Analisis Perbedaan Kinerja Saham Jangka Pendek dan Jangka Panjang pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Pasar Modal Indones

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI,MARET 2004
Analisis Perbedaan Kinerja Saham Jangka Pendek dan Jangka Panjang pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Pasar Modal Indonesia


MG Kentris Indarti
Yohanes
Andi Kartika

Abstrak
The objective of this study is to find empirical evidence about presupposition that underpricing and underperformance phenomenons occurs on companies issued Initial Public Offering (IPO) in Indonesia. There are 36 companies that issued IPO during 1998-2000. After choosing them with purposive sampling method, there are 33 companies to be analyzed in this study. Results from one sample t-test show that in the short run, there are large positive mean excess return. This result is consistent with prior studies in numerous countries. In the long run, the performance is underperformed. Result from paired sample t-test show that there is a significant defference between short and long run stock performance in companies issued IPO.

Key words: Initial Public Offering, Performance, Underpricing, , Underperfomed

PENDAHULUAN
Initial Public Offering (IPO) merupakan penawaran saham perusahaan untuk pertama kalinya dan dilaksanakan di pasar primer (primary market). Selanjutnya saham-saham tersebut akan diperjualbelikan di pasar bursa efek atau disebut pasar sekunder (secundary market).
Harga saham pada penawaran perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter (penjamin emisi efek). Sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga perdana yang tinggi. Sebaliknya, underwriter sebagai penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya. Dalam tipe penjaminan full commitment, pihak underwriter akan membeli saham yang tidak terjual di pasar perdana. Keadaan ini membuat underwriter tidak berkeinginan untuk membeli saham yang tidak laku dijual. Upaya yang dilakukan adalah dengan bernegosiasi dengan emiten agar saham-saham tersebut tidak terlalu tinggi harganya, bahkan cenderung underpriced.
Sebagai penjamin emisi, underwriter lebih sering berhubungan pasar daripada emiten sehingga pihak underwriter dimungkinkan mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan emiten. Emiten adalah pendatang baru yang belum mengetahui seperti apa keadaan pasar yang sebenarnya. Kondisi asimetri informasi inilah yang menyebabkan terjadinya underpricing, di mana underwriter merupakan pihak yang memiliki kelebihan informasi dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil risiko (Husnan, 1991).
Underpricing adalah penentuan harga saham di pasar perdana lebih rendah daripada harga di pasar sekunder untuk saham yang sama. Harga perdana yang underpriced akan memberikan initial return yang positip bagi investor segera saham tersebut mulai diperdagangkan di pasar bursa. Underpricing merupakan fenomena yang menarik karena dialami oleh sebagian besar pasar modal di dunia. Beberapa penelitian membuktikan fenomena ini, antara lain di New York Stock Exchange (Miller dan Keilley, 1987), di UK (Herbert, 1981), di Hongkong (Dawson, 1985), di Korea (Kim, et al., 1993; Guness, 1988), di Kanada (Clarkson dan Simunic, 1992), di Australia (Philip, et al., 1995) dalam Trisnawati (1999). Di Indonesia, fenomena serupa ditemukan oleh Husnan (1996), dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa IPO pada perusahaan-perusahaan privat maupun perusahaan milik negara (BUMN) biasanya mengalami underpriced.
Penelitian yang dilakukan oleh Aggarwal, et al. (1993) menyatakan bahwa kinerja IPO dalam jangka pendek menunjukkan terjadinya underpricing, tetapi dalam jangka panjang terjadi return yang negatif. Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti tentang kinerja surat berharga setelah IPO di Indonesia pada periode 1994-1997. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja IPO jangka pendek (tiga bulan) adalah positip (39,67%0 dan kinerja jangka panjang (24 bulan) adalah negatip (-238,83%). Bukti ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang telah terjadi penurunan kinerja (underperformance).
Jain dan Kini (1994) menyatakan bahwa terdapat penurunan kinerja operasi perusahaan setelah IPO. Penurunan kinerja tersebut merupakan indikasi telah terjadinya menajemen laba menjelang IPO. Manajemen laba didefinisi sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh beberapa keuntungan pribadi (Schipper, 1989) dalam Saiful (2002).
Friedlan (1994) melakukan penelitian terhadap manajemen laba dengan menghitung rata-rata discreationary accrual. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata discreationary accrual lebih tinggi menjelang IPO. Hal yang sama juga ditemukan oleh Teoh, et al.(1998) yang menyatakan bahwa discreationary accrual di seputar IPO lebih tinggi untuk perusahaan yang sedang melakukan IPO daripada perusahaan yang tidak sedang melakukan IPO (non issuer).
Telaah terhadap manajemen laba pada saat perusahaan akan melakukan IPO adalah penting. Teoh, et al. (1989) membuktikan bahwa investor tidak dapat mendeteksi laba hasil rekayasa pada saat IPO. Konsekuensi dari kegagalan investor menentukan nilai perusahaan dengan tepat pada saat IPO adalah terjadinya kesalahan alokasi dana dari perusahaan yang benar-benar prospektif ke perusahaan yang tidak prospektif.
Kesenjangan informasi antara perusahaan dengan calon investor pada saat IPO mempertinggi probabilitas bagi perusahaan untuk melakukan manajemen laba dan tidak terdeteksi oleh pasar. Penelitian Richardson (1998) membuktikan bahwa semakin tinggi informasi asimetri, maka semakin tinggi manajemen laba. Aharoney et al. (1993) membuktikan bahwa tingkat manajemen laba saat IPO pada perusahaan kecil relatif lebih tinggi daripada perusahaan besar. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan informasi yang tersedia pada perusahaan kecil yang melakukan IPO daripada perusahaan besar karena perusahaan besar sebelum IPO pun telah dikenal oleh masyarakat luas.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang dugaan bahwa fenomena underpricing terjadi pada perusahaan di Indonesia yang melakukan IPO dan terjadi manajemen laba di seputar IPO yang ditandai dengan menurunnya kinerja saham pada jangka panjang. Setelah latar belakang, artikel ini akan mendeskripsikan kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis. Bagian ketiga adalah metode penelitian, dilanjutkan dengan hasil penelitian dan pembahasan, serta diakhiri dengan kesimpulan, keterbatasan, dan implikasi hasil penelitian.

KERANGKA TEORETIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO)
Perusahaan yang belum go public, awalnya saham-saham perusahaan tersebut dimiliki oleh manajer-manajernya, pegawai-pegawai kunci, dan hanya sebagian kecil yang dimiliki investor. Sebagaimana biasanya, jika perusahaan berkembang, kebutuhan modal tambahan sangat dirasakan. Pada saat ini perusahaan harus menentukan untuk menambah modal dengan cara utang atau menambah jumlah dari pemilikan dengan menerbitkan saham baru. Jika saham akan dijual untuk menambah modal, saham baru dapat dijual dengan berbagai macam cara antara lain dengan menawarkan kepada publik (going public).
Keputusan untuk going public atau tetap menjadi perusahaan privat merupakan keputusan yang harus dipikirkan masak-masak. Jika perusahaan memutuskan untuk going public dan melemparkan sahamnya ke publik (initial public offering), isu utama yang muncul adalah tipe saham apa yang akan dilempar, berapa harga yang harus ditetapkan untuk selembar sahamnya, dan kapan waktunya yang paling tepat. Umumnya perusahaan menyerahkan permasalahan yang berhubungan dengan IPO ke banker investasi yang mempunyai keahlian dalam penjualan sekuritas. Penjualan saham baru perusahaan yang melibatkan banker investasi ini dijual di pasar primer (primary market).
Banker investasi merupakan perantara antara perusahaan yang menjual saham dengan investor. Sebagai perantara, banker investasi selain berfungsi sebagai pemberi saran (advisory function), juga berfungsi sebagai pembeli saham (underwriting function), dan berfungsi sebagai pemasar saham ke investor (marketing function).
Proses pembelian sekuritas oleh banker investasi yang nantinya akan dijual kembali ke publik disebut dengan underwriting. Banker investasi yang melakukan underwriting ini disebut underwriter. Underwriter merupakan anggota pasar modal, yang di Bursa Efek Jakarta (BEJ) disebut securities house. Banker investasi membeli sekuritas dengan harga yang sudah disetujui dan menanggung risiko kegagalan atau kerugian menjualnya kembali ke publik. Banker investasi mengambil keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual saham yang disebut spread (Hartono, 2003).

B. Manajemen Laba di Seputar IPO
Schipper (1989) dalam Saiful (2002) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh keuntungan pribadi. Healy dan Wahlen (1998) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan sehingga menyesatkan stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada laba akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus (Scott, 2000)
Tujuan yang akan dicapai oleh manajemen melalui manajemen laba meliputi mendapatkan bonus dan kompensasi lainnya, mempengaruhi keputusan pelaku pasar modal, menghindari pelanggaran perjanjian utang, dan menghindari biaya politik (Watt dan Zimmerman, 1986).Healy dan Wehlen (1998) dalam Saiful (2002) membagi motivasi yang mendorong manajemen laba ke dalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal yang ditunjukkan dengan return saham. Penelitian Teoh, et al. (1998) dan Rangan (1998) memberikan bukti bahwa ketika melakukan penawaran saham ke publik, baik IPO maupun SEO (penawaran saham tambahan), manajemen cenderung melaporkan laba lebih tinggi (overstate). Kedua, motivasi kontrak yang dapat berupa kontrak utang (Sweeney, 1994) dan kontrak kompensasi manajemen (Holthausen, Larcker, dan Sloan, 1995). Ketiga, motivasi regulatory seperti yang dikemukakan oleh Na’im dan Hartono (1996) dan Key (1997).
Informasi asimetri antara manajemen dan investor potensial untuk perusahaan yang belum pernah melakukan IPO sangat mungkin terjadi. Hal ini disebabkan informasi mengenai perusahaan yang belum go public relatif sulit diperoleh oleh investor potensial tersebut.Ketika dilakukan IPO, investor hanya mengandalkan informasi yang terdapat dalam prospektus. Kondisi ini akan mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba dengan harapan harga saham akan tinggi pada penawaran perdana sehingga meningkatkan kemakmurannya.
Kesenjangan informasi antara perusahaan dengan calon investor pada saat IPO akan mempertinggi probabilitas bagi perusahaan untuk menaikkan laba dan tidak terdeteksi oleh pasar. Penelitian Richardson (1998) membuktikan bahwa semakin tinggi informasi asimetri, maka semakin tinggi manajemen laba.
Penelitian mengenai manajemen laba saat IPO di Bursa Efek Jakarta pernah dilakukan oleh Gumanti (2001). Hasil penelitian terhadap 39 perusahaan yang go public pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1997, menunjukkan bahwa perusahaan menaikkan laba pada dua tahun sebelum IPO. Setiawati (2002) menemukan bahwa ada tingkat akrual yang descreationary pada laporan keuangan satu periode sebelum dan setelah IPO. Hasil ini membuktikan bahwa perusahaan di Indonesia yang melakukan IPO melakukan manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Saiful (2002) terhadap 44 perusahaan yang IPO di Bursa Efek Jakarta tahun 1991-1994 menunjukkan bahwa manajemen laba dilakukan pada periode dua tahun sebelum IPO. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Gumanti (2001).

C. Kinerja Jangka Pendek versus Kinerja Jangka Panjang
Banyak peneliti menunjukkan bahwa umumnya penawaran perdana saham adalah underpricing. Para peneliti menunjukkan mean initial return adalah 4,3547% (Widjaja, 1999), 12,4891% (Rizka, 1995), dan 39,07% (Prastiwi dan Kusuma, 2001). Return saham akan tetap positif dalam jangka pendek dan akan negatif dalam jangka panjang.
Dawson (1987) dalam Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti kinerja IPO untuk tiga Negara yaitu Hongkong, Malaysia, dan Singapura untuk periode 1978 sampai dengan 1983. sampel yang digunakan untuk Hongkong dan Malaysia sebanyak 21 perusahaan sedangkan Singapura 39 perusahaan. Hasil yang ditemukan di Hongkong dan di Singapura konsisten dengan pola di Negara lain, tetapi di Malaysia menunjukkan kinerja jangka panjang yang masih positip. Kinerja jangka pendek untuk Hongkong, Singapura, dan Malaysia adalah 13,80% , 39,40%, dan 166,67% , sedangkan kinerja setahun kemudian adalah – 9,3%, -2,7% dan 18,2%.
Levis dalam Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti IPO di Inggris dengan mengunakan sampel sebanyak 632 perusahaan pada periode 1980 sampai dengan 1988. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja IPO jangka pendek adalah 14,08% sedangkan kinerja tiga tahun kemudian adalah – 31%.
Aggarwal et al ( 1993 ) meneliti kinerja IPO untuk 3 negara yaitu Brasilia, Chili dan Meksiko. Sampel yang digunakan di Brasilia sebanyak 62 perusahaan, di Chili 19 perusahaan dan di Meksiko 44 perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kinerja IPO jangka pendek untuk Brasilia 9,4%, Chili 4,4%, dan Meksiko 4%, sedangkan kinerja setahun kemudian adalah –47%, -23,7%, dan –19,6%.
Teoh, et al. (1998) menemukan discreationary curret accrual di sekitar IPO lebih tinggi untuk perusahaan yang melakukan IPO daripada perusahaan yang tidak melakukan IPO (non issuer). Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan yang sedang melakukan IPO melakukan manajemen laba. Jain dan Kini (1994) menyatakan terjadi penurunan kinerja operasi perusahaan setelah IPO. Penurunan kinerja ini merupakan indikasi adanya manajemen laba yang dilakukan dengan cara menggeser laba perioda yang akan datang ke perioda sekarang atau menggeser biaya sekarang ke perioda yang akan datang.
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Kiswara (1999), Sutanto (2000), dan Gumanti (2001) memberikan bukti bahwa di Indonesia juga terjadi manajemen laba untuk perusahaan publik. Prastiwi dan Kusuma (2001) yang meneliti kinerja IPO perusahaan di Indonesia pada perioda 1994 sampai demgan 1997 menemukan bukti bahwa kinerja IPO pada jangka pendek adalah positip dan pada jangka panjang adalah negatif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek terdapat fenomena underpricing dan dalam jangka panjang terdapat penurunan kinerja (underperformance). Penentuan baik tidaknya kinerja saham, baik jangka pendek maupun jangka panjang dilihat dari besarnya return abnormal. Apabila return abnormal > 0, menunjukkan kinerja yang outperformed (baik), sebaliknya apabila return abnormal < rit =" ¾¾¾" rit =" Return" pit =" Harga" pi0 =" Harga" rmt =" ¾¾¾" rmt =" Return" pmt =" Nilai" pm0 =" Nilai" arit =" ¾¾¾¾¾"> 0, menunjukkan kinerja yang outperformed
- Return abnormal <> 1, menunjukkan kinerja yang outperformed
- WR <> 0,05
Hipotesis pertama dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan one-sample t-test. Pengujian ini digunakan untuk membuktikan dugaan bahwa dalam jangka panjang telah terjadi underperformed pada perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia. Hipotesis 2 akan diuji dengan menggunakan paired sample t-test. Teknik ini digunakan untuk menguji apakah dua sampel yang berpasangan mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda. Sampel berpasangan (paired sample) adalah sebuah sampel dengan subyek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda.

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Statistik Deskriptif
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana di pasar modal Indonesia pada tahun 1998 s/d 2000. Perusahaan yang melakukan IPO pada periode tersebut sebanyak 36 perusahaan. Berdasarkan teknik pengambilan sample dengan metode purposive sampling, diperoleh sample sebanyak 33 perusahaan.
Statistik deskriptif untuk 33 perusahaan yang melakukan IPO tersebut disajikan pada table 1. Tabel 1. menyajikan nilai rata-rata (mean), deviasi standar, nilai maksimum, dan nilai minimum dari kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang yang diukur dengan besarnya abnormal return.
Tabel 1
Mean, Deviasi Standar, Std. Error, Nilai Maksimum,
dan Nilai Minimum Abnormal Return
Periode (bulan)
N
Mean
Std. Deviasi
Std. Error
Nilai
Maksimum
Nilai
Minimum
1
33
51,0378
68,2345
11,8781
180,98
-57,79
2
33
56,3579
101,3160
17,6369
393,80
-61,10
3
33
53,8846
100,4605
17,4879
414,30
-67,01
6
33
47,1388
142,5213
24,8098
581,67
-78,14
12
33
34,5036
142,0694
24,7311
656,02
-82,23
24
33
-8,6878
86,0796
14,9845
190,67
-92,61
Sumber : Data sekunder yang diolah
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui besarnya nilai rata-rata, standar deviasi standar error, nilai maksimum, dan nilai minimum dari abnormal return pada setiap periode (bulan). Nilai mean pada periode 1 bulan sebesar 51,04 menunjukkan bahwa apabila investor membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama 1 bulan, maka ia akan mendapatkan rata-rata abnormal return sebesar 51,04 persen.
Standar deviasi pada periode 1 bulan menunjukkan besarnya risiko yang harus ditanggung oleh investor apabila ia membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama 1 bulan, yaitu sebesar 68,23 %. Standar error menunjukkan nilai penyimpangan abnormal return dari rata-ratanya, semakin besar nilai standar error maka semakin besar penyimpangan abnormal return dari rata-ratanya.
Nilai maksimum pada periode 1 bulan menunjukkan angka 180,98, berarti bahwa abnormal return tertinggi yang dapat dicapai oleh investor yang membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama 1 bulan adalah 180,98%. Nilai minimum pada periode 1 bulan sebesar –57,79 menunjukkan bahwa kerugian terbesar yang mungkin ditanggung oleh investor yang membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama satu bulan adalah 57,79%.

B. Uji Normalitas Data
Syarat penggunaan one sample t.test dan paired sample t.test yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah data terdistribusi normal. Uji normalitas data digunakan untuk membuktikan bahwa data dalam penelitian ini berasal dari distribusi normal. Pengujian normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji kolmogorov-smirnov. Teknik ini digunakan karena sampel dalam penelitian ini jumlahnya relatif kecil dan cenderung tidak normal. Tabel 2 berikut ini adalah hasil uji kolmogorov-smirnov dari 33 sampel untuk periode 1-24 bulan.
Tabel `2

Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Periode
N
K-S hitung
Sig
Periode
N
K-S hitung
Sig
1
33
0,090
0,950
13
33
0,141
0,527
2
33
0,145
0,493
14
33
0,164
0,334
3
33
0,114
0,781
15
33
0,170
0,293
4
33
0,150
0,452
16
33
0,220
0,082
5
33
0,190
0,186
17
33
0,189
0,191
6
33
0,228
0,065
18
33
0,207
0,117
7
33
0,202
0,135
19
33
0,207
0,117
8
33
0,204
0,127
20
33
0,215
0,095
9
33
0,238
0,048
21
33
0,220
0,082
10
33
0,211
0,105
22
33
0,214
0,098
11
33
0,226
0,069
23
33
0,203
0,130
12
33
0,206
0,123
24
33
0,214
0,098
Sumber : Data sekunder yang diolah
Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahui bahwa distribusi data abnormal return dari 33 sampel pada periode 1-24 bulan adalah normal, karena nilai kolmogorov-smirnov hitung <> 0,05. Jadi data tersebut telah memenuhi syarat normalitas, sehingga dapat dilakukan uji statistik one-sample t-test dan paired sample t.test

C. Kinerja Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah dalam jangka panjang kinerja saham di pasar modal Indonesia mengalami underperformed (terdapat penurunan kinerja yang diukur dengan abnormal return). Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan uji statistik one-sample t-test. Uji ini digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan rata-rata dari suatu sampel. Hasil pengujian dengan one sample t.test disajikan pada tabel 3.
Tabel 3
Kinerja Saham (Jangka Pendek dan Panjang) Setelah IPO
Periode (bulan)
N
Mean
Std. Deviasi
T-hitung
WR
Sig.
1
33
51,0378
68,2345
4,122
1,5051
0,000
2
33
56,3579
101,3160
2,474
1,5336
0,019
3
33
53,8846
100,4605
2,637
1,4970
0,013
6
33
47,1388
142,5213
2,131
1,4299
0,041
12
33
34,5036
142,0694
2,648
1,3227
0,012
24
33
-8,6878
86,0796
-7,253
0,9379
0,000
Sumber : Data sekunder yang diolah
Dari tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata abnormal return dari 33 perusahaan dalam jangka pendek (1, 2, dan 3 bulan) adalah positif, sedangkan jangka panjang (24 bulan) adalah negatif. Dalam jangka pendek, pada bulan pertama rata-rata abnormal return mencapai 51,04 persen dan mengalami kenaikan menjadi 56,36 persen pada bulan kedua. Akan tetapi pada bulan ketiga mengalami penurunan hingga mencapai 53,88 persen. Pada bulan keenam rata-ratanya kembali turun mencapai 47,14%. Pada periode jangka panjang, rata-rata abnormal return menjadi negatif sebesar –8,6878 persen.
Nilai wealth relative (WR) menunjukkan besarnya rata-rata return abnormal secara kelompok dari 33 perusahaan yang melakukan IPO. Dari perhitungan wealth relative untuk periode 24 bulan menunjukkan angka 0,9379 yang berarti bahwa kinerja saham jangka panjang (24 bulan) underperformed (buruk), karena nilai wealth relative <> t tabel (1,960) serta nilai signifikansi < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja jangka pendek positip dan pada jangka panjang adalah negatif.
Kinerja jangka panjang yang underperformed (mengalami penurunan) disebabkan karena sebagian besar perusahaan memang memiliki kinerja buruk yang tercermin pada nilai return abnormal yang negatif. Hasil ini memperkuat dugaan bahwa perusahaan yang melakukan IPO di Pasar Modal Indonesia melakukan manajemen laba.
Perbedaan signifikan antara kinerja jangka pendek dan jangka panjang disebabkan karena fenomena underpricing dalam jangka pendek dan penurunan kinerja sebagian besar perusahaan dalam jangka panjang serta krisis moneter yang dialami Indonesia dimana tingkat inflasi mengalami kenaikan.
Keterbatasan
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat beberapa kelemahan yang ada dalam penelitian ini yaitu:
Periode pengamatan yang relatif pendek (3 tahun), yaitu periode 1998 sampai dengan 2000 sehingga diperoleh sampel dalam jumlah yang relatif kecil.
Dalam peneliltian ini digunakan data harga saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG) bulanan saat penutupan (closing price), sehingga tidak mencerminkan nilai abnormal return yang sebenarnya.
Jangka waktu pengamatan atas kinerja saham terbatas sampai 24 bulan mengingat keterbatasan waktu, data yang tersedia, serta aktivitas perdagangan saham yang belum terjadi.
Penelitian ini tidak membuktikan lebih jauh tentang adanya dugaan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang akan melakukan IPO di Pasar Modal Indonesia.
C. Implikasi
Meskipun memiliki beberapa kelemahan, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para investor sebagai bahan pertimbangan sebelum membuat keputusan investasi, sehingga investor tidak keliru dalam mengalokasi dananya. Berdasarkan pada kelemahan-kelemahan tersebut di atas, ada beberapa implikasi untuk peneliti berikutnya yang berminat dalam bidang ini untuk melanjutkan atau mengembangkan penelitian ini, yaitu
1. Sebaiknya periode pengamatan diperpanjang sehingga jumlah sampel yang ada lebih banyak sehingga memungkinkan dapat diambil kesimpulan yang lebih baik
2. Sebaiknya peneliti yang akan datang menggunakan data harga saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG) harian sesuai dengan tanggal IPO dan dicari periode pengamatan yang tingkat inflasinya tidak terlalu tinggi untuk menghindari dampak negatif yang mungkin ada dari hasil penelitian ini
3. Jangka waktu pengamatan atas kinerja saham dapat lebih diperpanjang lagi
4. Sebaiknya peneliti selanjutnya juga membuktikan kemungkinan adanya kecenderungan perusahaan melakukan manajemen laba (earning management) sebelum melakukan IPO yang berdampak pada kinerja jangka panjang.

Postingan populer dari blog ini

MENGELOLA STRES KERJA

Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Kerja Kelompok

PERBEDAAN KARAKTERISTIK JASA DIBANDINGKAN PRODUK MANUFAKTUR IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI KOMUNIKASI JASA