performance individu secara langsung.<br /><br />Antonacopoulou, E. & FitzGerald, L. (1996) menyebutkan kompetensi terdiri dari sifat-sifat unik setiap individu yang diekspresikan dalam proses interaksi dengan pihak lain dalam konteks sosial, jadi tidak hanya terbatas pada pengetahuan dan skill yang spesifik atau standar kinerja yang diharapkan dan perilaku yang diperlihatkan. Jadi kompetensi mencakup sikap, persepsi dan emosi serta menekankan pada faktor interaksi personal dan sosial.<br /><br />McConnell (1998) menyampaikan dua istilah kompetensi yang sering digunakan yaitu competence dan competency dimana keduanya bukanlah sinonim. Diharapkan setelah meninjau kedua istilah itu pendefinisian kompetensi menjadi lebih jelas.<br /><br />Competence maksudnya kemampuan potensial, kesanggupan menjalankan fungsi pada suatu situasi, sedangkan competency fokus pada kinerja aktual seseorang dalam suatu situasi. Jadi competence dibutuhkan sebelum mencapai competency.<br /><br />Competence manjadikan individu mampu memenuhi tanggungjawab kerja yang dipikulnya. Competency berarti individu mengisi pekerjaan sesuai yang diharapkannya.<br /><br />Competence ditentukan oleh perbandingan keadaan sekarang dengan standar kinerja yang dibangun di lingkungan kerja menurut peran dan setting individu.<br /><br />Competence menguji kemampuan potensial, competency menguji bukti kinerja seseorang dan aplikasi pengetahuan, skill, dan standar perhatian dalam kemampuan individu dapat meniru mengoperasikan atau menggunakan peralatan atau melaksanakan suatu rencana.<br /><br />Penilaian competence melibatkan uji skill dan penilaian tertulis. Sedang penilaian competency fokus pada kinerja dalam melaksanakan pekerjaan (misalnya bagaimana perawat marawat pasien) dengan cara tertentu termasuk pendidikan dan tinjauan terus menerus sebagaimana kemampuan kinerja yang diperlihatkan. Penilaian competence berarti memperlihatkan dan mendokumentasikan individu yang menggunakan peralatan (device) dengan berhati-hati, integrasi pengetahuan dan skill, menggunakan (applying) standar pemeliharaan dan membuat kebijakan dan prosedur.<br /><br />b. Pentingnya Kompetensi<br /><br />Sistem kompetensi dapat dijadikan alat bantu untuk menentukan atau memprediksi keberhasilan kerja seseorang pada suatu posisi, karena kompetensi ini berusaha mengeksplorasikan lebih jauh suatu posisi atau dengan kata lain kompetensi dapat memberi informasi tentang pengetahuan, keterampilan atau perilaku utama yang diperlukan untuk berhasil dalam posisi tertentu. Menurut Robotham. D & Jubb R. (1996) terdapat dua eksistensi kompetensi yaitu perilaku (behavioral) dan basis keterampilan (skill-based).<br /><br />Konsep kompetensi dikembangkan untuk mengukur kinerja individu dengan menerapkan competence-based system (Robotham & Jubb, 1996). Competence-based system sering digunakan karena diyakini dapat mencapai kinerja organisasi yang memusatkan perhatian pada kinerja individu.<br /><br />Para ahli mengatakan bahwa kompetensi personal sangat berkaitan erat dengan masalah keorganisasian, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kompetensi individu menunjukkan atau diturunkan dari nilai kompetensi organisasi atau dapat dikatakan bahwa organisasi yang menggunakan sistem berdasarkan core-competency bagi karyawannya seringkali dijadikan acuan atau menjadi sebuah contoh organisasi yang memiliki kinerja tinggi (Abraham, S.E. et al, 2001) bagi organisasi lainnya yang menginginkan perusahaan atau organisasinya memiliki kinerja yang unggul dan dapat bersaing dengan lainnya.<br /><br />Parry (1998) menyatakan bahwa kompetensi perlu berkorelasi dengan job performance supaya dapat diukur dan capable untuk perbaikan melalui pelatihan dan pengembangan.<br /><br />Akan tetapi dari data yang dikumpulkan terlihat masih ada perusahaan yang tidak memasukkan kompetensi ketika melakukan penilaian managerial performance. Oleh karena itu Abraham et. al (2001) menyarankan bagi organisasi yang menginginkan high-performance organization harus terdorong untuk mengenali kompetensi manajerial yang kritis untuk mensukseskan penilaian kinerja karyawannya dan harus memastikan bahwa kompetensi yang sama telah dimasukkan ke dalam proses penilaian kinerja.<br />c. Aspek dan Standar Kompetensi<br />Konsep kompetensi meliputi beberapa aspek antara lain: kerangka acuan dasar dimana disini kompetensi dikonstruksi dengan melibatkan pengukuran standar yang diakui industri yang terkait, lalu aspek selanjutnya kompetensi ini tidak hanya diperlihatkan kepada pihak lain tapi harus dibuktikan dalam menjalankan fungsi kerja dimana disini tiap individu harus menyadari bahwa pengetahuan yang dimiilkinya merupakan nilai tambah dalam memperkuat organisasi. Selain itu kompetensi harus merupakan nilai yang merujuk pada satisfactory performance of individual atau kompetensi harus memiliki kaitan erat dengan kemampuan melaksanakan tugas yang merefleksikan adanya persyaratan tertentu.<br /><br />Dalam menetapkan standar kompetensi perlu melibatkan beberapa pihak seperti penguasaha, serikat pekerja, ahli pendidikan, pemerintah serta organisasi professional terkait.<br /><br />d. Menilai dan Mengidentifikasi Kompetensi<br /><br />Ukuran kompetensi ini cenderung abstrak dan telah banyak upaya yang dilakukan untuk membuat standar kompetensi seperti National Vocational Qualifications (NVQs), National Council Vocational Qualifications (NCVQ), Management Charter Initiative (MCI).<br /><br />Kesler, GC. (1995) menyatakan kompetensi dan perilaku harus diseleksi berdasarkan output yang jelas dan harus sensitif terhadap budaya dan nilai perusahaan, ia menyebutkan beberapa kunci objektif dalam proses menilai kompetensi yang berlaku untuk direct supervisor, skip-level manager, internal-client manager, dan sumberdaya manusia terkait lainya, yaitu:<br /><br />Berdasarkan fakta untuk mengidentifikasi seluruh gap bakat<br /><br />Cara proaktif seluruh lintas fungsional dalam organisasi<br /><br />Mengizinkan direktur divisi sumberdaya manusia membuat perencanaan untuk meng-upgrade unit sumberdaya manusia organisasi<br /><br />Meningkatkan pengaruh sumberdaya manusia pada bagian operasi, menjamin bahwa peran baru diimplikasikan secara penuh<br /><br />Memotifasi wawasan untuk mengembangkan diri sendiri pemegang jabatan<br /><br />Membiarkan sumberdaya manusia perusahaan menarik bakat sasaran dan program pelatihan untuk mendorong pengembangan individu<br />e. Mengembangkan Kompetensi<br />Untuk memaksimalkan sistem kompetensi ini baik untuk penilaian kinerja ataupun untuk keperluan lainnya diperlukan perbandingan (benchmarking), peninjauan (review) fungsi kerja yang berbeda dalam suatu pelatihan dan pengembangan. Setelah didapatkan perbandingan dan tinjauan terhadap fungsi kerja kemudian disusun standar yang berbeda antara praktisi baru dan ahli dalam setiap pekerjaan.<br /><br />Melalui perbandingan kompetensi secara berkala, seluruh pelatihan dan pengembangan kompetensi organisasi akan terbuka terhadap ide baru, perubahan tren dan penggunaan teknologi (Berge, Z. et.al, 2002). Biasanya perbandingan dapat dilakukan dengan mengacu pada standar industri yang relevan yang biasa telah ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang atau kebijakan suatu negara, seperti di UK dan US atau negara berkembang lainnya.<br /><br />Menurut Berge, Z. et.al (2002) selain definisi kompetensi yang banyak juga ada banyak pendekatan yang digunakan dalam merangkai dan menyusun kompetensi atau mengembangkan model kompetensi seperti: berdasarkan tugas atau tanggungjawab pekerjaan (job task), atau atas dasar hasil dari usaha kerja (results of work efforts), atau berdasarkan hasil (output), pengetahuan-keterampilan-kemampuan atau yang lebih dikenal dengan KSA (knowledge, skill, ability), ada pula berdasarkan kualitas kinerja terbaik (qualities of superior performances) dan bundles of attribut.<br /><br />Dalam kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan kompetensi yang nantinya akan dinilai dalam menilai kinerja diperlukan kompetensi yang berkenaan dengan KSA yang berhubungan dengan job performance, dimana KSA ini harus dapat diukur dan dievaluasi serta dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan berarti kompetensi yang diperhatikan adalah kompetensi yang dapat dipengaruhi oleh usaha pelatihan.<br /><br />Irianto, J. (2000) menyebutkan bahwa kompetensi dapat dikembangkan melalui program pendidikan, pelatihan yang mengacu pada tuntutan kerja terkini seperti dengan CBT (competency based training) ataupun melalui pengembangan lain. Setelah kompetensi yang dipupuk telah memperlihatkan adanya peningkatan pada individu bersangkutan maka kompetensi diharapkan dapat digunakan untuk memenuhi standar perilaku dalam sistem dan proses kerja yang diterapkan. Untuk memupuk kompetensi ini perlu diciptakan sistem yang mengintegrasikan kebutuhan individu dengan program pelatihan yang akan digunakan.<br /><br />Dalam upaya mempersiapkan kompetensi dalam sebuah pelatihan untuk mengembangkan kompetensi yang akan dinilai dalam rangka menilai kinerja dapat dilakukan beberapa tahap antara lain pertama mengidentifikasi kebutuhan kompetensi suatu posisi kerja yang dapat dilakukan melalui beberapa langkah seperti menentukan fungsi-fungsi khusus pada posisi bersangkutan, kemudian aktivitas dalam proses mengerjakan pekerjaan ini dipelajari secara khusus dan terakhir baru ditentukan kompetensi yang dibutuhkan posisi tersebut; tahap persiapan kedua adalah membuat skala prioritas atas kebutuhan kompetensi; berikutnya mengevaluasi standar kompetensi yang ditetapkan; dan terakhir mengidentifikasi kekuatan dan area yang membutuhkan perhatian untuk diperbaiki. Kompetensi yang telah dikembangkan inilah yang dapat dinilai dalam proses penilaian kinerja manajerial ini dan juga telah dibuatkan sebuah model untuk memudahkan proses penilaian.<br /><br />Lebih lengkapnya pengembangan ini dapat dilakukan dengan beberapa pedoman yaitu dengan cara mengidentifikasi pekerjaan atau posisi kunci yang akan dibuat model kompetensinya; menganalisis proses kerja yang penting pada masing-masing posisi kunci tersebut; mengamati kompetensi yang dibutuhkan pada posisi bersangkutan yang bisa dilakukan dengan bercermin pada star performer atau melalui masukan dari atasan; setelah diperoleh kompetensi yang dibutuhkan suatu posisi selanjutnya membuat daftar kompetensi yang diperlukan suatu posisi dan menguraikan makna setiap kompetensi tersebut lengkap dengan ketentuan skala tingkat penguasaan kompetensi yang diinginkan beserta penjelasan skala tersebut; selanjutnya perlu dilakukan pengujian kembali daftar kompetensi yang telah dibuat apakah sudah sesuai kebutuhan posisi bersangkutan atau masih ada yang perlu disempurnakan.<br /><br />f. Undang-undang terkait dengan Kompetensi<br /><br />Marten, N. (1998) Di beberapa negara telah dibuat UU tentang kompetensi seperti di UK yang menyatakan seseorang akan dianggap kompeten jika ia mempunyai pengalaman dan pelatihan yang cukup atau pengetahuan dan kualifikasi lainnya yang memungkinkan ia pantas terlibat (assist) dalam usaha (undertaking) pengukuran, dimana ia perlu menyempurnakan kompetensinya dengan persyaratan undang-undang yang relevan.<br /><br />Sedang di US undang-undangnya mengatakan seseorang yang kompeten maksudnya adalah orang yang mampu menunjukan keberadaanya (identifying existing) dan dapat memperkirakan risiko lingkungan sekitar atau kondisi kerja yang tidak sehat, berisiko, atau berbahaya bagi karyawan, serta orang yang memiliki wewenang untuk mengambil ukuran korektif yang tepat untuk menguranginya (risiko). Jadi orang yang kompeten itu adalah yang memiliki derajat yang diakui, sertifikat atau kedudukan profesional, atau seseorang yang memiliki pengetahuan, pelatihan dan pengalaman yang luas, sukses memperlihatkan kemampuannya memecahkan masalah atau memecahkan kembali problem yang berhubungan dengan pokok permasalahan, pekerjaan atau proyek.<br /><br />g. Kompetensi yang harus dimiliki<br /><br />Sebagai turunan dari nilai dan core competencies organisasi terutama perusahaan - kompetensi sumberdaya manusia harus memiliki ketiga faktor bernilai (valuable) atau tidak sekedar ada saja langka (rare) dan tidak mudah ditiru (inimitable) karena kompetensi individu sangat berkaitan dengan kompetensi organisasi dan merupakan hal pokok yang diperlukan untuk dapat bersaing dan bertahan menghadapi pesaing atau harus memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage).<br /><br />Ketika perusahaan menilai kinerja seorang individu yang memiliki kompetensi dengan ketiga faktor tadi perusahaan tidak enggan memberi reward tersendiri yang dapat mengangkat nilai si individu secara pribadi yang akhirnya meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.<br /><br />Ada beberapa ahli yang elah mengadakan penelitian dan mengemukakan kompetensi yang harus dipunyai oleh sumberdaya manusia seperti Mathis R.L. & Jackson J.H. (2000), Kesler, GC. (1995), Abraham et.al (2001) dan Becker, B.E.et.al (2001), serta ahli lainnya yang tidak penulis tampilkan disini.<br /><br />Mathis R.L. & Jackson J.H. (2000) mengemukakan beberapa kompetensi yang harus dipunyai individu. Menurut mereka ada tiga kompetensi yang harus dimiliki seorang praktisi sumberdaya manusia yaitu pertama pengetahuan tentang bisnis dan organisasi, lalu kedua pengetahuan tentang pengaruh dan perubahan manajemen serta pengetahuan dan keahlian sumberdaya manusia yang spesifik.<br /><br />Kesler, GC., (1995) merumuskan kompetensi sebagai berikut:<br />Kompetensi = performance capabilities + HR technical know how + business know how<br />Table 1.<br />Kompetensi sumberdaya manusia<br />Performance capabilities<br />HR technical know how<br />Business know how<br /><br />Catalytic influence<br />Diagnosis & Analisa berdasarkan Kenyataan<br />Inovasi proses & struktur<br />Standar jaminan<br />Administrasi & jasa<br />Pemecahan masalah<br />Desain organisasi<br />Manajemen menarik bakat<br />Melibatkan karyawan<br />Pelatihan & pendidikan<br />Pengakuan & reward<br />Kesejahteraan & moral<br />Komunikasi<br />Memahami bisnis dalam hal:<br />Strategi kompetitif<br />Mikro & makro ekonomi<br />Operasi kelas dunia<br />Proses logistik/proses supply chain<br />Pemasaran/penjualan<br />Pengetahuan industri<br /><br />Sumber: Kesler, GC., 1995. a model and process for reengineering the HRM role, competencies and work in multi national, HRM Journal of Michigan<br /><br />Penelitian Abraham et.al (2001) disebutkan bahwa ada enam kompetensi kritis yang harus dimiliki karyawan manajerial (managerial employee) disamping kompetensi lainnya dimana kompetensi ini sangat mendasar untuk dimiliki yaitu pertama adalah kemampuan memimpin (leadership skill), kemudian yang kedua individu harus memiliki kompetensi yang selalu fokus pada customer (customer focus) sehingga segala kegiatan yang dilakukan si karyawan atau individu tersebut adalah dalam rangka memuaskan customer perusahaannya baik internal maupun eksternal, kompetensi ketiga adalah berorientasi pada hasil bukan pada proses (result oriented) atau bagaimanapun proses yang dilakukan individu dalam bekerja tidaklah penting asalkan hasilnya sesuai ketentuan yang telah ditetapkan sebagai standar, keempat diperlukan kompetensi mampu memecahkan permasalahan (problem solver) sehingga tidak selalu tergantung pada petunjuk atasan dalam menyelesaikan pekerjaanya dimana hal ini menuntut kreatifitas tinggi dari seorang sumberdaya manusia, selanjutnya kompetensi kelima adalah kemampuan komunikasi (communication skill) baik itu dengan rekan kerja, bawahan serta atasan maupun dengan customer, dan terakhir seorang individu atau karyawn manjerial dituntut dapat bekerja dengan team (team worker).<br /><br />Becker, B.E.et.al (2001) menyampaikan suatu studi yang dilakukan oleh University of Michigan School of business yang membuatkan kerangka acuan (template) kompetensi yang lebih lengkap mengatakan ada lima kompetensi yang dibutuhkan yaitu kredebilitas personal (personal credibility), kemampuan mengelola perubahan (ability to manage changes), kemampuan mengelola budaya (ability to manage culture), men-deliver praktek sumberdaya manusia (delivery of human resources practice) dan pengetahuan tentang bisnis (knowledge of the business).<br /><br />Personal credibility mencakup track record kesuksesan individu tersebut, seperti dapat dipercaya, mampu menanamkan kepercayaan pada orang lain, membaur dengan konstituen kunci, memperlihatkan integritas yang tinggi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab, dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan penting, mempunyai ide cemerlang, dapat mengambil resiko yang tepat, memiliki bakal observasi, memiliki alternatif permasalahan bisnis. Personal credibility dianggap kompetensi urutan pertama yang harus dimiliki sumberdaya manusia pada suatu organisasi.<br /><br />Kompetensi kedua menurut hasil penelitian itu adalah kemampuan mengelola perubahan antara lain meliputi mampu membangun kepercayaan dan kredibiltas dalam berhubungan dengan pihak lain, mempunyai visi, proaktif dalam perubahan, membangun hubungan suportif dengan pihak lain, mampu mendorong kreatifitas pihak lain misalnya bawahannya, mampu menempatkan permasalahan spesifik dalam kontek sistem yang lebih luas, dan dapat mengidentifikasi pokok permasalahan kedalam kesuksesan bisnis.<br /><br />Kemampuan mengelola budaya merupakan kompetensi ketiga yang perlu dimiliki sumberdaya manusia, dalam hal ini meliputi beberapa kemampuan seperti pertama kompetensi membagi pengetahuan lintas organisasi dalam organisasi yang terbatas (organizational boundaries), lalu kedua kemampuan memperjuangkan proses transformasi budaya, kemudian ketiga kompetensi menterjemahkan budaya yang diinginkan kedalam perilaku yang spesifik, keempat kompetensi menantang status quo, kelima mampu mengenali budaya yang diinginkan untuk menemukan strategi bisnis perusahaan dan bingkai budaya dalam rangka menggairahkan karyawan, keenam harus mampu mendorong eksekutif berperilaku konsisten dengan budaya yang diinginkan, terakhir fokus pada budaya internal untuk menemukan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan customer eksternal yang akan menentukan berhasilnya suatu perusahaan karena tanpa memuaskan customer eksternal usaha yang dilakukan akan sia-sia.<br /><br />Delivery of human resource practices berada pada urutan keempat setelah beberapa kompetensi yang sebelumnya sudah dimiliki. Kompetensi yang satu ini meliputi berbagai kemampuan antara lain kemampuan mengekspresikan komunikasi verbal yang efektif, dapat bekerja sama dengan manajer untuk mengirim pesan yang jelas dan konsisten kepada seluruh yang terlibat dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah disepakati, mampu memfasilitasi proses restrukturisasi organisasi, merancang program pengembangan yang memfasilitasi perubahan, memfasilitasi rancangan proses komunikasi internal, kemampuan menarik karyawan yang tepat, mampu merancang sistem kompensasi, memfasilitasi penyebaran informasi customer.<br />Kompetensi terakhir adalah kemampuan memahami bisnis, dimana kompetensi ini dispesifikasi lebih lanjut menjadi pemahaman tentang praktek sumberdaya manusia, struktur organisasi, menganalisa pesaing, manajemen keuangan, pemasaran dan penjualan, dan sistem informasi komputer.<br /><br />III. HAMBATAN DALAM MENILAI KINERJA<br />Proses menilai kinerja ini bukan tidak menghadapi hambatan, sebagaimana yang dikemukakan Dessler (2000) dalam proses menilai kinerja ini dihadapi beberapa permasalahan yang biasa terjadi pada waktu pendefinisian pekerjaan yaitu apa sebenarnya tugas dan tanggungjawab yang harus ditangani suatu jabatan dan bagaimana standarnya yang dapat memberi hasil optimal; atau proses penilaian; dan saat pemberian umpan balik. Permasalahan ini bisa disebabkan karena bawahan tidak menginformasikan waktu pengerjaan terbaik atau standar, bentuk atau prosedur penilaian yang digunakan yang bisa mengakibatkan kesalahan penilaian yang mungkin tidak memuaskan karyawan.<br /><br />Bentuk-bentuk permasalahan yang biasa ditemukan dalam proses penilaian ini antara lain tidak jelasnya standar skala penilaian sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda oleh masing-masing individu. Atau adanya halo effect ketika supervisor menilai bawahannya. Permasalahan lain timbul ketika adanya central tendency sehingga mengakibatkan hasil penilaian semua individu berada pada rentang rata-rata atau tidak ada yang terbaik atau sebaliknya yang memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dikembangkan atau peningkatan, atau jika supervisor hanya membuat dua kelompok saja baik (high) dan buruk (low) sehinnga tidak ada yang rata-rata. Permasalahan yang cukup sering terjadi tanpa disadari adalah bias karena membedakan individu berdasarkan umur, ras dan jenis kelamin sehingga hasil penilaian tidak objektif.<br /><br />Begitu pula halnya dalam kaitannya dengan kompetensi yang dilibatkan dalam penilaian kinerja ditemukan permasalahan penilaian kinerja sebagiamana umumnya terjadi itu dan ditambah pula dengan beberapa kasus yang masih ada dimana ditemukan beberapa kelemahan kompetensi (competence-based) misalnya yang dikemukakan Currie, G & Roger, D (1995) ketika dihadapkan pada definisi kompetensi tidak jelas dalam organisasi dan terlalu umum, atau program kompetensi (competence-based) yang tidak dikembangkan, tidak ada perbedaan level performance program, atau pada saat kompetensi (competence-based) hanya dikaitkan dengan keperluan organisasi terkini, atau ketika tidak ada rasa memiliki oleh pelaksana dalam melaksanakan program (competence-based) ini, atau kurangnya komitmen partisipan, atau kurangnya integrasi dengan inisiatif lain sehingga melemahkan petunjuk strategi (strategic direction).<br /><br />Kelemahan lainnya yang merupakan kelemahan yang cukup serius dalam mengklarifikasi kompetensi yang kadang ditemukan adalah masih belum cukup jelasnya kemana acuan kompetensi itu serta eksistensi perspektif kompetensi kedalam keperilakuan dan basis keterampilan (skill-based) juga cukup membingungkan.<br />IV. SIMPULAN<br />Menilai kinerja individu perlu untuk mengumpulkan informasi sebagai upaya meninjau kembali perencanaan promosi dan penggajian, perilaku kerja setiap anggota organisasi, proses perencanaan karir dan terakhir untuk mengatur dan mengelola serta meningkatkan kinerja organisasi.<br /><br />Dalam kontek penilaian kinerja ini kompetensi memberikan bahasa dan konsep umum untuk mencapai proses kinerja yang terintegrasi sehingga dapat mencapai kinerja perusahaan yang optimal; selain itu sistem kompetensi dapat menjadi tolok ukur kemampuan individu dalam menyelesaikan pekerjaannya; atau dapat juga digunakan untuk memantau apakah seseorang telah mempunyai kompetensi sesuai persyaratan yang telah ditentukan organisasi. Dimana dalam sistem kompetensi manusia dipandang sebagai makhluk yang unik dan perlu diperlakukan sebagai dirinya sendiri dalam pengembangannya dengan menghindari adanya keseragaman atau menghidupkan keberagaman yang pada akhirnya memungkinkan tertutupnya kreatifitas dari pribadi yang unik tersebut.<br /><br />Dalam upaya melibatkan kompetensi dalam penilaian kompetensi ini telah dibuat beberapa undang-undang, serta telah dilakukan beberapa penelitian tentang kompetensi standar yang diperlukan dalam suatu profesi.<br /><br />Setiap upaya tidak ada yang sempurna, begitu pula halnya dengan sistem kompetensi yang digunakan dalam penilaian kinerja ini, diantaranya misalnya kadang ditemukan kebingungan suatu organisasi dalam menetapkan acuan kompetensi itu atau sistem kompetensi belum dikembangkan dan beberapa kelemahan lain, akan tetapi hal ini tidak menghalangi niat organisasi yang ingin menggunakannya dan telah memperlihatkan hasil yang memuaskan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abraham, S.E., Karns L.A., Shaw, K & Mena, M.A. 2001, "Managerial Competencies and the Managerial Performance Appraisal Process" Journal of Management Development, 20 (10): 842-852.<br />Antonacopoulou, E. & FitzGerald, L. 1996, "Reframing Competency in Management Development" Human Resource Management Journal; 6(1). London.<br />Becker, B.E., Huselid, M.A., & Ulrich, D. 2001. The HR Scorecard, Harvard Business School Press, Boston-Massachusetts.<br />Berge, Z., Marie, V., Linda, D., Donna, S. 2002."The Increasing Scope of Training and Development Competency" Benchmarking: An International Journal, 9(1): 43-61.<br />Currie, G & Roger, D. 1995, "Competence-based Management Development: Rhetoric and Realty" Journal Industrial European Training, 19 (5): 11-18.<br />Dessler, G. 2000, Human Resource Management, Prentice-Hall, New Jersey.<br />Irianto, J. 2000, "CBT, Memupuk Kompetensi Melalui Pelatihan", Manajemen, 137 : 36-39.<br />Kesler, GC. 1995, "A Model and Process for Reengineering the HRM Role, Competencies And Work in Multi National" HRM Journal of Michigan.<br />Martens, N. 1998, "Competence and Skills of the Planning Supervisor" Professional Safety, 45 (9): 30-34.<br />Martin, A.D. 2000, "HP Kompetensi Model, Tren Baru Revitalisasi SDM", Manajemen,161 : 3-5.<br />Mathis R.L.& Jackson, J.H. 2000, Human Resource Management. Thomson Learning Asia, Singapore.<br />McConnell, A.E. 1998. "Competence And Competency: Keeping Your Skills Sharp" Nursing, 28 (9): 1-4. Horsham.<br />Parry, S.B. 1998, "Just What is a Competency (and Why Should you care?)" Training, 35(6): 58-64.<br />Robotham. D & Jubb, R. 1996, "Competences: Measuring The Unmeasurable" Management Development Review, 9 (5): 25-29. Bradford.<br />Stuart, R. & Lindsay, P. 1997, "Beyond The Frame Of Management Competenc(I)Es: Towards A Contextually Embedded Framework Of Managerial Competence In Organizations" Journal of European Industrial Training, 21(1). Bradford.<br /><br />Data penulis<br /><br />Nama: Aifrid Agustina<br />Latar belakang pendidikan:<br />S-1 Teknik Industri USAHID Jakarta<br />Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi UGMUnknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-55340557334694020522008-03-12T21:59:00.002+07:002008-07-04T02:00:23.005+07:00UANG DAN INFLASI : Cointegrating Vector, Error Correction, dan Kausalitas GrangerJURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 1999<br /><br /><style type="text/css"><br /> .adHeadline {font: bold 10pt Arial; text-decoration: underline; color: #0000FF;}<br /> .adText {font: normal 10pt Arial; text-decoration: none; color: #000000;}<br /></style><br /><script src="http://ads.adbrite.com/mb/text_group.php?sid=607843&br=1&col=3" type="text/javascript"><br /></script><br /><div><a class="adHeadline" href="http://www.adbrite.com/mb/commerce/purchase_form.php?opid=607843&afsid=1" target="_top">Your Ad Here</a></div><br /><br /><br />UANG DAN INFLASI : Cointegrating Vector, Error Correction, dan Kausalitas Granger<br />Oleh : Agung Nusantara<br />STIE Stikubank Semarang<br />ABSTRAK<br />Tujuan utama tulisan ini adalah menelusuri hubungan kausalitas Granger antara variabel uang, baik dalam konteks M1 maupun M2, dengan variabel tingkat harga dalam perekonomian Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah Vector Error Correcrion Model (VECM), yaitu model analisis yang diterapkan pada variabel yang terkointegrasi pada derajad nol atau I(0).<br />Implikasi dari penerapan VECM tersebut adalah ditemukannya bukti bahwa antara M1 dengan tingkat harga terjadi hubungan kausalitas Granger dua arah hanya pada jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek hubungannya hanya satu arah, yaitu M1 dipengaruhi oleh tingkat harga, dan sifat hubungan tersebut adalah negatif. Sedangkan M2 sifat hubungannya negatif dan memiliki hubungan kausalitas baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.<br /><br /><br />PENDAHULUAN<br />Salah satu kontroversi dalam teori moneter antara golongan Klasik dan golongan Keynes adalah tentang pemahaman mereka terhadap inflasi. Perdebatan yang sangat panjang antara kedua golongan tersebut merupakan refleksi atas posisi penting yang ditempati oleh inflasi. Dan secara umum diakui bahwa di negara yang sedang berkembang, inflasi lebih merupakan penyakit ekonomi daripada stimulan ekonomi.<br />Para pemikir Klasik menyatakan bahwa inflasi, dimanapun dan kapanpun, merupakan fenomena moneter. Pemikiran awal mereka, yang tertuang dalam The Crude Quantity Theory, menyatakan bahwa dalam kondisi full-equilibrium, perubahan moneter hanya akan berpengaruh pada tingkat harga. Sehingga perubahan jumlah uang yang beredar sebagai wujud dari kebijakan moneter, hanya akan mengubah perekonomian secara nominal.<br />Di sisi lain, kaum Keynes menyatakan bahwa perubahan moneter dapat meningkatkan aktifitas ekonomi dan sekaligus tingkat harga melalui tingkat bunga dan inflasi. Keynes berpendapat bahwa perubahan variabel moneter, berupa perubahan jumlah uang yang beredar, akan berpengaruh terhadap tingkat bunga. Selanjutnya perubahan tingkat bunga akan berpengaruh terhadap investasi, dan melalui mekanisme perubahan harga, akan mempengaruhi pendapatan nasional, sebagai wujud perekonomian sektor riil.<br />Milton Friedman, sebagai salah satu pengikut aliran Klasik yang modern, mengintegrasikan pemikiran Klasik dengan pemikiran Keynes. Friedman berpendapat bahwa dalam jangka pendek Friedman menganggap bahwa teori Keynes terbukti kebenarannya, yaitu jumlah uang yang beredar berpengaruh pada sektor riil dan bukan hanya sektor moneter (harga). Sedangkan dalam jangka panjang variabel uang bersifat netral terhadap perubahan riil (neutrality of money).<br />Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara variabel jumlah uang yang beredar dengan inflasi, yaitu Dumairy (1986) dan Farchan (1992). Dumairy, dengan menggunakan Granger Causality menemukan bukti bahwa terjadi hubungan dua arah antara jumlah uang yang beredar (M1) dengan tingkat harga. Hasilnya adalah terdapat hubungan dua arah antara kedua variabel dengan perbedaan bahwa pengaruh ekspansi moneter terhadap inflasi lebih berarti daripada pengaruh inflasi terhadap ekspansi moneter. Di sisi lain, Farchan, dengan menggunakan Granger Causality dan Sims Causality membuktikan bahwa terdapat hubungan dua arah antara M1 dengan tingkat harga, yang direpresentasikan oleh CPI. Namun demikian, pengaruh jumlah uang yang beredar terhadap harga lebih berarti daripada pengaruh harga terhadap jumlah uang yang beredar.<br />Dalam studi yang lebih mendasar tentang kausalitas disebutkan (Granger, 1988) bahwa analisis kausalitas secara tradisional, yang tidak melihat sifat kointegratif dari pasangan variabel pada derajad nol, I(0), memiliki kelemahan pada aspek forecastibility, sehingga memiliki kecenderungan untuk salah dalam pengambilan kesimpulan. Mengingat studi Granger inilah maka kasus kausalitas antara jumlah uang yang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2), perlu diuji kointegrasinya untuk menentukan apakah model analisis kausalitas tradisional memadai untuk diterapkan. Apabila terdapat kointegrasi pada derajad nol, I(0), maka aplikasi alternatif yang ditawarkan oleh Masih and Masih (1993) tentang penggunaan Vector Error Correction Model terhadap data yang terkointegrasi perlu diperhatikan.<br />METODOLOGI<br />Dalam memecahkan kasus kausalitas dengan menggunakan pendekatan ECM ini, akan digunakan prosedur perhitungan sebagai berikut:<br />Prosedur I: Pengujian Hipotesis Unit Root. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui stasioneritas data analisis. Pengujian unit root ini sering juga disebut dengan stationary stochastic process. Dalam kasus ini, bentuk pengujian yang akan digunakan adalah: unit root test of stationarity, trend stationarity stochastic process, dan difference stationarity stochastic process.<br />Dalam software MicroTSP v.7.0, pengujian stasionaritas data tersedia dalam tiga bentuk, yaitu Augmented Dickey-Fuller (ADF) include Constant (C,n), ADF include Constant and Time Trend (T,n), dan ADF only (N,n). Bentuk umum ketiga uji stasioneritas tersebut adalah:<br />n<br />ADF (C,n): d(Yt) = c + BYt+ å d(Yt) + ut<br />i=1<br /><br />n<br />ADF (T,n): d(Yt) = c + BYt+ å d(Yt) + Trend + ut<br />i=1<br /><br />n<br />ADF (N,n): d(Yt) = BYt+ å d(Yt) + ut<br />i=1<br /><br />Dasar keputusan yang digunakan dalam uji stasioneritas ini adalah statistik Dickey-Fuler yang built-in dalam software. Uji stasioneritas ini didasarkan atas hipotesis nol variabel stokastik memiliki unit root. (Insukindro, 1990; Nusantara, 1997).<br />Prosedur II: Engle Granger Cointegration Test. Pengujian kointegrasi menurut Engle-Granger, yang diterapkan disini didasarkan atas: ADF (C,n), ADF (T,4), dan Cointegration Regression Durbin-Watson (CRDW) statistic. Bentuk umum uji kointegrasi tersebut adalah sebagai berikut:<br />n<br />ADF (C,n): d(RESIDt) = c + aB(RESIDt) + bå d(RESIDt-i) + ut<br />i=1<br /><br />n<br />ADF (T,n): d(RESIDt) = c + aB(RESIDt) + bå d(RESIDt-i) + Trend + ut<br />i=1<br /><br />CRDW: Yt = c + aXt + ut<br /><br /><br />Dasar pengujian ADF (C,n) dan ADF (T,n) adalah statistik Dickey-Fuller yang built-in dalam software. Sedangkan uji CRDW didasarkan atas nilai Durbin-Watson Rationya, dan keputusan penerimaan atau penolakannya didasarkan atas angka statistik CRDW (Engle and Granger, 1987).<br />Prosedur III: Error Correction Causality. Apabila pasangan variabel yang akan dianalisis menunjukkan sifat integratif (I,0) maka penghitungan kausalitas Granger harus didasarkan atas model analisis Vector Error Correction (King, 1991; Oskooee and Alse, 1993; Masih and Masih, 1996). Bentuk umum VECM yang akan digunakan dalam analisis adalah sebagai berikut:<br />n n<br />dYt = c + a (ECTat-1) + bå dYt-i + dådXt-i + u1t<br />i=1 i=1<br /><br />n n<br />dXt = c + a (ECTbt-1) + bå dYt-1 + dådXt-1 + u2t<br />i=1 i=1<br /><br />Dalam VECM terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu (1) signifikansi ECT, dan (2) signifikansi Wald atau F-jointly test. Dalam pengambilan keputusan tentang ada tidaknya hubungan kausalitas Granger, sebenarnya dapat dilihat dari signifikansi salah satu atau keduanya. Dengan lain perkataan hubungan kausalitas Granger dapat dibuktikan dengan signifikannya variabel ECT dan atau signifikannya uji Wald.<br />Namun demikian, kedua hal tersebut memiliki perbedaan yang nyata. Hal pertama, yaitu signifikansi variabel ECT, menunjukkan hubungan kausalitas Granger dalam jangka panjang, sedangkan signifikansi uji Wald mengindikasikan adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek (Masih and Masih, 1996). Pengujian diagnostik yang menyertai perhitungan VECM, dalam tulisan ini, hanya ditempatkan sekedar menunjukkan posisi pembentukan model secara statistik.<br />Untuk keperluan analisis, tulisan ini akan menggunakan model empiris VECM untuk variabel M1, M2 dan CPI, dalam bentuk seperti di bawah ini:<br /><br />Model I:<br />4 4<br />dCPIt = c1 + a1 (ECT1t-1) + b1å dCPIt-i + d1ådM1t-i + u1t<br />i=1 i=1<br /><br />Model II:<br />4 4<br />dM1t = c2 + a2 (ECT2t-1) + b2å dCPIt-i + d2ådM1t-i + u2t<br />i=1 i=1<br /><br />Model III:<br />4 4<br />dCPIt = c3 + a3 (ECT3t-1) + b3å dCPIt-i + d3ådM2t-i + u3t<br />i=1 i=1<br /><br />Model IV:<br />4 4<br />dM2t = c4 + a4 (ECT4t-1) + b4å dCPIt-i + d4ådM2t-i + u4t<br />i=1 i=1<br /><br /><br />HASIL EMPIRIS<br />Gambaran Umum Data Dasar Analisis. Sebelum sampai pada analisis hasil perhitungan, maka akan dikemukakan terlebih dahulu gambaran umum data dasar analisis untuk memberikan gambaran secara kasar tentang sebaran data dan karakteristik statistiknya. Untuk itu, tabel 1 dapat dijadikan gambarannya.<br />Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase standard deviasi terhadap mean untuk kelompok data I (CPI, M1, M2) yang masing-masing 13.52%, 30,49%, dan 36,28%, lebih kecil dibandingkan dengan persentase untuk kelompok data II (dCPI, dM1, dM2), yang masing-masing, 94,03%, 188,81%, dan 76,52%. Tingginya persentase standard deviasi kelompok data II merupakan cerminan korelasi individual dalam suatu periode. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan catatan statistik bahwa korelasi individual kelompok data I lebih tinggi daripada kelompok data II.<br />Cara yang serupa untuk menggambarkan hubungan statistik antara variabel analisis tersebut adalah dengan cara grafis (lihat Lampiran 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 dan gambar 3 garis regresinya menunjukkan adanya hubungan positif (yang angka korelasinya masing-masing 0.98 dan 0.97) antara CPI – M1 dan CPI – M2. Sedangkan gambar 2 dan gambar 4, garis regresi yang terbentuk ditafsirkan sebagai elastisitas CPI – M1 dan CPI – M2.<br />Tabel 1:<br />Gambaran Umum Data Dasar Analisis<br /><br />Sample Range: 1991.10 – 1997.07<br />Number of Observations: 70<br /><br />Variabel<br /><br />Mean<br /><br />SD<br /><br />Max<br /><br />Min<br />CPI<br />161.30812<br />21.80902<br />195.77000<br />128.35000<br />M1<br />43.090739<br />13.139134<br />69.950000<br />25.831000<br />M2<br />179.93342<br />65.285419<br />317.53300<br />97.764000<br />d(CPI)<br />0.9966667<br />0.9371842<br />3.9499970<br />-1.120010<br />d(M1)<br />0.6392173<br />1.2069025<br />4.7099990<br />-2.424000<br />d(M2)<br />3.2176086<br />2.4620114<br />11.272980<br />-2.238998<br /><br />Variabel<br /><br />Covariance<br /><br />Correlation<br />CPI – M1<br />278.05286<br />0.9845711<br />CPI – M2<br />1365.4977<br />0.9731085<br />D(CPI) – D(M1)<br />-0.0275003<br />-0.0246707<br />D(CPI) – D(M2)<br />-0.3694619<br />-0.1624781<br />Sumber: Hasil olahan MicroTSP v.7.0 dari Bank Indonesia, SEKI, beberapa terbitan.<br /><br />Pengujian Variabel Analisis. Sampai pada tahap ini, kita akan menguji data dasar apakah memenuhi asumsi dasar OLS tentang stasioneritas dan normalitas sebaran data atau tidak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan pengujian unit root ADF untuk stasioneritas data dan Jarque-Bera Normality test untuk normalitas sebaran.<br />Tabel 2:<br />Pengujian Hipotesis Unit Root dan Normalitas Variabel Analisis<br />DCPI, DM1 dan DM2<br /><br />Sample Range: 1991.10 – 1997.07<br />Number of Observations: 70<br /><br />U j i<br />Variabel<br />UROOT<br />(C,4)<br />UROOT<br />(T,4)<br />UROOT<br />(N,4)<br />J-B<br /><br />DCPI<br /><br />-4.4282<br /><br />-4.3798<br /><br />-1.5916<br /><br />5.548194<br />DM1<br />-4.0939<br />-5.3576<br />-1.6537<br />4.726765<br />DM2<br />-2.3218<br />-4.9599<br />-0.5186<br />6.331114<br />Sig. Level<br />1%<br />5%<br />10%<br />DF Stat<br />-3.5345<br />-2.9069<br />-2.5907<br />DF Stat.<br />-4.1059<br />-3.4801<br />-3.1684<br />DF STATISTIC<br />-2.5989<br />-1.9455<br />-1.6184<br /><br />Chi-Sqr<br />df. 2<br /><br />Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa asumsi stasioneritas data dapat dipenuhi secara memuaskan dengan menggunakan uji ADF (C,4) maupun ADF (T,4). Namun, pengujian stasioneritas ADF (N,4) hanya menunjukkan bahwa varaibel DM1 saja yang signifikan pada taraf 10%. Sekalipun demikian, asumsi stasioneritas data masih dapat dianggap memenuhi. Sedangkan pengujian normalitas sebaran data, secara keseluruhan menunjukkan signifikansi pada taraf 5%, 5%, dan 2.5% .<br />Dari hasil pengujian tersebut, maka analisis tentang kausalitas akan melangkah pada tahap kedua, yaitu pengujian kointegrasi persamaan-persamaan jangka panjangnya (Model 1, Model 2, Model 3, dan Model 4).<br />Pengujian Kointegrasi Engle-Granger. Uji ini ditujukan untuk mengetahui sampai dimana sifat kointegratif untuk setiap model yang dibentuk dapat ditunjukkan (model analisis VECM mensyaratkan adanya kointegrasi derajad pertama, I(0)). Di samping itu, model kointegrasi juga dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka panjang. Dalam kasus ini, dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4, bahwa hubungan antar variabel adalah negatif. Namun demikian pada hubungan antara variabel d(CPI) – d(M1) hubungannya memiliki signifikansi yang memadai, sedangkan untuk hubungan antara variabel d(CPI) – d(M2) signifikan dalam taraf 10%. Hasil pengujian kointegrasi Engle-Granger dapat dilihat pada tabel 3.<br />Dari hasil perhitungan kointegrasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa model 1 memiliki signifikansi 1% untuk ADF (C,4), 5% untuk ADF (T,4), dan 10% untuk CRDW. Pengujian kointegrasi model 2, model 3 menunjukkan tingkat signifikansi yang memadai untuk semua jenis uji. Sedangkan untuk model 3 gagal menunjukkan signifikansinya untuk uji ADF (C,4), namun untuk dua uji lainnya signifikan secara memadai.<br />Tabel 3:<br />Pengujian Engle-Granger Cointegration<br /><br /><br /><br />ADF (C,4)<br /><br />ADF (T,4)<br /><br />CRDW<br /><br />Model 1: DCPI= f(DM1)<br /><br />DCPI = 1.0000<br />DM1 = -0.019157<br />DF stat. –4.4488<br /><br />DCPI = 1.0000<br />DM1 = -0.024496<br />TREND = -0.001725<br />DF Stat. –4.4571<br /><br />1.525378<br /><br />Model 2: DM1 = f(DCPI)<br /><br />DM1 = 1.0000<br />DCPI = 0.031771<br />DF Stat. –4.1304<br /><br />DM1 = 1.0000<br />DCPI = 0.039254<br />TREND = -0.011260<br />DF Stat. –5.4772<br /><br />2.492263<br /><br /><br />Model 3: DCPI = f(DM2)<br /><br />DCPI = 1.0000<br />DM2 = 0.061849<br />DF Stat. –4.3462<br /><br />DCPI = 1.0000<br />DM2 = 0.103398<br />TREND = -0.008801<br />DF Stat. –4.5260<br /><br />1.525225<br /><br />Model 4: DM2 = f(DCPI)<br /><br />DM2 = 1.0000<br />DCPI = 0.426835<br />DF Stat. –2.1480<br /><br />DM2 = 1.0000<br />DCPI = 0.474538<br />TREND = -0.071783<br />DF Stat. –4.7674<br /><br />1.149292<br />Statistic<br />1%<br />5%<br />10%<br /><br />-4.0720<br />-3.4331<br />-3.1112<br /><br />-4.5776<br />-3.9318<br />-3.6094<br /><br />0.511<br />0.386<br />0.322<br /><br />Karena pengujian kointegrasi menunjukkan setiap model memiliki kecenderungan terkointegrasi pada derajad nol, atau I(0), maka analisis kausalitas Vector Error Correction Model dapat dilakukan.<br />Vector Error Correction Model. Hasil penghitungan kausalitas VECM dapat dilihat pada tabel 4a dan pengujiannya pada tabel 4b. Dalam kasus ini, VECM dilakukan dengan menggunakan time-lag 4.<br /><br />Tabel 4a:<br />Hasil Perhitungan Vector Error Correction Model<br /><br />Sample Range: 1992.04 – 1997.07<br />Number of Observations: 64<br /><br />Model<br />Uji<br />Model 1<br /><br />Model 2<br />Model 3<br />Model 4<br />ECT(-1)<br />-4.0885<br />-3.5111878<br />-3.6093825<br />-1.9536212<br />Wald<br />1.0567<br />2.89915<br />1.46864<br />3.53614<br />Serial Corr. LM Test (4)<br /><br />1.11387<br /><br />2.01208<br /><br />1.56509<br /><br />3.69751<br />ARCH test (4)<br />0.90480<br />2.18003<br />0.49321<br />1.67204<br />White’s Test (4)<br />0.32024<br />0.78583<br />0.37634<br />1.00465<br />RESET (4)<br />1.11079<br />1.171816<br />1.70811<br />1.15971<br />Jarque-Bera Normality<br /><br />13.79791<br /><br />3.729557<br /><br />15.34507<br /><br />0.326262<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 4b:<br />Signifikansi Pengujian Vector Error Correction Model<br /><br />Sample Range: 1992.04 – 1997.07<br />Number of Observations: 64<br /><br />Model<br />Uji<br />Model 1<br /><br />Model 2<br />Model 3<br />Model 4<br />ECT(-1)<br />0.001<br />0.001<br />0.001<br />0.05<br />Wald<br />ts (0.25)<br />0.01 (0.005)<br />0.25 (0.10)<br />0.01 (0.005)<br />Serial Corr. LM Test (4)<br /><br />t.s (0.10)<br /><br />0.01 (0.025)<br /><br />0.25 (0.05)<br /><br />0.01 (0.005)<br />ARCH test (4)<br />ts (0.25)<br />0.10 (0.025)<br />ts (0.5)<br />0.25 (0.05)<br />White’s Test (4)<br />ts (0.05)<br />Ts (0.005)<br />ts (0.025)<br />ts (0.005)<br />RESET (4)<br />ts<br />ts<br />0.025<br />0.10<br />J-B Normality<br />0.005<br />0.25<br />0.005<br />0.90<br />Keterangan:<br />jika ada dua nilai uji, nilai uji yang ada di dalam kurung merupakan nilai uji chi-sqr dengan df.2<br /><br />Atas dasar hasil perhitungan yang tertera pada tabel 4b, dapat disimpulkan bahwa variabel ECT, yang merupakan variabel error correction term, untuk semua model analisis memiliki tingkat signifikansi yang memadai, secara berturut-turut dari model 1 hingga model 4, yaitu: 0.1%, 0.1%, 0.1%, dan 5%. Sedangkan untuk pengujian Jointly F-test berturut-turut, tidak signifikan, 1%, 25%, dan 1%. Berdasarkan tolok ukur pengujiannya, apabila variabel error correction term dan atau uji jointly F-test signifikan maka variabel tak bebasnya dapat dianggap sebagai variabel endogen (Granger endogenity).<br />Hubungan kausalitas antara CPI-M1 dan CPI-M2 dapat memiliki dua dimensi kausalitas, yaitu kausalitas jangka pendek, dengan melihat signifikansi variabel tak bebas yang dideferensiasikan (dalam kasus ini disimbulkan dengan ‘d’ yaitu diferensiasi data dasar, dalam kasus ini disimbolkan dengan d2CPI, d2M1, dan d2M2. Lihat Lampiran 5 dan Lampiran 6), dan dimensi jangka panjang dengan melihat signifikansi error correction term-nya.<br />Hasil perhitungan dengan empat model analisis menunjukkan bahwa model 1 hanya menunjukkan kausalitas jangka panjang karena uji Wald-nya (uji terhadap variabel yang dideferensiasikan) tidak memiliki signifikansi yang memadai. Sedangkan model 2 hingga model 4 menunjukkan hubungan kausalitas, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek.<br />Dengan demikian, hubungan kausalitas jangka pendek antara dCPI – dM1 (model I dan II) bersifat searah, karena dalam jangka pendek dCPI tidak disebabkan oleh dM1 (model I) tetapi dM1 disebabkan oleh dCPI. Namun dalam jangka panjang hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut bersifat dua arah. Sedangkan untuk hubungan variabel dCPI – dM2, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek hubungan kausalitasnya memiliki signifikansi yang memadai.<br />Dalam hubungan kausalitas jangka pendek, disamping uji Wald perlu juga dilihat signifikansi untuk setiap variabel yang dideferensiasikan. Dengan menggunakan dasar hasil perhitungan VECM (lihat Lampiran 5 dan Lampiran 6), dapat dilihat bahwa, model 1 (dCPI-dM1) hanya d2M1(-3) saja yang signifikan, itupun dalam taraf yang minimal, yaitu 25%. Sementara itu, untuk model II (dM1-dCPI), variabel bebas d2CPI(-3) dan d2CPI(-4) memberikan tingkat signifikansi yang relatif tinggi, yaitu masing-masing 1% dan 2.5%. Sementara itu, model III hanya menunjukkan bahwa dM2(-2) memiliki signifikansi 5%. Sedangkan model IV menunjukkan bahwa dCPI(-1), dCPI(-3) dan dCPI(-4) memiliki signifikansi masing-masing 25%, 0.5% dan 10%.<br />KESIMPULAN<br />Dari uraian tentang hasil perhitungan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:<br />M1 hanya dipengaruhi oleh CPI dalam jangka pendek, sedangkan hubungan kausalitas jangka panjangnya tidak teridentifikasi secara jelas.<br />CPI dipengaruhi oleh M1, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek (CPI – M1). Demikian juga halnya dengan CPI – M2 maupun M2 – CPI.<br />Dengan terdeteksinya kausalitas antara CPI – M2, serta M2 – CPI maka diktum inflasi sebagai fenomena moneter memperoleh buktinya pada perekonomian Indonesia 1991.10 – 1997.07<br /><br />REFERENSI<br />DeJong, D.N., (et.al), 1992, Integration Versus Trend Stationarity in Time Series, Econometrica, 60 (2): 423-433.<br /><br />Dickey, D.A., and W.A.Fuller, 1981, Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root, Econometrica, 49: 1057-1072.<br /><br />Granger, C.W.J., 1988, Some Recent Developments in a Concept of Causality, Journal of Econometrics, 39: 199-211.<br /><br />Johansen, S., 1991, Estimation and Hypothesis Testing of Cointegration Vectors in Gaussian Vector Autoregressive Models, Econometrica, 59 (6): 1551-1580.<br /><br />Masih, R., and M.M.Masih, 1996, Macroeconomic Activity Dynamics and Granger Causality: New Evidence from a Small Developing Economy Based on a Vector Error Correction Modelling Analysis, Economic Modelling, 13: 407-426.<br /><br />Nusantara, A., 1997, Sintesa Granger Causality-Error Correction Model: Kausalitas Ekspor-Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,<br /><br />Oskooee, M.B., and J. Alse, 1993, Exports Growth and Economic Growth: An Application of Co-integration and Error Correction Modelling, Journal of Developing Areas, 27: 535-542.<br /><br />Oskooee, M.B., and J.Alse, 1993, Export Growth and Economic Growth: An Application of Cointegration and Error Correction Modeling, The Journal of Developing Areas, 27: 535-542.<br /><br />Stock, J.H. and M.W.Watson, 1993, A Simple Estimator of Cointegrating Vectors in Higher Order Integrated Systems, Econometrica, 61 (4): 783-820.<br /><br />Toda, H.Y., and P.C.B.Phillips, Vector Autoregressions and Causality, Econometrica, 61 (6): 1367-1393.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-15895411344304655742008-03-12T21:58:00.003+07:002008-07-04T00:56:43.319+07:00BROKER PEMASARAN ANTARA AGEN PEMBELI DAN AGEN PENJUAL DENGAN MENGGUNAKAN MODEL CSPFOKUS EKONOMI, DESEMBER 2002<br />BROKER PEMASARAN ANTARA AGEN PEMBELI DAN AGEN PENJUAL DENGAN MENGGUNAKAN MODEL CSP<br />Oleh : Endang Tjahjaningsih<br />STIE Stikubank Semarang<br />ABSTRACT<br /><br />The Nontraditional market channels sometimes help a company to distinguish its product and its competitors' product. A manufacturer is actually able to use the nontraditional channels, such as internet, letters, or advertisement to sell its product rather than through traditional retailer. CSP Model (Constraint Satisfaction Problem Model) is a multi-agent framework that can be applied on EC (Electronic Commerce) to increase consumers' satisfaction by using marketing broker including selling agent and purchasing agent in which the two agent act as connectors between the seller and the buyer and they establish intelligent function in a trading transaction. An agent in an electronic trading is software that has smart characteristic and smart action to help the users or the consumers make communications easy .<br /><br />Keywords : Nontraditional channels, CSP Model, selling agent, purchasing agent<br /><br />I. PENDAHULUAN<br />Dalam kenyataannya jarang sekali produsen dalam menawarkan produknya hanya menggunakan satu jenis saluran distribusi untuk menyalurkan produk perusahaan. Perusahaan tersebut umumnya menggunakan beberapa alternatif saluran pemasaran yang berbeda baik dari saluran tradisional, saluran banyak (multiple channel), saluran bukan tradisional, saluran adaptif ( konsep saluran distribusi yang fleksibel dan resposif dengan menggunakan saluran inovatif untuk produk inovatif) maupun aliansi saluran strategis (perjanjian kerja sama diantar bisnis perusahaan untuk menggunakan saluran distribusi lainnya). Untuk memakai saluran tersebut tergantung banyak faktor yang saling berinteraksi seperti faktor pasar, faktor produsen maupun faktor produk.<br /><br />Faktor Pasar - Diantara faktor pasar yang paling penting dalam mempengaruhi saluran pemasaran adalah pertimbangan sasaran pelanggan meliputi siapa calon pelanggan, apa yang dibeli, dimana dibeli dan kapan akan dibeli termasuk didalamnya adalah lokasi geografis ukuran pasar. Umumnya pasar yang sangat besar memerlukan perantara yang lebih banyak. Model CSP ini menerapkan agen antara agen pembeli dan agen penjual.<br /><br />Faktor Produsen - Perusahaan besar yang menjalankan usaha perdagangan elektronik sebelumnya sudah melakukan segala perhitungan mengenai segala resikonya. Beberapa faktor yang berkenaan dengan produsen adalah penting untuk pemilihan suatu saluran pemasaran. Secara umum para produsen dengan sumber daya keuangan, manajerial dan pemasaran besar adalah lebih baik untuk menggunakan saluran perantara lebih banyak.<br />Faktor Produk - Dalam model CSP maka produk-produk yang menjadi andalannya adalah produk-produk tertentu seperti mobil, perumahan / real estate ataupun untuk barang yang bertipe spesifik dan sama sekali tidak cocok untuk fakor produk yang mempunyai kepekaan misalnya produk yang tidak tahan lama disimpan, memiliki rentang umur yang pendek ataupun yang memiliki penanganan khusus.<br /><br />Nontradisional Channels melakukan pembatasan terhadap cakupan suatu merek, namun demikian mereka dapat memungkinkan seorang produsen melayani pasar ceruk (niche market) suatu cara memperoleh akses pasar dan perhatian pelanggan tanpa harus membentuk saluran perantara tradisional secara langsung (Lamb, Hair, McDaniel, 2001: 18).<br /><br />Saluran ini dapat juga menyediakan cara penjualan yang lain bagi perusahaan yang lebih besar. Banyak pemasar telah menggunakan internet dan world wide web sebagai saluran baru bagi promosi dan dan akhir-akhir ini pemasar telah mengkapitalisasi kemampuan pemasaran interaktif pada web sepenuhnya dengan mengintegrasikan perdagangan elektronik ( integrated electronic commerce).<br /><br />Pemecahan masalah dalam model CSP di internet diproses untuk suatu barang spesifik pada suatu waktu dengan agen perantara. Model CSP dapat dimplementasikan suatu suatu sistem prototipe dalam transaksi penjualan Real Estate di internet dengan menggunakan kerangka kerja koordinasi agen yang membentuk tugas-tugas inteligent dengan hubungan N-M (pembeli dan penjual).<br /><br />Broker pemasaran / penghubung agen terdiri dari agen pembeli dan agen penjual bertindak sebagai penghubung dua fihak atau lebih yang terlibat dalam suatu transaksi perdagangan tertentu dan biasanya bekerja untuk mendapatkan komisi tertentu. Jasa-jasanya terdiri dari tindakan penyelesaian suatu transaksi pembelian / penjualan dan mengadakan persiapan-persiapan agar hal tersebut dapat tercapai.<br /><br />Broker pemasaran merupakan proses dalam 2 lapisan efisien yaitu lapisan Kompetitif dan lapisan Kepuasan Pembatas untuk menghubungkan antara pembeli dan penjual. Lapisan Kompetitif mempertemukan unsur pokok broker yang memproses agen dan menggunakan hubungan fungsional dari kerangka kerja multi agen untuk memudahkan komunikasi didalamnya. Sedangkan lapisan Kepuasan Pembatas menggunakan model hubungan antara agen pembeli dan agen penjual .<br /><br />Pemecahan masalah dengan model CSP menemukan solusi optimal dalam memilih broker terbaik dalam memuaskan kebutuhan user. Agen dalam perdagangan elektonik merupakan suatu software yang mempunyai karakteristik dan perilaku smart untuk membantu user dalam memudahkan komunikasi .<br /><br />II. BAGAIMANA PENJUALAN MELALUI INTERNET BEKERJA ?<br />Para broker internet pada perdagangan elektronik menjadi daya tarik bagi banyak pelanggan yang frustrasi dengan cara transaksi tradisional sebelumnya, menghabiskan banyak waktu, disertai dengan ritual tawar-menawar yang merupakan bagian dari suatu industri. Bujukan untuk membeli barang melalui internet adalah memudahkan, bersama-sama dengan transaksi yang cepat, tidak menyusahkan, harganya murah dan tetap. Para pembeli melalui internet juga cenderung mereka yang berpenghasilan dan berpendidikan lebih tinggi dibanding pembeli lainnya.<br /><br />Para pembeli mobil misalnya di Amerika serikat atau Australia dapat melihat situs Autobytel.com (www.autobytel.com) untuk mendapatkan produsen mobil yang tepat sesuai dengan keinginan mereka, membaca ulasan on-line, dan membandingkan beberapa model yang ada. Sekali seorang pelanggan memilih buatan dan modelnya, kemudian mengisi formulir yang tersedia di situs Autobytel.com meliputi kode pos. Pembiayaan atau leasing dan asuransi dapat juga diajukan melalui situs ini (Lamb, Hair, Mc Daniel, 2001:19).<br /><br />Informasi ini secara otomatis disalurkan ke broker / dealer Autobytel.com yang diakui terdekat. Setelah mendapatkan pesanan pembelian tersebut, dealer menghubungi atau meng-email pelanggan dalam waktu 48 jam untuk melakukan konfirmasi atas fitur mobil yang tepat dan diinginkan.<br /><br />Jumlah mobil baru yang terjual melalui internet telah menarik perhatian produsen mobil tiga terbesar di Amerika : General Motors, Ford dan Chrysler. Survey memperlihatkan bahwa sebagian besar penjual on-line memulai dengan situs pabrikan<br /><br />Atas dasar hal tersebut, dealer menghubungi balik pelanggan dengan harganya. Harganya yang ditetapkan dimulai dengan faktur dealer daripada harga stiker yang biasa digunakan oleh tenaga penjual showroom. Survey memperlihatkan bahwa sebagian besar penjual memulai dengan situs pabrikan sebelum masuk ke situs lainnya untuk mengetahui harga yang lebih spesifik dan ketersediaan informasi dimana data diperoleh dan dimasukkan sebagai bagian dari memori perusahaan (Turban, Efraim, 1995).<br /><br />Setelah suatu harga disepakati, pelanggan diantar oleh dealer untuk mengambil mobil baru tersebut. Adapun dalam model CSP ini lebih memudahkan proses pembelian melalui internet dengan menggunakan lapisan kompetitif dan lapisan pembatas kepuasan.<br /><br />III. KOMPETISI AGEN UNTUK HUBUNGAN 1-N<br />Broker meliputi suatu proses yang agak rumit dimana agen bersama-sama melakukan negosiasi tetapi tidak mengambil alih hak barang dagangan yang ditawarkan. Agen terdiri baik dari agen pembeli , agen penjual dan juga untuk suatu transaksi terntu dibutuhkan agen perantara sebagai wakil yang bertindak secara khusus.<br />Kerangka kerja interaksi multi agen bagi broker antara agen pembeli dan agen penjual menggunakan mekanisme sebagai berikut :<br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1.<br />KOMPETISI AGEN UNTUK HUBUNGAN 1-N<br /><br />Announcement<br />Buy - Req<br /><br />Agen<br />Agen penjual<br />Agen<br /><br />Bid-spec<br />Agen<br /><br /><br />Agen perantara<br /><br /><br />Agen lokal<br />Agen lokal<br /><br />Penjual dinamis<br /><br /><br /><br />Sumber : Jong-jin jung dan geun-Sik Jo, 1995<br />Berdasarkan gambar tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :<br /><br />Seorang pembeli menginginkan barang dan kemudian menanyakan pada broker, Selanjutnya mengirimkan keinginan dengan pesan buy-req pada agen.<br /><br />Agen akan menjadi agen pembeli setelah menerima pesan (menjadi agen pembeli ataupun agen penjual adalah sesuai keinginan) dan mengirim pesan kepada agen perantara (agen perantara mempunyai kemampuan untuk mengendalikan agen lokal).<br /><br />Di lain pihak maka agen penjual mengirim pesan sell-req pada agen lokal dan jika agen lokal mempunyai barang mengirim pesan bid-spec.<br /><br />Agen lokal berfungsi untuk berkomunikasi dengan broker untuk memenuhi permintaan pembeli ataupun penawaran dari penjual<br /><br />Agen perantara mengevaluasi semua tawaran yang diterima, menseleksi dan mengusulkan pada pembeli.<br /><br />Dalam kompetisi ini komisi broker diproses dengan suatu mekanisme kompetitif diantara para agen.<br /><br />IV. KERANGKA KERJA KOORDINASI AGEN DENGAN HUBUNGAN N-M<br />Pada kerangka kerja ini digunakan dengan 2 lapisan yaitu lapisan kompetitif (competitif layer) dan lapisan kepusan pembatas (constraint satisfaction layer) dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasan user. Broker dapat bertindak atas nama dari sejumlah produsen yang berbeda-beda dan melakukan negosiasi penjualan atas produk mereka.<br />Gambar 2.<br />KERANGKA KERJA KOORDINAS AGEN DENGAN HUBUNGAN<br />N-M (PEMBELI - PENJUAL)<br />Pembeli<br />Pembeli<br />Pembeli<br /><br />Buy - req<br />Competitif layer<br /><br />AgenAgen<br />Agen penjual<br />Agen<br /><br /><br />Agen<br /><br />Constraint satisfaction layer<br /><br />Kelompok agen pembeli<br /><br /><br />Kelompok agen penjual<br /><br /><br /><br />Sumber : Jong-Jin Jung dan Geun-Sik Jo, 1995<br />Dari gambar 2 dengan menggunakan model CSP dapat diterangkan sebagai berikut :<br /><br />Seorang pembeli mengirimkan keinginan dengan pesan buy-req pada agen<br />Agen menjadi agen pembeli dan megirim pesan kepada agen perantara<br />Diberitahukan pesan tersebut kepada agen lokal<br />Jika agen lokal mempunyai barang mengirim pesanan bid-spec diserahkan kepada agen perantara<br />Setelah mendapat informasi kelompok agen maka dipilih untuk pembeli tersebut.<br /><br />Penerapan model CSP dengan Aliran transaksi menggunakan Pesan Komunikasi terdapat 7 tipe pesan dalam kerangka kerja untuk transaksi dalam transaksi real estate sebagai berikut :<br /><br />Buy-req : Pesan komunikasi diigunakan jika agen pembeli mengirimkan kebutuhan pembelian untuk rumah pada agen perantara<br /><br />Sell-req : Pesan komunikasi digunakan jika agen penjual mengirimkan spesifikasi untuk rumah pada agen lokal<br /><br />Announcement : Pesan komunikasi digunakan jika agen perantara memberitahukan pesan buy-req pada agen local<br /><br />Bid-spec : Pesan komunikasi digunakan jika agen lokal menunjukkan rumah yang dipilih pada broker sesuai respon pemberitahuan.<br /><br />Lock-request : Pesan komunikasi digunakan jika pemecahan masalah CSP menginginkan agen lokal tidak menawar rumah pada yang lain.<br /><br />Lock-answer : Digunakan jika agen lokal melakukan respon lock-request<br /><br />Contract-candidate : Pesan komunikasi digunakan jika agen perantara mengusulkan kontrak dengan hasil pemecahan masalah CSP dengan cara sebagai berikut :<br /><br />Dikemukakan oleh Jong-Jin Jung dan Geun-Sik (1995) dipertimbangkan proses : n (n > 1) pembeli dan m (m > 1) penjual untuk problem alokasi dinamis dengan model CSP dimana n pembeli dan menetapkan m penjual . Broker diantara n pembeli dan m penjual : Variabel pembeli / Buyer {B1, B2,…Bn} n >1 dan variabel penjual / Seller {S1,S2,…Sm} m > 1.<br /><br />Variabel Buyer Bi (1< i < n) mempunyai nilai domain berlainan dari penjual yaitu {S1,S2,…Sm} dan variabel Seller Si (1 < j < m) mempunyai nilai domain berlainan dari pembeli yaitu {B1, B2,…Bn}. Jika CSP difokuskan pada pembeli maka pembeli adalah variabel dan penjual adalah nilai domain sedangkan jika CSP difokuskan pada penjual maka penjual adalah variabel dan pembeli adalah nilai domain. Pembatas dilakukan dengan variabel Bi = Bj.<br /><br />Secara ringkas dikatakan bahwa dalam pembelian melalui model CSP ini dipertimbangkan dalam kasus brokerage untuk penjualan ketika hanya ada 1 item untuk membeli atau menjual. Jika penjual dapat menyediakan suatu item / jenis produk yang lebih banyak untuk produk sama, maka tidak dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan pembatas.<br /><br />Model CSP digunakan bagi suatu pemecahan masalah yang diproses oleh agen perantara untuk barang yang spesifik. Perusahaan bisnis sangat tergantung dari arus informasi internal dan eksternal ( Downing, Douglas, 1995). Pemrosesan pesanan menjadi lebih otomatis melalui penggunaan teknologi komputer yang dikenal dengan pertukaran data elektronik (Electronic Data Interchange - EDI). Proses pertukaran data elektronik memungkinkan perusahaan mengkomunikasikan informasi secara otomatis kepada perusahaan maupun user individual yang membutuhkan (Emmelhainz, Margareth, 1990).<br /><br />Gagasan dasar dari pertukaran data elektronik adalah untuk menggantikan dokumen kertas yang umumnya menyertai transaksi bisnis, seperti pesanan pembelian dan faktur dengan transmisi elektronik dari informasi yang diperlukan.<br /><br />Perusahaan yang menggunakan pertukaran data elektornik dapat mengurangi tingkat persediaan, meningkatkan arus kas, merampingkan operasi dan meningkatkan kecepatan dan akurasi transmisi informasi. Pertukaran Data Elektronik juga dipercayai mampu menciptakan suatu hubungan yang lebih dekat antara agen pembeli dan agen penjual (Kotler dan Armstrong, 2001).<br /><br />Berbagai industri sedah mengembangkan standar untuk pertukaran data elektronik, termasuk industri transportasi, industri real setate, industri otomotif maupun indistri makanan untuk memudahkan informasi bisnis (Florence, 1990). User internet berbeda dalam pendekatan mereka terhadap pembelian dan tanggapan mereka terhadap pemasaran. User internet merupakan konsumen yang berkuasa, yang memiliki kendali yang lebih kuat atas proses saluaran distribusi pemasaran. Orang yang menggunakan net menempatkan nilai yang lebih tinggi pada informasi dan cenderung menanggapi negatif pesan yang hanya bersasaran penjualan.<br /><br />Sifat interaktif dari waktu sebenarnya dari web memungkinkan pemasar on line untuk bereaksi secepatnya jika promosi tidak memberikan respons seperti yang diharapkan. Pesan tersebut dapat ditinjau kembali untuk penetapan harga, penggandaan atau perubahan citra atau audien yang menjadi target dapat ditetapkan kembali untuk memaksimalkan respons. Singkat waktu, seluruh kampanye pemasaran dapat diluncurkan, disaring berdasarkan pada tingkat kesuksesan dan diluncurkan kembali dalam suatu periode jam atau hari dengan barang cetakan, katalog surat langsung atau media penyiaran.<br /><br />Adapun saluran pemasaran tradisional membuat sasaran atas user yang agak pasif, pemasaran on-line dengan menggunakan broker pada internet ini membuat target pada orang yang secara aktif memilih situs mana yang mereka inginkan. Mereka memutuskan informasi pemasaran mana yang ingin mereka terima dalam hal produk dan jasa dan pada persyaratan bagaimana yang dapat diterapkan.<br /><br />Memahami pasar dan merespon permintaan pasar membutuhkan jaringan teknologi yang tidak pernah terdengar hanya pada beberapa puluh tahun yang lalu. Kemajuan dalam teknologi komputer telah mulai menghubungkan pemasaran dan fungsi rekannya-semua fungsi tersebut saat ini memiliki akses yang sama terhadap informasi pasar yang berharga. Meskipun manfaat dari menjalin jaringan departemen fungsional, konsumen dan pemasok sangat luas, proses membawa semua kelompok ini secara bersamaan bukan tanpa masalah.<br /><br />Dalam penerapan model CSP ini maka diperoleh beberapa keuntungan maupun hambatan dalam penggunaan kerangka kerja dalam hubungan dengan boker pemasaran antara agen pembelian dan agen penjualan sebagai berikut :<br /><br />V. KEUNTUNGAN PENGGUNAAN MODEL CSP<br />Kerangka kerja Brokerage diantara agen penjual dan agen pembeli di internet sangat efisien karena menggunakan model CSP sehingga dapat mengoptimalkan hubungan diantara agen-agen.<br /><br />Model CSP membuat suatu solusi optimal bagi broker karena memuaskan beberapa keinginan user.<br />Model CSP dapat diimplementasikan dalam suatu sistem prototipe untuk transaksi dalam real-estate di internet dengan menggunakan solusi model CSP.<br /><br />HAMBATAN PENGGUNAAN MODEL CSP<br />Pada awalnya kerangka kerja ini tidak dapat mendukung secara penuh pada proses negosiasi diantara pembeli dan penjual sehingga diperlukan juga agen perantara yang mempunyai kemampuan untuk negosiasi one-to one marketing melalui internet ( metode pemasaran yang didasarkan pada konsumen, informasi yang intensif dan orientasi jangka panjang - metode pemasaran individu yang memfokuskan pada bagian konsumen dibandingkan sebagai bagian dari pasar).<br /><br />Agen perantara dalam sistem ini tidak dapat membuat kontrak diantara partisipan karena hanya dapat mendukung hasil kelompok dan membuat perjanjian.<br /><br />Pemaparan dan user yang terbatas dari perdagangan komersial ini sehingga mengakibatkan ruang pasar yang terbatas juga.<br /><br />VI. KESIMPULAN<br />Broker pemasaran pada perdagangan komersial menawarkan harapan besar di masa mendatang. Para user internet mengharapkan suatu waktu nanti internet dan perdagangan elektronik akan menggantikan majalah, surat kabar dan bahkan toko-toko sebagai sumber perolehan produk yang diinginkan user. Kerangka Kerja dalam perdagangan perantara antara agen penjual dan agen pembeli di internet ini digunakan untuk dua tipe brokerage. Pertama, untuk hubungan 1-N seperti dalam masalah pelelangan maupun tawar menawar untuk produk produk tertentu. Sedangkan di lain pihak adalah hubungan N-M untuk banyak pembeli dan penjual untuk tipe barang yang spesifik. Kerangka kerja ini sangat efisien bagi broker dalam suatu hubungan N-M karena model CSP dapat mengoptimalkan hubungan pembeli dan penjual. Dalam kasus hubungan N-M bahwa hanya ada satu item untuk membeli atau menjual.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Emmelhainz, Margareth, 1990, Electronic Data interchange : A Total Management Guide, New York, Van Nostrand Reinhold<br /><br />Downing, Douglas, 1995, Komputer dan Tugas Bisnis, Jakarta, PT Gramedia<br /><br />Florence, Donne, 1990, Local Area Networks : Developing Systems for Business, New York, John Wiley and Sons<br />Jong-Jin Jung dan Geun-Sik Jo, 1995, Jurnal Ilmu Komputer, Korsel<br /><br />Kotler dan Armstrong, 2001, Prinsip-Prinsip Pemasaran 2, Jakarta, Erlangga<br /><br />Lamb, Hair, McDaniel, 2001, Pemasaran 2, Jakarta, Salemba 4<br /><br />Turban, Efarim, 1995, Decision Support and Expert System, New Jersey, Prentice HallUnknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-31726545352920383232008-03-12T21:56:00.001+07:002008-07-04T02:00:23.006+07:00BIAYA VARIABILITAS AQL VS ROBUST ZERO DEFECTJURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2000<br />BIAYA VARIABILITAS AQL VS ROBUST ZERO DEFECT<br /><br />Oleh : MG. Kentris Indarti<br />STIE Stikubank Semarang<br /><br />ABSTRACT<br />Quality has become such an important strategic variable that management accounting can no longer ignor it. Acceptable Quality Level (AQL) and Robust Zero Defects are two quality philosophies that is used to help US companies to compete in the global market. With the AQL philosophi, the only cost attributed to variation occurs when products fall out side the spesification limits. Thus, the cost variaton depens on whether the product can be reworked, if there are constrains on production, and the distance between product specification limits is wide. On the other hand, a Robust Zero Defect claims that any variation is undesirable and causes costs to be incurred by manufacturer, consumer, or society.<br />An important measure in any quality philosophi is the cost of product variability. Variability cost information is needed to help managers to serve as input for decision making. It can be used to evaluate the overall performance of quality improvement programs. It can also be used to help improve a variaty of managerial decision, for example strategic pricing, and new product analysis.<br /><br />PENDAHULUAN<br />Dewasa ini kualitas dikenal luas sebagai senjata kunci persaingan dalam pasar bebas. Perusahaan-perusahaan seperti American Express, Ford, General Electric, IBM, dan Xerox mementingkan kualitas dalam strategi umum mereka.(Sank and Govindarajan: 1994)<br />Istilah kualitas mempunyai berbagai pengertian tergantung pada konteks yang digunakan. Dalam kaitannya dengan produk, kualitas mempunyai arti memenuhi spesifikasi tertentu (conforming to specifications) atau kemampuan atau kesesuaian untuk digunakan (fitness for use). Meskipun bagi kebanyakan orang dua arti tersebut mempunyai arti yang sama, tetapi kedua pengertian tersebut mempunyai implikasi yang berbeda pada evaluasi kualitas dan variabilitas produk.<br />Filosofi yang mendasari definisi conformance to spesifications biasanya mengarah pada pendekatan kualitas AQL (Acceptable Quality Level),. Filosofi AQL dikemukakan oleh Joseph Juran seorang pioner kualitas pada tahun 1950-an. Meskipun pendekatan ini bisa dikatakan sebagai pandangan tradisional, tetapi sampai saat ini masih digunakan secara luas oleh para manajer di seluruh dunia. Alasannya adalah mengestimasi tingkat kerusakan produk (product defect) sampai pada titik nol adalah sangat mahal.(Hansen and Mowen: 1997)<br />Sementara filosofi fitness for use mengarah pada pendekatan kualitas Robust Zero Defects yang dikemukakan oleh Edward Deming. Menurut pandangan ini setiap penyimpangan dari nilai target merupakan kondisi di luar ideal dengan konsekuensi ekonomi yang potensial sehingga akan menyebabkan kerugian. Jadi robust quality akan tercapai bila perusahaan secara konsisten memenuhi target kualitas dengan tepat.<br />Suatu penelitian yang dilakukan oleh Sony Coorporation mendukung gagasan bahwa terdapat hubungan antara variabilitas dengan pendekatan/filosofi yang digunakan yaitu AQL atau Robust Zero Defects. Studi ini melibatkan color density dari televisi yang dihasilkan oleh dua fasilitas manufaktur, yaitu di San Diego Amerika Serikat dan di Tokyo Jepang. (Roth, et. All: 1997)<br />Distribusi color density unutk masing-masing wilayah manufaktur ditunjukkan dalam gambar 1 berikut ini.<br />Gambar 1<br />Distribusi Color Density<br />SONY TOKYO VS SONY SAN DIEGO<br /> <br /> TOKYO TV<br /><br /> SAN DIEGO TV<br /><br /><br /><br />Batas Spesifikasi Target Value Batas spesifikasi<br />Bawah Atas<br />Secara umum, Sony Coorporation mempertimbangkan bahwa setiap televisi yang mempunyai color density di bawah batas spesifikasi bawah dan di atas batas spesifikasi atas merupakan produk rusak (defective product). Akan tetapi pendekatan kualitas di kedua wilayah manufaktur tersebut berbeda, yaitu Sony Tokyo menggunakan pendekatan Robust Zero defects sedangkan Sony San Diego menggunakan pendekatan AQL..<br />Sony Tokyo berusaha keras (strive) untuk memproduksi televisi pada nilai target dan tidak melakukan inspeksi pada masing-masing unit. Jadi, semua produk yang tidak memenuhi spesifikasi dikirim kepada customer sebagai bukti dari ekor distribusi (tail of the distribution) yang berada di luar batas spesifikasi. Sebaliknya, Sony San Diego menggunakan inspeksi 100% untuk menjamin bahwa televisi berada dalam batas spesifikasi yang telah ditentukan dan mencegah pengiriman produk rusak kepada distributor.<br />Setelah mempelajari output dari kedua pabrik tersebut, Sony menemukan bahwa meskipun jumlah unit yang rusak adalah sama untuk kedua wilayah pabrik tersebut tetapi penyimpangan di sekitar batas spesifikasinya adalah berbeda. Seperti ditunjukkan dalam gambar 1 terdapat penyimpangan yang lebih rendah pada televisi yang dihasilkan oleh Sony Tokyo karena dirancang sesuai dengan target value. Distribusi color density dari pabrik yang ada di San Diego (ditunjukkan dalam distribusi empat persegi panjang) menunjukkan penyimpangan yang lebih besar dari pada Sony Tokyo.<br />Customer yang membeli televisi yang diproduksi oleh Sony Tokyo dilaporkan lebih puas dan lebih sedikit klaim garansi yang diajukan daripada customer yang membeli televisi dari Sony San Diego. Pengalaman Sony ini menunjukkan dengan jelas bahwa variabilitas dari nilai target mempunyai implikasi pada kepuasan konsumen yang pada akhirnya akan berimplikasi pada biaya (cost).<br /><br /><br />BIAYA VARIABILITAS DAN PENGUKURANNYA<br />Variabilitas produk adalah penyimpangan produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dari nilai target atau batas spesifikasi yang telah ditetapkan. Peran variabilitas produk dalam mengevaluasi kualitas produk tergantung pada apakah perusahaan mengadopsi filosofi AQL atau Robust Zero Defects.<br />Pada pandangan AQL, penyimpangan yang ditolelir berada dalam batas tertentu yaitu jarak antara batas bawah (lower spesification limit) dan batas atas (upper spesification limit).Biaya yang timbul karena penyimpangan tetapi masih dalam range tersebut, tidak masuk dalam biaya variabilitas (cost of variability). Jadi biaya variabilitas timbul kalau produk berada di luar batas yang ditoleransi. Sebaliknya pada pendekatan Robust Zero Defects, setiap penyimpangan dari nilai target kualitas adalah merupakan kerugian yang diperhitungkan sebagai biaya variabilitas.<br />Ada beberapa biaya yang berhubungan dengan penyimpangan atribut produk, misalnya biaya bahan baku akan lebih besar bila produk menggunakan bahan baku yang melebihi standar (target value). Demikian juga, variabilitas dalam ketebalan atau berat bahan baku akan mengakibatkan tambahan pemakaian mesin sehingga biaya reparasi dan pemeliharaan mungkin akan lebih tinggi.<br />Di samping itu, produk yang melebihi target penggunaan bahan baku akan menyebabkan biaya angkut yang lebih tinggi karena beratnya melebihi target.Akan tetapi biaya-biaya ini tidak dihubungkan pada variabilitas dalam filosofi AQL. Malahan, biaya variabilitas diperhitungkan hanya bila produk berada di luar batas-batas spesifikasi tertentu. Bila produk memenuhi spesifikasi tertentu, diasumsikan bahwa produk memenuhi harapan customer.<br />Biaya yang dibebankan bila produk berada di luar batas-batas spesifikasi tertentu tergantung tiga faktor, yaitu:<br />- apakah produk dapat diperbaiki (rework/repair)<br />- kendala produksi<br />- di mana batas-batas spesifikasi dirancang<br />Bila produk berada di luar batas spesifikasi, biaya yang diperlukan untuk reparasi atau pengerjaan kembali mungkin lebih murah daripada kerugian bila produk tersebut dibuang. Bila produk yang diperbaiki kemudian dapat dijual, berarti tidak ada kerugian bahan baku atau suku cadang yang membentuk produk akhir. Di samping itu, biaya disposal dapat dikurangi atau dihindari oleh produsen, sehingga biaya akan lebih rendah bila rework dimungkinkan.<br />Kendala yang ada dalam proses produksi juga mempengaruhi besarnya biaya. Jika terdapat kelebihan kapasitas dan unit tambahan dapat diproduksi untuk menggantikan produk yang tidak sesuai dengan standar, biaya yang dibebankan karena produk gagal memenuhi spesifikasi tergantung pada apakah unit yang tidak memenuhi standar tersebut dapat dijual atau hanya dibuang. Tetapi jika unit tambahan tidak dapat dihasilkan, maka biaya variabilitas akan mencakup juga biaya kesempatan (opportunity cost) karena hilangnya kesempatan untuk menjual produk. Jadi, biaya ekonomis karena lost production lebih tinggi bila ada kendala proses produksi.<br />Berbagai biaya dibebankan bila produk berada di luar batas spesifikasi. Biaya ini mencakup biaya-biaya seperti inspeksi dan rework. Jika produk dapat dijual sebagai produk dengan kualitas pertama setelah adanya rework, biaya rework yang dikeluarkan merupakan total biaya variabilitas. Jika unit produk yang dirework tidak dapat dijual sebagai produk dengan kualitas pertama, maka biaya variabilitas meliputi biaya rework dan biaya kesempatan. Biaya kesempatan akan relevan bila produk kualitas kedua menggantikan penjualan untuk produk kualitas pertama. Dalam kasus ini, biaya kesempatan yang merupakan biaya variabilitas adalah sebesar selisih antara contribution margin produk kualitas pertama dengan contribution margin aktual.<br />Jika produk yang berada di luar batas spesifikasi tidak dapat dirework dan harus dibuang, maka biaya variabilitas meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya lain yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.<br />Berikut ini diberikan suatu contoh perhitungan biaya variabilitas.<br />Perusahaan ‘MUTUSAE" menghasilkan suatu produk yang dijual dengan harga Rp 50 per unit. Biaya produksi variabel per unit Rp 20, dan contribusi margin sebesar Rp 30. Selama bulan Maret 2000, perusahaan menghasilkan 100.000 unit dan menggunakan seluruh jam mesin yang tersedia. Seluruh produk yang dihasilkan laku dijual.<br />Bagi perusahaan "MUTUSAE", berat merupakan dimensi kritis untuk produk yang dihasilkan tersebut. Nilai target (target value) untuk masing-masing produk adalah 20 kg dan batas-batas spesifikasi dirancang plus atau minus 2kg. Untuk produk yang dihasilkan pada bulan Maret 2000 tersebut, berat mengikuti distribusi normal dengan rata-rata 20 kg dan deviasi standar 0,8 kg. Gambar 2 menunjukkan distribusi berat dari proses produksi yang ada pada perusahaan.<br />Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2 bahwa sebagian besar produk berada dalam range antara 18 kg dan 22 kg, yang berarti memenuhi spesifikasi. Akan tetapi beberapa produk mempunyai berat di bawah batas bawah 18 kg dan di atas batas atas 22 kg.<br />Untuk menghitung jumlah produk yang tidak memenuhi batas spesifikasi, digunakan dua pendekatan yaitu:<br />1. Acceptable Quality Level (AQL)<br />2. Quality Loss Function yang merupakan cara untuk mengukur besarnya biaya variabilitas dalam pendekatan Robust Zero Defects.(Taguchi and Clausing: 1990)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2<br />Distribusi Produk<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />------------!--------------------------!---------------------------!------------<br />18 kg 20 kg 22 kg<br />Batas spesifikasi Rata-rata Batas spesifikasi<br />Bawah Atas<br /> Z = ( x –x ) / s = ( 22 – 20 ) / 0.8 = 2.5<br />Acceptable Quality Level (AQL)<br />Untuk menghitung jumlah produk yang tidak memenuhi standar harus dihitung terlebih dahulu niai z (z-value). Dari gambar 2 dapat dilihat besarnya z-value adalah 2,5. Dengan z = 2,5, tabel untuk kurve normal menunjukkan 0,0062% (Grant and Leavenworth: 1980) dari observasi melebihi 22 kg. Oleh karena distribusi tersebut simetris, maka jumlah yang sama berada dibawah batas bawah 18 kg. Jadi, jumlah produk yang berada di luar batas spesifikasi untuk bulan Maret 2000 adalah 100.000 (2 x 0,0062) = 1240 unit<br />Besarnya biaya yang disebabkan oleh variabilitas dari 1240 produk tersebut tergantung pada kondisi masing-masing produk tersebut. Tabel 1 berikut ini merupakan ringkasan biaya variabilitas unutk berbagai kondisi.<br />Dari tabel 1 di atas, besarnya biaya variabilitas dapat dihitung dengan mengalikan jumlah unit produk yang tidak memenuhi spesifikasi dengan biaya per unitnya. Dari 1240 unit produk yang tidak memenuhi spesifikasi tersebut, biaya variabilitas dapat berkisar antara Rp 14.880 (Rp 12 x 1240) jika produk dapat dirework dan dijual pada kualitas pertama sampai dengan Rp 68. 200 (Rp 55 x 1240) jika produk tidak dapat dirework dan harus dibuang dengan biaya Rp 5 per unit.<br />Tabel 1<br />Biaya Variabilitas<br />Harga jual produk kualitas pertama Rp 50<br />Harga jual produk kualitas kedua Rp 45<br />Biaya produksi variabel Rp 20<br />Contribution margin per unit Rp 30<br />Biaya rework per unit Rp 12<br />Biaya disposal per unit Rp 5<br /><br />Kondisi<br />Biaya Produksi Variabel<br /><br />Biaya Rework<br /><br />Biaya Disposal<br />Lost Contribution Margin<br />Total Biaya per Unit<br />Unit yang dirework dan dijual pada harga Rp 50<br /><br /><br />12<br /><br /><br /><br />12<br />Unit yang dirework dan dijual pada harga Rp 40<br /><br /><br />12<br /><br /><br />5<br /><br />17<br />Unit yang tidak dapat dirework dan tidak mempunyai biaya disposal<br /><br />20<br /><br /><br /><br />30<br /><br />50<br />Unit yang tidak dapat dirework dan mem-punyai biaya disposal Rp 5<br /><br />20<br /><br /><br /><br />5<br /><br />30<br /><br />55<br /><br />Quality Loss Function (QLF)<br />Quality Loss Function (QLF) merupakan bagian dari filosofi Taguchi Quality. QLF didasarkan pada pandangan bahwa setiap variabilitas dari target akan menyebabkan kerugian. Jadi pendukung pandangan ini yakin bahwa setiap variabilitas adalah mahal bahkan meski produk berada dalam batas spesifikasi.<br /> Ada beberapa variasi Quality Loss Function, pemilihan mana yang akan digunakan tergantung pada bagaimana kualitas diukur. Dari contoh yang disajikan di atas, karakteristik kualitas yaitu berat sehingga nominal merupakan fungsi yang lebih baik . Dengan kata lain, target value sebesar 20 kg merupakan nilai nominal dan produksi seharusnya berusaha keras (strive) untuk membuat produk yang beratnya 20 kg. Setiap penyimpangan dari nilai target ini akan menyebabkan kerugian di dalam Quality Loss Function.<br /> Quality Loss Function merupakan fungsi kuadrat di mana biaya akan meningkat sejalan dengan peningkatan penyimpangan (deviasi) karakteristik produk dari nilai targetnya. Gambar 3 berikut ini menunjukkan Quality Loss Function.<br /><br />Gambar 3<br />Taguchi Quality Loss Function<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />--------------------------------!-------------------------------<br />Batas Spesifikasi Target Value Batas Spesifikasi<br /> Bawah Atas<br /><br />Untuk menghitung total kerugian pada bulan Maret dengan quality loss function, harus dihitung terlebih dahulu kerugian rata-rata per unit kemudian dikalikan dengan jumlah total unit. Untuk mengestimasi kerugian rata-rata per unit, harus diketahui nilai rata-rata (dari contoh diketahui rata-rata/mean = 20 kg) dan deviasi standarnya (0,8 kg). Tabel 2 berikut ini menyajikan formula untuk menghitung quality loss untuk satu unit produk.<br /><br /><br />Tabel 2<br />Pengukuran Quality Loss<br />Quality Loss per unit produk:<br />L = k(Y -T)2<br />Di mana L = Kerugian per unit<br />Y = Nilai aktual karakteristik<br />T = Nilai target karakteristik<br />k = Konstan<br />Nilai k dihitung dengan rumus:<br />C<br />k = --<br />d2<br />Di mana c = Kerugian yang berkaitan dengan satu unit yang diproduksi pada batas spesifikasi<br />d = Jarak antara target value dengan batas spesifikasi<br />Dari contoh di atas, jika kerugian untuk satu unit pada batas spesifikasi adalah Rp 12, maka besarnya k adalah:<br />k = 12 = Rp 12 = Rp 3<br />(22 – 20)2 22<br />Kerugian Rata-rata per Unit:<br />Kerugian Rata-rata = k {s2 + (Y -T)2}<br />Di mana s = deviasi standar<br />Y = rata-rata (mean)<br />T = nilai target<br />k = konstan<br />Dari data di atas, kerugian rata-rata per unit adalah:<br />Rp 3 {0,82 + (20 - 20)2} = Rp 3 x 0,64 = Rp 1,92<br /><br />Dari 100.000 unit produk yang dihasilkan pada bulan Maret 2000, besarnya quality loss adalah Rp 1,92 x 100.000 = Rp 192.000<br />Dari contoh perhitungan biaya variabilitas dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut, dapat dilihat bahwa pendekatan AQL akan menghasilkan biaya variabilitas yang lebih rendah daripada pendekatan Robust Zero Defects. Alasannya adalah bahwa dalam pendekatan Robust Zero defects (Quality Loss Function), biaya variabilitas mencakup biaya untuk setiap unit yang menyimpang dari nilai target tanpa memperhatikan apakah produk tersebut masih dalam batas spesifikasi atau tidak.<br />Kedua pendekatan di atas memberikan gambaran bagi organisasi tentang pendekatan kualitas yang akan digunakan. Tentu saja kedua pendekatan tersebut akan mempunyai konsekuensi yang berbeda. Hal yang penting adalah pengukuran variabilitas seharusnya memberikan informasi kepada manager sehingga dapat membantu mereka dalam meningkatakan operasionalnya dengan cara mengidentifikasi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan kualitas produk. Jika bagian tertentu dari suatu produk dapat diidentifikasi sebagai sumber variabilitas, maka manajer akan mengetahui di mana seharusnya usaha meningkatkan kualitas difokuskan. Usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, redesigning proses produksi, investasi dalam peralatan (equipment), dan bahkan melakukan redesigning terhadap produk.<br />Pengukuran biaya variabilitas seharusnya juga dapat membantu manajer dalam memecahkan masalah kualitas yang dihadapi. Jika manajer tidak mendefinisikan kualitas dengan jelas, mereka tidak akan menyadari jenis biaya yang berkaitan dengan variabilitas dan besarnya (magnitute) biaya variabilitas. Dengan mengestimasi biaya , manajer dapat lebih memahami implikasi keuangan dari variabilitas dan penghematan yang mungkin bisa dilakukan dengan adanya penurunan variabiliatas produk.<br />KESIMPULAN<br /> Dalam dunia bisnis yang penuh dengan kompetisi seperti dewasa ini, kualitas merupakan suatu hal yang tidak bisa diabaikan lagi. Kualitas produk yang tidak memadai akan berdampak pada ketidakpuasan customer yang pada akhirnya akan berdampak pada kenaikan biaya (cost). Oleh karena itu suatu perusahaan harus mempunyai skill untuk bisa mengurangi biaya sekaligus mempertahankan posisi strategisnya. Caranya adalah dengan menjaga kualitas dan mengenali setiap penyimpangan terhadap kualitas yang terjadi.<br />Variabilitas produk adalah penyimpangan produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dari nilai target atau batas spesifikasi yang telah ditetapkan. Peran variabilitas produk dalam mengevaluasi kualitas produk tergantung pada apakah perusahaan mengadopsi filosofi AQL atau Robust Zero Defects.<br />Pada pandangan AQL, penyimpangan yang ditolelir berada dalam batas tertentu yaitu jarak antara batas bawah (lower spesification limit) dan batas atas (upper spesification limit).Biaya yang timbul karena penyimpangan tetapi masih dalam range tersebut, tidak masuk dalam biaya variabilitas (cost of variability). Jadi biaya variabilitas timbul kalau produk berada di luar batas yang ditoleransi. Sebaliknya pada pendekatan Robust Zero Defects, setiap penyimpangan dari nilai target kualitas adalah merupakan kerugian yang diperhitungkan sebagi biaya variabilitas.<br />Dari contoh perhitungan besarnya biaya variabilitas dengan menggunakan kedua metode tersebut akan menghasilkan biaya variabilitas yang berbeda. Biaya variabilitas dengan menggunakan pendekatan AQL besarnya berkisar antara Rp 14.800 sampai dengan Rp 68.200, sedangkan dengan pendekatan Robust Zero Defect sebesar Rp 194.000. Kedua pendekatan di atas memberikan gambaran bagi organisasi tentang pendekatan kualitas yang akan digunakan. Tentu saja kedua pendekatan tersebut akan mempunyai konsekuensi yang berbeda. Untuk memilih pendekatan mana yang akan digunakan oleh suatu perusahaan, banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Suatu perusahaan bisa memilih pendekatan AQL dengan alasan mengestimasi tingkat kerusakan produk sampai pada titik nol adalah sangat mahal. Bila perusahaan mengadopsi pendekatan ini, maka sebenarnya terdapat biaya penyimpangan yang tidak diperhitungkan oleh perusahaan. Akibatnya adalah ketidakpuasan konsumen, yang pada akhirnya akan merugikan perusahaan sendiri.<br />Sebaliknya bila perusahaan menggunakan pendekatan Robust Zero Defect, maka perusahaan tersebut harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Biaya tersebut diperlukan antara lain untuk mempersiapkan tenaga dengan skill tertentu, investasi peralatan, desain produk, dan desain proses produksi untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kualitas yang ditargetkan (target value). Akan tetapi efek dari pendekatan ini adalah terciptanya customer value, yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan itu sendiri.<br />Hal yang penting adalah pengukuran variabilitas seharusnya memberikan informasi kepada manager sehingga dapat membantu mereka dalam meningkatakan operasionalnya dengan cara mengidentifikasi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan kualitas produk. Jika bagian tertentu dari suatu produk dapat diidentifikasi sebagai sumber variabilitas, maka manajer akan mengetahui di mana seharusnya usaha meningkatkan kualitas difokuskan. Usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain dengan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, redesigning proses produksi, investasi dalam peralatan (equipment), dan bahkan melakukan redesigning terhadap produk.<br />Pengukuran biaya variabilitas seharusnya juga dapat membantu manajer dalam memecahkan masalah kualitas yang dihadapi. Jika manajer tidak mendefinisikan kualitas dengan jelas, mereka tidak akan menyadari jenis biaya yang berkaitan dengan variabilitas dan besarnya (magnitute) biaya variabilitas. Dengan mengestimasi biaya , manajer dapat lebih memahami implikasi keuangan dari variabilitas dan penghematan yang mungkin bisa dilakukan dengan adanya penurunan variabiliatas produk.<br /><br /><br /><br /><br />REFERENSI:<br />Genichi Taguchi and Don Clausing, Robust Quality, Havard Business Review, January-February 1990.<br /><br />Eugene L. Grant and Richard S. Leavenworth, Statistic Quality Control, 5th ed., McGraw-Hill Book Company, New York, 1980.<br /><br />John K. Shank and Govindarajan, Measuring the Cost of Quality: A Strategic Cost Management Perspective, Journal of Cost Management, Spring 1994<br /><br />Hansen Don. R & Mowen Maryanne M, Management Accounting, Cincinati, Ohio South-Western Publishing, 1997<br /><br />Roth, Harold P & Albright Thomas L, What Are the Cost of Variability?, Reading In Management Accounting, Prentice Hall Inc., 1997Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-82295559227191533782008-03-12T21:52:00.001+07:002008-07-04T02:00:23.006+07:00BERBAGAI HAMBATAN DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER INFLATION TARGETINGFOKUS EKONOMI, ARIL 2004<br />BERBAGAI HAMBATAN DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER INFLATION TARGETING<br /><br />Oleh : Seruni Sutanto<br />Dosen STIE Widya Manggala Semarang<br /><br /><br />ABSTRACT<br />The high inflation suggests the economic crisis in Indonesia recently. The government implements the inflation targeting in monetary policy to recovery the economic stability. Nevertheless, this policy can perform merely the precondition of inflation targeting had been fulfilled. And apparently, this policy can be difficult to realize, because the precondition was complicated and exactly became the obstacle.<br />This paper discusses delineation, evolution of theory, precondition, characteristic, the elements, the prospect and some obstructions of inflation targeting. Apart to that, this is a description of the macroeconomics progress to understand the graveness of crisis in Indonesia and to predict the prospect of recovery process of national economic circumstance.<br /><br />Key words: macroeconomic, inflation targeting, economic crisis.<br /><br /><br />I. PENDAHULUAN<br />Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.<br /><br />Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.<br /><br />Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) ini diharapkan dapat menciptakan fundamental ekonomi makro yang kuat. Makalah ini akan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan target inflasi, yang meliputi pengertian, evolusi teori, prasyarat, karakteristik dan elemen target inflasi. Agar dapat mengetahui dengan jelas kondisi ekonomi nasional Indonesia hingga tahun 2000 ini, maka dalam pembahasan juga dipaparkan tentang perkembangan ekonomi makro Indonesia.<br /><br /><br />II. PEMBAHASAN<br /><br />Perkembangan Ekonomi Makro di Indonesia Sejak Tahun 1980-an.<br /><br />Program pembangunan bidang ekonomi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1970-an dan menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 1980-an. Pada masa itu pemerintah memberikan banyak kemudahan bagi para investor yang akan berinvestasi di bidang keuangan dan perbankan. Hingga pertengahan tahun 1990-an perekonomian Indonesia terlihat semakin kuat dan mulai terpandang di dunia internasional. Dalam artikel ini akan dibahas perkembangan ekonomi di Indonesia saat mulai berkembang tahun 1980-an hingga terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.<br /><br />Perkembangan Moneter Perbankan.<br />Krisis moneter di Indonesia telah memporak-porandakan sektor keuangan yang sebelumnya tengah berkembang pesat sejak tahun 1980-an. Dalam upaya pemulihan sektor keuangan Indonesia, telah dilakukan restrukturisasi sistem moneter sejak tahun 1998. Bentuk nyata restrukturisasi dilakukan dengan cara menyehatkan bank dan memberikan independensi kepada Bank Sentral. Meski telah menelan banyak biaya dan telah dilaksanakan lebih dari tiga tahun, namun proses penyehatan sistem moneter belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.<br /><br />Kebijakan Moneter.<br /><br />Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.<br /><br />Kebijakan Fiskal.<br /><br />Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI, untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga hutang. Meski sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya peningkatan penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran.<br /><br />Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang.<br /><br />Prospek Ekonomi Jangka Pendek.<br /><br />Ditinjau dari aspek ekonomi makro, kinerja perekonomian bukan hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, namun juga dari faktor eksternal. Kondisi ekonomi sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Untuk beberapa tahun ke depan, kegiatan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan, dengan asumsi kondisi politik dan keamanan stabil. Peningkatan pertumbuhan ekonomi bertumpu pada kenaikan ekspor yang dewasa ini mulai membaik kembali.<br /><br />Target Inflasi.<br /><br />Pengertian.<br /><br />Ada berbagai kebijakan yang biasa dipergunakan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan ekonomi, misalnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Target inflasi merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan target laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan target inflasi lebih berorientasi ke depan (forward looking) dibanding kebijakan-kebijakan moneter sebelumnya (yang oleh BI disebut juga kebijakan konvensional).<br /><br />Tidak seperti halnya kebijakan moneter konvensional yang senantiasa mempergunakan target antara besaran moneter, dalam target inflasi diperggunakan proyeksi inflasi. Kalaupun harus mempergunakan target antara, biasanya akan digunakan tingkat bunga jangka pendek.<br />Evolusi Teori.<br /><br />Inflasi sebagai sasaran utama dan indepensi bank sentral sebagai pengendali inflasi merupakan landasan dari target inflasi. Konsep target inflasi ini merupakan produk dari evolusi teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris. Teori-teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan konsep ini meliputi teori klasik hingga teori modern, antara lain:<br />Teori Klasik ><><>< Teori Keynes.<br />Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran, karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.<br />Teori rational expectations.<br />Teori rational expectations menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran penting, karena mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan. Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, karena setelah ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah yang menjadi kunci keberhasilan yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi dalam kebijakan moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat.<br />Teori moneter modern.<br />Dalam perkembangan selanjutnya, teori moneter modern memasukkan aspek kredibilitas yang bersumber dari masalah time inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.<br /><br />Prasyarat.<br />Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut meliputi:<br />Indepensi Bank Sentral.<br /><br />Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang bisa bersifat benar-benar independen tanpa campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, ada instrumen kebijakan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah, misalnya melalui kebijakan fiskal.<br /><br />Fokus terhadap sasaran.<br /><br />Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran lain kadang-kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs. Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.<br /><br /><br /><br />Capacity to forecast inflation.<br /><br />Bank Sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi secara akurat, sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.<br /><br />Pengawasan instrumen<br /><br />Bank Sentral harus memiliki kemampuan untuk mengawasi instrumen-instrumen kebijakan moneter.<br /><br />Pelaksanaan secara konsisten dan transparan.<br /><br />Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.<br /><br />Fleksibel sekaligus kredibel<br />Biasanya, kebijakan yang fleksibel akan cenderung kurang kredibel dan hal itu merupakan dilema dalam penentuan kebijakan. Aturan Taylor (Taylor’s rule) dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mengatasi dilema tersebut.<br /><br />Karakteristik.<br /><br />Dalam mengatur/menggunakan instrumen, kebijakan target inflasi ini lebih berwawasan ke depan. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya, yaitu:<br /><br />Dalam kebijakan ini target dan indikator inflasi ditentukan terlebih dahulu dan dipergunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter.<br /><br />Dalam kebijakan ini juga dibuat prediksi inflasi di masa yang akan datang. Prediksi dilakukan dengan mempergunakan data besaran moneter, tingkat bunga, kurs, harga aset, harga barang industri dan sebagainya.<br /><br />Melakukan review terhadap kinerja kebijakan moneter. Hasil tinjauan tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja selanjutnya.<br /><br />Elemen-elemen.<br /><br />Berdasarkan teori dan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dalam target inflasi terdiri atas:<br /><br />Sasaran target inflasi.<br /><br />Sasaran utama dalam kebijakan target inflasi adalah pengendalian inflasi. Kalau ada sasaran-sasaran lain di samping sasaran ini, maka sasaran yang lain harus tunduk pada sasaran utama.<br /><br />Laporan pelaksanaan<br /><br />Mestinya, publik perlu untuk mengetahui sasaran kebijakan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hasil yang telah dicapai oleh kebijakan ini harus dimonitor, dilaporkan dan diumumkan secara periodik. Ini penting bagi publik agar dapat mengukur keberhasilan kebijakan ini, karena akan berpengaruh terhadap ekspektasi masyarakat.<br /><br />Independensi<br />Dengan adanya independensi dalam menentukan kebijakan, maka peluang tercapainya sasaran akan lebih maksimal.<br /><br />Komunikasi<br />Dalam pelaksanaan kebijakan ini perlu adanya komunikasi yang efektif terhadap publik tentang cara-cara pencapaian sasaran inflasi dan mekanisme transmisi yang jelas.<br /><br />Data dan informasi<br />Data dan informasi yang relevan, terbaru dan lengkap diperlukan untuk melakukan analisis kebijakan yang prima.<br /><br />Prospek.<br /><br />Kebijakan target inflasi ini telah dilaksanakan di negara-negara Selandia Baru, Kanada, Inggris, Finlandia, Swedia, Australia, Spanyol, Korea dan Filipina. Negara-negara tersebut mendapatkan keberhasilan dalam menekan laju inflasi dengan penerapan kebijakan ini.<br /><br />Seperti halnya Indonesia, negara-negara tersebut sebelumnya juga mempergunakan kebijakan moneter dengan target antara. Karena adanya kesamaan permasalahan dan latar belakang, maka diharapkan pelaksanaan target inflasi di negara kita juga akan dapat menuai keberhasilan.<br /><br />Berbagai Hambatan Dalam Pelaksanaan Targat Inflasi.<br /><br />Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ditambah dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala dalam pemberlakuan kebijakan ini. Secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan sebagai berikut:<br /><br />Hambatan dalam menciptakan independensi<br /><br />Sulitnya menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan penuh terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan instrumen keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-benar tidak turun campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski lembaga tersebut disebut lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga tersebut digaji oleh pemerintah, yang berarti loyalitas mereka terhadap pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini jelas-jelas menyebabkan fungsi pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana mestinya.<br /><br />Hambatan dalam memprediksi inflasi.<br /><br />Kemampuan untuk memprediksi inflasi merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kebijakan target inflasi. Kemungkinan besar, peramalan inflasi di Indonesia akan sulit dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan yang boleh dikatakan tidak menentu akhir-akhir ini. Padahal, stabilitas nasional sangat berperan dalam menentukan kondisi ekonomi suatu negara. Untuk saat ini, para investor masih beranggapan bahwa negara kita tidak cukup kondusif bagi investasi. Isu-isu seputar politik dan keamanan daerah sudah rawan untuk memporak-porandakan perekonomian nasional. Jika stabilitas belum tercapai, mustahil dapat memprediksi dengan cermat.<br /><br />Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara konsisten dan transparan.<br /><br />Pelaksanaan kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan sulit terwujud. Tingkat korupsi di Indonesia yang sedemikian tinggi akan mempersulit pemerintah dalam meraih kepercayaan dari masyarakat. Juga maraknya praktik kolusi yang menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis dan enggan berpartisipasi dalam pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi. Kebijakan target inflasi belum tentu didukung oleh masyarakat, kecuali apabila lembaga pelaksana kebijakan ini dapat meyakinkan masyarakat bahwa aparaturnya negara bersih dan bebas korupsi.<br /><br />Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara fleksibel dan kredibel.<br /><br />Menjalankan kebijakan secara fleksibel sekaligus kredibel juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Jika kebijakan diberlakukan secara lentur, maka akan membuka kesempatan korupsi dan kolusi, sehingga menyebabkan incredible. Demikian juga sebaliknya, apabila kebijakan ini lebih berfokus pada kredibilitas, maka akan timbul sifat inflexible.<br /><br />Tingkat keparahan krisis.<br />Faktor lain adalah tingkat keparahan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah tergolong akut, sehingga penanganannya juga lebih sulit dibanding negara-negara lain. Mungkin kebijakan target inflasi ini berhasil diberlakukan di negara-negara lain, namun belum tentu akan sesuai diberlakukan di Indonesia.<br /><br /><br />KESIMPULAN<br />Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat krisis memerlukan upaya pemulihan dengan menggunakan kebijakan moneter. Kebijakan yang diterapkan berupa inflation targeting yang telah berhasil mengentaskan problem inflasi di berbagai negara di dunia.<br /><br />Target inflasi dicetuskan dari perkembangan evolusi teori-teori ekonomi dan dalam pelaksanaannya ditentukan oleh kondisi suatu negara dengan prasyarat-prasyarat untuk keberhasilan sistem ini.<br /><br />Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan dapat mengembangkan kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan stabilisasi ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkelanjutan, dengan ongkos yang minimal.<br /><br />Pemulihan kondisi ekonomi yang stabil bukan hanya ditentukan oleh faktor internal, namun juga faktor eksternal, misalnya kondisi politik dan keamanan negara.<br /><br />Target inflasi nampaknya akan sulit untuk diberlakukan sebagai salah satu kebijakan moneter di Indonesia, mengingat berbagai hambatan yang harus dihadapi.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA :<br />Adiningsih, Sri. 2000. "Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.<br /><br />Bernanke, B. and Mihov. 1997. "What Does the Bundesbank Target?" European Economic Review.<br /><br />Boediono. 2000. "Inflation Targeting". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.<br /><br />Fischer, Stanley. 1993. "The Role of Macroeconomic Factors in Growth". Journal of Monetary Economics.<br /><br />Goeltom, Miranda S. 2000. "Perkembangan Ekonomi Makro Indonesia". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.<br /><br />Mishkin, F.S. 1999. "International Experience with Different Monetary Policy Regimes". Journal of Monetary Economics.<br /><br />Nopirin. 2000. "Kebijakan Moneter Dengan Target Inflasi". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.<br /><br />Saudagaran, S.M. and Diga, J.G. 2000. "The Institutional Environment of Financial Reporting Regulation in ASEAN". The International Journal of Accounting.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-87172463782400853142008-03-12T21:47:00.002+07:002015-03-17T02:00:30.838+07:00BALANCED SCORECARD SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENGUKUR KINERJAFOKUS EKONOMI, APRIL 2004<br />
BALANCED SCORECARD SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENGUKUR KINERJA<br />
<br />
Oleh : Ceacilia Srimindarti<br />
Dosen Tetap STIE Stikubank Semarang<br />
ABSTRAK<br />
<br />
<br />
Dewasa ini dunia bisnis telah mengalami perkembangan sehingga tercipta kondisi persaingan yang semakin kompetitif. Keadaan ini mendorong perusahaan untuk terus melakukan perbaikan di segala bidang agar tetap bisa menjadi pelaku di pasar dan produknya memiliki daya saing yang tingggi. Oleh sebab itu perusahaan harus terus berupaya untuk menyiapkan dan menyempurnakan strategi-strategi bisnisnya agar tetap bisa bertahan di pasar bahkan menjadi pemenang dalam persaingan. Salah satu faktor penting yang digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan adalah kinerja perusahaan. Maka pengukuran kinerja menjadi sesuatu yang amat penting. Pengukuran kinerja dalam sistem tradisional biasanya hanya menggunakan ukuran keuangan karena ukuran tersebut tidak sulit dilakukan. Sedangkan balanced Scorecard mempunyai tujuan dan pengukuran yang tidak hanya merupakan penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan non keuangan yang ada, tetapi merupakan hasil dari suatu proses atas bawah berdasarkan misi dan strategi dari suatu perusahaan.<br />
<br />
I. PENDAHULUAN<br />
<br />
Perkembangan dunia bisnis yang semakin kompetitif menyebabkan perubahan besar luar biasa dalam persaingan, produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan penanganan transaksi antara perusahaan dengan pelanggan dan perusahaan dengan perusahaan lain. Persaingan yang bersifat global dan tajam menyebabkan terjadinya penciutan laba yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang memasuki persaingan tingkat dunia. Hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki keunggulan pada tingkat dunia yang mampu memuaskan atau memenuhi kebutuhan konsumen, mampu menghasilkan produk yang bermutu, dan cost effevtive (Mulyadi, 1997).<br />
<br />
Perubahan-perubahan tersebut mendorong perusahaan untuk mempersiapkan dirinya agar bisa diterima di lingkungan global. Keadaan ini memaksa manajemen untuk berupaya menyiapkan, menyempurnakan ataupun mencari strategi-strategi baru yang menjadikan perusahaan mampu bertahan dan berkembang dalam persaingan tingkat dunia. Oleh karena itu perusahaan dalam hal ini manajemen harus mengkaji ulang prinsip-prinsip yang selama ini digunakan agar dapat bertahan dan bertumbuh dalam persaingan yang semakin ketat untuk dapat menghasilkan produk dan jasa bagi masyarakat.<br />
<br />
Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total yang mancakup penekanan-penekanan pada kualitas produk, kualitas biaya atau harga, kualitas pelayanan, kualitas penyerahan tepat waktu, kualitas estetika dan bentuk-bentuk kualitas lain yang terus berkembang guna memberikan kepuasan terus menerus kepada pelanggan agar tercipta pelanggan yang loyal (Hansen dan Mowen, 1999). Sehingga meningkatnya persaingan bisnis memacu manajemen untuk lebih memperhatikan sedikitnya dua hal penting yaitu "keunggulan" dan "nilai".<br />
<br />
Penilaian atau pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang penting dalam perusahaan. Selain digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan, pengukuran kinerja juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusaan, misalnya untuk menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak. Pihak manajemen juga dapat menggunakan pengukuran kinerja perusahaan sebagai alat untuk mengevaluasi pada periode yang lalu.<br />
<br />
Pemakaian penilaian kinerja tradisional yaitu ROI, Profit Margin dan Rasio Operasi sebetulnya belum cukup mewakili untuk menyimpulkan apakah kinerja yang dimiliki oleh suatu perusahaan sudah baik atau belum. Hal ini disebabkan karena ROI, Profit Marjin dan Rasio Operasi hanya <a href="http://www.pusattesis.com/pengertian-efektif-dan-efektivitas/">menggambarkan pengukuran efektivitas</a> penggunaan aktiva serta laba dalam mendukung penjualan selama periode tgertentu. Ukuran-ukuran keuangan tidak memberikan gambaran yang riil mengenai keadaan perusahaan karena tidak memperhatikan hal-hal lain di luar sisi finansial misalnmya sisi pelanggan yang merupakan fokus penting bagi perusahaan dan karyawan, padahal dua hal tersebut merupakan roda penggerak bagi kegiatan perusahaan (Kaplan dan Norton, 1996).<br />
<br />
Dalam akuntansi manajemen dikenal alat analisis yang bertujuan untuk menunjang proses manajemen yang disebut dengan Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Norton pada tahun 1990. Balanced Scorecard merupakan suatu ukuran yang cukup komprehensif dalam mewujudkan kinerja, yang mana keberhasilan keuangan yang dicapai perusahaan bersifat jangka panjang (Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999). Balanced Scorecard tidak hanya sekedar alat pengukur kinerja perusahaan tetapi merupakan suatu bentuk transformasi strategik secara total kepada seluruh tingkatan dalam organisasi. Dengan pengukuran kinerja yang komprehensif tidak hanya merupakan ukuran-ukuran keuangan tetapi penggabungan ukuran-ukuran keuangan dan non keuangan maka perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih bai.<br />
<br />
II PENILAIAN KINERJA DAN BALANCED SCORECARD<br />
<br />
2.1. Kinerja dan Penilaian Kinerja<br />
<br />
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996).<br />
<br />
Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya.<br />
<br />
Adapun kinerja menurut Mulyadi adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.<br />
<br />
Tujuan utama dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personal dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi (Mulyadi dan Johny setyawan, 1999).<br />
<br />
Penilaaian kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semstinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.<br />
<br />
Dengan adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang obyektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.<br />
<br />
Menurut Mulyadi penilaian kinerja dapat dimanfaatkan oleh manajemen untuk:<br />
<br />
Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.<br />
Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya seperti promosi, pemberhentian, mutasi.<br />
Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.<br />
Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengeai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.<br />
Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.<br />
<br />
Adapun ukuran penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk manilai kinerja secara kuantitatif (Mulyadi, 1997):<br />
Ukuran Kinerja unggul.<br />
Adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran penilaian. Dengan digunakannya hanya satu ukuran kinerja, karyawan dan manajemen akan cenderung untuk memusatkan usahanya pdada kriteria tersebut dan mengabaikan kriteria yang lainnya, yang mungkin sama pentingnya dalam menentukan sukses tidaknya perusahaan atau bagian tertentu.<br />
<br />
Ukuran kinerja beragam.<br />
<br />
Adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja. Ukuran kinerja beragam merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria kinerja tunggal. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria.<br />
<br />
Ukuran kinerja gabungan.<br />
<br />
Dengan adanya kesadaran beberapa kriteria lebih penting bagi perusahaan secara keseluruah dibandingkan dengan tujuan lain, maka perusahaan melakukan pembobotan terhadap ukuran kinerjanya. Misalnya manajer pemasaran diukur kinerjanya dengan menggunakan dua unsur, yaitu provitabilitas dan pangsa pasar dengan pembobotan masing-masing 5 dan 4. Dengan cara ini manajer pemasaran mengerti yang harus ditekankan agar tercapai sasaran yang dituju manajer puncak.<br />
<br />
Dalam manajemen tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalah ukuran keuangan, karena ukuran keuangan inilah yang dengan mudah dilakukan pengukurannya. Maka kinerja personil yang diukur adalah hanya yang berkaitan dengan keuangan, hal-hal yang sulit diukur diabaikan atau diberi nilai kuantitatif yang tidak seimbang.<br />
<br />
Ukuran-ukuran keuangan tidak memberikan gambaran yang riil mengenai keadaan perusahaan. Hal ini dimungkinkan karena adanya beberapa metode pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan yang diakui dalam akuntansi, misalnya depresiasi, pengakuan kas, metode penentuan laba, dan sebagainya.<br />
<br />
2.2. Balanced Scorecard.<br />
<br />
Balanced scorecard merupakan suatu metode penilaian kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat perspektif untuk mengukur kinerja perusahaan yaitu: perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta proses pebelajaran dan pertumbuhan. Dari keempat perspektif tersebut dapat dilihat bahwa balanced scorecard menekankan perspektif keuangan dan non keuangan. Pendekatan Balanced Scorecard dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pokok yaitu (Kaplan dan Norton, 1996):<br />
<br />
Bagaimana penampilan perusahaan dimata para pemegang saham?. (perspektif keuangan).<br />
Bagaimana pandangan para pelanggan terhadap perusahaan ? (Perspektif pelanggan).<br />
Apa yang menjadi keunggulan perusahaan? (Perspektif proses internal).<br />
Apa perusahaan harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara berkesinambungan? (Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan).<br />
<br />
Sehingga apabila digambarkan, balanced scorecard akan memberikan kerangka kerja untuk penerjemahaan strategi ke dalam kerangka operasional sebagai berikut:<br />
<br />
Untuk berhasil secara finansial, apa yang harus kita perlihatkan kepada para pemegang saham?<br />
Finansial<br />
] Tujuan<br />
] Ukuran<br />
] Sasaran<br />
] Inisiatif<br />
<br />
<br />
Untuk mewujudkan visi kita apa yang harus diperlihatkan kepada para pelanggan kita ?.<br />
Pelanggan<br />
] Tujuan<br />
] Ukuran<br />
] Sasaran<br />
] Inisiatif<br />
<br />
VISI<br />
DAN<br />
STRATEGI<br />
<br />
Untuk menyenangkan para pemegang saham dan pelanggan kita. Proses bisnis apa yang harus dikuasai?.<br />
Proses bisnis internal<br />
] Tujuan<br />
] Ukuran<br />
] Sasaran<br />
] Inisiatif<br />
<br />
<br />
Untuk mewujudkan visi kita bagaimana kita memelihara kemampuan kita untuk berubah dan meningkatkan diri?.<br />
Pembelajaran dan pertumbuhan<br />
] Tujuan<br />
] Ukuran<br />
] Sasaran<br />
] Inisiatif<br />
<br />
Balanced Scorecard memberi kerangka kerja untuk penerjemahan strategi ke dalam kerangka operasional<br />
<br />
2.2.1. Konsep Balanced Scorecard.<br />
<br />
Konsep balanced scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan implementasi konsep tersebut. Kapalan dan Norton, 1996 menyatakan bahwa Balanced scorecard terdiri dari kartu skor (scorecard) dan berimbang (balanced). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh peronil di masa depan. Melalui kartu skor, skor yang akan diwujudkan personil di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja personil yang bersangkutan. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personil diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Oleh sebab itu personil harus mempertimbangkan keseimbangan antara pencapaian kinerja keuangan dan non keuangan, antara kinerja jangka pendek dan jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan yang bersifat ekstern jika kartu skor personil digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan.<br />
<br />
Balanced scorecard memperkenalkan empat proses manajemen yang baru, yang terbagi dan terkombinasi antara tujuan strategik jangka panjang dengan peristiwa-peristiwa jangka pendek. Keempat proses tersebut adalah (Kaplan dan Norton, 1996):<br />
<br />
Menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan.<br />
<br />
Untuk menentukan ukuran kinerja, visi organisasi perlu dijabarkan dalam tujuan dan sasaran. Visi adalah gambaran kondisi yang akan diwujudkan oleh perusahaan di masa mendatang. Untuk mewujudkan kondisi yang digambarkan dalam visi, perusahaan perlu merumuskan strategi. Tujuan ini menjadi salah satu landasan bagi perumusan strategi untuk mewujudkannya. Dalam proses perencanaan strategik, tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam sasaran strategik dengan ukuran pencapaiannya.<br />
<br />
Komunikasi dan Hubungan.<br />
<br />
Balanced scorecard memperlihatkan kepada setiap karyawan apa yang dilakukan perusahaan untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang saham dan konsumen karena oleh tujuan tersebut dibutuhkan kinerja karyawan yang baik. Untuk itu, balanced scorecard menunjukkan strategi yang menyeluruh yang terdiri dari tiga kegiatan:<br />
<br />
Comunicating and educating<br />
Setting Goals<br />
Linking Reward to Performance Measures<br />
<br />
Rencana Bisnis<br />
<br />
Rencana bisnis memungkinkan organisasi mengintegrasikan antara rencana bisnis dan rencana keuangan mereka. Hampir semua organisasi saat mengimplementasikan berbagai macam program yang mempunyai keunggulannya masing-masing saling bersaing antara satu dengan yang lainnya. Keadaan tersebut membuat manajer mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan ide-ide yang muncul dan berbeda di setiap departemen. Akan tetapi dengan menggunakan balanced scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya dan mengatur mana yang lebih penting untuk diprioritaskan, akan menggerakkan ke arah tujuan jangka panjang perusahaan secara menyeluruh.<br />
<br />
Umpan Balik dan Pembelajaran.<br />
<br />
Proses keempat ini akan memberikan strategic learning kepada perusahaan. Dengan balanced scorecard sebagai pusat sistem perusahaan, maka perusahaan dapat melaukan monitoring terhadap apa yang telah dihasilkan perusahaan dalam jangka pendek, dari tiga pespektif yang ada yaitu: konsumen, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan untuk dijadikan sebagai umpan balik dalam mengevaluasi strategi. Keempat proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:<br />
Memperjelas dan Menerjemahkan visi dan strategi<br />
uMemperjelas visi<br />
uMenghasilkan Konsensus<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Merencanakan dan Me-netapkan sasaran<br />
uMenetapkan sasaran<br />
uMemadukan inisiatif strategis<br />
uMengalokasikan sumber daya<br />
uMenetapkan tonggak-tonggak penting<br />
<br />
Mengkomunikasikan dan Menghubungkan<br />
uMengkominikasikan dan mendidik<br />
uMenetapkan tujuan<br />
uMengkaitkan imba-lan dengan ukuran kinerja<br />
Balanced scorecard<br />
Umpan Balik dan Pembelajaran Strategis<br />
uMengartikulasikan isi bersama<br />
uMemberikan umpan balik strategis<br />
uMemfasilitasi tinjauan ulan dan pembela- jaran strategis<br />
Balanced Scorecard sebagai suatu kerangka kerja tindakan strategis<br />
<br />
2.2.2.Tolok Ukur dalam Balanced Scorecard.<br />
<br />
Perspektif Keuangan (finansial)<br />
<br />
Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam balanced scorecard karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran perspektif keuangan dibedakan pada masing-masing tahap dalam siklus bisnis yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap:<br />
<br />
uGrowth (Berkembang)<br />
<br />
Berkembang merupakan tahap pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama sekali atau peling tidak memiliki potensi untuk berkembang. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer harus terikat komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Perusahaan dalam tahap pertumbuhan mungkin secara aktual beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian atas modal yang rendah. Investasi yang ditanam untuk kepentingan masa depan sangat memungkinkan memakai biaya yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari basis operasi yang ada sekarang, dengan produk dan jasa dan konsumen yang masih terbatas. Sasaran keuangan untuk growth stage menekankan pada pertumbuhan penjualan di dalam pasar baru dari konsumen baru dan atau dari produk dan jasa baru.<br />
<br />
uSustain Stage (Bertahan).<br />
<br />
Bertahan merupakan tahap kedua yaitu suatu tahap dimana perusahaan masih melakukan investasi dan reinbestasi dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik, Dalam tahap ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembankannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan kemacetan, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Pada tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi-stratei jangka panjang. Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.<br />
<br />
uHarvest (Panen).<br />
<br />
Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana perusahaan melakukan panen (harvest) terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan perbaikan fasilitas, tidak untuk melakukan eksppansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran keuangan untuk harvest adalah cash flow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu.<br />
<br />
Perspektif Pelanggan.<br />
<br />
Pada masa lalu seringkali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan internal dan kurang memperhatikan kebutuhan konsumen. Sekarang strategi perusahaan telah bergeser fokusnya dari internal ke eksternal. Jika suatu unit bisnis inin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang, mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau jasa yang bernilai dari biaya perolehannya. Dan suatu produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya semakin mendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dan persepsikan konsumen (Heppy Julianto, 2000). Tolok ukur kinerja pelanggan dibagi menjadi dua kelompok (Budi W. Soejtipto, 1997):<br />
<br />
uKelompok Inti<br />
<br />
1). Pangsa pasar: mengukur seberapa besar pororsi segmen pasar tertentu yang dikuasai oleh perusahaan.<br />
2). Tingkat perolehan para pelanggan baru: mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil menarik pelanggan-pelanggan baru.<br />
3). Kemampuan mempertahankan para pelanggan lama: mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil mempertahankan pelangan-pelanggan lama.<br />
4). Tingkat kepuasan pelanggan: mengukur seberapa jauh ppelanggan merasa puas terhadap layanan perusahaan.<br />
5). Tingkat profitabilitas pelanggan: mengukur seberapa besar keuntungan yang berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk kepada para pelanggan.<br />
<br />
uKelompok Penunjang.<br />
<br />
1). Atribut-atribut produk (fungsi, harga dan mutu)<br />
Tolok ukur atribut produk adalah tingkat harga eceran relatif, tingkat daya guna produk, tingkat pengembalian produk oleh pelanggan sebagai akibat ketidak sempurnaan proses produksi, mutu peralatan dan fasilitas produksi yang digunakan, kemampuan sumber daya manusia serta tingkat efisiensi produksi.<br />
<br />
2). Hubungan dengan pelanggan<br />
Tolok ukur yang termasuk sub kelompok ini, tingkat fleksibilitas perusahaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan para pelanggannya, penampilan fisik dan mutu layanan yang diberikan oleh pramunaga serta penampilan fisik fasilitas penjualan.<br />
<br />
3). Citra dan reputasi perusahaan beserta produk-produknya dimata para pelanggannya dan masyarakat konsumen.<br />
<br />
Perspektif Proses Bisnis Internal.<br />
<br />
Menurut Kaplan dan Norton 1996, dalam proses bisnis internal, manajer harus bisa mengidentifikasi proses internal yang penting dimana perusahaan diharuskan melakukan dengan baik karena proses internal tersebut mempunyai nilai-nilai yang diinginkan konsumen dan dapat memberikan pengembalian yang diharapkan oleh para pemegang saham. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi:<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
u Inovasi.<br />
<br />
Inovasi yang dilakukan dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian riset dan pengembangan. Dalam tahap inovasi ini tolok ukur yang digunakan adalah besarnya produk-produk baru, lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembangan suatu produk secara relatif jika dibandingkan perusahaan pesaing, besarnya biaya, banyaknya produk baru yang berhasil dikembangkan.<br />
<br />
uProses Operasi.<br />
<br />
Tahapan ini merupakan tahapan dimana perusahaan berupaya untuk memberikan solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Tolok ukur yang digunakan antara lain Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku terbuang percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk sebagai akibat terjadinya kerusakan, banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak dapat dipenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual terhadap biaya anggaran produksi serta tingkat efisiensi per kegiatan produksi.<br />
<br />
u Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan.<br />
<br />
Aktivitas penyampaian produk atau jasa pada pelanggan meliputi pengumpulan, penuimpanan dan pendistribusian produk atau jasa serta layanan purna jual dimana perusahaan berupaya memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang telalh membeli produknya seperti layanan pemeliharaan produk, layanan perbakan kerusakan, layanan penggantian suku cadang, dan perbaikan pembayaran.<br />
<br />
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.<br />
<br />
Perspektif keempat dalam balanced scorecard mengembangkan pengukuran dan tujuan untuk mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur untuk mendukung pencapaian tiga perspektif sebelumnya. Perspektif keuangan, pelanggan dan sasaran dari proses bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan yang ada dari orang, sistem dan prosedur dengan apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kinerja yang handal. Untuk memperkecil kesenjangan tersebut perusahaan harus melakukan investasi dalam bentuk reskilling employes. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah (Kaplan dan Norton, 1996):<br />
<br />
uKaryawan.<br />
<br />
Hal yang perlu ditinjau adalah kepuasan karyawan dan produktivitas kerja karyawan. Untuk mengetahui tingkat kepuasan karyawan perusahaan perlu melakukan survei secara reguler. Beberapa elemen kepuasan karyawan adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan, pengakuan, akses untuk memperoleh informasi, dorongan untuk melakukan kreativitas dan inisiatif serta dukungan dari atasan. Produktivitas kerja merupakan hasil dari pengaruh agregat peningkatan keahlian moral, inovasi, perbaikan proses internal dan tingkat kepuasan konsumen. Di dalam menilai produktivitas kerja setiap karyawan dibutuhkan pemantauan secara terus menerus.<br />
<br />
<br />
uKemampuan Sistem Informasi.<br />
<br />
Perusahaan perlu memiliki prosedur informasi yang mudah dipahami dan mudah dijalankan. Tolok ukur yang sering digunakan adalah bahwa informasi yang dibutuhkan mudah didapatkan, tepat dan tidak memerlukan waktu lama untuk mendapat informasi tersebut.<br />
<br />
Keunggulan Balanced Scorecard.<br />
<br />
Dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional yang hanya mengukur kinerja berdasarkan perspektif keuangan, maka balanced scorecard memiliki beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):<br />
<br />
Komprehensif.<br />
<br />
Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif saja, tetapi juga aspek kealitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer, inovasi dan market development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat perspektif menyediakan keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada ukuran internal seperti pengembangan produk baru. Keseimbangan ini menunjukkan trade off yang dilakukan oleh manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong manajer untuk mencapai tujuan tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses tersebut melalui empat perspektif. Balanced scorecard mampu memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.<br />
<br />
Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan Bisnis.<br />
<br />
Pengukuran aspek keuangan tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa menunjukkan cara meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan pengembangan, learning memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah preferensinya.<br />
<br />
Fokus terhadap tujuan perusahaan.<br />
<br />
Adapun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara Gunawan, 2000):<br />
<br />
Perspektif Keuangan.<br />
<br />
Terwujudnya tanggung jawab ekonomi melalui penerapan pengetahuan manajemen dalam pengolahan bisnis dan peningkatan produktivitas yang dikuasai personil.<br />
<br />
Perspektif Customer.<br />
<br />
Terwujudnya tanggung jawab sosial sehingga perusahaan dikenal secara luas sebagai perusahaan yang akrab dengan lingkungan.<br />
<br />
Perspektif Proses Bisnis Internal.<br />
<br />
Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil perusahaan melalui implementasi.<br />
<br />
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan<br />
<br />
Terwujudnya keunggulan jangka penjang perusahaan lingkungan bisnis global melalui pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.<br />
<br />
III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN APLIKASI BALANCED SCORECARD<br />
<br />
Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002 dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja balance scorecard (BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari hasil penelitiannya, NRI dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman perusahaan yang menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced scorecard tersebut merasakan bahwa balanced scorecard memang memiliki keunggulan yang dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:<br />
<br />
Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.<br />
<br />
Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.<br />
<br />
Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non finansial kuantitatif.<br />
<br />
Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis verifikasi.<br />
<br />
Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan. NRI mengemukakan salah satu contoh kasus yang spektakuler tentang keberhasilan penerapan Balanced scorecard yang berimplikasi pada perbaikan kinerja perusahaan seperti yang dialami oleh perusahaan KANSAI ELECTRIC POWER CO. LTD, perusahaan terbesar kedua di Jepang yang memproduksi dan mensuplai kebutuhan listrik di Jepang. Perusahaan ini memperkenalkan cara kerja baru yang disebut "Linked Contract" yang kinerjanya diukur dengan Balanced Scorecard.<br />
<br />
Murphy and Russel (2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard dapat menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni suatu strategi dimana perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para pelanggan untuk menciptakan nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan bahwa lebih dari setengah proyek-proyek CRM tidak menghasilkan nilai tambah apapun bagi perusahaan, dan 50% dari CRM Strategy tetap saja mengalami kegagalan dalam penerapannya di dunia bisnis, namun Balanced Scorecard dapat menggantikannya.<br />
<br />
R. Abdul Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan bahwa kinerja BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya (pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan aktiva/ strategi investasi). Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif yang perlu dibenahi yaitu: perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas produksi serta pangsa pasar yang dimiliki, perspektif proses bisnis internal yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian kualitas, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan pemenuhan kebutuhan karyawan.<br />
<br />
<br />
IV. SIMPULAN<br />
<br />
Dalam menilai kinerja suatu perusahaan, ukuran-ukuran keuangan saja dinilai kurang mewakili. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran keuangan memiliki beberapa kelemahan yaitu (Mulyadi, 1997): Pendekatan finansial bersifat historis sehingga hanya mampu memberikan indikator dari kinerja manajemen dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan kearah yang lebih baik. Pengukuran lebih berorientasi kepada manajemen operasional dan kurang mengarah kepada manajemen strategis. Tidak mampu mempresentasikan kinerja intangible assets yang merupakan bagian struktur aser perusahaan.<br />
<br />
Balanced scorecard dapat digunakan sebagai alternatif pengukuran kinerja perusahaan yang lebih komprehensif dan tidak hanya bertumpu pada pengukuran atas dasar perspektif keuangan saja. Hal ini terbukti dengan adanya manfaat-manfaat yang dirasakan oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkannya.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA :<br />
<br />
Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja Dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No 145, September, Halaman 36-40.<br />
<br />
Hansen dan Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing, Ohio.<br />
<br />
Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.<br />
<br />
Helfert, Erich. A, 1996, Teknik Analisis Keuangan (Petunjuk Praktis Untuk Mengelola dan Mengukur Kinerja Perusahaan), Edisi 8, Jakarta: Erlangga.<br />
<br />
Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman 34-35.<br />
<br />
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, Boston: Havard Business School Press.<br />
<br />
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.<br />
<br />
Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.<br />
<br />
-------------------, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Akhir Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 03, Tahun XXVIII, Maret,<br />
Halaman 36-41.<br />
<br />
Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen, Yogyakarta: Aditya Media.<br />
<br />
Murphy, Kevin dan Randy Russell, 2002, To Beat the odds against succesful CRM, Use Gartner’s CRM Process map together with the Balanced Scorecard framework, Report Internet, July 2002.<br />
<br />
Soetjipto, Budi W, 1997, Mengukur Kinerja Bisnis Dengan Balanced Scorecard, Usahawan, No 06, Tahun XXVI, Juni, Halaman 21-25.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-45994954131759430782008-03-12T21:46:00.002+07:002008-07-04T02:00:23.006+07:00BALANCE SCORECARD DAN AKUNTAN SEBAGAI SUATU NILAI "STRATEGIC PARTNER"FOKUS EKONOMI, AGUSTUS 2003<br />BALANCE SCORECARD DAN AKUNTAN SEBAGAI SUATU NILAI "STRATEGIC PARTNER"<br /><br />Oleh : Arfan Ikhsan Lubis<br />Peserta Magister Sains Akuntansi Universtias Diponegoro<br /><br />ABSTRAK<br />Peran dari akuntan telah berubah. Dimana selama ini mereka hanya menggunakan fungsi- fungsi tradisional. Dengan perubahan peran akuntan ini, akuntan telah memasuki strategi organisasi yang baru. Sementara itu, Balance scorecard sebagai sistem manajemen mempunyai hubungan strategi dengan alat keuangan dan non-keuangan dalam empat kunci dari suatu organisasi, hal ini menjadi suatu alat yang benar-benar baik. Para akuntan dapat menggunakannya dalam soliditi posisi mereka sebagai suatu nilai dari anggota team organisasi.<br /><br />Key Words: Balance Scorecard (BSC), Akuntan, Strategic Partner<br /><br />I. PENDAHULUAN<br />Pada tahun-tahun belakangan ini, peran akuntan dalam organisasi telah berubah secara dramatis. Perubahan dramatis disini maksudnya dalam lingkup istilah "business partner" dan "strategic partner" yang lebih mengutamakan perluasan peran akuntan dalam keterlibatannya di organisasi. Pemicu dari semua ini terutama perubahan globalisasi dalam bidang bisnis yang akhir-akhlr ini semakin kencang. Karena perusahaan beroperasi secara multinasional, maka mereka mengharapkan penasehat keuangannya juga mempunyai pengalaman multinasional (Redaksi MA, 2002). Oleh karena itu, akuntansi menajemen strategik merupakan salah satu jawaban akuntansi atas problematika tersebut. Penggunaan akuntansi manajemen tradisional untuk maksimisasi profit dan tujuan jangka pendek, telah dikembangkan menjadi pendekatan yang berfokus pada pencapaian kompetensi perusahaan yang berkelanjutan. Jika akuntansi manajemen tradisional yang berorientasi pada penyajian informasi bagi pengambilan keputusan berdasarkan aspek akuntabilitas, pengendalian biaya dan maksimisasi laba jangka pendek diutamakan bagi level operasional perusahaan, akuntansi manajemen strategik justru mengembangkan ruang lingkup akuntansi menjadi suatu proses penyajian informasi yang juga ditujukan pada perubahan perilaku, tidak saja bagi tingkatan operasional perusahaan namun juga tingkatan manajemen yang lebih strategis (Hutagalung, 2002).<br />Dengan ditemukannya konsep "Balance Scorecard", maka perkembangan akuntansi terasa semakin cepat belakangan ini. BSC menekankan bahwa semua ukuran financial dan non financial menjadi bagian system informasi untuk para pekerja di semua tingkat perusahaan. Tujuan dan ukuran BSC lebih sekedar sekumpulan ukuran kinerja khusus financial dan nonfinancial. Semua tujuan dan ukuran ini diturunkan dari suatu proses dari atas ke bawah yang digerakkan oleh misi dan strategi unit bisnis. Hal ini menjadi bahan perhatian yang perlu dipertimbangkan, karena scorecard merupakan suatu benturan antara keharusan membangun suatu kapabilitas kompetitif jangka panjang dengan tujuan yang tidak tergoyahkan dari model akuntansi biaya keuangan historis (Lubis dan Sutapa, 2003), konsep ini juga termasuk kedalam dua perubahan signifikan dari pelaporan tradisional (Latslaw dan Choi, 2002). Pertama, penggabungan dari alat non-financial. Kedua, Perubahan terpenting dalam mensejajarkan alat dengan strategi perusahaan.<br />Dalam usaha menyatukan arah dari setiap unsur-unsur ini secara bersamaan, maka balance scorecard membantu top menajemen mengkomunikasikan strategi mereka kepada organisasi, dan mengevaluasi kemajuan prestasi serta strategi organisasi. Akuntan seharusnya merangkul konsep balance scorecard, dan seharusnya membolehkan dalam pengimplementasiannya. Jika hal tersebut dilakukan, akuntan dapat meningkatkan nilai mereka terhadap suatu organisasi dan soliditi posisi mereka sebagai nilai dan anggota strategi team manajemen.<br />2. PENGUKURAN KINERJA<br />Pada saat perusahaan di seluruh dunia mengubah dirinya untuk kompetisi yang didasarkan pada informasi, kemampuan mereka untuk mengeksploitasi aktiva tidak berwujud (intangible asset) telah menjadi semakin positif dibandingkan kemampuan mereka untuk berinvestasi dan mengatur asset nyata (physical asset). Dalam akuntansi manajemen tradisional, pengukuran kinerja manajemen hanya didasarkan pada aspek-aspek keuangan semata, sebab ukuran keuangan dapat dengan mudah diperoleh berupa nilai kuantitatif yang berasal dari laporan keuangan. Sementara kinerja-kinerja non keuangan diabaikan karena dianggap sulit diukur dan memiliki kelemahan yang cukup menggangu yaitu ketidak mampuannya mengukur aktiva tak berwujud (intangible asset) dan harta-harta intelektual sumberdaya manusia (Rahman, 2001).<br />Beberapa cara yang digunakan dalam manajemen tradisional untuk mengukur kinerja organisasi adalah dengan menggunakan ROI (return on Investment), EVA (Economic Value Added) dan lain-lain. Semua pengukuran tersebut menggunakan persfektif keuangan dalam jengka pendek, mungkin manajer dapat menghasilkan kinerja yang baik meskipun mengabaikan non keuangan, tetapi tidak untuk jangka panjang. Menilai kinerja perusahaan semata-mata dari aspek keuangan akan sangat menyesatkan kinerja, keuangan yang baik saat ini sangat boleh jadi telah mengorbankan/telah diciptakan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan jangka panjang. Sebaliknya, keuangan yang kurang baik saat ini, biasa disebabkan karena perusahaan melakukan investasi untuk kepentingan jangka panjang.<br />3. PERUBAHAN PERAN AKUNTAN<br />Pada Mei 1998, Peter Leitner menunjukkan beberapa perubahan signifikan dari peran akuntan. Dia mengatakan dalam artikelnya "beyond the number" accounting manager, pengendalian, treasures, dan chief financial officer mengharapkan organisasi mereka berjalan dibalik fungsi akuntansi tradisional, dan pengoperasiannya seperti strategi korporate yang baik. Bukti lebih lanjut dari peran perubahan akuntan terjadi pada Maret 1999, ketika Institute of Management Accountants (IMA) berubah nama dengan mempublikasikan "The Management Accountant" ke "Strategic Finance". Pemimpin IMA's mencium kegagalan akuntansi manajemen, tetapi perubahan diperlukan untuk memperluas peran akuntan yang bermain dalam organisasi (Latslaw dan Choi, 2002). Pada Juni 1999, George Deeble mengatakan bahwa "akuntan akan mampu berperan aktif dalam menjalankan perusahaan", dia mengatakan bahwa bagian terpenting dari membangun keberhasilan perusahaan telah mempunyai proses internal yang baik, dimana salah satu dari akuntan membantu perusahaan membangun infrastruktur yang baik". Kemungkinan contoh terbaik dari perubahan akuntan yang ditemukan dalam organisasi ditunjukkan dalam artikel "Counting More, Counting Less: Transformation in the Management Accounting Profession". Pada artikel September 1999, yang ditulis Russell, Siegel dan Kulesza membandingkan tanggapan mereka terhadap organisasi akuntan dari praktek IMA's 1999 dengan menganalisa akuntansi manajemen dan akuntan dari praktek IMA's 1995. Perbandingan ini menghasilkan beberapa perubahan signifikan yang terjadi dalam profesi akuntan manajemen selam lima tahun ini. Beberapa dari kesimpulan mereka adalah :<br />dibandingkan dengan lima tahun yang Ialu, 70 % dari responden merasakan bahwa orang-orang yang berada diluar dari fungsi finance mempercayai akuntan manajemen membawa nilai lebih bagi organisasi.<br />Akuntan yang bekerja pada bagian akuntansi, secara tradisional lebih dari 20% responden mengatakan bahwa setidaknya setengah dari akuntan manajemen sekarang beroperasi dibagian lokasi tersebut, dimana mereka melayani bagian dari business team.<br />Lebih dari lima tahun yang Ialu, ada perubahan yang signifikan ditempat kerja yang dilakukan akuntan manajemen. Hasilnya mengindikasikan bahwa lebih banyak waktu yang dihabiskan konsultan internal, dan banyak kritikan aktivitas akuntan terlibat didalam perancangan strategik.<br />Russel, Siegel, dan kulesza menyimpulkan bahwa akuntan menejemen akan menjadi lebih terlibat dalam menjalankan bisnis. Sebagai tambahan, peran dari akuntan manajemen telah berjalan sesuai "business partner" manjadi seorang anggota dari team manajemen strategik.<br />Pernyataan sebelumnya menyediakan bukti yang membandingkan peran akuntan dalam perluasan organisasi, dan akuntan semakin lama semakin berkesempatan menunjukkan kemampuan mereka dan meningkatkan nilai mereka bagi organisasi sebagai seorang anggota team manajemen strategik. Bagaimanapun juga, untuk beberapa lingkup, kesempatan ini dapat tertutup jika akuntan tidak mampu menangkap moment didalamnya.<br />Dalam artikelnya Jon Scheuman's pada April 1999, "Why isn't the controller Having More Impact", dia memperingatkan dalam banyak kasus bahwa Controllers telah gagal dalam memperbaiki executives dan manajer operasional sepanjang mereka membuat perencanaan. Balance Scorecard dapat menjadi suatu jenis alat bagi akuntan yang dapat membawa nilai bagi anggota dari team manajemen strategik.<br />4. BALANCE SCORECARD<br />Pada tahun 1992, Robert Kaplan dan David Norton memperkenalkan suatu sistem alat yang mereka sebut "The Balance Scorecard". Mereka mengatakan bahwa kekurangan dari manajemen terhadap organisasi semata-mata karena menggunakan alat keuangan tradisional, seperti return on investment dan earning pershare. Kaplan dan Norton menyadari bahwa ukuran keuangan telah berbeda dengan baik dalam suatu daerah industri. Tetapi keluaran dari langkah dengan kemampuan dan kompetensi perusahaan yang mencoba dikuasai pada saat ini, tingginya persaingan lingkungan yang dihadapi perusahaan (Kaplan dan Norton, 1992 dalam Latshaw dan Choi, 2002).<br />Balance Scorecard terdiri dari suatu susunan alat keuangan tradisional yang mengindikasikan bahwa hasil dari tindakan telah diambil, dan sasaran terhadap alat operasional mengindikatorkan terhadap kinerja laporan keuangan masa depan, yang lebih penting lagi, BSC dimulai dengan strategi organisasi dari tujuan operasional dan tujuan mendirikan, dan alat kinerja telah dikembangkan dalam jajaran dengan strategi organisasi. Akhirnya, alat keuangan ditentukan untuk memastikan bahwa hubungan diantara strategi dan perbaikan alat kinerja diterjemahkan kedalam memperbaiki keberhasilan keuangan.<br />Ada beberapa isu-isu kunci yang dibutuhkan dalam menyoroti hubungan didalam Balance Scorecard. Pertama, strategi organisasi adalah point awal dari proses bahwa memungkinkan top manajemen menjadikan dalam pikiran mereka apa yang menjadi strategi perusahaan adalah apa tujuan yang dibutuhkan menyelesaikan berdasarkan strategi. Secara objektif, kegiatan operasional dibutuhkan untuk menyempurnakan tujuan, dan alat operasional keuangan diperlukan untuk memonitor keberhasilan operasional, atau semua dilakukan berdasarkan strategi.<br />4 Persfektif dalam Balance Scorecard<br />Balance Scorecard menerjemahkan misi dan strategi kedalam berbagai tujuan dan ukuran, yang tersusun kedalam empat persfektif yang meliputi, financial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan dan Norton, 1992 dalam Lubis dan Sutapa, 2003). Empat persfektif Scorecard memberi keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, antara hasil yang diinginkan dengan faktor pendorong tercapainya hasil tersebut, dan antara ukuran obyektif yang keras dengan ukuran subjektif yang lebih lunak.<br />Persfektif Financial<br />BSC tetap menggunakan persfektif financial karena ukuran financial sangat penting bagi perusahaan. Ukuran financial memberikan petunjuk apakah strategi perusahaan, implementasi dan pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak kepada peningkatan laba perusahaan. Pada saat perusahaan melakukan pengukuran secara financial, maka hal pertama yang dilakukan adalah mendeteksi kebenaran industri yang dimilikinya, apakah dalam tahap perkembangan growth, sustain, atau harvest (Norton dan Kaplan; 1996, Monika; 2000). Ketiga tahapan tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap ukuran penelitian.<br />Dalam persfektif financial, scorecard memungkinkan para eksekutif senior setiap unit bisnis untuk menetapkan bukan hanya ukuran yang mengevaluasi keberhasilan jangka panjang perusahaan, tetapi juga berbagai variabel yang dianggap paling penting untuk menciptakan dan mendorong tercapainya tujuan jangka panjang.<br />Persfeklif Pelanggan<br />Perusahaan melakukan identifikasi pelanggan dan segmen pasar yang akan dimasuki. Segmen pasar merupakan sumber yang akan menjadi komponen penghasilan tujuan financial perusahan. Persfektif pelanggan memungkinkan perusahaan menyelaraskan berbagai ukuran pelanggan penting-kepuasan, loyalitas, retensi, akuisisi, dan probabilitas dengan pelanggan dan segmen pasar sasaran. Para manager juga harus mengenali apa yang dinilai tinggi oleh para segmen sasaran dan memilih proposisi nilai apa yang akan diberikan. Mereka kemudian dapat memilih tujuan dan ukuran dari tiga kelompok atribut, yang jika memuaskan memungkinkan perusahaan mempertahankan dan memperluas bisnis dengan pelanggan sasaran. Ketiga atribut itu adalah: atribut produk dan jasa, hubungan pelanggan serta citra dan reputasi.<br />Persfektif Proses Bisnis Internal<br />Dalam persfektif proses bisnis internal, para eksekutif mengidentifikasi berbagai proses internal penting yang harus dikuasai dengan baik oleh perusahaan. Proses ini memungkinkan unit bisnis untuk:<br />a. Memberikan proposisi nilai yang menarik perhatian dan mempertahankan pelanggan dalam segmen pasar sasaran, dan<br />b. Memenuhi harapan keuntungan financial yang tinggi dari para pemegang saham.<br />Persfektif proses ini mengungkapkan dua perbedaan ukuran kinerja yaitu pendekatan tradisional dengan pendekatan BSC. Pendekatan tradisional berusaha memantau dan meningkatkan proses bisnis yang ada saat ini. Sedangkan pendekatan BSC memadukan berbagai proses inovasi dalam persfektif proses bisnis internal. Pada peraga dibawah akan digambar suatu persfektif rantai nilai proses bisnis internal. Sistem pengukuran kinerja tradisional terfokus kepada proses penyampaian produk dan jasa perusahaan saat ini kepada pelanggan. Sistem tradisional digunakan dalam upaya mengendalikan dan memperbaiki proses saat ini yang dapat diumpankan sebagai gelombang pendek penciptan nilai. Gelombang pendek ini dimulai dengan diterimanya pesanan produk (jasa) perusahaan dan pelanggan dan berakhir dengan menyerahkan kepada pelanggan. Perusahaan menciptakan nilai dengan memproduksi, menyerahkan, dan memberikan produk dan layanan kepada pelanggan dengan biaya dibawah harga yang dibayar oleh pelanggan.<br />Persfektif Pembelajaran dan Pertumbuhan<br />Persfektif ini mengidentifikasi infrastruktur yang harus dibangun perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Tiga sumber utama pembelajaran dan pertumbuhan perusahaan dihasilkan dari : person, sistem dan prosedur perusahaan. Sementara kelompok pekerja yang utama dibedakan lagi menjadi 3 (tiga) yaitu : kepuasan, produk dan retensi yang memberikan ukuran hasil dari investasi yang ditawarkan atas para pekerja, sistem dan keselarasan perusahaan. Berbagai tujuan ini diartikulasikan dalam persfektif pembelajaran dan pertumbuhan Balance Scorecard. Secara keseluruhan BSC menerjemahkan visi dan strategi keberbagai tujuan dan ukuran dalam seperangkat persfektif yang seimbang. Scorecard terdiri atas berbagai ukuran hasil yang diinginkan perusahaan dan juga berbagai proses yang akan mendorong tercapainya hasil masa depan yang diinginkan.<br />Dalam perkambangan selanjutnya BSC tidak hanya dipakai untuk mengukur kinerja organisasi saja, tetapi berkembang menjadi inti dari sistem manajemen strategik. (Lubis dan Sutapa, 2003). Lebih dari sekedar pengukuran, BSC merupakan sistem manajemen yang memotivasi breakthrough improvement dalam semua bidang kritis, seperti produk, proses dan pelanggan serta pengembangan pasar. Ada empat proses manajemen strategik yang mengkombinasikan tujuan jangka panjang dan jangka pendek secara optimal yaitu :<br />Proses Translating the Vision. Proses ini membantu manager membangun konsensus visi dan strategi organisasi.<br />Proses Communicating and Linking. Proses ini mengajak manajemen mengkonfirmasikan tujuan individu dan departemen, setting tujuan, serta menghubungkan dengan reward dengan kinerja.<br />Proses Business Planning. Proses ini memungkinkan perusahaan mengintegrasikan perencanaan bisnis dan keuangan yang meliputi setting target, alokasi sumber daya, pelurusan inisiatif strategi dan penetapan kejadian-kejadian penting.<br />Proses Feedback and Learning. Mengartikulasikan bagian visi, menyiapkan umpan balik strategi, memfasilitasi review dan learning strategi.<br />5. MENUJU SISTEM MANAJEMEN STRATEGIK BARU<br />Tujuan dan pengukuran dalam BSC dijabarkan dari visi dan strategi dari perusahaan, sehingga tujuan penyempurnaan akuntansi manajemen agar terkait langsung dengan strategi perusahaan dapat tercapai. Setelah menilai kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kompetisi dalam sebuah industri dan penyebab yang mendasarinya, ahli strategi perusahaan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan. Kekuatan dan kelemahan yang terpenting dilihat dari sudut pandang strategik adalah postur perusahaan berkaitan dengan penyebab yang mendasari dari masing-masing kekuatan. Dimana posisinya terhadap pengganti? Terhadap sumber hambatan masuk?<br />Kemudian ahli strategi dapat membagi sebuah rencana tindakan yang dapat memasukkan, 1. Positioning perusahaan sehingga kemampuannya memberikan pertahanan terbaik terhadap kekuatan kompetitif. 2. Mempengaruhi keseimbangan kekuatan melalui langkah strategi sehingga meningkatkan posisi perusahaan, dan 3. Pengantisipasian pergeseran dalam faktor-faktor yang mendasari kekuatan dan meresponnya, dengan harapan perubahan eksploitasi dengan pemilihan sebuah strategi yang memadai untuk keseimbangan kompetitif baru sebelum lawan menyadarinya. Tujuan dan pengukuran tersebut memandang kinerja perusahaan dari empat persfektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta proses belajar dan pertumbuhan. BSC memberikan kerangka pemikiran untuk menjabarkan strategi kedalam segi operasionalnya. Dengan BSC tujuan suatu unit usaha tidak hanya dinyatakan dalam ukuran finansial, melainkan dijabarkan lebih lanjut kedalam pengukuran bagaimana unit usaha tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada sekarang dan dimasa yang akan datang dan bagaimana unit usaha tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya serta investasi pada manusia, sistem, prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik dimasa mendatang.<br />Banyak perusahaan menerapkan konsep balance scorecard untuk meningkatkan sistem pengukuran kinerja mereka. Penerapan konsep ini memberikan klarifikasi, konsensus, dan fokus pada peningkatan yang diharapkan dalam kinerja. Baru-baru ini, banyak perusahaan memperluas penggunaan balance scorecard mereka, yang menggunakannya sebagai landasan dari sistem manajemen strategic literatif terpadu (Rahman, 2001). Perusahaan menggunakan balance scorecard untuk:<br /><br />Mengklarifikasi dan memperbaharui strategi<br />Mengkomunikasikan strategi diseluruh perusahaan<br />Menyesuaikan tujuan unit dan individu dengan strategi<br />Menghubungkan dengan target jangka panjang dan anggaran tahunan<br />Identifikasi dan penyesuaian inisiatif strategik<br />Pelaksanaan review kinerja berkala untuk mempelajari dan meningkatkan strategi.<br />Kemungkinan banyak perusahaan yang telah menggunakan gabungan antara ukuran financial dan nonfinancial, baik dalam tinjauan manajemen senior maupun dalam berhubungan dengan dewan direksi. Khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini, dengan diperhatikannya kembali pelanggan dan proses mutu telah menyebabkan banyak perusahaan berusaha mendapatkan dan mengkomunikasikan ukuran kepuasan dan keluhan pelanggan, tingkat kesalahan produk dan proses, dan keterlambatan pengiriman produk. Ukuran yang cocok harus merupakan hubungan sebab akibat, serta gabungan berbagai ukuran hasil dan faktor pendorong kinerja perusahaan.<br />Balance Scorecard memungkinkan sebuah perusahaan untuk menyesuaikan proses manajemennya dan memfokuskan organisasi keseluruhan pada implementasi strategi jangka panjang. Tanpa balance scorecard, kebanyakan organisasi tidak mampu untuk mencapai konsistensi visi dan aksi serupa ketika mereka berupaya untuk merubah arah dan memperkenalkan proses dan strategi baru. Balance scorecard mamberikan kerangka untuk pengaturan implementasi strategi selain juga memungkinkan strategi itu sendiri untuk berkembang sebagai respon terhadap perubahan dalam pasar kompetitif perusahaan dan lingkungan teknologi.<br />6. PENUTUP<br />Penggunaan akuntansi manajemen tradisional untuk maksimimasi profit dan tujuan jangka pendek, telah dikembangkan menjadi pendekatan yang berfokus pada pencapaian kompetensi perusahaan yang berkelanjutan. Dengan ditemukannya konsep "Balance Scorecard", maka perkembangan akuntansi terasa semakin cepat belakangan ini. BSC menekankan bahwa semua ukuran financial dan non financial menjadi bagian sistem informasi untuk para pekerja disemua tingkat perusahaan. Tujuan dan ukuran BSC lebih sekedar sekumpulan ukuran kinerja khusus financial dan nonfinancial.<br />Balance Scorecard terdiri dari suatu susunan alat keuangan tradisional yang mengindikasikan bahwa hasil dari tindakan telah diambil, dan sasaran terhadap alat operasional mengindikatorkan terhadap kinerja laporan keuangan masa depan, yang lebih penting lagi, BSC dimulai dengan strategi organisasi dari tujuan operasional dan tujuan mendirikan, dan alat kinerja telah dikembangkan dalam jajaran dengan strategi organisasi. Penerapan konsep ini memberikan klarifikasi, konsensus, dan fokus pada peningkatan yang diharapkan dalam kinerja. Baru-baru ini, banyak perusahaan memperluas penggunaan balance scorecard mereka, yang menggunakannya sebagai landasan dari sistem manajemen strategic literatif terpadu.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-83061486564513305072008-03-12T21:45:00.001+07:002008-07-04T02:00:23.007+07:00AUDIT KINERJA PADA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK PEMERINTAHFOKUS EKONOMI, AGUSTUS 2004<br />AUDIT KINERJA PADA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK PEMERINTAH<br /><br />Oleh : Achmad Badjuri & Elisa Trihapsari<br />STIE Stikubank Semarang, STIE Semarang<br />ABSTRAKSI<br />Akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan pemerintah pusat maupun daerah sebagai organisasi sektor publik merupakan tujuan penting dari reformasi akuntansi dan administrasi sektor publik. Untuk dapat memastikan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah yang telah dilakukan aparatur pemerintah , maka fungsi akuntabilitas dan audit atas pelaporann keuangan sektor publik harus berjalan dengan baik. Seiring dengan tuntutan masyarakat agar organisasi sektor publik meningkatkan kualitas, profesionalisme dan akuntabilitas publik dalam menjalankan aktivitasnya, diperlukan audit yang tidak hanya terbatas pada keuangan dan kepatuhan saja, tetapi perlu diperluas dengan melakukan audit terhadap kinerja sektor publik.<br />I. PENDAHULUAN<br />Selama ini sektor publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Keluhan "birokrat tidak mampu berbisnis" ditujukan untuk mengkritik buruknya kinerja perusahaan-perusahaan sektor publik. Pemerintah sebagai salah satu organisasi sektor publik pun tidak luput dari tudingan ini. Organisasi sektor publik pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih.<br />Pemerintahan yang bersih atau good governance ditandai dengan tiga pilar utama yang merupakan elemen dasar yang saling berkaitan (Prajogo, 2001). Ketiga elemen dasar tersebut adalah partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Suatu pemerintahan yang baik harus membuka pintu yang seluas-luasnya agar semua pihak yang terkait dalam pemerintahan tersebut dapat berperan serta atau berpartisipasi secara aktif, jalannya pemerintahan harus diselenggarakan secara transparan dan pelaksanaan pemerintahan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam bahasa akuntansi, akuntabilitas (kemampuan memberikan pertanggungjawaban) merupakan dasar dari pelaporan keuangan (Wilopo, 2001). Pelaporan keuangan pemerintah tersebut memegang peran yang penting agar dapat memenuhi tugas pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dalam suatu masyarakat yang demokratis.<br />Fokus Ekonomi – Vol.3 – No.2 – Agustus 2004<br />Dalam negara demokrasi, "pelaporan keuangan yang transparan" merupakan sesuatu yang dituntut oleh rakyat kepada pemerintahnya. Sebaliknya, dalam negara demokrasi, pemerintah berkewajiban memberikan laporan keuangan yang transparan kepada rakyat. Pemerintah demokratis harus bertanggung jawab atas integritas, kinerja dan kepengurusan, sehingga pemerintah harus menyediakan informasi yang berguna untuk menaksir akuntabilitas serta membantu dalam pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik. Pemerintah adalah entitas pelapor (reporting entity) yang harus membuat laporan keuangan dengan beberapa pertimbangan berikut : (Partono, 2000) :<br />Pemerintah menguasai dan mengendalikan sumber-sumber yang signifikan<br />Penggunaan sumber-sumber tersebut oleh pemerintah dapat berdampak luas terhadap kesejahteraan ekonomi rakyat<br />Terdapat pemisahan antara manajemen dan pemilikan sumber-sumber tersebut<br />Laporan keuangan yang dihasilkan oleh organisasi sektor publik pemerintah merupakan instrumen utama untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik (Mardiasmo, 2002). Akuntabilitas mengacu pada kewajiban perseorangan, suatu kelompok atau suatu organisasi yang diasumsikan harus melaksanakan kewenangan dan/atau pemenuhan tanggung jawab. Kewajiban tersebut meliputi :<br />Answering, usaha untuk memberikan penjelasan atau justifikasi untuk pelaksanaan dan/atau pemenuhan tanggung jawab<br />Reporting, pelaporan hasil atas pelaksanaan dan/atau pemenuhan<br />Producing, asumsi kewajiban atas hasil yang dicapai<br />Adanya tuntutan yang semakin besar terhadap pelaksanaan akuntabilitas publik menimbulkan implikasi bagi manajemen sektor publik untuk memberikan informasi kepada publik, salah satunya melalui informasi akuntansi yang berupa laporan keuangan. Dilihat dari sisi internal organisasi, laporan keuangan sektor publik merupakan alat pengendalian dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasi. Sedangkan dari sisi eksternal, laporan keuangan merupakan alat pertanggungjawaban kepada publik dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Menurut GASB, tujuan laporan keuangan sektor publik adalah (Mardiasmo, 2002) :<br />Mempertanggungjawabkan pelaksanaan fungsinya (demonstrating accountability)<br />Melaporkan hasil operasi (reporting operating result)<br />Melaporkan kondisi keuangan (reporting financial condition)<br />Melaporkan sumber daya jangka panjang (reporting long live resources)<br />Seiring dengan munculnya tuntutan dari masyarakat agar organisasi sektor publik mempertahankan kualitas, profesionalisme dan akuntabilitas publik serta value for money dalam menjalankan aktivitasnya serta untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh organisasi sektor publik, maka diperlukan audit terhadap organisasi sektor publik tersebut. Audit yang dilakukan tidak hanya terbatas pada audit keuangan dan kepatuhan, namun perlu diperluas dengan melakukan audit terhadap kinerja organisasi sektor publik tersebut.<br /><br />II. JENIS-JENIS AUDIT DALAM AUDIT SEKTOR PUBLIK<br />Audit yang dilakukan pada sektor publik pemerintah berbeda dengan yang dilakukan pada sektor swasta. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang institusional dan hukum, dimana audit sektor publik pemerintah mempunyai prosedur dan tanggung jawab yang berbeda serta peran yang lebih luas dibanding audit sektor swasta (Wilopo, 2001).<br />Secara umum, ada tiga jenis audit dalam audit sektor publik, yaitu audit keuangan (financial audit), audit kepatuhan (compliance audit) dan audit kinerja (performance audit). Audit keuangan adalah audit yang menjamin bahwa sistem akuntansi dan pengendalian keuangan berjalan secara efisien dan tepat serta transaksi keuangan diotorisasi serta dicatat secara benar. Audit kepatuhan adalah audit yang memverifikasi/memeriksa bahwa pengeluaran-pengeluaran untuk pelayanan masyarakat telah disetujui dan telah sesuai dengan undang-undang peraturan. Dalam audit kepatuhan terdapat asas kepatutan selain kepatuhan (Harry Suharto, 2002). Dalam kepatuhan yang dinilai adalah ketaatan semua aktivitas sesuai dengan kebijakan, aturan, ketentuan dan undang-undang yang berlaku. Sedangkan kepatutan lebih pada keluhuran budi pimpinan dalam mengambil keputusan. Jika melanggar kepatutan belum tentu melanggar kepatuhan.<br />Audit yang ketiga adalah audit kinerja yang merupakan perluasan dari audit keuangan dalam hal tujuan dan prosedurnya. Audit kinerja memfokuskan pemeriksaan pada tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi yang menggambarkan kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Audit kinerja merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi, efektifitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan dan hukum yang berlaku, menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut.<br /><br />III. AUDIT KINERJA SEKTOR PUBLIK PEMERINTAH<br />Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi dengan biaya yang rendah. Kinerja yang baik bagi suatu organisasi dicapai ketika administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat yang ekonomis, efisien dan efektif. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat diartikan secara terpisah. Konsep ekonomi memastikan bahwa biaya input yang digunakan dalam operasional organisasi dapat diminimalkan. Konsep efisien memastikan bahwa output yang maksimal dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia. Sedangkan konsep efektif berarti bahwa jasa yang disediakan/dihasilkan oleh organisasi dapat melayani kebutuhan pengguna jasa dnegan tepat.<br />Jadi, audit yang dilakukan dalam audit kinerja meliputi audit ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Audit ekonomi dan efisiensi disebut management audit atau operational audit, sedangkan audit efektivitas disebut program audit. Istilah lain untuk performance audit adalah Value for Money Audit atau disingkat 3E’s audit (economy, efficiency and effectiveness audit). Penekanan kegiatan audit pada ekonomi, efisiensi dan efektivitas suatu organisasi memberikan ciri khusus yang membedakan audit kinerja dengan audit jenis lainnya.<br />Berikut ini adalah karakteristik audit kinerja yang merupakan gabungan antara audit manajemen dan audit program.<br />3E<br />Ekonomi<br />Efektivitas<br />Efisiensi<br />Audit Kinerja/ Value Money for Audit<br />Audit Program<br />Audit Manajemen<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />A. Audit Ekonomi dan Efisiensi<br />Konsep yang pertama dalam pengelolaan organisasi sektor publik adalah ekonomi, yang berarti pemerolehan input dengan kualitas dan kuantits tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan, yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif.<br />Konsep kedua dalam penegelolaan organisasi sektor publik adalah efisiensi, yang berarti pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan.<br />Dapat disimpulkan bahwa ekonomi mempunyai arti biaya terendah, sedangkan efisiensi mengacu pada rasio terbaik antara output dengan biaya (input). Karena output dan biaya diukur dalam unit yang berbeda, maka efisiensi dapat terwujud ketika dengan sumber daya yang ada dapat dicapai output yang maksimal atau output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang sekecil-kecilnya.<br />Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan bahwa suatu entitas telah memperoleh, melindungi, menggunakan sumber dayanya (karyawan, gedung, ruang dan peralatan kantor) secara ekonomis dan efisien. Selain itu juga bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi penyebab terjadinya praktik-praktik yang tidak ekonomis atau tidak efisien, termasuk ketidakmampuan organisasi dalam mengelola sistem informasi, prosedur administrasi dan struktur organisasi<br />Menurut The General Accounting Office Standards (1994), beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam audit ekonomi dan efisiensi, yaitu dengan mempertimbangkan apakah entitas yang diaudit telah: (1) mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang sehat; (2) melakukan pengadaan sumber daya (jenis, mutu dan jumlah) sesuai dengan kebutuhan pada biaya terendah; (3) melindungi dan memelihara semua sumber daya yang ada secara memadai; (4) menghindari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang tanpa tujuan atau kurang jelas tujuannya; (5) menghindari adanya pengangguran sumber daya atau jumlah pegawai yang berlebihan; (6) menggunakan prosedur kerja yang efisien; (7) menggunakan sumber daya (staf, peralatan dan fasilitas) yang minimum dalam menghasilkan atau menyerahkan barang/jasa dengan kuantitas dan kualitas yang tepat; (8) mematuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan, pemeliharaan dan penggunaan sumber daya Negara; (9) melaporkan ukuran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai kehematan dan efisiensi (Mardiasmo, 2002)<br />Untuk dapat mengetahui apakah organisasi telah menghasilkan output yang optimal dengan sumber daya yang dimilikinya, auditor dapat membandingkan output yang telah dicapai pada periode yang bersangkutan dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, kinerja tahun-tahun sebelumnya dan unit lain pada organisasi yang sama atau pada organisasi yang berbeda.<br />B. Audit Efektivitas<br />Konsep yang ketiga dalam pengelolaan organisasi sektor publik adalah efekivitas. Efektivitas berarti tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output. Outcome seringkali dikaitkan dengan tujuan (objectives) atau target yang hendak dicapai. Jadi dapat dikatakan bahwa efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan. Sedangkan menurut Audit Commission (1986) disebutkan bahwa efektivitas berarti menyediakan jasa-jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang berwenang untuk mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya (Mardiasmo, 2002).<br />Audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang diinginkan, kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan menentukan apakah entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif lain yang memberikan hasil yang sama dengan biaya yang paling rendah. Secara lebih rinci, tujuan pelaksanaan audit efektivitas atau audit program adalah dalam rangka: (1) menilai tujuan program, baik yang baru maupun yang sudah berjalan, apakah sudah memadai dan tepat; (2) menentukan tingkat pencapaian hasil suatu program yang diinginkan; (3) menilai efektivitas program dan atau unsur-unsur program secara terpisah; (4) mengidentifikasi faktor yang menghambat pelaksanaan kinerja yang baik dan memuaskan; (5) menentukan apakah manajemen telah mempertimbangkan alternatif untuk melaksanakan program yang mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik dan dengan biaya yang lebih rendah; (6) menentukan apakah program tersebut saling melengkapi, tumpang-tindih atau bertentangan dengan program lain yang terkait; (7) mengidentifikasi cara untuk dapat melaksanakan program tersebut dengan lebih baik; (8) menilai ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk program tersebut; (9) menilai apakah sistem pengendalian manajemen sudah cukup memadai untuk mengukur, melaporkan dan memantau tingkat efektivitas program; (10) menentukan apakah manajemen telah melaporkan ukuran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai efektivitas program<br />Efektivitas berkenaan dengan dampak suatu output bagi pengguna jasa. Untuk mengukur efektivitas suatu kegiatan harus didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika hal ini belum tersedia, auditor bekerja sama dengan manajemen puncak dan badan pembuat keputusan untuk menghasilkan kriteria tersebut dengan berpedoman pada tujuan pelaksanaan suatu program. Meskipun efektivitas suatu program tidak dapat diukur secara langsung, ada beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan suatu program, yaitu mengukur dampak/pengaruh, evaluasi oleh konsumen dan evaluasi yang menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil.<br />Tingkat komplain dan tingkat permintaan dari pengguna jasa dapat dijadikan sebagai pengukuran standar kinerja yang sederhana untuk berbagai jasa. Evaluasi terhadap pelaksanaan suatu program hendaknya mempertimbangkan apakah program tersebut relevan atau realistis, apakah ada pengaruh dari program tersebut, apakah program telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan apakah ada cara-cara yang lebih baik dalam mencapai hasil.<br />C. Struktur Audit Kinerja<br />Sebelum melakukan audit, auditor terlebih dahulu harus memperoleh informasi umum organisasi guna mendapatkan pemahaman yang memadai tentang lingkungan organisasi yang diaudit, struktur organisasi, misi organisasi, proses kerja serta sistem informasi dan pelaporan. Pemahaman lingkungan masing-masing organisasi akan memberikan dasar untuk memperoleh penjelasan dan analisis ynag lebih mendalam mengenai sistem pengendalian manajemen.<br />Berdasarkan hasil analisis terhadap kelemahan dan kekuatan sistem pengendalian dan pemahaman mengenai keluasan (scope), validitas dan reabilitas informasi kinerja yang dihasilkan oleh entitas/organisasi, auditor kemudian menetapkan kriteria audit dan mengembangkan ukuran-ukuran kinerja yang tepat. Berdasarkan rencana kerja yang telah dibuat, auditor melakukan pengauditan, mengembangkan hasil-hasil temuan audit dan membandingkan antara kinerja yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil temuan kemudian dilaporkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan yang disertai dengan rekomendasi yang diusulkan oleh auditor. Pada akhirnya, rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan oleh auditor akan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang.<br />Struktur audit kinerja terdiri atas tahap pengenalan dan perencanaan, tahap pengauditan, tahap pelaporan dan tahap penindaklanjutan. Pada tahap pengenalan dilakukan survei pendahuluan dan review sistem pengendalian manajemen. Pekerjaan yang dilakukan pada survei pendahuluan dan review sistem pengendalian manajemen bertujuan untuk menghasilkan rencana penelitian yang detail yang dapat membantu auditor dalam mengukur kinerja dan mengembangkan temuan berdasarkan perbandingan antara kinerja dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.<br />Tahap pengauditan dalam audit kinerja terdiri dari tiga elemen, yaitu telaah hasil-hasil program, telaah ekonomi dan efisiensi dan telaah kepatuhan. Tahapan-tahapan dalam audit kinerja disusun untuk membantu auditor dalam mencapai tujuan audit kinerja. Review hasil-hasil program akan membantu auditor untuk mengetahui apakah entitas telah melakukan sesuatu yang benar. Review ekonomis dan efisiensi akan mengarahkan auditor untuk mengetahui apakah entitas telah melakukan sesuatu yang benar secara ekonomis dan efisien. Review kepatuhan akan membantu auditor untuk menentukan apakah entitas telah melakukan segala sesuatu dengan cara-cara yang benar, sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku. Masing-masing elemen tersebut dapat dijalankan sendiri-sendiri atau secara bersama-sama, tergantung pada sumber daya yang ada dan pertimbangan waktu.<br />Tahap pelaporan merupakan tahapan yang harus dilaksanakan karena adanya tuntutan yang tinggi dari masyarakat atas pengelolaan sumber daya publik. Hal tersebut menjadi alasan utama untuk melaporkan keseluruhan pekerjaan audit kepada pihak manajemen, lembaga legislatif dan masyarakat luas. Penyampaian hasil-hasil pekerjaan audit dapat dilakukan secara formal dalam bentuk laporan tertulis kepada lembaga legislatif maupun secara informal melalui diskusi dengan pihak manajemen. Namun demikian, akan lebih baik bila laporan audit disampaikan secara tertulis, karena pengorganisasian dan pelaporan temuan-temuan audit secara tertulis akan membuat hasil pekerjaan yang telah dilakukan menjadi lebih permanen. Selain itu, laporan tertulis juga sangat penting untuk akuntabilitas publik. Laporan tertulis merupakan ukuran yang nyata atas nilai sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor. Laporan yang disajikan oleh auditor merupakan kriteria yang penting bagi kesuksesan atau kegagalan pekerjaannya.<br />Tahapan yang terakhir adalah tahap penindaklanjutan, dimana tahap ini didesain untuk memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi yang diusulkan oleh auditor sudah diimplentasikan. Prosedur penindaklanjutan dimulai dengan tahap perencanaan melalui pertemuan dengan pihak manajemen untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi organisasi dalam mengimplementasikan rekomendasi auditor. Selanjutnya, auditor mengumpulkan data-data yang ada dan melakukan analisis terhadap data-data tersebut untuk kemudian disusun dalam sebuah laporan.<br /><br />IV. PERLUNYA MENJAGA KUALITAS AUDIT SEKTOR PUBLIK<br />Audit sektor publik tidak hanya memeriksa serta menilai kewajaran laporan keuangan sektor publik, tetapi juga menilai ketaatan aparatur pemerintahan terhadap undang-undang dan peraturan yang berlaku. Disamping itu, auditor sektor publik juga memeriksa dan menilai sifat-sifat hemat (ekonomis), efisien serta keefektifan dari semua pekerjaan, pelayanan atau program yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian, bila kualitas audit sektor publik rendah, akan mengakibatkan risiko tuntutan hukum (legitimasi) terhadap pejabat pemerintah dan akan muncul kecurangan, korupsi, kolusi serta berbagai ketidakberesan.<br />a. Kapabilitas Teknikal Auditor<br />Kualitas audit sektor publik pemerintah ditentukan oleh kapabilitas teknikal auditor dan independensi auditor (Wilopo, 2001). Kapabilitas teknikal auditor telah diatur dalam standar umum pertama, yaitu bahwa staf yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara kolektif memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk tugas yang disyaratkan, serta pada standar umum yang ketiga, yaitu bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Disamping standar umum, seluruh standar pekerjaan lapangan juga menggambarkan perlunya kapabilitas teknikal seorang auditor.<br />b. Independensi Auditor<br />Independensi auditor diperlukan karena auditor sering disebut sebagai pihak pertama dan memegang peran utama dalam pelaksanaan audit kinerja, karena auditor dapat mengakses informasi keuangan dan informasi manajemen dari organisasi yang diaudit, memiliki kemampuan profesional dan bersifat independen. Walaupun pada kenyataannya prinsip independen ini sulit untuk benar-benar dilaksanakan secara mutlak, antara auditor dan auditee harus berusaha untuk menjaga independensi tersebut sehingga tujuan audit dapat tercapai. Independensi auditor merupakan salah satu dasar dalam konsep teori auditing. Dalam hal ini ada dua aspek independensi, yaitu independensi yang sesungguhnya (real independence) dari para auditor secara individual dalam menyelesaikan pekerjaannya, yang biasa disebut dengan "practitioner independence". Real independence dari para auditor secara individual mengandung dua arti, yaitu kepercayaan diri (self reliance) dari setiap personalia dan pentingnya istilah yang berkaitan dengan opini auditor atas laporan keuangan. Aspek independensi yang kedua adalah independensi yang muncul/tampak (independence in appearance) dari para auditor sebagai kelompok profesi yang biasa disebut "profession independence".<br />Disamping dua aspek di atas, independensi memiliki tiga dimensi, yaitu independensi dalam mebuat program, independensi dalam melakukan pemeriksaan dan independensi dalam membuat laporan. Independensi dalam membuat program meliputi bebas dari campur tangan dan perselisihan dengan auditee yang dimaksudkan untuk membatasi, menetapkan dan mengurangi berbagai bagian audit; bebas dari campur tangan dengan atau suatu sikap yang tidak kooperatif yang berkaitan dengan prosedur yang dipilih dan bebas dari berbagai usaha yang dikaitkan dengan pekerjaan audit untuk mereview selain dari yang diberikan dalam proses audit.<br />Independensi dalam melakukan pemeriksaan meliputi akses langsung dan bebas terhadap semua buku, catatan, pejabat dan karyawan serta sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan, kewajiban dan sumber daya yang diperiksa; kerja sama yang aktif dari pimpinan yang diperiksa selama pelaksanaan pemeriksaan; bebas dari berbagai usaha pihak diperiksa untuk menentukan kegiatan pemeriksaan atau untuk menentukan dapat diterimanya suatu bukti dan bebas dari kepentingan dan hubungan pribadi yang mengakibatkan pembatasan pengujian atas berbagai kegiatan dan catatan<br />Independensi dalam membuat laporan meliputi bebas dari berbagai perasaan loyal atau kewajiban untuk mengurangi dampak dari fakta-fakta yang dilaporkan; pengabaian penggunaan yang sengaja atau tidak sengaja dari bahasa yang mendua dalam pernyataan fakta, pendapat dan rekomendasi serta dalam penafsirannya dan bebas dari berbagai usaha untuk menolak pertimbangan auditor sebagai kandungan yang tepat dari laporan audit, baik dalam hal yang faktual maupun opininya<br />Jadi, untuk meningkatkan sikap independensi auditor sektor publik, maka kedudukan auditor sektor publik baik secara pribadi maupun kelembagaan, harus terbebas dari pengaruh dan campur tangan serta terpisah dari pemerintah. Auditor yang independen dapat menyampaikan laporannya kepada semua pihak secara netral.<br />V. PENUTUP<br />Selama ini sektor publik/pemerintah tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara, padahal sektor publik merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih.<br />Seiring dengan munculnya tuntutan dari masyarakat agar organisasi sektor publik mempertahankan kualitas, profesionalisme dan akuntabilitas publik serta value for money dalam menjalankan aktivitasnya, diperlukan audit terhadap organisasi sektor publik tersebut. Akan tetapi, audit yang dilakukan tidak hanya terbatas pada audit keuangan dan kepatuhan saja, namun perlu diperluas dengan melakukan audit terhadap kinerja organisasi sektor publik tersebut.<br />Audit kinerja memfokuskan pemeriksaan pada tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi yang menggambarkan kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Audit kinerja merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi, efektifitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan dan hukum yang berlaku, menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut.<br />Kemampuan mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) dari sektor publik pemerintah sangat tergantung pada kualitas audit sektor publik. Tanpa kualitas audit yang baik, maka akan timbul permasalahan, seperti munculnya kecurangan, korupsi, kolusi dan berbagai ketidakberesan di pemerintahan. Kualitas audit sektor publik dipengaruhi oleh kapabilitas teknikal auditor serta independensi auditor baik secara pribadi maupun kelembagaan. Untuk meningkatkan sikap independensi auditor sektor publik, maka kedudukan auditor sektor publik harus terbebas dari pengaruh dan campur tangan serta terpisah dari pemerintah, baik secara pribadi maupun kelembagaan.<br /><br />REFERENSI<br />Harry Suharto. 2002. "Compliance Audit Pemerintah Daerah". Media Akuntansi. Edisi 26. Mei – Juni. pp. 14 – 15<br />Ikatan Akuntan Indonesia. 2000. Exposure Draft Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik. Jakarta.<br />_______. 2002. Standar Akuntansi Keuangan per 1 April 2002. Salemba Empat. Jakarta.<br />Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.<br />_______. 2002. "Elaborasi Reformasi Akuntansi Sektor Publik: Telaah Kritis terhadap Upaya Aktualisasi Kebutuhan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah". Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. FE UII Yogyakarta. Vol. 6 No. 1. Juni. pp. 63 – 82.<br />Partono. 2000. "Laporan Keuangan Pemerintah: Upaya Menuju Transparansi dan Akuntabilitas". Media Akuntansi. Edisi 14. Oktober. pp. 25 – 26.<br />Prajogo. 2001. "Perspektif Pemeriksa terhadap Implementasi Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik". Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik. Kompartemen Akuntan Sektor Publik Ikatan Akuntan Indonesia. Vol. 02 No. 02. Agustus. pp. 1 – 8.<br />Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.<br />_______. 2000. Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.<br />_______. 2000 Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban kepada Daerah.<br />Wilopo. 2001. "Faktor-faktor yang Menentukan Kualitas Audit pada Sektor Publik/Pemerintah". Ventura. STIE Perbanas Surabaya. Vol. 4 No. 1. Juni. pp. 27 – 32.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-31773056922516060462008-03-12T21:34:00.001+07:002008-07-04T02:00:23.007+07:00ASPEK MONETER, FINANSIAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Kontroversi Teoritis dan Bukti Empiris Lintas NegaraJURNAL BISNIS DAN EKONOMI, SEPTEMBER 1999<br />ASPEK MONETER, FINANSIAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Kontroversi Teoritis dan Bukti Empiris Lintas Negara<br /><br />Oleh : Agung Nusantara<br />STIE Stikubank Semarang<br /><br />ABSTRAK<br />Studi ini mengulas perdebatan teoritis tentang dampak kebijakan moneter dan finansial dalam pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya perdebatan berakar dari dua kutub pemikiran yaitu Prior Saving Approach dan Forced Saving Approach.<br />Studi ini juga akan mencari pembuktian empiris melalui analisis korelasi dan kausalitas Granger untuk melihat hubungan antara variable inflasi « pertumbuhan ekonomi dan ekspansi moneter « pertumbuhan ekonomi<br /><br />Pengantar<br />Salah satu tujuan pembangunan suatu negara adalah peningkatan pendapatan riil per kapita secara berkelanjutan ). Akan tetapi tidak terdapat kesepakatan mengenai mekanisme peningkatan pendapatan per kapita secara cepat dan berkelanjutan kecuali beberapa pendekatan ekonomi yang berkaitan dengan pembentukan modal dan penggunaan modal secara efektif ).<br />Walaupun investasi telah diidentifikasi sebagai faktor yang berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan, namun kontroversi tetap saja muncul khususnya mengenai kehandalan pendekatan investasi finansial. Secara umum, pendekatan investasi finansial dapat diidentifikasi dalam dua bentuk, yaitu Prior Savings Approach (PSA) dan Forced Savings Approach (FSA). Pendekatan PSA memandang bahwa inflasi tidak diperlukan untuk pertumbu.han ekonomi. Sebab investasi merupakan alternatif penggunaan pendapat selain konsumsi. Mereka percaya bahwa investasi yang dibentuk tanpa melalui tabungan terlebih dahulu tidak dapat dianggap sebagai investasi finansial dan hanya akan mendorong inflasi (Khatkhate, 1972).<br />Di sisi lain, para pengikut mashab Keynes tidak menganggap dorongan pembentukan tabungan sebagai faktor penentu investasi yang akan mendorong pertumbuhan. Sesuai dengan pandangan tersebut, investasi dapat ditingkatkan secara otonom oleh pemerintah, tanpa harus mendorong terjadinya tabungan, dengan cara ekspansi moneter. Melalui cara ini, diharapkan akan tercipta tabungan melalui empat cara. Pertama, jika sumber daya belum secara penuh terpakai, kebijakan moneter akan meningkatkan permintaan agregat sehingga meningkatkan output dan menciptakan tabungan. Kedua, apabila sumber daya telah digunakan secara penuh, atau jika penawaran bersifat kaku, sebagaimana diperkirakan akan dialami oleh negara sedang berkembang ekspansi moneter akan mendorong inflasi. Inflasi ini akan menurunkan real rate of return investasi finansial sehingga mendorong para pemegang saham untuk mengubah portofolio dalam bentuk barang modal (physical capital). Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan intensitas kapital yang berakhir dengan adanya peningkatan output dan tabungan. Ketiga, Inflasi dapat juga meningkatkan tabungan melalui perubahan yang terjadi dalam distribusi pendapatan, terutama bagi para penerima pendapatan yang berasal dari profit. Keempat, inflasi memberi tekanan pada pajak terhadap real money balances dan transfer sumber daya oleh pemerintah untuk pembiayaan investasi.<br />Kepastian peranan kebijakan moneter dalam pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada ketepatan kedua pendekatan tersebut (atau kombinasi antara keduanya) pada situasi dan kondisi negara sedang berkembang. Apabila mengacu pada pemikiran FSA, maka investasi, dan bukan tabungan, merupakan kendala penciptaan pertumbuhan. Tingkat bunga yang rendah sangat diperlukan untuk mendorong investasi masyarakat. Selanjutnya, inflasi mampu menekan tingkat bunga riil berada pada titik yang rendah, sehingga inflasi dipandang sebagai harga yang harus dibayar untuk usaha menumbuhkan perekonomian. FSA merupakan pendekatan yang menganjurkan financial repression. Hal sebaliknya, apabila mengacu pada PSA. Peranan kebijakan moneter, menurut PSA, akan mampu memobilisasi tabungan dan menyalurkan nya kedalam investasi yang produktif dengan tetap membiarkan inflasi berada pada tingkat yang rendah, sehingga tingkat bunga riil selalu positif. Pemikiran PSA merupakan dasar pemikiran financial liberalisation.<br />Uang danPertumbuhan Ekonomi<br /><br />Pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena yang dinamis dan terkait dengan perubahan variabel ekonomi riil. Pertanyaan pokok yang ada dalam monetary growth theory adalah apakah uang memiliki pengaruh terhadap variabel riil dalam proses pertumbuhan ekonomi. Jawaban pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada dua konsep netralitas uang, yaitu Neutrality of Money dan Superneutrality of Money.<br />Neutrality of Money. Salah satu asumsi yang fundamental di ekonomi moneter adalah bahwa uang memiliki sifat netral terhadap ekonomi riil, yaitu output dan tenaga kerja. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam teori permintaan uang Klasik bahwa perubahan jumlah nominal uang menyebabkan perubahan yang proporsional pada tingkat harga, sedangkan variabel riil, output, kesempatan kerja serta suku bunga ril tidak terpengaruh.<br />Fisher pernah mengungkapkan adanya non-neutrality dalam jangka pendek yang dapat menimbulkan fluktuasi tingkat bunga riil, yang olehnya disebut dengan konsep money illusion. Sebagaimana diungkapkan oleh Fisher (Hossain and Chowdhury, 1996:18):<br />"...the erratic behaviour of real interest is evidently a trick played on the money market by the money ilusion when contracts are made in unstable money..."<br />Namun, keberadaan money illusion dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas asumsi homogeneity postulate, sebagaimana dikembangkan oleh Haberler, Leontief, dan Modigliani, yang sebenarnya diperoleh dari pernyataan bahwa fungsi permintaan dan penawaran barang dan jasa adalah homogen pada derajad nol terhadap harga uang yang termasuk di dalamnya jumlah aset finansial.<br />Permasalahan non-neutrality of money dalam jangka pendek dipopulerkan oleh para pengikut Keynes. Perhatiannya awal mengenai non-neutrality of money dimulai pada saat terdapat kecenderungan dalam kondisi underemployment peningkatan tingkat harga tidak mengakibatkan peningkatan secara proporsional terhadap jumlah uang yang beredar, namun berakibat pada peningkatan jumlah uang beredar dalam arti riil, tingkat bunga menurun, serta peningkatan investasi dan output riil. Mashab Klasik menerima pandangan Keynes bahwa permintaan tenaga kerja tergantung pada upah riil dan upah nominal lebih tidak fleksibel daripada harga. Sehingga ekspansi moneter akan meningkatkan tingkat harga dan meningkatkan output sebab terjadi penurunan di sisi upah riil. Akan tetapi, asumsi Keynes mengenai kekakuan upah nominal sering kali diinterpretasikan sebagai dasar dari keberadaan money illusion yang dialami oleh para pekerja. Leontieff memberikan penafsiran teori Keynes tersebut, bertitik tolak dari pendapat bahwa penawaran tenaga kerja tergantung pada tingkat upah nominal. Sehingga, apabila terjadi peningkatan harga maka tingkat upah nominal akan meningkat, yang berarti juga tingkat penawaran tenaga kerja mengalami peningkatan. Peningkatan penawaran tenaga kerja ini terjadi karena pekerja tidak melihat bahwa peningkatan upah nominal, dalam waktu yang bersamaan, disertai penurunan upah riil. Sehingga, penawaran tenaga kerja meningkat sehubungan dengan peningkatan permintaan, yang tanpa disadari oleh pekerja, mereka mengalami money illusion. Pemikiran alternatif tentang perilaku penawaran tenaga kerja dikemukakan oleh Leijonhufud. Leijonhufud berpendapat bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja pada saat terjadi peningkatan harga bukan didasarkan atas identifikasi irrasional hubungan upah riil - nominal, namun keputusan itu dibuat berdasarkan fakta bahwa informasi tidak sempurna, sehingga perlu waktu untuk melakukan penyesuaian diri dan mempelajari situasi untuk kemudian melakukan penilaian terhadap nilai uang yang baru.<br />Golongan Moneteris memiliki pemikiran bahwa dalam jangka pendek uang berpengaruh terhadap ekonomi riil. Sebagaimana yang dikemukan oleh Friedman (1992: 260):<br />"... in the short run, which may be as long as three to ten years, monetary changes affect primarily output. Over decades, on the other hand, the rate of monetary growth affects primarily prices."<br />Akan tetapi, Friedman menerima pemikiran bahwa dalam jangka pendek non-neutrality of money tidak didasarkan atas money illusion tapi lebih didasarkan atas peningkatan kesalahan ekspektasi atau adanya informasi yang tidak sempurna. Sebagaimana yang ditulisnya (Friedman, 1992: 258):<br />"...Over short periods, an unanticipated increase in inflation reduces real wages as viewed by employers, inducing them to offer higher nominal wages, which workers erroneously view as higher real wages. This discrepancy simultaneously encourages employers to offer more employment and workers to acept more employment, there by reducing unemployment, which produces the inverse relation encapsulated in the Phillips curve."<br />Superneutrality of Money. Neutrality of money memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan konsep superneutrality of money. Superneutrality of money mengharapkan tingkat bunga riil, intensitas kapital dan output riil per kapita bersifat independen terhadap inflasi dan pertumbuhan uang beredar.<br />Pertumbuhan uang beredar berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui dampaknya terhadap tingkat bunga riil dan akumulasi kapital (Metzler, 1951). Metzler berargumentasi bahwa tingkat bunga riil merupakan fenomena moneter dan peningkatan pertumbuhan uang nominal dapat berpengaruh pada akumulasi kapital. Berkaitan dengan pendapatnya tersebut, bank sentral dapat mempengaruhi tingkat bunga riil melalui money market operation (Meltzer, 1951: 112):<br />"...by purchasing securities, the central bank can reduce the real value of private wealth, thereby increasing the propensity to save and causing the system to attain a new equilibrium at a permanently lower interest rate and a permanently higher rate of capital accumulation."<br />Salah satu kritik terhadap pemikiran Meltzer tersebut adalah bahwa Meltzer tidak mempertimbangkan pengaruh inflasi terhadap tingkat bunga dan tidak membedakan antara tingkat bunga riil dan nominal (Orphanides and Solow, 1990).<br />Dengan menggunakan model pemikiran Meltzer, Mundell (1963, 1965) membuktikan bahwa inflasi yang terantisipasi meningkatkan tingkat bunga nominal dengan tingkat inflasi yang rendah dan tingkat bunga riil yang rendah pula akan memberikan daya dorong terhadap investasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Kelemahan yang ditunjukkan oleh studi Mundell tersebut adalah tidak dilihatnya pengaruh inflasi yang terantisipasi terhadap variabel riil dalam kondisi steady state, walaupun Mundell mengklaim bahwa berbagai perubahan yang terjadi pada tingkat bunga riil bersifat permanen. Studi lain yang berkaitan dengan ekspansi moneter, inflasi dan pertumbuhan melalui capital-intensity effect dikembangkan oleh James Tobin (1965). Dalam kenyataannya, literatur modern mengenai uang dan pertumbuhan dimulai oleh Tobin yang menentang superneutrality of money.<br />The Tobin Model. Model Tobin didasarkan atas model pertumbuhan satu sektor neoklasik dari Solow dan Swan, yang kemudian dirasionalisasikan dengan FSA untuk pembangunan finansial.<br />Dengan dasar asumsi bahwa per kapita output (y) tergantung pada rasio kapital-tenaga kerja<br />(k): Y = y(k) dimana dy/dk > 0 dan d²y/d²k < w =" k" m =" m"> 0 dan dm/d(rk+p) < p =" m" yd =" y" m =" p" yd =" y(" p =" m" y =" y" y =" y" yd =" y" y =" y(k,m)," k =" a" p =" b"> 0<br />Melalui substitusi diperoleh persamaan pertumbuhan kapital sebagai berikut:<br />dK/K = a P/b + Sp/K<br />Sehingga pertumbuhan aktual kapital merupakan penjumlahan antara forced saving (aP/b) dan tabungan yang direncanakan untuk setiap unit kapital atau Sp/K. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dorongan terhadap tabungan dapat terjadi apabila terdapat kelebihan permintaan yang akan berakibat pada adanya peningkatan investasi. Kemudian investasi akan menimbulkan inflasi yang akan meredistribusi pendapatan dari para penerima upah dan mencegah terjadinya realisasi konsumsi yang direncanakan.<br />Pajak Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi. Model Inflationary Finance yang standar menyatakan inflasi sebagai fungsi dari penerimaan (revenue) yang dapat diekspresikan sebagai berikut:<br />R(P e) = P e x1 = Pex0 e-aPe<br />Dimana x0 merupakan rasio money-income ketika inflasi yang diharapkan adalah nol, sehingga tingkat bunga nominal sama dengan tingkat bunga riil i1 = r0, dan x1 adalah rasio money-income ketika inflasi yang diharapkan adalah P e, sehingga i1 = r0 + P e.<br />Grafik 2 menjelaskan perolehan pemerintah dari penciptaan uang yang akan mendorong inflasi. Penerimaan pemerintah riil yang bersumber pada penciptaan uang akan menciptakan pajak inflasi yang dinyatakan oleh ABCD. Sebagaimana ditunjukkan dalam model, permintaan uang riil berbanding terbalik dengan inflasi yang diharapkan atau tingkat bunga nominal. Hal tersebut membawa konsekuensi ukuran penerimaan riil dari pajak inflasi merupakan fungsi dari inflasi yang diekspektasi dan dengan mengikuti kurva Laffer yang pada awalnya meningkat kemudian menurun seiring dengan inflasi, membawa implikasi bahwa terdapat penerimaan dengan tingkat inflsi yang maksimal.<br />Grafik 3:<br />Penerimaan Inflasi Riil dari Penciptaan Uang<br />Interest rate<br /><br /><br />A D<br /><br />i1<br /><br />i0<br /> B C<br />0 X1 X0 maximum real balance ratio<br />Dalam pemikiran Cagan, tingkat inflasi berada pada posisi steady state pada saat pemerintah dapat memaksimumkan penerimaan pajak inflasi. Dalam kondisi steady state penerimaan dari inflasi (RP) sama dengan stock real balances kali pertumbuhan nomnal uang(mm). Akan tetapi ketika ekonomi tumbuh pada tingkat gy, hasil pajak inflasi sama dengan stok of real balances dikalikan dengan penjumlahan pertumbuhan uang nominal dan pertumbuhan output kali elastisitas permintaan uang (Friedman, 1971), atau<br />RP = m (m + hm gy)<br />Dalam model hiperinflasi Cagan, permintaan uang tergantung pada ekspektasi inflasi, Pe, penerimaan pada saat inflasi maksimum P* ditentukan oleh semi elastisitas permintaan uang riil (a)<br />P* = 1/a<br />P** = 1/a - hm gy<br />Persamaan di atas dapat digunakan untuk mengkalkulasi penerimaan maksimum dari kondisi inflasioner di negara sedang berkembang yang mengalami tingkat inflasi tinggi. Khan (1980) mengestimasi semielastisitas permintaan uang riil dengan memperhatikan inflasi yang diekspektasi di beberapa negara sedang berkembang dan memperoleh hasil angka semielastisitas berada di antara 3 - 5. Dengan mensubstitusikan hasil estimasi tersebut maka diperoleh tingkat penerimaan akan maksimum pada tingkat inflasi berkisar antara 20% hingga 30% per tahun.<br />Dalam persamaan di atas maksimasi penerimaan pada kondisi inflasioner lebih rendah di perekonomian yang sedang tumbuh dibandingkan dengan perekonomian yang stagnan. Sebagai contoh, jika diasumsikan bahwa perekonomian tumbuh pada tingkat 4% per-tahun dan elastisitas pendapatan untuk permintaan uang riil 2%, sebagaimana Khan diperoleh penerimaan maksimum apabila tingkat inflasi berada di antara 12% - 25% per-tahun.<br />Akan tetapi, Tanzi (1989) melihat pada permasalahan dari perspektif kontribusi neto inflasi terhadap total penerimaan pemerintah. Tanzi menyarankan perdebatan mengenai inflationary finance meliputi dampak sebaliknya dari inflasi terhadap sistem perpajakan konvensional, sehingga dampak neto inflasi terhadap total penerimaan pemerintah dapat digunakan sebagai kriteria untuk memutuskan apakah inflationary finance secara ekonomis dapat dipertaggung jawabkan.<br />Tanzi memperoleh fakta bahwa di negara sedang berkembang sistem perpajakan bersifat inelastis dan memiliki faktor lag yang panjang, yang membawa implikasi penerimaan riil dari pajak akan menurun dengan meningkatnya inflasi. Asumsi sistem perpajakan yang unitary elastic, yang digunakan Tanzi, dipakai untuk menkalkulasi dampak inflasi terhadap rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan (tax burden):<br />TP = T0/(1+P)x/12<br />Dimana TP adalah rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan pada tingkat inflasi tahunan P, dan T0 adalah rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan ketika inflasi nol, dan x adalah lag dalam periode bulanan.<br />Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, dalam perekonomian yang sedang tumbuh penerimaan dari pembiayaan defisit atau penerimaan dari pajak inflasi dinyatakan sebagai:<br />RP = m (P + hm gy)<br />Maka penerimaan total pemerintah atau penerimaan dari pajak konvensional ditambah dengan penerimaan dari pajak inflasi dinyatakan dengan:<br />TRP = RP + TP<br />Grafik 4 menunjukkan bahwa penerimaan pajak inflasi (kurva OA) adalah nol pada saat inflasi nol dan mencapai nilai maksimum pada saat inflasi P* (titik E0). Penerimaan pajak konvensional akan maksimum ketika inflasi nol (titik B) tetapi akan terus menurun dengan kenaikan inflasin (kurva BC). Total penerimaan, yang merupakan penjumlahan horisontal penerimaan pajak inflasi dan penerimaan pajak konvensional sebagaimana ditunjukkan kurva BD, akan maksimum pada titik E1 ketika inflasi mencapai P**. Sebagai catatan tambahan, ketika inflasi berada pada tingkat P** walaupun penerimaan pajak inflasi ORP** kontribusi neto penerimaan pajak inflasi terhadap penerimaan pemerintah secara keseluruhan hanya sebesar BF.<br />Grafik 4:<br />Inflasi, Penerimaan Pajak dan Pembiayaan Inflasioner<br />inflation<br /><br /> inflation tax inflation +<br /> revenue conventional tax<br /> conventional revenue<br /> tax revenue<br /> P* E0<br /><br /> P** E1<br /><br /><br /><br /><br /><br /> revenue -<br /> 0 RP** RP* B F income<br /> ratio<br /><br />Mundell Model. Mundell mengkombinasikan analisis pertumbuhan dengan teori kuantitas uang dan menurunkannya melalui keterkaitan antara pembiayaan inflasioner dan pertumbuhan ekonomi.<br />P = [(v/f r) - 1] gy<br />dimana P adalah inflasi, gy adalah pertumbuhan ekonomi, v adalah kecepatan sirkulasi uang, f adalah fraksi dari reserve ratio dalam kaitannya dengan cadangan perbankan dan uang nominal, dan r adalah produktifitas kapital atau output-capital ratio.<br />Akan tetapi, hubungan tadi didasarkan atas asumsi bahwa kecepatan peredaran uang tidak pernah berubah terhadap inflasi. Mundell mengembangkan sebuah kasus dimana kecepatan peredaran uang merupakan fungsi menaik dari inflasi, sehingga:<br />V = v0 + wp<br />Dimana v0 merupakan tingkat kecepatan pada saat inflasi nol, dan w koefisien inflasi. Melalui substitusi dapat diperoleh hubungan sebagai berikut:<br />p = [(v0/fr) - 1] gy / [1 - (w/fr)gy]<br />Persamaan di atas menunjukkan bahwa inflasi bukan merupakan fungsi linear pertumbuhan ekonomi. Rasio antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi meningkat dengan adanya pertumbuhan ekonomi, dimana dapat diartikan bahwa semakin tinggi pertumbuhan pembiayaan dari penciptaan uang maka akan semakin tinggi tambahan marginal inflasinya. Apabila inflasi diasumsikan berada pada tingkat tidak terhingga maka pertumbuhan ekonomi yang mungkin terjadi adalah:<br />gy = fr / w<br />Aspek Finansial dan Pertumbuhan Ekonomi<br />Teori-teori yang akhir-akhir ini berkembang dan juga hasil-hasil riset menyatakan bahwa pasar finansial dapat memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sistem finansial yang efisien akan mengalihkan kapital dari kelompok penabung ke peminjam, atau hal lain yang lebih produktif. Sebagaimana diungkapkan oleh Stiglitz (Hossain and Chowdhury, 1996: 32):<br />"Financial markets essentially involve the allocation of resources. They can be thought of as the ‘brain’ of the entire economic system, the central locus of decision making. If they fail, not only will the sector’s profit be lower than would otherwise have been, but the performance of the entire economic system may be impaired."<br />Sejak awal 1970-an pandangan bahwa kebijakan finansial yang represif akan meningkatkan investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi memperoleh banyak kritikan dari para pengikut prior-saving school. Yang menempati mashab ini adalah McKinnon dan Shaw dengan pola pikir Klasiknya. Mereka berdua pada dasarnya menyatakan bahwa kebijakan finansial yang represif, berupa tingkat bunga riil rendah atau negatif, akan memiliki dampak yang menghambat pertumbuhan. Dampak yang dimaksud adalah: (1) kebijakan finansial yang represif akan mengakibatkan masyarakat mendorong pengeluaran konsumsinya dan lebih senang memegang dalam bentuk aset riil daripada aset finansial. Karena aset riil lebih baik dijadikan alat hedging terhadap perkembangan inflasi. (2) kebijakan represif akan menciptakan kelebihan permintaan untuk dana-dana yang dapat diinvestasikan, yang mungkin akan menciptakan masalah melalui credit rationing ataupun aktifitas rent-seeking. (3) kebijakan represif akan menciptakan inefisiensi investasi dan mendorong investor untuk terjun dalam investasi yang padat modal yang mungkin sekali tidak sesuai dengan faktor endowment di negara sedang berkembang (McKinnon, 1993). Berikut ini akan dijabarkan secara lebih jelas konsep dari McKinnon.<br />Model McKinnon tentang aspek finansial dalam pembangunan ekonomi dapat diterapkan pada berbagai perekonomian yang memiliki pasar modal yang sedang berkembang. Para wiraswastawan memiliki kendala berupa kemampuan pembiayaan yang hanya dapat dipecahkan melalui perbankan. Selanjutnya, sebelum membentuk berbagai macam investasi, para investor membutuhkan akumulasi modal dalam bentuk moneter. Dengan kata lain, uang dicadangkan sebagai upaya pembentukan akumulasi kapital.<br />Beberapa simplifikasi dari model McKinnon dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:<br />(2) Md = md (y,iyr,d-p);<br />(3) Iyr = iyr (rk,d-p);<br />(4) iyr = syr = s<br />(5) s = s(gy,d-p)<br />(6) p = p (m,gy)<br />(7) gy = rs<br />md = permintaan uang riil; y = pendapatan atau output riil; iyr = rasio antara investasi-pendapatan, d-p = tingkat bunga deposito riil, rk hasil riil atas kapital fisik; syr rasio tabungan-pendapatan atau propensity to save (s); g tingkat pertumbuhan pendapatan atau output; p = pertumbuhan faktor penentu uang nominal eksogen; r = rasio output-kapital.<br />Persamaan (2) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling melengkapi antara uang dan kapital. Semua hasil derivasi parsial terhadap permintaan uang riil bernilai positif. Sifat komplementer antara uang dan kapital juga ditunjukkan oleh persamaan (3). Persamaan (5) dan (7) menunjukkan dinamika hubungan antara tabungan dan pertumbuhan ekonomi. Pada posisi keseimbangan, pertumbuhan pendapatan akan mendorong tabungan yang akan mendukung investasi yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan ekonomi.<br />Grafik 4 menunjukkan bahwa dampak reformasi di sektor finansial terhadap marginal propensity to save (mps). E mewakili kondisi keseimbangan pertumbuhan output dimana mps membentuk sudut 45°.<br />Grafik 5:<br />Kemampuan Menabung dan Pertumbuhan Ekonomu<br />saving<br /> H F D<br /><br /> G B<br /><br /> C<br /> rs (gy,q*)<br /> E rs (gy,q)<br /> A<br /> 45°<br /> 0 gy g*y tingkat<br /> pertumbuhan<br /><br /><br />Variabel propensity to save garis AB diGrafikkan sebagai fungsi dari tingkat pertumbuhan output. Asumsi bahwa struktur finansial direpresi dengan tingkat bunga rendah atau negatif dan rasio money-income juga rendah. Di samping itu, perekonomian dinotasikan dengan q. Variabel propensity to save garis CD di Grafikkan sebagai fungsi dari pertumbuhan output setelah terjadi reformasi sektor finansial yang meningkatkan secara tajam hasil riil dari memegang aset dalam bentuk uang dan rasio money-income. Reformasi sektor finansial dinotasikan dengan q*. Konsekuensi yang dihadapi apabila terjadi reformasi sektor finansial adalah terjadinya pergeseran garis tabungan dari AB ke CD yang kemiringannya, jika dipandang dari sisi gy*, lebih curam daripada AB. Keseimbangan pertumbuhan output yang baru adalah gy* yang diwarnai oleh tingginya propensity to save.<br />Tambahan tingkat tabungan mencakup dua bagian, yaitu: (1) EG yang merupakan efek kecil reformasi finansial terhadap tabungan. Dalam kamus McKinnon disebut dengan pure intermediation effect, yaitu peningkatan dalam propensity to save pada tingkat pertumbuhan pendapatan tertentu. (2) GH. Pada saat pendapatan diharapkan tumbuh lebih cepat karena realisasi tabungan dan investasi meningkat, maka efek portofolio ketika individu menjaga keseimbangan portofolionya dalam menghadapi kemajuan ekonomi yang terjadi. Kemiringan garis CD yang tajam mengindikasikan bahwa dampak pertumbuhan terhadap tingkat tabungan lebih besar dalam perekonomian yang secara finansial terreformasi dibandingkan dengan perekonomian yang represif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi model McKinnon adalahreformasi di sektor finansial akan mendorong tabungan dan pertumbuhan ekonomi.<br />Bukti Empiris Lintas Negara<br />Analisis mengenai hubungan kausalitas antara sektor moneter dan pertumbuhan ekonomi akan dilakukan dengan menggunakan variabel inflasi (P), tingkat monetisasi (M2/Y) dan pertumbuhan ekonomi (GR). Dari hasil perhitungan kausalitas Granger yang telah dilakukan untuk ke-19 negara amatan, diperoleh hasil bahwa hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dengan pertumbuhan ekonomi riil di beberapa negara memiliki perbedaan. Dari sembilan belas negara amatan, hanya negara Switzerland yang memiliki hubungan kausalitas dua arah (bidirectional). Di samping itu terjadi pengelompokan hasil yang menarik, yaitu negara maju memiliki kecenderungan untuk mengarah pada kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomilah yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga atau inflasi (P?GR). Sedangkan di negara yang sedang berkembang, tidak menunjukkan karakteristik bahwa sektor moneter berperan penting dalam perekonomian riil atau sebaliknya (bersifat independent). Di negara sedang berkembang, hanya Indonesia, Singapore dan South Africa yang menunjukkan fenomena yang serupa dengan negara industri, yaitu peningkatan harga umum disebabkan karena adanya pertumbuhan ekonomi.<br />Fakta ini menunjukkan bahwa pada perekonomian negara maju, kebijaksanaan moneter bukanlah merupakan kebijakan utama, sebagaimana di Indonesia misalnya. Karena kebijakan moneter lebih merupakan kebijakan yang berorientasi pada perubahan jangka pendek. Sedangkan perubahan yang berdampak jangka panjang adalah kebijakan di sektor riil, termasuk fiskal. Di samping itu, fakta bahwa di negara sedang berkembang terdapat kecenderungan tidak terjadinya hubungan kausalitas atau independent, antara sektor moneter dengan sektor riil dapat diartikan sebagai (1) permasalahan ekonomi di negara sedang berkembang sangat kompleks dan bersifat struktural, (2) perekonomian di negara sedang berkembang belum mengarah ke bentuk mekanisme pasar yang efisien sehingga perangkat ekonomi makro tidak dapat mencapai hasil sebagaimana negara yang memiliki sistem pasar yang efisien.<br />Sementara itu pengujian hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan sektor moneter dalam konteks tingkat monetisasi perekonomian (M2/Y) tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dengan demikian, variabel M2/Y dianggap tidak mampu memberikan Grafikan seperti yang diharapkan.<br /><br />Tabel 1a:<br />Kausalitas Pertumbuhan Ekonomi - Sektor Moneter<br />NEGARA<br />GR?P*<br />P?GR*<br />GR?M2Y*<br />M2Y?GR*<br />Australia<br />0.49<br />0.02<br />0.35<br />0.74<br />Canada<br />0.18<br />0.00<br />0.02<br />0.85<br />Japan<br />0.34<br />0.01<br />0.21<br />0.97<br />New Zealand<br />0.78<br />0.06<br />0.65<br />0.58<br />Portugal<br />0.29<br />0.18<br />0.33<br />0.01<br />Spain<br />0.62<br />0.02<br />0.06<br />0.15<br />Sweden<br />0.64<br />0.09<br />0.22<br />0.75<br />Switzerland<br />0.06<br />0.10<br />0.34<br />0.78<br />United Kingdom<br />0.59<br />0.03<br />0.58<br />0.72<br />Argentina<br />0.07<br />0.88<br />0.53<br />0.22<br />Chili<br />0.10<br />0.26<br />0.55<br />0.35<br />Indonesia<br />0.72<br />0.07<br />0.72<br />0.79<br />India<br />0.01<br />0.43<br />0.22<br />0.03<br />Korea<br />0.74<br />0.28<br />0.91<br />0.56<br />Mexico<br />0.82<br />0.79<br />0.33<br />0.44<br />Morocco<br />0.75<br />0.74<br />0.36<br />0.14<br />Philippine<br />0.13<br />0.66<br />0.31<br />0.97<br />South Africa<br />0.29<br />0.18<br />0.31<br />0.40<br />Singapore<br />0.34<br />0.16<br />0.70<br />0.10<br />Keterangan: (*) merupakan nilai probabilitas<br />Dengan demikian pola hubungan antara sektor moneter - sektor riil dapat diringkas sebagai berikut:<br /><br /><br /><br /><br />Tabel 1b:<br />Pola Hubungan Kausalitas Sektor Moneter - Sektor Riil<br />GR®P<br />P®GR<br />Independent<br />GR®M2Y<br />M2Y®GR<br />Independent<br />4 negara<br />8 negara<br />7 negara<br />2 negara<br />3 negara<br />14 negara<br /><br />Sebuah cara lain untuk mengamati apakah inflasi memiliki hubungan kausalitas dengan pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggunakan data internasional (data cross country) yang kemudian secara spesifik akan dibedakan antara inflasi moderat (lebih kecil dari 10%) dengan inflasi tinggi (lebih besar dari 10%). Hasil analisis trend dapat dilihat pada grafik berikut ini.<br /><br />Sumber: IMF, International Financial Statistics Yearbook (Lampiran)<br /><br />Dari pemisahan derajad inflasi yang terjadi adalah adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi pada derajad yang moderat. Namun demikian derajad<br />Sumber: IMF, International Financial Statistics Yearbook (Lampiran)<br />korelasinya sangat kecil yaitu R-Sqr = 0.13, atau R = 0.361. Sedangkan pada derajad inflasi yang tinggi, terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi melemah, yaitu angka R-Sqr = 0.21 atau R = 0.459. Fakta ini juga menunjukkan bahwa inflasi bukanlah sebuah mekanisme yang sederhana jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Senada dengan kesimpulan di atas adalah kesimpulan yang dibuat oleh Hossain and Chowdhury (1996: 63) yang memfokuskan penelitiannya di negara sedang berkembang.<br />Indikator yang digunakan untuk merepresentasikan sektor finansial adalah real deposit rates (RDEP) dan real interest rate (RINT). RDEP dan RINT digunakan sebagai representasi sector finansial dengan alasan bahwa tingkat bunga merupakan variabel kunci dalam penetapan kebijakan di sektor finansial. Apabila tingkat bunga riil negatif maka hampir dapat dipastikan bahwa kebijakan sektor finansialnya adalah represif, demikian pula sebaliknya, apabila tingkat bunga riil positif maka kebijakan liberalisasi diterapkan di sektor finansial.<br />Dari penetapan kedua indikator tersebut dapat dilihat hasil kausalitas antara sektor finansial dengan pertumbuhan ekonomi seperti berikut tabel ini.<br />Tabel4a:<br />Kausalitas Pertumbuhan Ekonomi - Sektor Finansial<br />NEGARA<br />GR?RDEP*<br />RDEP?GR*<br />GR?RINT*<br />RINT?GR*<br />Australia<br />0.73<br />0.09<br />0.33<br />0.54<br />Canada<br />0.02<br />0.54<br />0.29<br />0.80<br />Japan<br />0.33<br />0.02<br />0.53<br />0.03<br />New Zealand<br />-<br />-<br />0.97<br />0.05<br />Portugal<br />0.42<br />0.05<br />0.29<br />0.10<br />Spain<br />0.78<br />0.32<br />0.88<br />0.21<br />Sweden<br />0.50<br />0.20<br />0.10<br />0.27<br />Switzerland<br />-<br />-<br />0.46<br />0.27<br />United Kingdom<br />0.35<br />0.11<br />0.36<br />0.49<br />Argentina<br />0.36<br />0.74<br />0.45<br />0.61<br />Chili<br />0.07<br />0.16<br />0.05<br />0.36<br />Indonesia<br />0.31<br />0.06<br />0.01<br />0.78<br />India<br />0.10<br />0.16<br />0.10<br />0.06<br />Korea<br />0.36<br />0.01<br />0.04<br />0.83<br />Mexico<br />0.71<br />0.34<br />-<br />-<br />Morocco<br />-<br />-<br />-<br />-<br />Philippine<br />0.49<br />0.92<br />0.39<br />0.50<br />South Africa<br />0.04<br />0.51<br />0.01<br />0.59<br />Singapore<br />0.86<br />0.42<br />0.70<br />0.10<br />Keterangan: (*) merupakan nilai probabilitas atau derajad signifikansi.<br />Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa dari sampel yang digunakan (19 negara) tidak terdapat kecenderungan yang mengarah pada salah satu tesis, yaitu tesis sektor finansial mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau, tesis kedua, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi sektor finansial. Kesimpulan tersebut dapat dilihat dari seimbangnya negara yang mengalami kecenderungan GR?sektor finansial atau sebaliknya.<br />Dari tabel di atas terlihat bahwa kecenderungan bidirectional hanya ditemukan di negara India pada bentuk hubungan GR«RINT. Sedangkan kecenderungan GR?RDEP terjadi pada Canada, Chili, India, dan South Africa. Kecenderungan terjadinya RDEP?GR terjadi pada Australia, Japan, Portugal, Indonesia, dan Korea. Kecenderungan terjadinya GR?RINT ada pada negara Sweden, Indonesia, India, dan South Africa. Dan kecenderungan terjadinya RINT?GR ada pada negara Japan, New Zealand, Portugal, India, dan Singapore.<br /><br />Tabel 4b:<br />Pola Hubungan Kausalitas Pertumbuhan Ekonomi - Sektor Finansial<br />GR®RDEP<br />RDEP®GR<br />Independent<br />GR®RINT<br />RINT®GR<br />Independent<br />4 negara<br />5 negara<br />8 negara<br />4 negara<br />5 negara<br />8 negara<br /><br />Hasil perhitungan kausalitas sektor finansial dengan pertumbuhan ekonomi berarti serupa dengan hasil perhitungan kausalitas yang dilakukan terhadap sektor moneter dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, hubungan antara sektor moneter, sektor finansial terhadap pertumbuhan ekonomi, yang merupakan representasi dari sektor riil, tidak cukup hanya dijelaskan melalui hubungan secara langsung antara kedua sektor tersebut. Selain itu, hubungan keduanya, baik sektor moneter®sektor riil maupun sektor finansial®sektor riil juga tidak menunjukkan adanya kecenderungan memiliki bentuk hubungan dua arah (bidirectional). Perbedaan hubungan kausalitas yang diperoleh pada negara sampel membawa konsekuensi pada pembentukan model estimasi.<br />Kesimpulan<br /><br />Dari uraian teoritis dan perhitungan hasil empiris yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:<br />1. Perdebatan seputar dampak sektor moneter, sektor finansial terhadap sektor riil agaknya harus dipahami dalam konteks perekonomian yang telah menjalankan sistem pasar secara efisien.<br />2. Bukti empiris mengenai tidak terdapat kecenderungan umum bahwa sektor moneter dan sektor finansial memiliki hubungan dua arah dengan sektor riil, bahkan banyak yang independent khususnya di negara sedang berkembang menunjukkan bahwa perekonomian di negara sedang berkembang akan lebih baik apabila dipahami secara lebih kompleks mengingat perekonomian di neara sedang berkembang banyak sekali terjadi structural rigidity yang memungkinkan terjadinya distorsi pasar atau kegagalan pasar.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />REFERENSI<br />Arestis, P. and P. Demetriades, 1997. Financial Development and Economic Growth: Assesing the Evidence. The Economic Journal, 107: 783-799.<br />Bencivenga, V.R. and B.D. Smith, 1991. Financial Intermediation and Endogenous Growth. Review of Economic Studies, 58: 195-209.<br />Demetriades, P.O. and K.B. Luintel, 1996. Financial Development, Economic Growth and Banking Sector Controls: Evidence from India. The Economic Journal, 106: 359-374.<br />Diaz-Alejandro, C., 1985. Good-bye Financial Repression, Hello Financial Crash. Journal of Development Economics, 19 (1): 1-24.<br />Dornbusch, R. and A. Reynoso, 1989. Financial Factors in Economic Development. American Economic Review, 79 (2): 204-209.<br />Dornbusch, R. and J.A.Frenkel, 1973. Inflation and Growth: Alternative Approaches. Journal of Money Credit and Banking, 5: 141-156.<br />Friedman, M., 1971. Government Revenue from Inflation. Journal of Political Economy, 79: 846-856.<br />Friedman, M., 1992. Quantity Theory of Money. Dalam Eatwell, J. (eds.), The New PalgraveDictionary of Money and Finance, vol.3. Macmillan.<br />Fry, M.J., 1997. In Favour of Financial Liberalisation, The Economic Journal, 107: 754-770.<br />Gujarati, D.N., 1995. Basic Econometrics, McGraw-Hill Book Co.<br />Hermes, N. and R. Lensink (ed.), 1996. Financial Development and Economic Growth: Theory and Experiences from Developing Countries. Routledge.<br />Hossain, A. and A. Chowdhury, 1996. Monetary and Financial Policies in Developing Countries: Growth and Stabilization. Routledge.<br />Jung, W.S., 1986. Financial Development and Economic Growth: International Evidence. Economic Development and Cultural Change, 34: 333-346.<br />Kaldor, N., 1955-1956. Alternative Theories of Distribution. Review of Economic Studies, 23: 83-100.<br />Kalecki, M., 1976. Eassays on Development Economic. Harvester Press.<br />Khan, M., 1980. Monetary Shocks and the Dynamics of Inflation. IMF Staff Papers, 27 (2): 250-284.<br />Khatkhate, D.R., 1972. Analytical Basis of the Working of Monetary Policy in Less Developed Countries. IMF Staff Papers, 19 (3): 533-558.<br />King, R.G. and R. Levine, 1993. Finance and Growth: Schumpeter Might Be Right. Quaterly Journal of Economics, 108: 717-737.<br />Levhari, D. and D. Patinkin, 1968. The Role of Money in Simple Growth Model. American Economic Review, 58: 713-753.<br />Marty, A.L., 1968. The Optimal Rate of Growth of Money. Journal of Political Economy, 76: 860-873.<br />McKinnon, R.I., 1993. The Order of Economic Liberalization: Financial Control in the Transition to a Market Economy. The John Hopkins University Press.<br />Metzler, L.A., 1951. Wealth, Saving, and the Rate of Interest. Journal of Political Economy, 59: 93-116.<br />Mundell, R., 1963. Inflation and Real Interest. Journal of Political Economy, 71: 280-283.<br />Mundell, R., 1965. Growth, Stability and Inflationary Finance. Journal of Political Economy, 73: 97-109.<br />Mundell, R., 1971. Monetary Theory. Goodyear Publishing.<br />Newbold, P., 1984. Statistics for Business and Economics. Prentice-Hall, Inc.<br />Orphanides, O. and R.M. Solow, 1990. Money, Inflation and Growth, dalam Friedman, B.M. and F.H. Hahn (eds.), Handbook of Monetary Economics, vol.1., North-Holland.<br />Ramanathan, R., 1989. Introductory Econometrics with Applications. Harcourt Brace Jovanovich, Pub.<br />Robinson, J., 1962. A Model of Accumulation, dalam Eassays in the Theory of Economic Growth, Macmillan.<br />Sen, A.K., 1988, The Concept of Development, dalam Chenery, H dan Srinivasan, T.N. (ed.), Handbook of Development Economics, Vol.I, Elsevier Science Publishers, B.V.<br />Singh, A., 1997. Financial Liberalisation, Stock markets and Economic Development. The Economic Journal, 107: 771-782.<br />Tanzi, V., 1989. Lags in Tax Collection and the Case for Inflationary Finance: Theory with Simulations, dalam Blejer, M. and K. Chu (eds.), Fiscal Policy, Stabilization, and Growth in Developing Countries, International Monetary Fund.<br />Tobin, J., 1965. Money and Economic Growth. Econometrica, 33: 671-684.<br />Wonnacott, T.H. and R.J. Wonnacott, 1990. Introductory Statistics. John Wiley and Sons.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />N E G A R A<br />% G D P 1995<br />% C P I 1995<br />INDUSTRIAL COUNTRIES<br /><br /><br />USA<br />2.0<br />2.8<br />Canada<br />2.3<br />2.2<br />Australia<br />3.1<br />4.6<br />Austria<br />1.8<br />2.3<br />Denmark<br />2.6<br />2.1<br />Finland<br />4.2<br />1.0<br />France<br />2.2<br />1.8<br />Iceland<br />2.2<br />1.7<br />Netherlands<br />2.3<br />1.9<br />Norway<br />3.3<br />2.5<br />Spain<br />3.0<br />4.7<br />Sweden<br />3.0<br />2.5<br />Switzerland<br />0.7<br />1.8<br />United Kingdom<br />2.4<br />3.4<br />DEVELOPING COUNTRIES<br /><br /><br />Benin<br />6.0<br />14.5<br />The Gambia<br />-4.1<br />7.0<br />Sierra Leone<br />-2.8<br />26.0<br />South Africa<br />3.3<br />8.7<br />Tunisia<br />3.5<br />6.2<br />Bangladesh<br />4.4<br />5.8<br />Indonesia<br />8.0<br />9.4<br />South Korea<br />9.0<br />4.5<br />Lao People’s Democratic Republic<br />7.0<br />19.6<br />Myanmar<br />9.8<br />25.2<br />Philippines<br />4.8<br />8.1<br />Cyprus<br />5.0<br />2.6<br />Czech Republic<br />4.8<br />9.1<br />Latvia<br />-1.6<br />25.0<br />Lithuania<br />2.6<br />39.7<br />Slovak Republic<br />7.4<br />9.9<br />Slovenia<br />4.9<br />12.6<br />Egypt<br />4.6<br />8.3<br />Jordan<br />6.4<br />2.4<br />Belize<br />3.7<br />2.9<br />Bolivia<br />3.7<br />10.2<br />Chile<br />8.5<br />8.2<br />Costa Rica<br />2.5<br />23.2<br />Dominican Republic<br />4.7<br />12.5<br />Ecuador<br />2.3<br />22.9<br />El Salvador<br />6.1<br />10.0<br />Haiti<br />3.8<br />25.5<br />Honduras<br />3.6<br />29.5<br />Mexico<br />-6.9<br />35.0<br />Nicaragua<br />4.2<br />10.9<br />Paraguay<br />4.2<br />13.4<br />Peru<br />7.0<br />11.1<br />Uruguay<br />-2.4<br />42.2<br />Venezuela<br />2.2<br />59.9<br />Sumber: IMF, International Financial Statistics.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2803745749830350783.post-55441482112629866992008-03-12T21:33:00.006+07:002008-07-04T02:00:23.007+07:00ANALYSIS OF ACCOUNTING BETAS MEASUREMENTJURNAL BISNIS DAN EKONOMI, September 2004<br />ANALYSIS OF ACCOUNTING BETAS MEASUREMENT<br /><br /><br />Oleh : Junaidi<br />Dosen STIE Widya Manggala Semarang<br /><br /><br />Abstract<br />The purpose of this study is to determine the significant of accounting beta (i.e., earning beta, fund flow beta and cash flow beta) in relationship with market risk. The results indicate that operating cash flow risk measure (beta) is significantly relate to market risk, while the others, earnings beta and fund flow beta, do not possess relate with market risk. Adjusting with the issue of a thin trading bias in beta measurement, this study adjusted all the betas using Vasicek Bayesian Method. The results are still consistent. The implication of the result is to prove that accounting beta, especially cash flow beta, can be a surrogate to market beta or market risk.<br /><br />Keywords: accrual earnings, fund flow, operating cash flow, market risk,<br />Vasicek Bayesian’s<br /><br />INTRODUCTION<br /><br />The Indonesian institute of accountants (IAI) conceptual framework considers providing information on an enterprise’s accrual earnings generating ability as the underlying objective of financial reporting (IAI, 1999, par.22). While the IAI stresses the importance of accrual earnings, it nevertheless, adopts the view that cash flows is basic to assessment performance of the firm in generating cash and cash equivalent (IAI, 1999, statement of financial accounting standard No. 2).<br />The Financial Accounting Standards Board’s (FASB) conceptual framework considers providing information on an enterprise’s cash flow generating ability as the underlying objective of financial reporting. The FASB has recently issued SFAS No. 95 establishing standards for reporting cash flows in the financial statements, superseding APB Opinion No. 19 (FASB1987). Similar with the IAI, while the FASB stresses the importance of cash flows, it, nevertheless, adopts the views that accrual earnings may provide a better indicator of enterprise performance than information about current cash flows (FASB, 1978, PAR. 44).<br />Jurnal Bisnis dan Ekonomi – Vol.11 – No.2 – September 2004<br />The hypothesis that accounting earnings is an empirical surrogate for (or indicator of) future cash flows underlies the alleged the usefulness of earnings in assessing security value/risk. The idea that earnings is a surrogate for future cash flows is consistent with the evidence that conclusively supports the relation between earnings and security prices (Lev and Ohlson, 1982).<br />Ball and Brown (1969) investigated the usefulness of earnings in assessing security risk. Research then tested the association between the market based beta and an accounting beta. Accounting beta (âA) is expressed as the covariability of a firm’s accounting earnings with the accounting earnings of the market portfolio:<br /><br />âAi = cov (Xi , Xm) / ó2 (Xm)<br /><br />where is Xi an accounting earnings and Xm is an accounting the market portfolio. Spearman rank order from Ball and Brown’s study show that for correlations between operating earnings and market beta is 0,46 and between earnings after tax and market beta is 0,39 and between earnings for common shares and market beta is 0,41. The result is accounting beta significantly associated with market beta as proxy security risk.<br />Beaver et al., (1970) investigated factors influence market risk. One’s of the factor is accounting beta. Beaver et al., found, in a model using accounting variables to forecast market risk, earnings variability was the most significant variable and accounting beta did not make a statistically significant contribution.<br /><br />THEORETICAL FRAMEWORKS AND HYPOTHESIS FORMULATION<br /><br />The idea that current earnings may be a better surrogate for future cash flows than current cash flows is not without critics. Questions are also raised about the motivation behind the selection of accounting procedures, from within those generally accepted, by managers of firms with earnings based compensation plans. According to the financial press, if a firm has a loss, managers increase the loss by including all possible future losses that they ca write off – take a "big bath" – so that future period’s earnings are higher (Healy, 1985). The big bath phenomenon is consistent with the bonus formula. If earnings are below the target, any attempt to increase earnings above the target by shifting earnings forward in time involves the permanent loss of some of the bonus.<br />A number of researchers, therefore, have suggested a fundamental change in financial reporting toward more emphasis on cash flow based measures. Cash flow reporting system properly captures the inflation impact given that an appropriate time value rate is applied to discount periodic cash flow. Lawson (1980) uses the tax neutrality principle to argue that a cash flow based tax system could have lessened the impact of the 1974 financial crisis in Britain. This argument have supported with Lawson (1980).<br />Early empirical work that tried to assess the relative information content of earnings and cash flows employed cash flow proxies by adjusting earnings for some accruals. In particular, the funds flow variables often tested were either earnings plus depreciation or earnings plus depreciation and deferred taxes. Ball and Brown (1968) evaluation of accounting income numbers requires agreement as to what real word outcome constitutes an appropriate test of usefulness. Both the content and the timing of existing annual net income numbers will be evaluated since usefulness could be impaired by deficiencies in either. The results demonstrate that the information contained in the annual income number is useful in that it is related to stock prices.<br />The empirical work to evaluation relation between accounting information and stock prices are Patell and Kaplan (1977), Baran et al., (1980), and Beaver and Landsman (1983). With the exception of Baran et al., these studies generally failed to find evidence that the funds flow variables possess information beyond that of earnings.<br />Bowen et al., (1986) have reported that the similarity in the properties of earnings and funds flows has been offered as an explanation for the failure of early research to find incremental information in funds flows over that provided by earnings. Further, because of the dissimilarity in their characteristics, it has been hypothesized that cash flows have potential information not captured by either earnings or funds flows.<br />Recent stock return association studies by Rayburn (1986), Wilson (1986 and 1987), and Bowen et al. (1987) have incorporated properly specified (i.e., fully adjusted) cash flow variables into the analysis. These studies have generally concluded that earnings provide information that is not contained in cash flows alone. Consistent with the early work, however, the recent research fails to find evidence that funds flows have incremental information relative to earnings.<br />The issue of the relative ability of cash flows and earnings to explain market risk has not been addressed in prior research. Moreover, notwithstanding the central role that market risk plays in determining a security’s expected return, the results of the recent security return based research about the information in cash flows versus earning may not be applicable to risk assessment. Accruals can offset or cancel the transitory component of current cash flows so that unexpected earnings is a better proxy of unexpected permanent earnings than is the current amount of unexpected cash flows.<br />Rayburn (1986) reports that accounting earnings exhibit lower variability than cash flows. The dampening effect of the accounting accrual process may mean that the earnings series will produce a risk measure that is a poorer proxy of market risk than would the corresponding cash flow series.<br />Ismail and Kim (1989), investigates whether cash flow based measures of risk have cross-sectional variation in market beta beyond that provided by earnings based risk measures. The results indicate that funds and cash flow risk measures (betas) provide significant incremental explanatory power over that provided by the earnings risk measures (beta) in explaining the variability in market betas. Regardless of the specifics of variable definition, the issues in previous research can be summarized by three questions: do the accrual earnings, fund flow and cash flow betas relate with market beta? These questions can be formulated as the following null hypotheses:<br /><br />H1: The measurement of Earning Beta has significant influence toward market risk<br />H2: The measurement of fund flow beta has significant influence toward market risk<br />H3: The measurement of cash flow beta has significant influence toward market risk<br /><br /><br />RESEARCH METHOD<br /><br />This study is conducted in the spirit of the early works by Ball and Brown (1969), establishing the empirical/theoretical relation between accounting variables and market risk. The research design is structured primarily on the basis of a simple regression model with market beta as the dependent variable and accounting betas as the independent variables. The analysis is directed at testing the significance of the incremental explanatory power, with respect to the variability in market beta, of the earnings, fund flows, and operating cash flow risk measures relative to each other.<br />Fundamentally, the method of analysis is a market risk association test. The empirical work in this paper was conducted using both the unadjusted beta estimates and the Bayesian adjusted betas.<br /><br />1. Market Beta<br />Monthly stock returns over January 1992 – January 2000 period were used in deriving empirical estimates of market beta from the familiar market model:<br /><br />Ri = ai + biRM + ei (3.1)<br />Where:<br />Ri = rate of return on security i in period t,<br />aI = intercept,<br />bi = market beta for security i,<br />RM = rate of return on market portfolio (IHSG value weighted index), and<br />ei = disturbance term with ì (Uit) = 0 and constant variance.<br /><br /><br />2. Accounting Betas<br />Annual observations, over the same periods (1992-2000), were relied on to estimate accounting betas using the time series regression:<br /><br />ri = ai + bi rm + ei (3.2)<br />Where:<br />ri = an accounting return variable for firm i in period t,<br />aI = intercept for firm i,<br />bi = accounting beta for firm i,<br />rm = market index for accounting return computed as the simple average of sample accounting returns, rm in period t, and<br />ei = disturbance term with ì (Uit) = 0 and constant variance.<br /><br />Beta estimation errors have been noted in earlier studies (Blume 1971) due to the effect of nonstationarity of the beta coefficients.<br />Approaches were followed in an attempt to circumvent the problems associated with these errors. This study uses Vasicek’s Bayesian technique (1973) to adjust the initial estimates of both market and accounting betas.<br />Although not designed to adjust for a thin trading, a Bayesian correction does account for differences in the statistical reliability of beta values. It allows for the fact that estimates for thinly traded shares are less reliable. Using Vasicek (1973) weightings, the estimator is:<br />(3.3)<br />where:<br />b1 = Averages from share betas values in the sample historical period,<br />s2 b1 = Variance from share beta in the sample historical period,<br />s 2bi1 = Variance from share beta i,<br />b i1 = Historical share beta i.<br /><br />3. Accounting Return Variables<br />Three accounting return variables were investigated: an earnings measure, a funds flow, and a operating cash flow measure. For each year, t, these returns are defined from PACAP and Indoexchange data items as follows:<br />Earnings: Operating income divided by beginning of the period market value of common equity (operating income divide multiple result closing price with outstanding share) . [(OI)t / (CP x OS)t-1]<br />Funds flow: Operating income plus depreciation, amortization, and depletion divided by beginning of the period market value of common equity. [(OI + DEP)t / (CP X OS)t-1]<br />Operating cash flow: Cash flows generated from continuing operations divided by beginning of the period market value of common equity, where cash flows are defined as operating income plus depreciation, amortization, and depletion and the change in non cash working capital. Non cash working capital is change between current asset less cash and short term investment, less current liabilities this period and current asset less cash and short term investment, less current liabilities beginning period. [(OI + DEP)t + (CA – C&CE – CL)t – (CA – C&CE – CK)t-1] / [(P x OS) t-1]<br />The definition of the earnings return variable is in agreement with Ball and Brown (1969) and Beaver et al., (1970). An alternative method to estimate accounting betas as a direct proxy for the market beta is shown in Beaver et al., (1970). Accounting betas, according to this alternative, are calculated on a before tax and interest basis and then adjusted for taxes and financial leverage.<br /><br />4. Data Source and Sample Selection<br />The data used are drawn from the PACAP and Indoexchange file for the 1992-2000 periods. The screening process required manufacturing firms to have a complete set of the required monthly and annual data for that period and to have fiscal year ends in December. The screening process resulted in a sample of 58 firms as show in table 1. Specification of the accounting return variables required on a one-year lagged measure, thus losing one year. The total period becomes 8 year of data.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Table 1<br />Manufacturing Firms Sample<br /><br />No.<br />Summary<br />Firms<br />No.<br />Summary<br />Firms<br />1<br />ALKA<br />Alakasa Industrindo<br />30<br />KLBF<br />Kalbe Farma<br />2<br />MYTX<br />APAC Centertex Corp.<br />31<br />KKGI<br />Kurnia Kapuas Utama Glue Ind.<br />3<br />AQUA<br />Aqua Golden Missisippi<br />32<br />LMSH<br />Lionmesh Prima<br />4<br />ARGO<br />Argo Pantes<br />33<br />MLPL<br />Multipolar Corporation<br />5<br />ASGR<br />Astra Graphia<br />34<br />MLBI<br />Multi Bintang Indonesia<br />6<br />ASII<br />Astra Internasional<br />35<br />MTDL<br />Metrodata<br />7<br />BYSB<br />Bayer<br />36<br />MDRN<br />Modern Photo<br />8<br />BRNA<br />Berlina<br />37<br />NIPS<br />Nipress<br />9<br />BRAM<br />Branta Mulia<br />38<br />TKIM<br />Pabrik Kertas Tjiwi Kimia<br /><br />BAT<br />BAT Indonesia<br />39<br />HDTX<br />Panasia<br />11<br />CTBN<br />Citra Tubindo<br />40<br />POLY<br />Polysindo<br />12<br />DNKS<br />Dankos Laboratories<br />41<br />RDTX<br />Roda Vivatex<br />13<br />DLTA<br />Delta Djakarta<br />42<br />SHDA<br />Sari Husada<br />14<br />DPNS<br />Duta Pertiwi Nusantara<br />43<br />SCPI<br />Schering Plough Indonesia<br />15<br />DYNA<br />Dynaplast<br />44<br />BATA<br />Sepatu Bata<br />16<br />EKAD<br />Ekadarma Tape Industries<br />45<br />SMCB<br />Semen Cibinong<br />17<br />ERTX<br />Eratex Djaja Limited<br />46<br />SMGR<br />Semen Gresik<br />18<br />GJTL<br />Gajah Tunggal<br />47<br />IKBI<br />Sumi Indokabel<br />19<br />GRIV<br />Great River International<br />48<br />SCCO<br />Supreme Cable Manufacturing<br />20<br />GDYR<br />Goodyear Indonesia<br />49<br />TOTO<br />Surya Toto Indonesia<br />21<br />GGRM<br />Gudang Garam<br />50<br />SQBI<br />Squibb Indonesia<br />22<br />HMSP<br />Hanjaya Mandala Sampoerna<br />51<br />SUBA<br />Suba Indah<br />23<br />MYRX<br />Hanson Industri Utama<br />52<br />TFCO<br />Teijin/Tifico<br />24<br />IGAR<br />Igarjaya<br />53<br />TBMS<br />Tembaga Mulia semanan<br />25<br />INKP<br />Indah Kiat Pulp&Paper<br />54<br />TRPK<br />Trafindo Perkasa<br />26<br />INTP<br />Indocement Tunggal Perkasa<br />55<br />TRST<br />Trias Sentosa<br />27<br />INDR<br />Indo-Rama synthetics<br />56<br />ULTJ<br />Ultrajaya Milk Ind. & Trading<br />28<br />INCI<br />Intan Wijaya Chemical Industry<br />57<br />UNIC<br />Unggul Indah Corporation<br />29<br />ITMA<br />Itamaraya Gold Industri<br />58<br />UNVR<br />Unilever Indonesia<br /><br /><br /><br /><br />RESULTS AND DISCUSSIONS<br /><br />1. Descriptive Statistics<br /><br />The empirical work in this paper was conducted using both the unadjusted beta estimates and the Bayesian adjusted betas. The two sets of results were found to be quite similar and, thus, we report and discuss the results based on the before and after Bayesian adjusted betas.<br />Table 2<br />Descriptive Statistics<br /><br /><br />Unadjusted Beta<br />Adjusted Beta<br /><br />N<br />Mean<br />SD<br />Mean<br />SD<br />Earn_Beta<br />58<br />0,99<br />1,95<br />0,89<br />1,36<br />Fund_Beta<br />58<br />0,99<br />1,89<br />0,84<br />1,20<br />Cash_Beta<br />58<br />1,00<br />5,20<br />0,96<br />4,77<br />Market _Beta<br />58<br />0,58<br />1,66<br />0,57<br />0,31<br />Valid N (listwise)<br />58<br /><br /><br /><br /><br /><br />Table 2 presents descriptive statistics, mean and standard deviation, for market and accounting betas. As expected, the Bayesian adjustment procedure reduced the variability of the risk measures, particularly for accounting betas. As observed in other studies (e.g., Beaver and Manegold (1975) and Baran et al. (1980), accounting betas have higher cross-sectional standard deviations relative to that of the market beta. This observation is due, in part, to the number of observations (annual vs. monthly) used in obtaining the estimates.<br /><br />Table 3<br />Pearson Correlation Result<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />After<br />Vasicek<br /><br /><br />Before<br />Vasicek<br /><br />Earn(prob.)<br />Fund(prob.)<br />Cash(prob.)<br />Market(prob.)<br />Earn_Beta<br />1,000<br />0,929(0,000**)<br />0,056(0,675)<br />0,132(0,322)<br />Fund_Beta<br />0,929(0,000)<br />1,000<br />0,081(0,546)<br />0,056(0,679)<br />Cash_Beta<br />0,056(0,675)<br />0,081(0,546)<br />1,000<br />0,257(0,052*)<br />Market_Beta<br />0,132(0,322)<br />0,056(0,679)<br />0,257(0,052)<br />1,000<br />Earn_Beta<br />1,000<br />0,918(0,000**)<br />0,069(0,607)<br />0,164(0,219)<br />Fund_Beta<br />0,918(0,000**)<br />1,000<br />0,053(0,693)<br />0,062(0,643)<br />Cash_Beta<br />0,069(0,607)<br />0,053(0,693)<br />1,000<br />0,332(0,011*)<br />Market_Beta<br />0,164(0,219)<br />0,062(0,643)<br />0,332(0,011*)<br />1,000<br />** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed).<br />* Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed).<br /><br />From Table 3, it could be seen that all variables have positive relation with market risk. This result gives a prior conclusion that there was a positive relation between variables of accounting beta and a market risk.<br />Operating cash flow beta had a value of 0.257 after adjustment and 0.332 before adjustment, correlated with market risk. Other accounting beta likes earnings beta and fund flow beta not significant correlated with market beta. This result gave a prior indication that the information existing in the operational cash flow is more capable in explaining the market risk variable.<br />There was a very high correlation between profit beta and cash flow beta of 93% after adjustment was done, and 92% before beta adjustment was done. Viewed from significance value in two direction testing, it was drawn a conclusion that this relation was significant at the level of 1%. IT gave a reflection that there was multicolinearity between profit beta and cash flow beta.<br />The term of multicolinearity was used to show the existence of linear relation among independent variables in regression model. Multicolinearity in this study could be avoided because the assessment of independent profit variables correlated linearly with cash flow independent variable measurement. The characteristic existing in both variables changed simultaneously all the time, in which the value was affected by the same factors. Gujarati (1995, pp 344-345) said that if the goal of prediction was only to predict dependent variables’ value, then, the multicolinear problem can be avoided, in condition that the collinearity style continuously the same in prediction period as observed in sample period.<br />Ismail and Kim (1989) stated that there was a collinearity problem between the accounting risk measurements, especially between profit and cash flow, and cash flow with operational cash flow. The researcher concluded that with the existence of this co linearity.<br /><br />2. The Result of Hypothesis Testing<br />The result of hypothesis testing H1, H2, and H3 was gained from the simple regression result by using each explanatory variable of profit beta measurement, cash flow, and operational cash flow on variable related market risk. Table 4, explained that the regression result between variable related to market risk with explanatory variable of profit beta. The result was as follow:<br />Table 4<br />Simple Regression Y = a + biXi + ei<br />Earn_Beta<br />R2<br />S,E,of Regretion<br />t_test<br />(probabilitas)<br />F_test<br />(probabilitas)<br />Durbin_Watson<br />Bayesian Adjusted Beta<br />0,0175<br />0,3116<br />0,99(0,32)<br />0,99(0,32)<br />2,1592<br />Unadjusted Beta<br />0,0268<br />0,6569<br />1,24(0,22)<br />1,54(0,22)<br />1,9116<br /><br />From the coefficient mark in table 4, it was gained a result that profit beta had positive impact direction or suitable with market risk. The number of R2 (determination coefficient) after the adjustment was of 0.0175, which meant that only 1.75% variables related to market risk that can be explained by profit beta variable. While, the rest of it, 98.25%, explained by other variables. This determination coefficient value was seen indifferent with the result before Vasicek adjustment was carried out.<br />The value of standard errors of estimate of 0.311639 was bigger than market risk deviation standard value, of 0.311631 that gave a conclusion that the market average risk was better as a predictor of market risk, than regression model in the testing after adjustment was carried out. It gave an illustration that profit beta was worse in explaining market risk than the market risk average. But, the contrary happened when Vasicek adjustment was not carried out, either in market beta or accounting beta.<br />The value of F counted was of 0.99 with significance level of 0.32, which was much bigger than 0.05, then, regression model could not be used again to predict the market risk on the testing after the adjustment. The similar thing happened in the testing before beta adjustment was carried out.<br />The testing of regression coefficient significance of profit beta variable was seen from the comparison of t counted value with t table. If t counted was smaller than t table, then, the regression coefficient was not significant as the determinant of market risk. If on the adverse condition happened, then, regression coefficient was significant as the market risk determinant.<br />The value of t counted gained from the regression result of 0.99, was compared with t table in the two sides testing with the significance level of 5%, and the explanatory degree n-2 was 56. The gained t table value from the t distribution table, the result of value interpolation of degree of freedom (df) 40 was of 2.021 and df 60 was of 2, then, from 2 + ((4/20) x (2.021 – 2)), it was gained a value of 2.0042. Because t counted was smaller than t table, thus, it could be concluded that the earning beta determinant coefficient was not significant as the explanatory of market risk. The result of this conclusion, that hypothesis 1 did not success to be supported by data, either in the beta testing before or after the beta adjustment was carried out by using Vasicek method.<br />To prove the existence of autocorrelation, it was compared the value of Durbin-Watson of 2.1592 after beta adjustment was carried out and 1.9116 before beta adjustment was carried out, with table value. The value of d1 in the sample n = 55 was of 1.53 and sample n = 60 was of 1.55. From the result of interpolation n = 57, it was gained a value d1 of 1.562 from the measurement of 1.53 + ((3/5 x (1.55 – 1.53)). To test the autocorrelation, it should be find the result of 4 – d1 was of 2.438. The value du sample n = 55 was of 1.6 and sample n = 60 was of 1.62. From the result of interpolation n = 57, it was gained du value of 1.612 and 4 – du of 2.388. Because Du < DW < (4-Du), then, the model in this equation did not face autocorrelation problem in the testing, either before or after the beta adjustment was carried out.<br />The testing on the heteroscedasticity assumption was carried out by using White method (appendix 1). This assumption was happened because the probability distribution of disturbance was assumed to be the same (constant) for all observation of X, that was the variant of each U1 was the same for all independent variable value, which in fact had inconstant variant. From the result of White testing, it was gained R2 observed, which was not significant in the significance level of 5%. This result gave a conclusion that there was no heteroscedasticity fault in model or variant in model having heteroscedasicity character.<br />Table 5, explained regression that the regression result between variable related to market risk with explanatory variable of fund flow beta. The result was as follow:<br />Table 5<br />Simple Regression Y = a + biXi + ei<br /><br />Fund_Beta<br />R2<br />S,E,of Regretion<br />t_test<br />(probabilitas)<br />F_test<br />(probabilitas)<br />Durbin_Watson<br />Bayesian Adjusted Beta<br />0,0031<br />0,3139<br />0,42(0,67)<br />0,17 (0,67)<br />2,1781<br />Adjusted Beta<br />0,0038<br />0,6646<br />0,46(0,64)<br />0,21(0,64)<br />1,9468<br /><br />From the coefficient mark in table 5, it was gained a result that fund flow beta had positive impact direction or suitable with market risk. The number of R2 (determination coefficient) after the adjustment was of 0,0031, which meant that only 0,3% variables related to market risk that can be explained by profit beta variable. While, the rest of it, 99.97%, explained by other variables. This determination coefficient value was seen indifferent with the result before Vasicek adjustment was carried out.<br />The value of standard errors of estimate of 0.3139 was bigger than market risk deviation standard value, of 0.3116 that gave a conclusion that the market average risk was better as a predictor of market risk, than regression model in the testing after adjustment was carried out. It gave an illustration that profit beta was worse in explaining market risk than the market risk average. But, the contrary happened when Vasicek adjustment was not carried out, either in market beta or accounting beta.<br />The value of F counted was of 0.17 with significance level of 0.67, which was much bigger than 0.05, then, regression model could not be used again to predict the market risk on the testing after the adjustment. The similar thing happened in the testing before beta adjustment was carried out.<br />The testing of regression coefficient significance of fund flow beta variable was seen from the comparison of t counted value with t table. If t counted was smaller than t table, then, the regression coefficient was not significant as the determinant of market risk. If on the adverse condition happened, then, regression coefficient was significant as the market risk determinant.<br />The value of t counted gained from the regression result of 0.42, was compared with t table in the two sides testing with the significance level of 5%, and the explanatory degree n-2 was 56. The gained t table value from the t distribution table, the result of value interpolation of degree of freedom (df) 40 was of 2.021 and df 60 was of 2, then, from 2 + ((4/20) x (2.021 – 2)), it was gained a value of 2.0042. Because t counted was smaller than t table, thus, it could be concluded that the fund flow beta determinant coefficient was not significant as the explanatory of market risk. The result of this conclusion, that hypothesis 2 did not success to be supported by data, either in the beta testing before or after the beta adjustment was carried out by using Vasicek method.<br />To prove the existence of autocorrelation, it was compared the value of Durbin-Watson of 2.1781 after beta adjustment was carried out and 1.9468 before beta adjustment was carried out, with table value. The value of d1 in the sample n = 55 was of 1.53 and sample n = 60 was of 1.55. From the result of interpolation n = 57, it was gained a value d1 of 1.562 from the measurement of 1.53 + ((3/5 x (1.55 – 1.53)). To test the autocorrelation, it should be find the result of 4 – d1 was of 2.438. The value du sample n = 55 was of 1.6 and sample n = 60 was of 1.62. From the result of interpolation n = 57, it was gained du value of 1.612 and 4 – du of 2.388. Because Du < DW < (4-Du), then, the model in this equation did not face autocorrelation problem in the testing, either before or after the beta adjustment was carried out.<br />The testing on the heteroscedasticity assumption was carried out by using White method (appendix 2). This assumption was happened because the probability distribution of disturbance was assumed to be the same (constant) for all observation of X, that was the variant of each U1 was the same for all independent variable value, which in fact had inconstant variant. From the result of White testing, it was gained R2 observed, which was not significant in the significance level of 5%. This result gave a conclusion that there was no heteroscedasticity fault in model or variant in model having heteroscedasicity character.<br />Table 6, explained regression that the regression result between variable related to market risk with explanatory variable of operating cash flow beta. The result was as follow:<br />Table 6<br />Simple Regression Y = a + biXi + ei<br /><br />Cash_Beta<br />R2<br />S,E,of Regretion<br />t_test<br />(probabilitas)<br />F_test<br />(probabilitas)<br />Durbin_<br />Watson<br />Bayesian Adjusted Beta<br />0,0658<br />0,3038<br />1,98 (0,05)<br />3,94 (0,05)<br />2,3203<br />Unadjusted Beta<br />0,1104<br />0,6281<br />2,63(0,01)<br />6,95(0,01)<br />2,0822<br /><br />From the coefficient mark in table 6, it was gained a result that operating cash flow beta had positive impact direction or suitable with market risk. The number of R2 (determination coefficient) after the adjustment was of 0,0658, which meant that only 6,58% variables related to market risk that can be explained by profit beta variable. While, the rest of it, 93,42%, explained by other variables. This determination coefficient value was seen indifferent with the result before Vasicek adjustment was carried out.<br />The value of standard errors of estimate of 0.3036 was smaller than market risk deviation standard value, of 0.3116 that gave a conclusion that the market model was better as a predictor of market risk, than regression model in the testing after adjustment was carried out. It gave an illustration that operating cash flow beta was good in explaining market risk than the market risk average.<br />The value of F counted was of 3,94 with significance level of 0,05, which was much smaller than 0.10, then, regression model could be used to predict the market risk on the testing after the adjustment. The similar thing happened in the testing before beta adjustment was carried out.<br />The testing of regression coefficient significance of profit beta variable was seen from the comparison of t counted value with t table. If t counted was smaller than t table, then, the regression coefficient was not significant as the determinant of market risk. If on the adverse condition happened, then, regression coefficient was significant as the market risk determinant.<br />The value of t counted gained from the regression result of 1,98 with significance 0,05. Because probability counted was smaller than level significance 0,1 thus, it could be concluded that the operating cash flow beta determinant coefficient was significant as the explanatory of market risk. The result of this conclusion, that hypothesis 3 did success to be supported by data, either in the beta testing before or after the beta adjustment was carried out by using Vasicek method.<br />To prove the existence of autocorrelation, it was compared the value of Durbin-Watson of 2.3203 after beta adjustment was carried out and 2,0822 before beta adjustment was carried out, with table value. The value of d1 in the sample n = 55 was of 1.53 and sample n = 60 was of 1.55. From the result of interpolation n = 57, it was gained a value d1 of 1.562 from the measurement of 1.53 + ((3/5 x (1.55 – 1.53)). To test the autocorrelation, it should be find the result of 4 – d1 was of 2.438. The value du sample n = 55 was of 1.6 and sample n = 60 was of 1.62. From the result of interpolation n = 57, it was gained du value of 1.612 and 4 – du of 2.388. Because Du < DW < (4-Du), then, the model in this equation did not face autocorrelation problem in the testing, either before or after the beta adjustment was carried out.<br />The testing on the heteroscedasticity assumption was carried out by using White method (appendix 3). This assumption was happened because the probability distribution of disturbance was assumed to be the same (constant) for all observation of X, that was the variant of each U1 was the same for all independent variable value, which in fact had inconstant variant. From the result of White testing, it was gained R2 observed, which was not significant in the significance level of 5%. This result gave a conclusion that there was no heteroscedasticity fault in model or variant in model having heteroscedasicity character.<br /><br />CONCLUSIONS AND LIMITATIONS<br />1. The Study’s Conclusions<br />The major purpose of this paper was to determine whether fund flow, cash flows, and earnings beta related with the market risk. The results of this conclusion, that hypothesis 1 and 2 earning and fund flow betas did not success to be supported by data, either in the beta testing before or after the beta adjustment was carried out by using Vasicek method.<br />The result indicate that operating cash flow risk measure (beta) provide significant association in explaining the variability in market betas. This findings relevan with Ismail and Kim (1989), and confirm the hypothesis presented in the recent literature (e.g., Gombola and Ketz (1983) and Bowen et al. (1986) about earnings and the traditional cash flow proxies (i.e., funds flows) having potentially similar information because of their similar statistic properties. I find that the existence of substantial multicollinearity among the variables does not negate the possibility of each providing explanatory power in the presence of the others<br /><br />2. The Study’s Limitations<br />This study had several limitations. Those limitations could be outlined as follows:<br />It concerns the conformity of accountancy beta measurement with market beta measurement. Accountancy beta measurement uses annual data whereas in counting market risk, it uses monthly data in measuring coefficient value in accountancy variable, to get beta. Data that is used, as independent variable is that mean data of earning rate, fund flow and cash flow of sample company whereas independent variable in counting the value of market variable coefficient, it is used "IHSG". So the result of this research cannot be described as match conformity.<br />This research also does not use cash flow data that is publicity, but it must count the rate of fund flow and operation cash flow. It happens because supervision period in this research from 1991 to 1999. Whereas accountancy standard makes compulsory to publish new cash flow report on financial report in 1995.<br />The period that is observed in this researches including economy crisis until beta measurement both accountancy beta and market beta in the crisis period and before and after crisis period.<br /><br />3. The Study’s Implications<br />The major implication of the results of this study is that, within the confines of explaining market risk, the information in accrual earnings may be largely a subset of the broader set of information included in operating cash flow. Hence, operating cash flow data has the potential of supplying additional information on a firm’s risk. From this perspective, and give that security prices incorporate investor’s assessments of a firm’s debt/dividend-paying ability, the findings of this paper lend credence to the theoretical arguments about the importance of operating cash flow as indicator of some aspect of a firm’s performance.<br /><br />References<br />Ball, R., and P. Brown, "An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers," Journal of Accounting Research (Autumn 1968), pp. 159-178.<br />___, and ___, "Portfolio Theory and Accounting," Journal of Accounting Research 7 (Autumn 1969), pp. 300-323.<br />Baran, A., J, Lakonishok, and A. R., Ofer, "The Information Content of General Price Level Adjusted Earnings: Some Empirical Evidence," The Accounting Review (January 1980), pp. 22-35.<br />Beaver, W., and J. Managold, "The Association Between Market-Determined and Accounting-Determined Measures of Systematic Risk: Some Further Evidence," Journal of Financial and Quantitative Analysis (Juni 1975), pp. 231-284.<br />Beaver, P. Kettler, and M. Scholes, "The Association Between Market Determined and Accounting Determined Risk Measures," The Accounting Review (October 1970), pp. 654-682.<br />_____, and W. R. Landsman, "Incremental Information Content of Statement 33 Disclosures (Research Report: Financial Accounting Standards Board, 1983).<br />Blume, M., "On the Assessment of Risk, "Journal of Finance (Maret 1971), pp.<br />1-10.<br />Bowen, R. M., D. Burgstahler, and L. A. Daley, "Evidence on the Relationships Between Earnings and Various Measures of Cash Flow," The Accounting Review (October 1986), pp.713-725.<br />______,_______, dan_______, "The Incremental Information Content of Accrual Versus Cash Flows," The Accounting Review (October 1987), pp. 723-747.<br /><br />Financial Accounting Standards Board, "Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises," Statement of Financial Accounting Concepts No. 1 (1978), pp. 5183-5198.<br />______, "Statement of Financial Accounting Standards No. 95: Statement of Cash Flows (November 1987), pp. 1045-1088.<br />Gujarati, Damodar N., "Basic Econometries," Third Edition., McGraw Hill International Edition, New York, (1995) pp. 319-354.<br />Gombola, M. J., and J. E. Ketz, "a Note on Cash Flow and Classification Patterns of Financial Ratios," The Accounting Review (January 1983), pp. 435-452.<br />Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan, Buku Satu. Salemba Empat, Jakarta, (1999), pp. 2.1-2.20.<br />Ismail, E. Badr and Kim, K. Moon, "On the Association of Cash Flow Variables with Market Risk: Futher Evidence," The Accounting Review (Januari 1989), pp.125-136.<br />Healy, P., "The Impact of Bonus Schemes on the Selection of Accounting Principles," Journal of Accounting and Economics 7 (April 1985).<br />Lawson, G., "The Measurement of Corporate Profitability on a Cash-Flow Basis," The International Journal of Accounting: Education and Research (1980)<br />Lev, B., and J. A., Ohlson, "Market-Based Empirical Research in Accounting: A Review Interpretation, and Extention," Supplement of Journal of Accounting Research (1982), pp. 249-322.<br />Patell, J. H., dan R. S. Kaplan, "The Information Content of Cash Flow Data Relative to Annual Earning," Unpublished Working Paper (Stanford University, 1977).<br />Rayburn, J., "The Association of Operating Cash Flow and Accruals with Security Returns," Supplement to Journal of Accounting Research (1986), pp. 112-133.<br />Vasicek, O., "A Note on Using Cross-Sectional Information in Bayesian Estimation of Security Betas," The Journal of Finance (Desember 1973), pp. 1233-1239.<br />Wilson, G. P., "The Relative Information Content of Accruals and Cash Flows: Combined Evidence at the Earnings Announcement and Annual Report Release Date," Supplement to Journal of Accounting Research (1986), pp. 165-200.<br />______, "The Incremental Information Content of the Accrual and Funds Component of Earnings After Controlling for Earnings," The Accounting Review (April 1987), pp. 293-322.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Appendix 1<br />Output White’s General Heteroscedasticity Test<br />With Independent Variable Earn_Beta<br /><br />White Heteroskedasticity Test:<br /><br />F-statistic<br />1,368180<br />Probability<br />0,263097<br />Obs*R-squared<br />2,748855<br />Probability<br />0,252984<br /><br /><br /><br /><br /><br />Test Equation:<br />Dependent Variable: RESID^2<br />Method: Least Squares<br />Date: 04/07/86 Time: 18:40<br />Sample: 1 58<br />Included observations: 58<br />Variable<br />Coefficient<br />Std. Error<br />t-Statistic<br />Prob.<br />C<br />0,513960<br />0,147977<br />3,473243<br />0,0010<br />Earn_Beta<br />-0,220307<br />0,136813<br />-1,610276<br />0,1131<br />Earn_Beta^2<br />0,025931<br />0,021354<br />1,214340<br />0,2298<br />R-squared<br />0,047394<br />Mean dependent var<br />0,416705<br />Adjusted R-squared<br />0,012754<br />S.D. dependent var<br />1,000407<br />S.E. of regression<br />0,994007<br />Akaike info criterion<br />2,876194<br />Sum squared resid<br />54,34277<br />Schwarz criterion<br />2,982768<br />Log likelihood<br />-80,40962<br />F-statistic<br />1,368180<br />Durbin-Watson stat<br />1,689509<br />Prob(F-statistic)<br />0,263097<br /><br /><br />Appendix 2<br />Output White’s General Heteroscedasticity Test<br />With Independent Variable Fund_Beta<br /><br />White Heteroskedasticity Test:<br />F-statistic<br />0,397643<br />Probability<br />0,673818<br />Obs*R-squared<br />0,826711<br />Probability<br />0,661427<br /><br /><br /><br /><br /><br />Test Equation:<br />Dependent Variable: RESID^2<br />Method: Least Squares<br />Date: 04/07/86 Time: 18:42<br />Sample: 1 58<br />Included observations: 58<br />Variable<br />Coefficient<br />Std. Error<br />t-Statistic<br />Prob.<br />C<br />0,505031<br />0,165065<br />3,059582<br />0,0034<br />Fund_Beta<br />-0,120421<br />0,166033<br />-0,725280<br />0,4714<br />Fund_Beta^2<br />0,009238<br />0,022165<br />0,416786<br />0,6785<br />R-squared<br />0,014254<br />Mean dependent var<br />0,426550<br />Adjusted R-squared<br />-0,021592<br />S.D. dependent var<br />1,050589<br />S.E. of regression<br />1,061870<br />Akaike info criterion<br />3,008279<br />Sum squared resid<br />62,01629<br />Schwarz criterion<br />3,114854<br />Log likelihood<br />-84,24010<br />F-statistic<br />0,397643<br />Durbin-Watson stat<br />1,747735<br />Prob(F-statistic)<br />0,673818<br /><br />Appendix 3<br />Output White’s General Heteroscedasticity Test<br />With Independent Variable Cash_Beta<br /><br />White Heteroskedasticity Test:<br />F-statistic<br />1,736044<br />Probability<br />0,185732<br />Obs*R-squared<br />3,444055<br />Probability<br />0,178704<br /><br /><br /><br /><br /><br />Test Equation:<br />Dependent Variable: RESID^2<br />Method: Least Squares<br />Date: 04/07/86 Time: 18:42<br />Sample: 1 58<br />Included observations: 58<br />Variable<br />Coefficient<br />Std. Error<br />t-Statistic<br />Prob.<br />C<br />0,329086<br />0,120378<br />2,733764<br />0,0084<br />Cash_Beta<br />-0,025102<br />0,022379<br />-1,121691<br />0,2669<br />Cash_Beta^2<br />0,002785<br />0,001618<br />1,721704<br />0,0907<br />R-squared<br />0,059380<br />Mean dependent var<br />0,380918<br />Adjusted R-squared<br />0,025176<br />S.D. dependent var<br />0,862222<br />S.E. of regression<br />0,851299<br />Akaike info criterion<br />2,566232<br />Sum squared resid<br />39,85905<br />Schwarz criterion<br />2,672806<br />Log likelihood<br />-71,42072<br />F-statistic<br />1,736044<br />Durbin-Watson stat<br />1,877709<br />Prob(F-statistic)<br />0,185732Unknownnoreply@blogger.com